Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156804 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luthfi Prasetya Putra
"Penulisan ini membahas mengenai pengaturan hukum Hak Cipta, terutama Hak Moral dan Hak Ekonomi, pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dikaitkan dengan pemberlakuan Sensor Film yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pembahasan mengenai hukum Hak Cipta dilakukan dengan melakukan perbandingan pengaturan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, terutama pada perbandingan pengaturan Hak Moral dan Hak Ekonominya. Selanjutnya, penulisan ini juga membahas sekilas industri perfilman Indonesia dan menganalisis pelaksanaan Sensor Film yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film sebagai salah satu lembaga negara Indonesia.

The focus of this study is about Copyright Law regulation, especially concerning Moral Right and Economic Right, in Law Number 28 of 2014 related to the implementation of Film Censorship that mandated by Law Number Number 33 of 2009. The analysis of Copyright Law done by doing comparison between Law Number 28 of 2014 and Law Number 19 of 2002. This writing is also at glance discuss the development of film industry in Indonesia and analyse the implementation of Film Censorship conducted by Film Censorship Body (Lembaga Sensor Film).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merdithia Mahadirja
"Kajian ini membahas tentang pengaturan dan penerapan hak moral, terutama di film. Hak moral adalah doktrin yang diakui dalam undang-undang tentang hak cipta di mana seorang penulis memiliki hak yang di luar hak ekonominya. Tapi karena tidak adanya standar minimal yang harus diterapkan oleh negara-negara anggota Dunia Organisasi Perdagangan, dalam penerapannya doktrin ini menimbulkan masalah terutama untuk karya turunan seperti film yang tidak bisa disamakan dengan sastra atau karya seni pada umumnya. Di Penelitian ini membahas tentang bagaimana mengidentifikasi hak moral dalam produksi film yang baik untuk film itu sendiri dan untuk karya lain yang merupakan bagian dari film. Selanjutnya dibahas pula tentang hak-hak moral yang dimiliki oleh produsen, sutradara, aktor/aktris, penulis naskah, sutradara musik dan kru film. Diskusi Hal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan konseptual dan a komparatif karena perbedaan konsep hak moral yang ada di negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia. Dalam analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk mengidentifikasi hak moral dari film itu sendiri dan bagian-bagiannya harus diketahui terlebih dahulu, apakah sudah diakui atau belum sebagai penciptaan. Selain itu, juga dapat dilihat bahwa pihak-pihak dalam produksi film dapat hak moral mereka dilindungi jika pekerjaan mereka adalah bagian dari film telah diterbitkan sebelumnya.

This study discusses the regulation and application of moral rights, especially in films. Moral rights are doctrines recognized in copyright laws in which an author has rights that are beyond his economic rights. However, because there is no minimum standard that must be applied by member countries of the World Trade Organization, in its application this doctrine creates problems, especially for derivative works such as films that cannot be equated with literature or works of art in general. This study discusses how to identify moral rights in good film production for the film itself and for other works that are part of the film. Furthermore, it is also discussed about the moral rights of producers, directors, actors/actresses, scriptwriters, music directors and film crews. Discussion This is done using a conceptual and a comparative approach because of the different concepts of moral rights that exist in the member countries of the World Trade Organization. In the analysis of this research, it can be seen that in order to identify the moral rights of the film itself and its parts, it must be known first, whether it has been recognized or not. creation. In addition, it can also be seen that the parties in film production can have their moral rights protected if their work is part of the film previously published.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Pijar Ash Shiddiq
"Penelitian ini menganalisis tentang kompleksitas Game Mechanic sebagai objek yang berwujud abstrak baik dalam konteks teknis, perlindungan Hak Cipta, maupun perlindungan Paten. Game Mechanic merupakan desain dari interaktivitas antara Player dan Game yang menentukan bagaimana suatu Game dimainkan serta bagaimana pengalaman bermain yang dirasakan oleh Player. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Doktrin-doktrin yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah Idea Expression Dichotomy dan Mayo Step Two. Idea Expression Dichotomy merupakan doktrin yang menyatakan bahwa gagasan dan ekspresi merupakan dua hal yang berbeda dan harus dipisahkan. Doktrin ini digunakan untuk menganalisis Game Mechanic dalam ruang lingkup perlindungan Hak Cipta. Sementara itu, Mayo Step Two merupakan doktrin yang membahas mengenai cara pengujian suatu invensi atau klaim yang bersifat abstrak, khususnya yang berkaitan dengan teknologi informasi. Doktrin ini digunakan untuk menganalisis Game Mechanic dalam ruang lingkup perlindungan Paten. Game Mechanic pada dasarnya merupakan suatu gagasan yang bersifat abstrak, oleh karena itu tidak bisa diklasifikasikan sebagai suatu Ciptaan sehingga tidak dapat dilindungi oleh sistem Hak Cipta. Game Mechanic dapat dilindungi oleh Paten sebagai suatu Paten Proses atau umumnya berjudul metode. Namun, perlindungan tersebut hanya dapat diperoleh apabila telah memenuhi syarat sebagai invensi, yaitu memiliki ruang lingkup yang spesifik, memiliki konsep inventif, dan bukan hanya merupakan penerapan konsep keilmuan yang sederhana. Selain itu, ia juga harus memenuhi syarat patentabilitas yaitu kebaruan, langkah inventif, dan dapat diterapkan pada industri.

This research analyzes the complexity of Game Mechanic as an abstract object in technical, Copyright protection, and Patent protection context. Game Mechanic is the design of the interactivity between Player and Game that determine how a Game being played and how the Player experience the gameplay. This research uses doctrinal research method. Doctrines used in the research are Idea Expression Dichotomy and Mayo Step Two. Idea Expression Dichotomy is doctrine that stated idea and expression are two distinct things and therefore shall be separated. The doctrine is used to analyze Game Mechanic in the scope of the Copyright protection. Meanwhile, the Mayo Step Two is a doctrine that examine the testing method of invention or claim that is abstract in nature, especially when related to information technology. The doctrine is used to analyze Game Mechanic in the scope of Patent protection. Game Mechanic basically is an abstract idea, therefore cannot be classified as a Works so that cannot be protected by the Copyright system. Game Mechanic can be protected by Patent as a Process or Method Patent. However, the protection can only be obtained when the invention is patent eligible in which having a specific scope, contain inventive concept, and not merely an application of simple scientific concept. Other than that, it also shall meet the patentability requirements, such as novelty, inventive steps, and industrial applicability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Putri Wahyu Wijayanti
"Skripsi ini membahas mengenai Fiksasi yang merupakan salah satu persyaratan mutlak dalam perlindungan Hak Cipta. Doktrin Fiksasi mensyaratkan sebuah ciptaan harus berwujud nyata (tangible) dalam arti dapat dilihat, didengar, dan direproduksi kembali. Sebuah Ide tidak akan mendapatkan perlindungan Hak Cipta sehingga ide tersebut harus disalurkan kedalam suatu media. Namun ada sebuah ciptaan yang dapat didengar namun tidak dapat direproduksi kembali, yaitu ceramah atau pidato spontan.
Skripsi ini membahas mengenai kesesuaian pengaturan doktrin Fiksasi yang ada dalam Undang-Undang Hak Cipta No.28 Tahun 2014 dengan Perjanjian Internasional Hak Kekayaan Intelektual dalam hal perlindungan terhadap karya cipta ceramah. Setelah melakukan analisis, pengaturan doktrin Fiksasi dalam UUHC tidak melindungi suatu Ceramah yang bersifat spontan dan belum di Fiksasi. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode kepustakaan.

This paper discusses Fixation is one of the absolute requirement for Copyright Protection. To be qualified as fixation Under Law no. 28 Year 2014 concerning Copyright Law, a work must be fixed in tangible medium of expression that can be seen, heard or reproduced. A mere idea, on the other side, needs to be fixed in a form of media to obtain copyright protection. However, there is a work that can be heard but can not be reproduced, namely spontaneous speech or lecture.
This study discusses the compability of fixation doctrine under Copyright Law to International Agreement of Intellectual Property Rights regarding protection of speech. The author concludes that the fixation doctrine under Copyright Law does not protect spontaneous and unfixed speeches. The method used in this thesis is the method of literature.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60790
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Anas Fadli
"Netflix adalah salah satu layanan hiburan terkemuka di dunia dengan sekitar 222 juta keanggotaan berbayar di lebih dari 190 negara yang menyajikan layanan streaming serial TV, dokumenter, film layar lebar, dan gim seluler dalam berbagai genre dan bahasa. Undang-Undang Perfilman mewajibkan sensor untuk pertunjukan film pada jaringan teknologi informatika, termasuk internet didalamnya. Akan tetapi, Netflix belum tunduk pada ketentuan mengenai sensor film. Penulis akan membahas status hukum Netflix sebagai perseroan, PSE Asing, Pelaku Usaha PMSE, dan usaha perfilman. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis-normatif, yakni penelitian hukum yang mencakup penelitian terhadap prinsip-prinsip hukum dan sistematika hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum, dimana penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan. Tanpa adanya entitas usaha yang berbadan hukum Indonesia, operasional Netflix seolah dibiarkan. Aturan bidang perfilman yang tidak adaptif dengan kemudahan perizinan berusaha, ditambah dengan ketiadaan koordinasi antara Lembaga Sensor Film dengan Ditjen Aptika melemahkan penegakkan hukum terhadap Netflix. Berdasarkan penjabaran tersebut, Netflix seharusnya tunduk pada ketentuan mengenai sensor film yang berlaku pada masing-masing operasionalnya. Solusi yang penulis ajukan antara lain: melakukan revisi pada aturan perfilman, peningkatan sinergi antara LSF dengan Ditjen Aptika, digital presence, dan kualifikasi tambahan pada pertunjukan fiilm melalui jaringan teknologi informatika.

Netflix is one of the world's leading entertainment services with approximately 222 million paid memberships in over 190 countries serving streaming TV series, documentaries, feature films, and mobile games in a variety of genres and languages. The Film Act requires censorship for film performances on information technology networks, including the internet in them. However, Netflix has not been subject to provisions regarding film censorship. The author will discuss Netflix's legal status as a company, Foreign ESP, e-commerce, and film business. This research uses juridical-normative legal research methods, namely legal research which includes research on legal principles and legal systematics, legal history, and legal comparisons, where research is carried out by researching library materials, or also known as literature research. Without a business entity incorporated in Indonesia, Netflix's operations seem to be allowed. Non-adaptive film rules with ease of business licensing, coupled with the lack of coordination between the Film Censorship Agency and the Directorate General of Infromatics Aplication weakened law enforcement against Netflix. Based on these descriptions, Netflix should be subject to the provisions regarding film censorship that apply to their respective operations. The solutions proposed by the author include: revising film rules, increasing synergy between LSF and the Directorate General of Infromatics Aplication, digital presence, and additional qualifications for fiilm performances through information technology networks. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Limbong, Hardial
"Hyperlink merupakan salah satu fitur utama dari teknologi world wide web.Terhubungnya satu website dengan website lainnya memudahkan pengguna internet untuk menemukan berbagai informasi yang diinginkan. Disamping kegunaannya yang besar, hyperlink dapat memicu implikasi hukum dalam kondisi-kondisi tertentu, khususnya dalam ranah hukum hak cipta. Di berbagai negara seperti negara - negara Eropa dan Amerika Serikat, tipe - tipe dari hyperlink seperti deeplinking, framing dan inlining menjadi objek dari sengketa - sengketa hak cipta. Pemilik website yang menjadi target dari hyperlink menggugat pihak-pihak yang membuat atau menyediakan hyperlink tersebut dengan basis pelanggaran hak cipta. Mereka berpendapat bahwa tindakan pembuatan atau penyediaan hyperlink merupakan bentuk dari tindakan memperbanyak ataupun mengumumkan konten milik mereka. Di sisi lain, Internet Service Provider seperti penyedian jasa hosting ataupun search engine juga juga tidak luput dari gugatan pemegang hak cipta karena dinilai turut menyebarkan ciptaan milik mereka yang sebelumnya disebarkan oleh orang tanpa izin, oleh karena itu ISP secara tidak langsung bertanggung jawab atas pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh orang lain. Skripsi ini mencoba menganalisis berbagai kasus pelanggaran hak cipta yang berkaitan dengan hyperlink yang terjadi diberbagai negara berdasarkan Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Hyperlink is known to be one of main features of World Wide Web. The way that all website on internet linking each other with hyperlink makes users so easy to find informations that they want because they can move from one to another website without the needs to remembering its URL Address. Despite their clear utility, hyperlinks can raise legal liability issues in certain circumstances especially copyright area. In many countries, like European Country and US, the types of hyperlink like deeplinking, framing and inlining have been subject of copyright litigation because the owner of linked site sued the provider or creator those hyperlink based on copyright infringement. They argue that the act of providing or creating those hypelinks constitute the act of reproduction or dissemination their copyrighted content without autorization. In the other hand,Internet Service Provider like the one who providing web hosting service and search engine also been sued by copyright owner because they argue that the ISP have contribution to find or locate their copyrighted work that have been disseminated without their authorization by others, so they have secondary liability from copyright infringement that done by the others. This thesis try to discuss those many hyperlinking case that happened in foreign country based on Law No.19 Year 2002 Concerning Copyright."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45914
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Kertarajasa Adi Buwono
"Permainan video merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi. Hal ini melindungi pencipta atau pemegang hak cipta dari tindakan-tindakan pelanggaran hak cipta seperti halnya pembajakan. Pendistribusian hasil pembajakan tidak hanya terjadi secara media fisik, melainkan juga dapat secara digital seperti penyebaran melalui internet. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif karena penulis meneliti menggunakan bahan pustaka atau data sekunder. Dalam skripsi ini akan membahas tentang pencipta atau pemegang hak cipta permainan video yang memperoleh perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pihak yang bertanggung jawab atas pembajakan video game dan bentuk pertanggung jawabannya, dan penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh dalam hal terjadinya suatu pelanggaran hak cipta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pembajakan yang terjadi di dalam internet terhadap permainan video.

Video games are a protected creation. This protects the creator or copyright holder from acts of copyright infringement such as piracy. The distribution of piracy proceeds does not only occur in physical media, but also digitally, such as distribution via the internet. The research method used in this thesis is normative juridical because the author examines using library materials or secondary data. This thesis will discuss about the creators or copyright holders of video games who obtain legal protection based on Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, the parties responsible for video game piracy and forms of responsibility, and dispute resolution that can be taken in terms of a copyright infringement occurs. The results of this study indicate that there is piracy that occurs on the internet against video games."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Setiabudi
"Film merupakan media multi dimensional, dan menyangkut aneka hak cipta. Banyak ciptaan-ciptaan yang ada hak ciptanya dimanfaatkan. Ciptaan-ciptaan itu diantaranya adalah cerita, lagu (musik), dan mungkin suatu tarian. Produser film tidak boleh menggunakan suatu hak cipta tanpa ijin tertulis pemegang hak cipta itu. Bahwa era film bisu dan hitam putih telah lama berlalu. Film berwarna dengan efek suara dan tehnologi yang menunjangnya semakin membuat semaraknya hiburan bagi masyarakat. Kemajuan tehhologi ternyata menimbulkan masalah hak cipta yang sangat kompleks sedangkan Undang-undang Hak Cipta 1912 (Auteurswet 1912) yang dibuat di masa pemerintahan Hindia Belanda tidak memadai 1agi. Padahal eksistensi undang-undang tersebut ' adalah melindungi pencipta beserta ciptaannja, maka digantinya Auteurswet 1912 dengan Undang-undang No. 6 tahun 1 982, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang No. 7 tahun 1987, merupakan langkah maju untuk menjawab tantangan tehnologi, termasuk film. Undang-undang yang baru itu diharapkan dapat memecahkan masalah hak cipta dalam film, baik terhadap pembajakan film dengan sarana video, maupun berbagi pelanggaran lainnya. Hal ini demi memajukan dan menggairahkan bangsa Indonesia untuk berfikir kreatif supaya lahir beraneka ciptaan yang baru. Tanpa perlindungan, maka banyak pencipta dan pegang hak cipta yang dirugikan. Demikian pula masyarakat kita, serta pemerintah yang sedang mengusahakan pembangunan di segala bidang. Hak cipta bukan sekadar kata yang bernilai hukum, hak cipta juga suatu peluang bisnis dan ekonomi yang sangat tinggi. Permasalahan yang menarik ini akan diungkap dan dibahas dalam skripsi ini. Agar memperoleh gambaran yang je1as ten tang hak cipta yang bersangkutan dehgan film, penulis akan membahas masalahmasalah tersebut sejak film dipersiapkan, diproduksi, dan sampai saat film itu diedarkan ke tengah masyarakat luas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Meliala, Ronni Suranta S.
"Iklan merupakan suatu strategi yang ampuh bagi para pengusaha (produsen) untuk melakukan penawaran-penawaran barang dan jasa. Demikian juga dengan produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Agar konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut maka promosi produk dilakukan melalui iklan. Di Indonesia pengaturan tentang periklanan tersebar di berbagai macam peraturan perundang-undangan, seperti di Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Erika dan tata Krama Periklanan, hukum persaingan usaha, dan tentunya pada UU No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, meskipun tidak secara eksplisit tercantum di dalam Pasal. 12 huruf k UU No. 19 Tahun 2002, namun di dalam penjelasan pasal tersebut baru dijelaskan bahwa film iklan adalah termasuk karya sinematografi. Bagi pelaku pembuatan iklan yang biasa disebut juga sebagai unsur-unsur penting pembuatan iklan, pengaturan Periklanan khususnya iklan televisi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, ataupun dalam etika periklanan adalah belum begitu memadai dalam arti kurang memberi kepastian hukum, karena belum diatur peraturan secara mendetil tentang bidang periklanan, karena kita tahu bahwa bidang periklanan terutama iklan televisi merupakan sarana yang penting untuk memasarkan suatu produk dan dalam proses pembuatannya kadang-kadang bermasalah, seperti pengaturan jangka waktu, hak cipta iklan televisi, dan lain sebagainva, untuk itu saya rasa perlu untuk membuat perundang-undangan sendiri mengenai periklanan, karena banyak sekali terjadi penyimpangan khususnya tentang hak cipta iklan itu sendiri, meskipun sudah diatur dalam UU No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, namun dalam kenyataannva tetap diperlukan suatu perundang-undangan baru untuk mengatur hal ini secara tersendiri."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>