Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89209 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adityo Sri Widodo
"Pembatalan akta jual beli yang dibuat PPAT haruslah diputuskan oleh lembaga peradilan yang berwenang dalam menangani obyek sengketa berdasarkan kompetensi absolut dari lembaga peradilan tersebut. Namun pada kasus kepemilikan obyek bidang tanah terdapat perbedaan penafsiran hukum dalam menangani sengketa tersebut yaitu antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar memutuskan untuk membatalkan penerbitan Akta Jual Beli No. 86/JBL/Kec. Tombasian/1995 yang dibuat oleh Camat Tombasian yang bertindak sebagai PPAT karena pejabat yang bersangkutan dianggap melakukan penyalahgunaan wewenang jabatannya dan tidak jelasnya alas hak dari penjual dalam pembuatan akta jual beli tersebut sedangkan Peradilan Umum dalam penyelesaian gugatan secara perdata memutuskan bahwa dasar dari syarat sahnya peralihan hak atas tanah dalam perbuatan hukum, yaitu jual beli yang obyeknya adalah bidang tanah yang dibuat oleh para pihak didalam akta jual beli dihadapan Camat Tombasian yang dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagai PPAT telah memenuhi syarat dan sah secara hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang telah membuatnya.
Penelitian yang dilakukan secara yuridis normatif ini memperoleh kesimpulan bahwa kewenangan dalam menangani dan memutuskan tentang keabsahan dan/ kebatalan akta jual beli tentang kepemilikan obyek bidang tanah adalah kewenangan peradilan umum/perdata. Akta jual beli bukanlah produk Keputusan Tata Usaha Negara sehingga Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang membatalkan penerbitan Akta Jual Beli No. 86/JBL/Kec. Tombasian/1995 yang dibuat Camat Tombasian yang bertindak sebagai PPAT. Kewenangan peradilan dalam menangani suatu sengketa tanah mempunyai arti yang sangat penting dalam menciptakan suatu kepastian hukum bagi penegakan dan penerapan aturan hukum yang akan dipakai dalam memutuskan sengketa kepemilikan obyek bidang tanah.

Nullification of sale and purchase deed issued by PPAT (land conveyancer) has to be rendered by a judicial agency which has the authority to handle the dispute in accordance with the absolute competence of such judicial agency. However, in case of land ownership, there are different legal interpretations between State Administrative Court and General Court in handling the dispute. Makassar State Administrative Court decides to nullify the issuance of Sale and Purchase Deed No. 86/JBL/Kec. Tombasian/1995, which is issued by Tombasian Subdistrict Head as PPAT, due to abuse of position of power by the authority and ambiguity of the seller entitlement in the sale and purchase deed, whereas in the dispute settlement under civil laws, the General Court decides that the basis of validity of transfer of land title in the legal act, which is the sale and purchase of a land by the parties in a sale and purchase deed entered into before the Tombasian Subdistrict Head, who in this case is acting in his authority as PPAT, has complied with the provisions and is valid and binding to the parties to the deed.
This normative jurisdiction study concludes that general/civil court possesses the authority in handling and deciding the validity and nullification of land sale and purchase deed. Sale and purchase deed is not a product of State Administrative Court, hence such court does not have the authority to nullify the issuance of Sale and Purchase Deed No. 86/JBL/Kec. Tombasian/1995 issued by Tombasian Subdistrict Head as PPAT. Judicial authority in handling territorial dispute is crucial in creating legal certainty for the enforcement and implementation of the laws and regulations that will be used in resolving disputes over land ownership.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmala Kristina
"Sertipikat merupakan suatu alat bukti yang kuat, selama tidak dapat dibuktikan lain. Akan tetapi jika terdapat suatu perjanjian dimana sertipikat menjadi obyeknya, manakah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang lebih kuat. Permasalahan yang dibahas yaitu bagaimanakah kekuatan perjanjian dibandingkan dengan sertipikat untuk dijadikan sebagai bukti kepemilikan serta bagaimanakah hakim menerapkan hukum mengenai keabsahan perjanjian dibandingkan dengan bukti kepemilikan sertipikat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2972 K/Pdt/2002 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 191 PK/Pdt/2012. Penelitian ini merupakan yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriftif analitis.
Berdasarkan penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian yang berlaku sah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang kuat, hal ini berkaitan dengan pemenuhan syarat sahnya perjanjian serta dalam bentuk apa perjanjian tersebut dituangkan tertulis ataukah lisan oleh para pihak yang terkait dalam perjanjian itu sendiri yang dapat menyebabkan suatu perjanjian dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang kuat. Sementara penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim, yaitu bahwa perjanjian dalam kasus ini tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang kuat, hal itu tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian juga mengikat bagi para ahli waris dari pihak yang membuat perjanjian yang dimaksud.

The certificate is a powerful evidence, as long as it can not be proved otherwise. But if there is an agreement whereby the certificate becomes its object, which one can serve as a stronger evidence. The issue discussed is how is the power of the agreement compared with the certificate to be used as an evidance of ownership and how the judges apply the law regarding the validity of the agreement compared with the evidence of ownership of the certificate in the Supreme Court Decision Number 2972 K/Pdt/2002 jo. Supreme Court 191 PK/PDT/2012. This research is normative juridical with analytical descriptive research type.
Based on the research it can be concluded that a valid agreement can be used as a strong evidence, it relates to the fulfillment of the validity of the agreement and in what form the agreement is written or oral by the parties involved in the agreement itself which may cause a Agreements can be used as a powerful evidence. While the application of the law by the judge, namely that the treaty in this case can not be said as a strong evidence, it is not in accordance with the provisions of Article 1875 Civil Code which states that an agreement also binds to the heirs of the party making the agreement in question.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grey, Andrew
"Tesis ini membahas pembatalan sertipikat hak milik atas tanah karena akta jual beli yang dijadikan sebagai dasar pendaftaran tanah terdapat cacat hukum. Akta jual beli menjadi penting dalam proses pendaftaran tanah karena keabsahannya mempengaruhi keabsahan sertipikat yang akan diterbitkan, sehingga jika akta jual beli cacat hukum maka sertipikat yang diterbitkan dapat dilakukan pembatalan seperti dalam kasus pada putusan nomor 72/G/2018/PTUN.BDG. Adapun yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah berkaitan dengan akibat hukum pembatalan sertipikat hak milik atas tanah karena akta jual beli yang cacat hukum, tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terhadap akta yang cacat hukum, serta proses pembatalan sertipikat berdasarkan putusan pengadilan pada Badan Pertanahan Nasional Kota Depok. Metode penilitian tesis ini menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif, dan menggunakan data sekunder yang didukung dengan wawancara dengan narasumber yang memiliki kompetensi dan pengetahuan terhadap tesis ini. Hasil penelitian dalam tesis ini yaitu, pertama akibat hukum adanya pembatalan sertipikat, mengakibatkkan pihak yang namanya tertulis di sertipikat kehilangan haknya dan pemilik yang sesungguhnya dapat memperoleh haknya, kedua PPAT dalam putusan nomor 72/G/2018/PTUN.BDG, tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara administratif, perdata maupun pidana karena akta jual beli yang cacat hukum tidak tidak terdaftar di kantor PPAT dan tidak dibuat oleh PPAT yang bersangkutan, ketiga Proses pembatalan sertipikat berdasarkan putusan nomor 72/G/2018/PTUN.BDG belum dapat dilaksanakan karena menurut Badan Pertanahan Nasiolan Kota Depok, belum ada permohonan dari pihak penggugat sebagaimana diamanatkan pada Pasal 50 Ayat (1) PMNA 11/2016. Sehingga Menurut BPN Kota Depok walaupun telah diterima putusan pengadilan, tidak serta merta sertipikat menjadi otomatis batal melainkan harus dilakukan permohonan terlebih dahulu. Agar permasalahan pada tesis ini tidak terulang di masa mendatang sebaiknya Badan Pertanahan Nasional lebih cermat dan teliti lagi dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah.

This thesis discusses the cancellation of a certificate of land ownership due to the deed of sale and purchase which is used as the basis for land registration has legal defects. Deed of sale and purchase becomes important in the process of land registration because its validity affects the validity of the certificate to be issued, so that if the sale deed is legally flawed, the certificate issued can be canceled as in the case in decision number 72/G/2018/PTUN.BDG. The problem in this thesis is related to the legal consequences of the cancellation of certificate of land ownership due to the deed of sale and purchase is legally defected, PPAT's responsibility for the legal defect, and the process of cancellation the certificate based on court decision at BPN Depok City. This thesis research method uses a form of juridical-normative research with descriptive research typology, and uses secondary data which is supported by interviews with resource persons who have the competence and knowledge of this thesis. The results of research in this thesis are, firstly due to the legal existence of certificate cancellation, resulting in the party whose name is written on the certificate losing their rights and the real owner can obtain their rights, secondly PPAT in decision number 72/G/2018/PTUN.BDG, cannot be held liable for administrative, civil or criminal liability because deed of sale and purchase is legally flawed are not registered at the PPAT office and not made by the relevant PPAT, thirdly, the process of certificate cancellation is based on decision number 72/G/2018/PTUN.BDG cannot be implemented because according to the BPN Depok City, there is no application from the plaintiff as mandated in Article 50 Paragraph (1) PMNA 11/2016. So according to the BPN Depok City even though a court decision has been received, it does not necessarily mean that the certificate will automatically be canceled, unless the application must be done in advance. In order for the problem in this thesis are not repeated in the future, the National Land Agency should be more carefully and more thorough in the process of issuing certificates of land rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Permata Sari
"Ketentuan dalam UU Pokok Agraria menyatakan bahwa tanah dengan status hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1208 PK/PDT/2022, Orang Asing ternyata menggunakan konsep pinjam nama (nominee arrangement) untuk dapat memiliki tanah hak milik di Gianyar, Bali. Konsep tersebut dituangkan ke dalam bentuk perjanjian yaitu Surat Pernyataan dan Perikatan yang dibuat di hadapan notaris. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat 2 (dua) rumusan masalah, yaitu kedudukan hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) yang dibuat dalam bentuk perjanjian di hadapan notaris dan kesesuaian pertimbangan majelis hakim dalam menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement). Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode doktrinal dengan
menggunakan data sekunder yang didukung oleh data primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pinjam nama (nominee arrangement) tidak diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, sehingga untuk menentukan kedudukan hukumnya menggunakan aspek perikatan dan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan aspek larangan pengasingan tanah dalam UU Pokok Agraria. Berdasarkan kedua peraturan tersebut konsep penggunaan pinjam nama (nominee arrangment) dianggap melanggar Pasal 1337 KUHPerdata dan Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria. Sedangkan terhadap notaris yang turut serta membuat akta autentik terkait pinjam nama telah tidak memenuhi kewajibannya dalam UU Jabatan Notaris dan Kode Etik Profesi untuk bersikap cermat dan menjaga kepentingan para pihak. Selain itu, penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) oleh majelis hakim sesuai dengan putusan-putusan pengadilan terdahulu yang memutuskan bahwa kepemilikan hak milik atas tanah tetap menjadi milik WNI sebagai pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Namun ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut berbeda dengan akibat hukum yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria.

Agrarian Law (UU Pokok Agraria) stated that land with freehold status can only be owned by Indonesian citizens. However, as happened in Supreme Court Decision No. 1208 PK/PDT/2022, foreigners apparently use the concept of nominee arrangement to be able to own freehold land in Gianyar, Bali. This concept made in the form of a notarial agreement. This research was carried out by raising 2 (two) research questions, namely the legal position of nominee arrangements made in the form of a notarial agreement and the suitability of the panel of judges' considerations in using Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) compared to Agrarian Law (UU Pokok Agraria) as the legal basis for nominee arrangements. This research employs doctrinal legal methods using secondary data and alo supported by primary data. The results of the research shows that the concept of nominee arrangement is not regulated in Indonesian law, so to determine its legal position need to use the agreement aspect in the Civil Code (KUHPerdata) and the prohibition aspect of land alienation in the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Based on these two regulations, the concept of using nominee arrangements is considered to violate Article 1337 of the Civil Code (KUHPerdata) and Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Meanwhile, notaries who participate in making authentic deeds related to nominee arrangements have not fulfilled their obligations in the Notary Law and the Professional Code of Ethics to be careful and safeguard the interests of the parties. Apart from that, the use of Surat Edaran Mahkamah Agung as a legal basis for determining the subject who has the right to own land in a nominee arrangement case by a panel of judges is correct. However, the provisions in the Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) are different from the legal consequences regulated in Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Victoria Natalie
"Pemerintah menerapkan pembatasan terhadap kepemilikan tanah di Indonesia. Pemerintah melarang badan hukum memiliki hak milik atas tanah, kecuali badan hukum yang dinyatakan oleh peraturan pemerintah. Dalam transaksi yang berkaitan dengan pertanahan, seringkali dijumpai badan hukum (yang tidak ditunjuk pemerintah) yang mengupayakan untuk dapat memperoleh tanah dengan status hak milik dengan mekanisme perjanjian pinjam nama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan data primer. Kasus pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2305 K/Pdt/2020 menyatakan bahwa pemilik sebenarnya dari tanah dan bangunan objek sengketa adalah pihak Gapensi yang merupakan badan hukum berbentuk Perkumpulan. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan perjanjian nominee yang dibuat dengan Akta Notaris No 7 antara Gapensi dengan Gito Suwiryo sebagai upaya penyelundupan hukum tetapi menjadikannya dasar bahwa tanah dan bangunan objek sengketa tersebut sebenarnya adalah milik Gapensi. Disisi lain perjanjian nominee tersebut apabila diuraikan berdasarkan syarat-syarat sah suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat “suatu sebab yang halal”. Hal ini karena perjanjian nominee tersebut melanggar Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 1 ayat (1) PP No 38 Tahun 1963 dan Pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga seharusnya perjanjian nominee tersebut menjadi batal demi hukum karena melanggar hukum. Akan tetapi dalam putusan, Majelis Hakim mengakui keabsahan perjanjian nominee yang dibuat dihadapan notaris.

The government imposes restrictions on land ownership in Indonesia. The government prohibits legal entities from having ownership rights to land, except for legal entities declared by government regulations. In land-related transactions, legal entities (which are not appointed by the government) are often found who try to obtain land with ownership status using a nominee agreement mechanism. This research uses a doctrinal legal research method based on secondary data obtained from the results of library research and primary data. The case in the Supreme Court decision Number 2305 K/Pdt/2020 states that the actual owner of the land and buildings subject to dispute is Gapensi which is a legal entity in the form of an association. The Panel of Judges did not consider the nominee agreement made with Notarial Deed Number 7 between Gapensi and Gito Suwiryo as an attempt to smuggle the law but used it as the basis that the land and building objects in dispute actually belonged to Gapensi. On the other hand, if the nominee agreement is described based on the legal terms of an agreement, then the agreement does not fulfill the requirement of "a lawful cause". This is because the nominee agreement violates Article 21 paragraph (2) in conjunction with Article 1 (1) PP No. 38 of 1963 and Article 26 (2) UUPA, so the nominee agreement should be null and void because it violates the law. However, in the decision, the Panel of Judges acknowledged the validity of the nominee agreement made before a notary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kory Ulama Sari Budiarti
"Tesis ini membahas tumpang tindih kepemilikan atas satu bidang tanah dan pembatalan
salah satu sertipikat yang berdasarkan kepemilikan yang tidak sah yang terjadi pada
Putusan No. 9/Pdt.G/PN.Mrs. Penelitian ini dilatarbelakangi atas keingintahuan
mengenai perlindungan hukum bagi pihak pembeli yang menderita kerugian atas
pembelian tanah yang berdasar pada kepemilikan yang tidak sah. Dari latar belakang
tersebut muncul permasalahan penelitian untuk mengidentifikasi pertimbangan hakim
dalam pembatalan Akta Jual Beli, menganalisis upaya hukum pihak pembeli yang
mengalami kerugian atas pembatalan Akta Jual Beli, serta menganalisis tanggung jawab
PPAT terhadap batalnya Akta Jual Beli. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Adapun analisis menggunakan
pendekatan kualitatif. Tipologi penelitian adalah diagnostic-deskriptif analitis. Hasil
penelitian bahwa berdasarkan pertimbangan hakim Sertipikat yang dinyatakan batal
adalah Sertipikat Hak Milik No. 01/Desa Sudirman dikarenakan terdapat cacat hukum
dalam proses penerbitan sertipikat tersebut yaitu dalam proses pengukuran tidak diketahui
oleh pemerintah Desa dan tidak terdapat pengumuman. Dapat dimungkinkan terbitnya
sertipikat ganda oleh Kantor Pertanahan dikarenakan salah penetapan batas, yang mana
Kantor Pertanahan pada saat melakukan pengukuran tanah tidak mengonfirmasi batasbatas
desa dari Pemerintah Desa setempat. Hal demikian terjadi karena tidak adanya
koordinasi antara instansi Kantor Pertanahan dengan instansi Pemerintah Desa.
Selanjutnya pembeli yang mengalami kerugian dapat meminta ganti rugi secara hukum
melalui litigasi maupun non litigasi. Kemudian PPAT wajib memikul tanggung jawab
administratif dan perdata atas ketidakabsahan akta jual beli yang ditandatangani olehnya,
yang mana sanksi yang diterima PPAT yaitu pengembalian biaya pembuatan akta kepada
pihak yang mengalami kerugian.

This thesis discusses about overlapping ownership of one plot and the cancellation of a
certificate based on unauthorized ownership that occurred in court decision Number
9/Pdt.G/PN.Mrs. This research is based on curiosity about legal protection for the buyer
who suffers losses on the purchase of land based on unauthorized ownership. From this
background, research problems emerge to identify judges’ considerations in canceling
sale and purchase deed, analyze the legal efforts of the buyer who suffered a loss on the
cancellation of the sale and purchase deed, and analyze PPAT’s responsibility for the
cancellation of the sale and purchase certificate. The research method used in this
research is normative legal research. The analysis uses a qualitative approach. The
typology of the study is analytical-descriptive diagnostic. The result of the research shows
that based on the consideration of the judge, the certificate which was declared canceled
was the certificate of ownership right Number 01 /Sudirman Village, because there is a
legal flaw in the process of issuing the certificate, namely the measurement process is not
known by the Village government and there is no announcement. It may be possible to
issue a double certificate by the Land Office due to the incorrect boundary determination,
in which the Land Office when conducting land measurements did not confirm village
boundaries from the local Village Government. This happens because there is no
coordination between the Land Office and Village Government agencies. Furthermore,
buyers who experience losses can seek legal damages through litigation or non-litigation.
Then PPAT is obliged to assume administrative and civil responsibility for the invalidity
of the sale and purchase deed signed by it, which is the sanction that PPAT receives,
namely the refund of the deed making fee to the party who suffered the loss.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chentini Prameswari
"Jual beli secara lisan yang menjadi dasar penguasaan sertipikat objek jual beli oleh Pembeli dan dititipkan oleh Pembeli kepada Notaris/PPAT, seharusnya disimpan dan dikembalikan oleh Notaris/PPAT kepada Pembeli. Hal ini disebabkan walaupun sertipikat objek jual beli masih terdaftar atas nama Penjual, Notaris/PPAT harus menjaga sertipikat objek jual beli yang dititipkan kepadanya sebagai kewajiban menjaga amanah yang diberikan oleh Pembeli yang melakukan penitipan sertipikat. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai status kepemilikan tanah dalam jual beli tanah yang dilakukan secara lisan, serta tanggung jawab Notaris/PPAT yang menerima penitipan sertipikat dari Pembeli namun menyerahkan sertipikat tersebut kepada Penjual berdasarkan kasus yang diangkat dari Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 2548 K/PDT/2022. Pembahasan penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan analisis putusan dengan wawancara sebagai pendukung. Untuk menjawab permasalah dalam penelitian ini digunakan metode penelitian doktrinal, dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa status kepemilikan tanah dalam jual beli tanah yang dilakukan secara lisan harus memenuhi asas terang dan tunai pada saat yang bersamaan untuk beralihnya kepemilikan dari penjual kepada pembeli. Tindakan Notaris/PPAT yang menerima penitipan sertipikat dari Pembeli namun menyerahkan sertipikat tersebut kepada Penjual telah melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris untuk senantiasa bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak. Serta melanggar Pasal 3 Kode Etik PPAT mengenai kewajiban untuk bekerja penuh tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak serta memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada pengguna jasanya. serta telah melanggar Pasal 1719 KUHPerdata mengenai larangan penerima titipan mengembalikan barang titipan kepada pihak yang tidak menyerahkan barang titipan kepadanya. Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut maka Notaris/PPAT bertanggung jawab secara perdata dan berisiko untuk menerima sanksi baik dalam jabatannya selaku Notaris maupun PPAT berupa peringatan tertulis hingga pemberhentian sementara.

The verbal sale and purchase binding agreement which forms as the basis for the possession of the land certificate of the object of sale and purchase by the Buyer and is handed over by the buyer to the Notary/PPAT, should be kept and returned by the Notary/PPAT to the Buyer. This is because even though the land certificate of the object of sale and purchase is still registered in the name of the Seller, the Notary/PPAT must keep the land certificate of the object of sale and purchase handed over to him as an obligation to maintain the trust given by the Buyer who carried out the safekeeping of the land certificate. The issues discussed in this study are regarding the status of land ownership in the sale and purchase of land that is conducted verbally, as well as the responsibility of the Notary/PPAT who received the land certificate for safekeeping from the Buyer but handed over the land certificate to the Seller based on the case raised from the Supreme Court Cassation Decision Number 2548 K/PDT/2022. The discussion of this research was conducted through a literature study and analysis of the Supreme Court's Cassation Decision Number 2548 K/PDT/2022 supported by interviews. To answer the problems in this study, the doctrinal research method was used, with an explanatory research typology. Based on the results of the analysis it is known that the status of land ownership in the sale and purchase of land that is conducted verbally must fulfill the principle of terang and tunai simultaneously for the transfer of land ownership from the Seller to the Buyer. The action of a Notary/PPAT who received the land certificate from the Buyer but handed over the land certificate to the Seller has violated Article 16 paragraph (1) letter a of Law Number 2 of 2014 regarding Amendments to Law Number 30 of 2004 regarding the Notary Profession to always act in a trustworthy manner, honest, thorough, independent, impartial. As well as violating Article 3 of the PPAT Code of Conducts regarding the obligation to work responsibly, independently, honesty and impartially and provide the best possible service to service users. Also, having violated Article 1719 of the Indonesian Civil Code regarding the prohibition of the recipient of the deposit from returning the item entrusted to a party who does not hand over the item entrusted to him. For violations of these articles, the Notary/PPAT has civil liability and is at risk of receiving sanctions both in his position as a Notary and PPAT in the form of a written warning to temporary dismissal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Lenggo Geni
"Fokus pada penelitian ini mengenai kekuatan bukti kepemilikan Akta Pernyataan dan Akta Kuasa kepemilikan tanah dibandingkan dengan Sertipikat Hak Milik berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 691/PK/Pdt/2022. Metode penelitian dalam tesis ini yakni menggunakan bentuk penelitian hukum doktrinal. Tipologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari penelusuran data kepustakaan (library research). Sumber bahan hukum pada penelitian hukum doktrinal terdiri atas bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan terkait, sekunder berupa artikel dan jurnal. Penelitian ini menemukan bahwa Sertipikat Hak Milik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya. Sedangkan terhadap Akta Pernyataan dan Akta Kuasa ini dibuat dengan memenuhi prosedur pembuatan akta Autentik sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Jabatan Notaris, sehingga ia memiliki mempunyai kekuatan seperti undang-undang bagi pihak yang menandatanginya. Sehingga sepanjang Akta-Akta ini sudah memenuhi syarat-syarat prosedur pembuatannya sebagai Akta Autentik, maka akta-akta ini patut dihormati juga oleh pihak ketiga, sedangkan terhadap para pihak mengikat layaknya undang-undang yang mesti ditaati. Pertimbangan Hakim dalam menilai kekuatan kepemilikan akta pernyataan dan akta kuasa kepemilikan tanah dikaitkan dengan hukum daerah setempat pada penelitian ini dirasakan sudah tepat bahwa Hakim memandang bahwa akta pernyataan dan akta kuasa kepemilikan tanah atau yang dalam penelitian ini lebih tepat disebut sebagai akta pernyataan yang disepakati kedua belah pihak merupakan dasar dari pada Tuan KAJ dalam menerbitkan Sertipikat Hak Milik atas nama Tuan S, namun dalam pertimbangannya kurang kuat/kurang dasar. Patut ditambahkan, seperti ketentuan konstitusi UUD 1945, mengenai kesamaan hak bagi setiap warga negara Indonesia patut dipertahankan dan tidak terdapat perbedaan yang dalam putusan ini belum menjadi bahan pertimbangan Hakim.

The focus of this research is on the strength of the proof of ownership of the Deed of Declaration and Deed of Power of Attorney for land ownership compared to the Certificate of Ownership Based on the Supreme Court Decision Number 691/PK/Pdt/2022. The research method in this thesis uses a form of doctrinal legal research. The typology used in this research is descriptive research. The type of data used in this research is secondary data obtained from library research. Sources of legal materials in doctrinal legal research consist of primary legal materials consisting of related laws and regulations, secondary in the form of articles and journals. This research found that the Certificate of Ownership has perfect evidentiary power, as long as it is not proven otherwise. Meanwhile, the Deed of Declaration and Deed of Power of Attorney are made by complying with the procedure for making an Authentic Deed as stipulated in the Notary's Position Regulations, so that it has the force of law for the party who signs it. So as long as these Deeds fulfill the procedural requirements for making them as Authentic Deeds, then these Deeds should also be respected by third parties, while the parties are binding like laws that must be obeyed.. The Judge's consideration in assessing the strength of ownership of the statement deed and land ownership power of attorney deed is linked to local regional law in this research. In this research, it is felt that it is correct that the Judge considers that the statement deed and land ownership power of attorney deed or what in this research is more accurately referred to as the statement deed are secondly approved. Both parties are the basis for Mr. KAJ in issuing the Certificate of Ownership in the name of Mr. S, but in his consideration it is less strong/less than basic. It should be added, as is the constitutional provision of the 1945 Constitution, regarding equal rights for every Indonesian citizen which should be maintained and there are no differences which in this decision have not been taken into consideration by the Judge."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Richardo
"Kasus sengketa tanah merupakan salah satu permasalahan yang terjadi pada hukum terkait pertanahan di Indonesia, permasalahan tersebut timbul akibat perselisihan antar individu, individu berhadapan dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Permasalahan sengketa tentu membutuhkan penyelesaian melalui jalur mediasi atau gugatan yang dikenal melalui lembaga pengadilan negeri yang berkaitan dengan perdata atau pidana dan pengadilan tata usaha negara yang berkaitan dengan penerbitan sertipikat hak milik oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional. Salah satu contoh kasus yang terjadi terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 158/K/TUN/2022 yang terjadi di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Pada kasus ini menganalisis bagaimana hubungan hukum sertipikat hak milik penggugat & milik tergugat dan riwayat penerbitan sertipikat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal dengan tipologi eksplanatoris dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Dari analisis putusan tersebut dapat diketahui bahwa penggugat merupakan pemegang sertipikat tanah terbit lebih dahulu pada tahun 1982 yang dibeli dari Setia Arhiap seluas 48.330 m2 pada tahun 2006 nomor sertipikat 28243/Desa Limbung dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Kabupaten Pontianak, dan atas dasar Akta Jual Beli dilakukan pemindahan nama kepada WP (Penggugat) di Kantor Pertanahan Nasional namun pada tahun 2017 telah diterbitkan sertipikat oleh Pejabat Kantor Pertanahan Kubu Raya atas nama NV seluas 7.500 m2 pada tahun 2017 dengan nomor 10112/Desa Limbung. Penggugat mengajukan gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak hingga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta namun gugatan pada tingkat pertama dan tingkat banding tersebut ditolak sehingga penggugat mengajukan kasasi di Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung berpendapat putusan di tingkat pertama dan banding adalah keliru dan membatalkan sertipikat milik tergugat serta mencoret dari daftar buku tanah.

Land disputes frequently occur in Indonesia, arising from conflicts between individuals, individuals versus groups, and groups versus groups. These disputes often require resolution through civil court involving civil or criminal case and administrative courts related to the issuance of land ownership certificates by officials of the National Land Agency. One notable case is found in the Supreme Court Decision Number: 158/K/TUN/2022, which took place in Sungai Raya District, Kubu Raya Regency. In this case, the author analyses correlation between the land ownership certificates of the plantiff and defendant, and whether the issuance history of the certificates complies with Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration. This study employs a doctrinal research method with a explanatory typology, utilizing secondary data. From the analysis of decision, it is revealed the plaintiff holds and earlier land certificate issued in 1982, Purchased from Setia Arhiap, covering and area of 48,330 m2 in 2006 with certificate number 28243/Village of Limbung, in the presence of Land Deed Official Pontianak Regency. Based on the Sale and Purchased deed, the name was transferred to WP (the plaintiff) at the National Land Agency. However, in 2017, certificate was issued by the Kubu Raya Land Office in the Name of NV for an area 7,500 m2 with certificated number 10112/Village of Limbung. The Plaintiff filed a lawsuit at the Administrative Court of Pontianak, which was subsequently rejected by the High Administrative Court of Jakarta at both the first instance and appellate levels. The plaintiff then filed for cassation at the Supreme Court, which opined that the decisions at the both the first instance and appellate levels were erroneous, thus annulling the defendant certificate and striking it from the land book."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikari Kepartono
"Penelitian ini membahas mengenai kedudukan pemilik tanah yang tidak lagi menguasai tanahnya secara fisik dan juga terkait perlindungan hukum bagi pembeli yang tidak melakukan pengecekan secara fisik atas objek yang dibelinya dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020. Adapun penelitian ini menggunakan bentuk penelitian dengan pendekatan doktinal terhadap hukum. Dalam hal ini, pemegang hak milik atas tanah yang secara sengaja tidak menguasai secara fisik, tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanah yang ia miliki dapat menyebabkan tanah miliknya tersebut dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar dan mengakibatkan pemutusan hubungan hukum antara subjek pemilik hak atas tanah dengan objek tanah sehingga pihak pemilik di sini tidak lagi memiliki hak milik atas tanah yang berkaitan. Dengan demikian, maka pihak pemilik di dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020 tidaklah berhak untuk melakukan jual beli atas tanah tersebut karena ia bukanlah pemilik yang sah atas tanah tersebut dan mengakibatkan jual beli tersebut menjadi batal demi hukum. Berkaitan dengan batal demi hukumnya jual beli tersebut, pihak pembeli yang berhak mendapatkan perlindungan hukum atas kerugian yang diderita akibat batalnya jual beli tersebut pembeli yang beritikad baik. Adapun pihak JJ selaku pembeli dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020 tidak melakukan pengecekan fisik secara aktif dan cermat mengenai ada atau tidaknya pihak yang menguasai secara fisik obyek tanah yang akan dibelinya dan juga tidak menguasai objek tanah tersebut secara fisik. Dengan demikian, maka pihak JJ di sini tidak dapat dikategorikan sebagai Pembeli Beritikad Baik dan tidaklah berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas batal demi hukumnya perjanjian jual beli.

This research discuss the position of land owners who no longer physically control their land and also regarding legal protection for buyers who do not physically inspect the objects they buy in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020. This research uses a form of research with a doctinal approach to law. In this case, the holder of property rights to land who deliberately does not physically control, does not cultivate, does not use, does not exploit, and/or does not maintain the land he owns can cause his land to be categorized as abandoned land and result in the termination of the legal relationship between the subject who owns the land rights and the land object so that the owner here no longer has ownership rights to the land in question. Thus, the owner in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020 does not have the right to sell the land because she is not the legal owner of the land and this results in the sale and purchase being null and void. In connection with the nullity of the sale and purchase, the buyer is entitled to legal protection for losses suffered as a result of the cancellation of the sale and purchase, is the buyer who acted with good faith. Meanwhile, JJ as the buyer in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020 did not carry out an active and careful physical check regarding whether or not there was a party who physically controlled the land object he was going to buy and also did not physically control the land object. Thus, JJ here cannot be categorized as a Buyer in Good Faith and is not entitled to legal protection against the nullity of the sale and purchase agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>