Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 223442 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khin Mittar Moe San
"[ABSTRAK
Studi komparasi potong lintang untuk menginvestigasi hubungan antara kegemukan dan inflamasi kronis derajat rendah, yang diukur melalui indeks diet inflamasi (DII), telah dilakukan pada guru wanita di Yangon, Myanmar (128 guru normal, 116 guru obese) Nilai rerata DII adalah 0.9 ±1.9 (0.91±1.92 dan 0.81±1.88 pada subyek obese dan non-obese, p=0.29). Guru dengan kegemukan beresiko 5.5 kali lebih besar untuk memiliki CRP >3mg/dl (p-value 0.02; 95%CI 1.24 - 24.07). Studi ini menemukan bahwa subyek obese mengkonsumsi lebih sedikit makanan yang bersifat anti-inflammasi seperti bawang dan antioksidan yang berimplikasi pada pencegahan dan pengendalian kegemukan dan penyakit tidak menular di Myanmar.

ABSTRACT
A comparative cross-sectional study was conducted to investigate the association between obesity and chronic low-grade inflammation measured by dietary inflammatory index (DII) among school teachers in Yangon, Myanmar. The mean ± SD of DII was 0.9±1.9 (obese 1.07 ± 1.92, non-obese 0.81± 1.88, p=0.29). Obesity was significantly associated with increased risk of having high CRP (OR= 5.5, 95% CI 1.24-24.07, p=0.02). This study found lower intakes of anti-inflammatory food parameters like onion and some antioxidants in obese (n=116) than non-obese (n=128), which have implication for prevention and control of obesity and non- communicable diseases in Myanmar population., A comparative cross-sectional study was conducted to investigate the association between obesity and chronic low-grade inflammation measured by dietary inflammatory index (DII) among school teachers in Yangon, Myanmar. The mean ± SD of DII was 0.9±1.9 (obese 1.07 ± 1.92, non-obese 0.81± 1.88, p=0.29). Obesity was significantly associated with increased risk of having high CRP (OR= 5.5, 95% CI 1.24-24.07, p=0.02). This study found lower intakes of anti-inflammatory food parameters like onion and some antioxidants in obese (n=116) than non-obese (n=128), which have implication for prevention and control of obesity and non- communicable diseases in Myanmar population.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Dediat Kapnosa Hasani
"Latar Belakang: Sindrom ovarium polikistik merupakan kelainan endokrin dan metabolik terbanyak yang dialami oleh wanita usia reproduksi. Penyebab dari SOPK diketahui multifaktorial, namun faktor lemak memiliki peranan penting dalam perjalanan penyakit. Pada pasien SOPK ditemukan akumulasi lemak dilokasi tertentu. Komposisi lemak tubuh dapat menyebabkan proses inflamasi klinis derajat rendah yang berperan dalam terjadinya resistensi insulin pada pasien SOPK. Pengukuran komposisi lemak tubuh berdasarkan indeks massa tubuh kurang spesifik. Persentase lemak tubuh diperkirakan lebih spesifik dalam menggambarkan komposisi lemak tubuh dan memiliki korelasi dengan proses inflamasi kronis derajat rendah yang gambarkan oleh peningkatan prokalsitonin darah pasien dengan SOPK.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi komposisi lemak tubuh terhadap kadar prokalsitonin sebagai penanda biokimiawi inflamasi kronis derajat rendah.
Metode: Penelitian dilakukan dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional), di klinik Yasmin RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo dan Laboratorium Terpadu FKUI selama tahun 2014-2015. Pasien yang sudah terdiagnosis SOPK berdasarkan kriteria Rotterdam 2003, dilakukan pemeriksaan indeks massa tubuh, persentase lemak tubuh dengan menggunakan metode bioelectrical impedance analysis dan pemeriksaan prokalsitonin darah. Dilakukan uji korelasi antara indeks massa tubuh dan persentase lemak tubuh terhadap kadar prokalsitonin darah pasien.
Hasil: Dari total 32 subyek penelitian, didapatkan peningkatan komposisi lemak tubuh dengan rerata indeks massa tubuh 29,09±5,11 kg/m2 dan komposisi lemak tubuh 39,38±9,04 %. Pada uji korelasi didapatkan peningkatan indeks massa berkorelasi positif terhadap kadar prokalsitonin namun tidak bermakna secara statistik (r =0,27; p =0,131). Persentase lemak tubuh didapatkan berkorelasi positif bermakna secara statistik dengan kadar prokalsitonin (r=0,35; p=0,048).
Kesimpulan: Terdapat peningkatan rerata komposisi lemak tubuh pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik. Persentase lemak tubuh memiliki korelasi yang lebih baik dibandingkan dengan indeks massa tubuh terhadap kadar prokalsitonin darah sebagai penanda biokimia inflamasi kronis derajat rendah pada pasien.

Background: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is the most common metabolic and endocrine problems in reproductive ages women. PCOS has multifactorial cause, but body fat was known to has significant role in disease course. Patient with PCOS known to have body fat accumulation in some body location. Body fat composition can cause low grade chronic inflamation which can cause insulin resistence. Measuring body fat composition with body mass index is not an ideal method. Body fat percentage should be more specific in measuring body fat composition and should have better corelation than body mass index to procalcitonin as low grade chronic inflamation marker.
Purpose: The purpose of this research is to identify corelation between body fat composition and procalcitonin as low grade chronic inflamation in PCOS.
Method: The study was conducted with a cross sectional study design, in Yasmin Clinic, RSUPN Dr.Cipto Mangunkusomo and Integrated Laboratory of Medical Faculty University of Indonesia during 2014-2015. Patients who have been diagnosed with PCOS based on the criteria of Rotterdam, 2003, was examined the body mass index, body fat percentage using bioelectrical impedance analysis and blood procalcitonin level. We measure the correlation between body mass index and body fat percentage to procalcitonin levels of the patient's blood.
Result: From a total of 32 subjects of the study, we found an increase in body fat composition with a mean body mass index 29.09 ± 5.11 kg/m2 and body fat composition 39.38 ± 9.04%. From correlation test, we found that body mass index was positively correlated to the levels of procalcitonin but not statistically significant (r = 0.27; p = 0.131). Body fat percentage has significant positive corellation to procalcitonin levels (r = 0.35; p = 0.048).
Conclutions: There is an increase in the average composition of body fat in patients with polycystic ovary syndrome. Body fat percentage has a better correlation than the body mass index on blood levels of procalcitonin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermita Bus Umar
"Pola makan yang tidak sehat berhubungan dengan tingginya Dietary Inflammatory Index (DII) yang pada akhirnya memiliki hubungan timbal balik dengan profil lipid yang tidak normal seperti peningkatan LDL. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis DII pada diet Wanita Usia Subur (WUS) etnik Minangkabau dan hubungannya dengan kadar kolesterol LDL. Penelitian ini menggunakan disain potong lintang pada 143 orang WUS etnik Minagkabau, yang terbagi ke dalam dua kelompok berdasarkan kadar LDL, yaitu LDL tinggi (n=71) dan kadar kolesterol LDL normal (n=72). Pengumpulan data meliputi wawancara, pengukuran antropometri dan pemeriksaan kolesterol LDL. Penilaian konsumsi makanan untuk menghitung DII menggunakan metode Semi Quatitative Food Frequency Questionaire (SQ-FFQ) dan Food Recall. Analisis menggunakan uji t idependen, uj Chi square, Uji Anova dan Uji Regresi logistik ganda untuk melihat hubungan DII dengan kolesterol LDL dengan memperhatikan variabel kovariat. Hasil penelitian mendapatkan Skor DII secara keseluruhan sebesar 2,44±1,03, dengan nilai DII pada kelompok LDL tinggi sebesar 2,62±1,15 lebih tinggi dibanding kelompok LDL normal yaitu sebesar 2,27±0,86 (p<0,05). Subjek yang mempunyai DII tinggi (tertil 3) berisiko 2,69 kali mengalami kolesterol LDL tinggi dibanding subjek dengan DII rendah (tertil 1) setelah dikontrol dengan aktifitas fisik. Daging, ayam dan minyak mempunyai kontribusi yang lebih dominan terhadap kadar kolesterol LDL tinggi, sumber protein nabati (tahu dan tempe), sayuran dan bumbu mempunyai kontribusi yang lebih dominan terhadap kolesterol LDL normal. Ikan dan santan memberikan kontribusi pada kedua kelompok tergantung teknik pengolahan. Perlu adanya perubahan pola konsumsi dari jenis dan bahan makanan yang bersifat proinflamasi menjadi antiinflamasi, serta membatasi cara pengolahan makanan dengan cara digoreng dan mempertahankan tradisi penggunaan bumbu seperti bawang merah, bawang putih dan kunyit di dalam pengolahan makanan terutama yang menggunakan santanPola makan yang tidak sehat berhubungan dengan tingginya Dietary Inflammatory Index (DII) yang pada akhirnya memiliki hubungan timbal balik dengan profil lipid yang tidak normal seperti peningkatan LDL. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis DII pada diet Wanita Usia Subur (WUS) etnik Minangkabau dan hubungannya dengan kadar kolesterol LDL. Penelitian ini menggunakan disain potong lintang pada 143 orang WUS etnik Minagkabau, yang terbagi ke dalam dua kelompok berdasarkan kadar LDL, yaitu LDL tinggi (n=71) dan kadar kolesterol LDL normal (n=72). Pengumpulan data meliputi wawancara, pengukuran antropometri dan pemeriksaan kolesterol LDL. Penilaian konsumsi makanan untuk menghitung DII menggunakan metode Semi Quatitative Food Frequency Questionaire (SQ-FFQ) dan Food Recall. Analisis menggunakan uji t idependen, uj Chi square, Uji Anova dan Uji Regresi logistik ganda untuk melihat hubungan DII dengan kolesterol LDL dengan memperhatikan variabel kovariat. Hasil penelitian mendapatkan Skor DII secara keseluruhan sebesar 2,44±1,03, dengan nilai DII pada kelompok LDL tinggi sebesar 2,62±1,15 lebih tinggi dibanding kelompok LDL normal yaitu sebesar 2,27±0,86 (p<0,05). Subjek yang mempunyai DII tinggi (tertil 3) berisiko 2,69 kali mengalami kolesterol LDL tinggi dibanding subjek dengan DII rendah (tertil 1) setelah dikontrol dengan aktifitas fisik. Daging, ayam dan minyak mempunyai kontribusi yang lebih dominan terhadap kadar kolesterol LDL tinggi, sumber protein nabati (tahu dan tempe), sayuran dan bumbu mempunyai kontribusi yang lebih dominan terhadap kolesterol LDL normal. Ikan dan santan memberikan kontribusi pada kedua kelompok tergantung teknik pengolahan. Perlu adanya perubahan pola konsumsi dari jenis dan bahan makanan yang bersifat proinflamasi menjadi antiinflamasi, serta membatasi cara pengolahan makanan dengan cara digoreng dan mempertahankan tradisi penggunaan bumbu seperti bawang merah, bawang putih dan kunyit di dalam pengolahan makanan terutama yang menggunakan santan.

Poor dietary patterns correlate with high Dietary Inflammatory Index (DII) which ultimately has a reciprocal relationship with abnormal lipid profiles such as elevated Low-Density Lipoprotein (LDL). The purpose of this study was to analyze DII in the diet of Minangkabau ethnic women and their relationship with LDL cholesterol levels. This study uses a cross-sectional design, recruited 143 Minangkabau women of reproductive age, divided into two groups based on LDL levels, namely high LDL (n = 71) and normal LDL cholesterol levels (n = 72). Data collection includes interviews, anthropometric measurements, and examination of LDL cholesterol. Assessment of food consumption to calculate DII using the Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and Food Recall methods. The analysis used independent t-test, Chi-square, ANOVA, and multiple logistic regression tests to see the relationship of DII with LDL cholesterol by observing covariate variables. The results obtained an overall DII score of 2.44 ± 1.03, with a DII score in the high LDL group of 2.63± 1.15, higher than the normal LDL group of 2.27±0.86 (p <0.05). Subjects who have high DII ( 3rd tertile) have a 2.69 times risk of experiencing high LDL cholesterol compared to those with low DII (1st tertile) after being controlled with physical activity. Meat, chicken, and oil have a more dominant contribution to high LDL cholesterol levels, sources of vegetable protein (tofu and tempeh), vegetables, and seasonings have a more dominant contribution to normal LDL cholesterol. Fish and coconut milk contribute to both groups depending on processing techniques. There needs to be a change in consumption patterns from types and foods that are pro-inflammatory to anti-inflammatory, as well as limiting the way food is processed by frying and maintaining the tradition of using herbs such as onions, garlic, and turmeric in food processing, especially those using coconut milk."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhardjono, supervisor
"ABSTRAK
Pada pasien hemodialisis (HD), banyak penelitian di negara maju membuktikan hubungan yang erat antara inflamasi, komplikasi kardiovaskular, malnutrisi, dan mortalitas yang tinggi. Inflamasi yang ditandai dengan meningkatnya IL-6 dan CRP, serta berkurangnya sitokin anti-inflamasi IL-10, mempunyai peran utama dalam terjadinya berbagai komplikasi pada pasien HD di Indonesia, terdapat perbedaan pelaksanaan HD, yaitu HD yang lebih jarang (2 kali seminggu), banyak menggunakan dialiser selulosal diasetat, proses ulang, low flux, dan tanpa air yang sangat murni, yang kesemuanya menyebabkan risiko respons inflamasi yang tinggi. Pada kenyataannya, prevalensi inflamasi dan nilai rata-rata CRP di Indonesia lebih rendah. Polimorfisme gen IL-6-174G>C dan gen IL-10-1082G>A telah dibuktikan mempengaruhi tingkat produksi IL-6 dan CRP. Perbedaan proporsi alel G, C pada IL-6-174, dan alel G, A pada IL-1082, berbagai bangsa dan ras, mungkin menjadi penyebab perbedaan di atas. Sindrom inflamasi malnutrisi (SIM) pada pasien HD berbeda dengan malnutrisi pada populasi. Pada SIM, faktor inflamasi, uremia dan katabolisme protein lebih berperan. Hal ini memerlukan cara penilaian status malnutrisi yang berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan frekuensi polimorfisme gen IL-6-174 dan IL-10-1082, mengetahui faktor yang berperan dalam SIM, mengetahui perbedaan prevalensi inflamasi pada pasien dengan malnutrisi dan sebagai validitas penilaian SGA.
Telah dilakukan penelitian pada pasien yang menjalani HD 2 kali seminggu, 5 jam per kali HD, tanpa komplikasi penyakit lainnya, dan semua memakai dialiser selulosa diasetat yang diproses ulang. Dari 64 pasien yang diperiksa, didapatkan gen IL-6-74GG 95,31%, CC 3,13% dan GC 1,56%. Gen IL-1082AA 89,06%, GA 10,94%, dan GG tidak didapatkan. Proporsi alel ini hampir sama seperti yang didapatkan di Korea, Jepang dan Cina, berbeda dengan yang didapat di AS, ras Kaukasia, Amerika-Afrika, Hispanik dan Eropa (Kaukasia). Selain perbedaan pada proporsi gen, kami mendapatkan konsenlrasi CRP (6,23±5,57 mg/L), frekuensi malnutrisi (24,7%), dan skor MIS (6,7) yang lebih rendah dibanding dengan data dari AS dan Eropa. Mengingat sedikitnya alel C pada gen IL-6-174 dan alel G pada gen IL-10-1082, analisis statistik yang dilakukan tidak dapat memperlihatkan pengaruh perbedaan alel terhadap manifestasi klinik. Inflarnasi kronik mempengaruhi terjadinya malnutrisi (PR 3,03; 1K 95% 1,53-6,06; P = 0,012). Penilaian dengan skala SGA berkorelasi balk dengan parameter antropometri (IMT, LLA, LOLA, HGS), dan albumin serum. Albumin serum sebagai parameter inflamasi kronik berkorelasi balk dengan parameter nutrisi yang lain, sedangkan CRP tidak. Didapatkan kesan yang kuat bahwa pada pasien HD, gen IL-174GG bersifat protektif, sedangkan gen IL-1082AA tidak begitu berperan. Selain itu dibuktikan adanya pengaruh inflamasi terhadap malnutrisi dan SGA terbukti merupakan penilaian sindrom malnutrisi inflamasi yang cukup baik.

ABSTRACT
Many studies on HD patients in developed countries have conferred strong evidence of closed correlation between inflammation, cardiovascular complication and high mortality rates. Inflammation, indicated by high levels of CRP and IL-6, has a major role in initiating and sustaining complications. Adapting to high cost, HD in Indonesia is conducted in a little different ways. Patients are dialyzed twice a week, 5 hours each, using reprocessed cellulose/diacetate membrane dialyzer, and without ultrapure water. All of these contribute to a high risk of inflammation, but in fact the prevalence of inflammation in Indonesia is relatively low. IL-6-174G>C and IL-10-1082G>A polymorphic gene have been proven to influence the production of IL-6 and CRP. The difference in the proportion of allele G, C in IL-6-174, allele G, A in IL-1082 in a variety of people's races might cause the difference in the prevalence and the level of inflammation. Malnutrition inflammation syndrome (MIS) on HD patients is different from malnutrition in general population. In MIS, the inflammatory factors, uremia, and protein catabolism of protein are more dominant. These matters probably require a different assessment method of malnutrition status. The purpose of this study was to obtain the frequency of polymorphic gene IL-6-174 and IL-10-1082 to find out the prominent factors in MIS, and to find out the difference in the inflammation prevalence in patients with malnutrition and to serve as validity of SGA assessment.
A study on patients who were on hemodialysis twice a week, 5 hours each session has been conducted. The subjects had no other co-morbidities and all of them used reprocessed diasetat cellulose dialyzers. Out of 64 patients examined, IL-6-174GG was obtained 95.31%, CC 3.13% and GC 1.56%, IL-1082AA 89.06%, GA 10.94%, but absence of GG genotype. The proportion of these alleles was almost similar to that obtained in Korea, Japan and China, but it was different from that obtained in the US for the Caucasian race, African Americans, Hispanic people, and the Caucasian people in Europe_ Besides the difference in gene proportion, it was obtained that CRP (6.23±5.57 mg/L), malnutrition (24.7%), and malnutrition inflammation score (6.7) were lower compared with the data from Europe and the United States. Considering the scanty amount of allele C in IL-6-174 gene and G allele in IL-10-1082 gene, based on the statistic analysis performed it did not revealed the influence of the difference in allele on the clinical manifestation. It was found that chronic inflammation influenced the occurrence of malnutrition (PR 3.03; CI 95% 1.53-6.06; P = 0,012). The scoring by the SGA scales correlated well with the anthropometric parameters (body mass indes, mid arm circumtance, midarm muscle circumference, hand grip strength and serum albumin. A very resolute impression was obtained in HD patients that IL-6-174GG gene was protective in nature whereas IL-10-1082 AA gene had a less considerable role. In addition to that, it was proven that there was influence of information on the occurence of malnutrition and SGA consitutes a good enough assessment for malnutrition inflammation syndrome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D598
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivien Maryam
"Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit kronis saluran cerna dengan siklus eksaserbasi-remisi. Masih terdapat tantangan dalam mempertahankan remisi dan menunda flare pada pasien IBD. Asupan gizi tertentu dapat memodifikasi mediator inflamasi pada saluran gastrointestinal sementara aktivitas fisik dapat mempengaruhi kadar sitokin sehingga keduanya dapat mempengaruhi perjalanan IBD. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara potensi inflamasi diet dan aktivitas fisik dengan aktivitas penyakit IBD.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien IBD yang melakukan kontrol di Poliklinik Gastroenterologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode Juli–September 2022. Pengambilan data mengenai potensi inflamasi diet berdasarkan skor Dietary Inflammatory Index (DII) dan aktivitas fisik berdasarkan skor International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Derajat aktivitas penyakit IBD diperoleh berdasarkan kuesioner Indeks Harvey-Bradshaw (HBI) untuk Penyakit Crohn (PC) dan Simple Colitis Clinical Activity Index (SCCAI) untuk Kolitis Ulseratif (KU). Analisis statistik dengan menggunakan uji KruskalWallis, Spearman, dan Regresi linear multipel.
Hasil: Sebanyak 100 subjek penelitian didapatkan rerata skor DII pada kelompok PC adalah 0,22± 2,20 dengan tren rerata yang meningkat signifikan seiring dengan keparahan PC: -0,13 ± 2,3 (remisi), 0,17 ± 2,51 (ringan), 0,65 ± 2,11 (sedang), 0,68 ± 1,60 (berat); p=0,02. Rerata skor DII pada kelompok KU adalah 0,11 ± 2,45 dan tidak ditemukan perbedaan bermakna antar subgrup keparahan. Rerata skor aktivitas fisik pada kelompok PC dan KU berturut-turut adalah 5097,4 ± 2955,7 dan 6023,7 ± 4869,4. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara tingkat aktivitas fisik dan derajat aktivitas penyakit IBD. Skor DII secara independen dapat mempengaruhi aktivitas penyakit PC dari analisis multivariat (koefisien Î² 0,370; p= 0,006). 
Kesimpulan: Terdapat hubungan signifikan antara potensi inflamasi diet dengan derajat aktivitas penyakit PC. Tidak terdapat hubungan antara potensi inflamasi diet dengan derajat aktivitas penyakit KU maupun antara aktivitas fisik dengan derajat aktivitas penyakit IBD.

Background: inflammatory bowel disease (IBD) is a chronic gastrointestinal disease with exacerbation-remission cycles. There are still challenges in maintaining remission and preventing flares in IBD patients. Intake of certain nutrients can modify inflammatory mediators of the gastrointestinal tract while physical activity may affect cytokine levels, therefore both can influence the course of  IBD. This study aims to analyze the association between inflammatory potential of diet and physical activity with IBD disease activity.
Method: in this cross-sectional study, IBD patients who had regular control at the gastroenterology outpatient clinic of RSCM were recruited during the period of July–September 2022. The data of inflammatory potential of diet obtained through the dietary Inflammatory Index (DII) score and physical activity data obtained through the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) score. The degree of IBD disease activity based on the Harvey-Bradshaw Index (HBI) for Crohn’s Disease (CD) and the Simple Colitis Clinical Activity Index (SCCAI) for Ulcerative Colitis (UC). Statistical analysis using the Kruskal-Wallis test, Spearman test, and Multiple Linear Regression test.
Results: A total of 100 subjects obtained the mean DII score in the CD group was 0.22± 2.20 with an upward trend that increased significantly as CD disease severity progressed: -0.13 ± 2.3 (remission), 0.17 ± 2.51 (mild), 0.65 ± 2.11 (moderate), 0.68 ± 1.60 (severe); p=0,02. The mean DII score in the UC group was 0.11 ± 2.45 and there was no significant difference among severity subgroups. The mean physical activity scores in the CD and UC groups were 5097.4± 2955.7 and 6023.7 ± 4869.4 respectively. There was no significant difference of physical activity among various degrees of IBD severity. DII scores independently influenced CD disease activity based on multivariate analysis (β-coefficient 0.370; p= 0.006).
Conclusion: A significant association between the inflammatory potential of diet and CD disease activity was observed. There was no association between inflammatory potential of diet and UC disease activity, as well as between physical activity and IBD disease activity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rizki
"Kurangnya penelitian mengenai transisi pada pola asupan dan marker inflamasi usus pada anak gemuk. Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan anatara pola asupan dan fecal calprotectin pada anak prasekolah.Studi potong lintang ini dilakukan pada 101 anak dengan BMI Z score > 1 SD dengan median 2.26 (1.61, 3.43) SD serta menggunakan semiquantitative food frequency questionnaires yang telah divalidasi dimana, pola asupan diperoleh dengan menggunakan principal component analysis. Hasil studi menunjukkan 66% anak mempunyai kadar fecal calprotectin > 50 µg/g dan berhubungan dengan BMI Z score (p=0.05, r=1.89). Pola asupan (healthy pattern p=0.132, western pattern p=0.555, staple pattern p=0.541 and milk pattern p=0.534) ditemukan tidak berhubungan dengan inflamasi saluran cerna. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengkonfirmasi hasil studi ini dengan menggunakan pendekatan lain dan kombinasi antar marker inflamasi usus.

Lack of study confirmed the relationship between transition of diets and gut inflammation marker in obese children. Our study aimed to investigate the association between dietary pattern and fecal calprotectin level in preschool children. A cross sectional study was conducted in 101 children with body mass index (BMI) Z-score > 1 SD and median 2.26 (1.61, 3.43) SD using validated semi quantitative food frequency questionnaires whereas dietary patterns were revealed by principal component analysis. We found 66% children had fecal calprotectin levels > 50 µg/g. The fecal calprotectin level correlated with BMI Z score (p=0.05, r=1.89). Major dietary patterns were revealed: healthy pattern (p=0.132), western pattern (p=0.555), staple pattern (p=0.541) and milk pattern (p=0.534) and multivariate analysis showed no significant association with fecal calprotectin even after full adjustment for age, sex, sedentary physical activity, BMI Z score, fat intake and total fibre intake. Our findings acknowledged the insignificant association diet with gut inflammation marker had been observed due the baseline characteristic BMIZ score of the children more contribute to the elevated of fecal calprotectin level. Further investigations are warranted with a specific inflammatory food approach using a combination of marker gut inflammation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Imelda Setiana
"Latar belakang: Karsinoma urotelial merupakan keganasan kandung kemih tersering pada laki-laki. Faktor risikonya adalah merokok, pajanan bahan kimia, radiasi, infeksi Schistosoma hematobium. Mutasi p53 merupakan mutasi tersering pada karsinoma urotelial kandung kemih yang menyebabkan akumulasi protein p53 di inti dan terlihat dengan imunohistokimia. Tujuan penelitian adalah untuk melihat perbedaan ekspresi p53 pada karsinoma urotelial kandung kemih derajat rendah dan derajat tinggi serta hubungan ekspresi p53 dengan: "stadium tumor. Bahan dan cara: Penelitian menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 47 kasus yang terbagi menjadi 22 kasus karsinoma urotelial derajat rendah dan 25 kasus karsinoma urotelial derajat tinggi di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) tahun 2009-2017. Dilakukan pulasan imunohistokimia p53 dengan menggunakan cut off positif ≥ 20% berdasarkan penelitian Thakur et al, Ong et al, dan Saint et al. Hasil: Ekspresi p53 positif pada 33 sampel (70,21%), terbanyak pada karsinoma urotelial derajat tinggi 20 kasus (80%), sedangkan pada karsinoma urotelial derajat rendah terdapat 13 kasus (59,1%). Sebanyak 22 kasus (68,8%) Nonmuscle invasive bladder cancer dan 11 kasus (73,3%) Muscle invasive bladder cancer menunjukkan ekspresi positif. Ekspresi p53 cenderung lebih banyak ditemukan pada karsinoma urotelial derajat tinggi dan stadium tinggi. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan ekspresi p53 pada karsinoma urotelial kandung kemih derajat rendah dan derajat tinggi. Tidak ada hubungan antara ekspresi p53 dengan stadium tumor.
Kata kunci: Karsinoma urotelial, kandung kemih, p53, imunohistokimia.

Background : Urothelial carcinoma is the most common malignancy in the bladder and mainly occurs in older men. Risk factors for bladder cancer include smoking, exposure to chemicals, radiation and schistosoma hematobium infection. P53 is a tumor suppressor gene that is involved in the cell cycle and plays a role in the occurrence of apoptosis in response to DNA damage. P53 gene mutation is one of the most common genetic changes in urothelial bladder carcinoma. The p53 gene mutation will cause accumulation of p53 protein in the nuclei which can be detected through immunohistochemical examination. The aim of this study is to see differences of p53 expression in low grade and high grade urothelial carcinoma and to see the association of p53 expression with tumor stage. Material and method : This study uses a cross sectional study design. The sample consisted of 47 cases of urothelial bladder carcinoma divided into 22 cases of low grade urotelial carcinoma and 25 cases of high grade urotelial carcinoma originating from the archives of the Anatomical Pathology Department Faculty Medicine of Universitas Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital (FKUI/ RSCM) in 2009-2017. The study was carried out by p53 immunohistochemical examination and assessment of p53 expression using a percentage with a positive cut off value of ≥ 20%. Result : This study obtained positive p53 expression in 33 samples from 47 samples studied (70,21%). Most are found in high grade urothelial carcinoma as many as 20 cases (80%). Whereas in low grade urothelial carcinoma there are 13 cases (59,1%) with positive p53 expression. As many as 22 cases (68,8%) of Non muscle invasive bladder cancer (NMIBC) and 11 cases (73,3%) of Muscle invasive bladder cancer (MIBC) showed positive p53 expression. There was no difference between p53 expression in low grade and high grade bladder urothelial carcinoma (p=0,118). This study also showed no association between p53 expression with tumor stage (p=1,000). Conclusion : P53 expression was not significantly different with tumor grade. P53 expression was not significantly associated with the tumor stage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis
"ABSTRAK
Nama : LilisProgram Studi : Program Doktor Ilmu Biomedik Judul Disertasi : Peran Faktor Inflamasi Kronis dan Lingkungan Mikro Tumordi Stroma Peritumor dan Hubungannya dengan InvasiParametrium dan Metastasis KGB pada Karsinoma SelSkuamosa Serviks Stadium IB-IIA Pendahuluan: Salah satu penyebab tingginya angka kematian kanker serviksadalah kemampuan invasi dan metastasis sel kanker. Lesi di serviks sering disertaidengan inflamasi kronis dan peran inflamasi kronis dalam karsinogenesis telahdiketahui. Tujuan penelitian adalah mengeksplorasi faktor respons inflamasi danlingkungan mikro tumor LMT sebagai faktor prediksi invasi parametrium danmetastasis pada KGB pelvis.Metode: Terseleksi 75 kasus karsinoma sel skuamosa KSS serviks stadium IBIIAyang telah dihisterektomi dan limfadenektomi di RSUP Dr. CiptoMangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Hasan Sadikin RSHS , Bandung.Terdapat 15 kasus dengan invasi parametrium dan 18 kasus dengan metastasisKGB. Semua kasus dipulas H E dan imunohistokimia IHK yang dilakukan dilaboratorium PA-RSHS. Penanda untuk faktor inflamasi adalah CD4, CD8,CD68, IgG, dan penanda LMT adalah ?-SMA, TSP-1, CD31, VEGF-C. Semuapenanda dinilai pada stroma di 5 area LPB. Ekspresi IHK untuk sel inflamasikronis dihitung secara kuantitatif dan semikuantitatif untuk LMT. Hubunganantara reaksi inflamasi kronis dengan invasi parametrium dan metastasis KGBdianalisis dengan uji Mann-Whitney dan untuk faktor LMT dengan uji Chisquare.Hasil: Tiga variabel respons inflamasi kronis yaitu jumlah sel CD8 , CD68 ,IgG dan tiga faktor LMT yaitu imunoekspresi TSP-1, CD31, VEGF-C lebihrendah pada KSS serviks yang disertai invasi parametrium dibandingkan tanpainvasi parametrium. Terdapat hubungan jumlah sel CD8 p=0,015 dan VEGF-Cimunoekspresi yang rendah p=0,032 dengan kejadian invasi parametrium. Hasilanalisis ROC, didapatkan bahwa jumlah sel CD8 dengan titik potong

ABSTRACT
Name LilisStudy Program Doctor in Biomedical ScienceTitle The role of chronic inflammation and tumormicroenvironment factors in parametrial invasion andpelvic lymph node metastasis in stage IB IIA of cervicalsquamous cell carcinoma Introduction One of the causes of the high mortality rate of cervical cancer is theability of cancer cells to invade and metastasis. Cervical lesions oftenaccompanied by chronic inflammation and the role of chronic inflammation incarcinogenesis is known. The objectives of this study is to explore inflammationresponse and tumor micro environment TME as predictors for parametrialinvasion PI and pelvic lymph node metastasis LNM .Methods Seventy five cases of cervical squamous cell carcinoma CSCC stageIB IIA which had underwent radical hysterectomy and lymphadenectomy at Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM , Jakarta and Dr. Hasan Sadikin Hospital RSHS , Bandung were selected. There were 15 cases with PI and 18 cases withLNM. All slides were stained at pathological anatomy laboratory of RSHS, usingH E and immunohistochemistry IHC staining methods. Markers forinflammation factors are CD4, CD8, CD68, IgG and TME markers are SMA,TSP 1, CD31, VEGF C. All markers were evaluated in five fields of the stromaunder HPF magnification. The IHC expression of immune cells werequantitatively evaluated and semiquantitatively for TME. The association betweeninflammation response with PI and LNM were analyzed using non parametricalMann Whitney test and Chi square test for TME.Results Three variables of chronic inflammation response, CD8 , CD68 , IgG cell count and three TME expression variables, i.e., TSP 1, CD31 , VEGF C ,were lower in CSCC with parametrium invasion compared to in CSCC withoutparametrium invasion. A significant association between CD8 cell p 0,015 andVEGF C low expression p 0,032 with PI is identified. The ROC showed that acut off of CD8 cell count"
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Saiful Rizal
"Latar Belakang: Endometriosis adalah terdapatnya jaringan (kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium di luar uterus yang menyebabkan proses reaksi inflamasi kronis. Penderita endometriosis mengalami gangguan yang bersifat siklik dan terus menerus.Masalah lain adalah keterlambatan diagnosis. Laparoskopi adalah baku emas endometriosis, namun sulit untuk mengenali endometriosis pada stadium minimal dan ringan. Penanda atau biomarker sangat berguna untuk menghindari tindakan invasif yang tidak diperlukan, belum ada biomarker dapat memberikan gambaran secara jelas pada penggunaan klinis sehari-hari. Calprotectin adalah penanda dari inflamasi akut dan kronis yang diekspresikan pada granulosit terutama pada neutrofil, dan juga pada monosit, dan makrofag.25,26 belum ada penelitian yang meneliti hubungan calprotectin dengan penderita endometriosis. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan secara rutin digunakan sebagai penanda infeksi, inflamasi, atau kerusakan jaringan.30,31 Data mengenai kadar CRP perifer pada endometriosis jarang dan kontroversial.31
Tujuan: Diketahui korelasi calprotectin dan hs-CRP serum sebagai penanda inflamasi kronis terhadap derajat endometriosis menurut klasifikasi rASRM, yaitu derajat minimal, ringan, sedang, dan berat
Metode: Analisis observasional dengan desain potong lintang pada bulan Juli 2017-April 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Fatmawati dan RSUP Persahabatan, Jakarta. Empat puluh enam pasien endometriosis yang akan menjalani laparoskopi atau laparotomi yang memenuhi syarat penelitian direkrut consecutive sampling diperiksa kadar serum Calprotectin dan hs-CRP. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik dan Penelitian tahun 2017
Hasil: Tidak adanya korelasi antara Calprotectin dengan derajat endometriosis (r=-0,16, p=0,278). Adanya korelasi positif lemah antara HsCRP dengan derajat endometriosis (r=0,29, p=0,050)
Kesimpulan: Kadar Calprotectin serum tidak memiliki korelasi dengan derajat endometriosis. Kadar HsCRP serum memiliki korelasi positif lemah dengan derajat endometriosis, HsCRP dan Calprotectin serum tidak dapat membedakan derajat endometriosis

Background: Endometriosis is defined as the presence of endometrial-like tissue (gland and stroma) outside the uterus, which induces a chronic inflammatory reaction. Patients with endometriosis experience cyclic and continuous symptoms. Another problem is delays in diagnosis. Laparoscopy is gold standart in endometriosis, but it is difficult to recognize endometriosis at minimal and mild stage. Biomarkers are very useful to avoid invasive procedure that are not needed, none of these have been clearly shown to be of clinical use. Calprotectin is a marker of acute and chronic inflammation which is expressed on granulocytes, especially in neutrophils, and also in monocytes, and macrophages. There have been no studies examining the relationship between calprotectin and endometriosis. CRP is a systemic inflammatory marker and it routinely used as a marker of infection, inflammation, or tissue damage. Data regarding the CRP level in peripheral blood of endometriosis patients are relatively scarce and controversial. Purpose: The purpose of this research is to identify correlation between calprotectin and hs-CRP as a marker of chronic inflammation with the degree of endometriosis according to the rASRM classification, which is minimal, mild, moderate, and severe. Method: Analysis observational with cross sectional study design in July 2017-April 2018 at Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, Fatmawati General Hospital and Persahabatan Hospital, Jakarta. Forty-six endometriosis patients undergoing laparoscopy or laparotomy who met the study requirements were recruited by consecutive sampling to be examined for serum levels of Calprotectin and hs-CRP. This study was approved by Ethics and Research Committee in 2017 Results: No correlation between Calprotectin and the degree of endometriosis (r=-0.16, p=0.278). There was a weak positive correlation between HsCRP and the degree of endometriosis (r=0.29, p=0.050). Conclusion: Calprotectin levels uncorrelated with the degree of endometriosis. HsCRP levels have a weak positive correlation with the degree of endometriosis, HsCRP dan Calprotectin cannot distinguish the degree of endometriosis"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Budi Hartanti Liman
"

Carborxymethyl lysine dalam makanan (dCML), CML plasma (pCML), dan tumor necrosis alpha plasma (pTNF-α) mungkin dapat memengaruhi obesitas. Namun database kandungan CML makanan di Indonesia dan penelitian tentang pengaruh asupan CML terhadap obesitas pada wanita Asia belum pernah dilaporkan sebelumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan database CML makanan Indonesia dan menilai efek mediator dCML, pCML, dan pTNF-α terhadap lingkar pinggang (WC), rasio lingkar pinggang terhadap tinggi badan (WHtR), dan indeks masa tubuh (IMT).

Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 235 wanita sehat berusia 19-50 tahun, yang bertempat tinggal di daerah pesisir pantai dan pegunungan di Sumatra Barat dan Jawa Barat. Database CML dibuat berdasarkan estimasi dari database CML yang telah dipublikasi dan pemeriksaan secara langsung pada makanan yang diambil dari kedua provinsi tersebut, dengan menggunakan metode liquid chromatography-tandem mass spectrometry. Asupan CML, pCML, dan pTNF-α didapatkan berturut-turut dari 2x24 jam recalls, ultra-performance liquid chromatography-tandem mass spectrometry, and enzyme-linked immunosorbent assay. Perbedaan di antara kelompok dianalisis dengan menggunakan Chi-square atau t-test tidak berpasangan, efek mediator dianalisis dengan structural equation modelling, dan untuk perilaku makan dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi.

Terdapat 161 dari 252 jenis makanan dalam database CML yang telah diidentifikasi kandungan CMLnya secara langsung. Kelompok daging dan kacang-kacangan memiliki nilai rerata kandungan CML tertinggi pertama dan kedua. Geometric means ± SD dari dCML, pCML, dan pTNF-α berturut-turut sebesar 1.7±0.8 mgCML/hari, 22.3±7.9 ng/mL, dan 0.68 ± 0.38 IU/mL. Asupan CML berhubungan langsung dan positif terhadap pCML (β= 0.99 [95%CI: 0.53, 1.78]) demikian pula pCML terhadap pTNF-α (β= 0.12 [95%CI: 0.28, 0.49]). Plasma CML dan pTNF-α berhubungan secara langsung dan positif terhadap WC (β= 0.21 [95%CI: 0.08, 0.33] dengan β= 0.23 [95%CI: 0.11, 0.35]) dan juga terhadap WHtR (β= 0.18 [95%CI: 0.06, 0.31] dengan β= 0.23 [95%CI: 0.11, 0.35]). Pada wawancara mendalam didapatkan bahwa kelompok suku Sunda lebih banyak mengosumsi makanan yang diproses seperti ikan peda goreng, ikan asin goreng dan bakso dibandingkan kelompok suku Minangkabau.

Simpulan: Asupan CML, pCML, dan pTNF-α tampaknya lebih berperan sebagai mediator terhadap WC dan WHtR, dibandingkan terhadap BMI. Pembatasan asupan CML diperlukan untuk menurunkan risiko obesitas sentral pada populasi ini.


Carborxymethyl lysine in foods (dCML), plasma CML (pCML), and plasma tumor necrosis alpha (pTNF-α) may have an influence on obesity. However, there have been no reports on databases of CML content in Indonesian foods and on studies of the influence of CML intake on obesity in Asian women.

This study aims to develop a database of CML content in Minangkabau and Sundanese foods and to evaluate the mediator effects of dCML, pCML, and pTNF-α on waist circumference (WC), waist to height ratio (WHtR), and body mass index (BMI).

A cross-sectional study was conducted in 235 healthy women aged 19-50 years, who resided in coastal and mountainous areas of West Sumatra and West Java. The CML database was developed based on an estimate from published database and direct measurement of foods obtained from these two provinces, using liquid chromatography-tandem mass spectrometry. The dCML, pCML, and pTNF-α concentrations were obtained from 2x24 hour recalls, ultra-performance liquid chromatography-tandem mass spectrometry, and enzyme-linked immunosorbent assay, respectively. Between-group differences were analyzed by chi-square test or unpaired t-test, the mediator effects by structural equation modelling, and eating behavior by in-depth interviews and observations.

There were 161 of 252 food items of which the CML content was determined. The group of meats and the group of legumes had the highest and second highest mean CML content, respectively. The Geometric means ± SD of dCML, pCML, and pTNF-α were 1.7±0.8 mgCML/day, 22.3±7.9 ng/mL, and 0.68 ± 0.38 IU/mL, respectively. There was a direct positive association between dCML and pCML (β= 0.99 [95%CI: 0.53, 1.78]) and between pCML and pTNF-α (β= 0.12 [95%CI: 0.28, 0.49]). Plasma CML and pTNF-α were directly and positively associated with WC (β= 0.21 [95%CI: 0.08, 0.33] and β= 0.23 [95%CI: 0.11, 0.35]) and WHtR (β= 0.18 [95%CI: 0.06, 0.31] and β= 0.23 [95%CI: 0.11, 0.35]). In eating behavior, it was seen that the Sundanese women consumed more CML from processed foods such as fried fermented fish (ikan peda goreng), fried salted fish (ikan asin goreng) and meatballs (bakso) than Minangkabau women.

Conclusion: Dietary CML, pCML, and pTNF-α apparently had a greater role as mediators in the path from ethnicity to WC and WHtR, than in the path from ethnicity to BMI. Limitation of CML intake is necessary to reduce the risk of central obesity in this population

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>