Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80572 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizkita Mandraguna Fatah
"Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan outsourcing atau alih daya di Indonesia diatur dalam Pasal 59, 64, 65, dan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pengertian outsourcing atau alih daya adalah adalah suatu tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama. Dengan kata lain, perusahaan memanfaatkan sumber daya dari luar menggantikan sumber daya dari dalam perusahaan untuk menyelesaikan tugas tertentu yang selama ini dianggap kurang efisien. Hak pengambilan keputusan yang dimaksudkan disini adalah tanggung jawab untuk mengambil keputusan terhadap aspek-aspek penting yang terkait dengan aktifitas yang dialihkan tersebut. Jadi untuk melakukan pekerjaan dan/atau produksi, perusahaan penerima pekerjaan sepenuhnya menggunakan fasilitas dan aset yang dimiliki oleh perusahaan penerima pekerjaan, termasuk menurut kualifikasi dan keahlian khusus yang dimilikinya.
Sebagai contoh adalah produsen pesawat terbang BOEING yang mengalihkan pekerjaan pembuatan mesin pesawat nya kepada Rolls Royce, dan produsen kendaraan bermotor Mercedes Benz yang mengalihkan pekerjaan pembuatan komponen peredam kejut nya kepada BILLSTEIN, atau produsen pesawat terbang AIRBUS yang mengalihkan pekerjaan pembuatan mesin pesawatnya kepada General Electrics. Jadi dapat dipahami konstruksi outsourcing adalah hubungan bisnis murni yang tidak perlu dan tidak boleh serta tidak dapat diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun definisi, penerapan dan pengaturan outsourcing di Indonesia malah diatur dalam Pasal 64, 65, dan 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sehingga sangat menyimpang jauh dari sifat pengalihan pekerjaan yang seharusnya dan menimbulkan celah hukum yang menganga untuk memuluskan praktek perbudakan modern (modern slavery). Konsep atau konstruksi hukum mengenai outsourcing di Indonesia adalah adanya suatu perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) dengan pekerja otsourcing, lalu adanya perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) dengan perusahaan pemberi kerja/perusahaan pengguna jasa, dimana diperjanjikan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) akan mengirimkan dan menempatkan karyawan nya/ pekerja pada perusahaan pemberi kerja/pengguna jasa. Dengan demikian konsep outsourcing di Indonesia adalah konsep pengalihan pekerja/buruh dan bukanlah pengalihan pekerjaan, pekerja/buruh diposisikan sebagai komoditi yang dapat disewakan atau diperjualbelikan. Seringkali penerapan dan pelaksanaan outsourcing juga ?dipaketkan? dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, sehingga selain status pekerja menjadi tidak jelas, juga tidak terdapat kepastian mengenai kontinitas pekerjaan. Hal ini dipandang sebagai perbudakan modern (modern slavery) dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan", dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja". Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diajukanlah Uji Materi pada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 59, 64, 65, dan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

The implementation of the Pecific Time Employment Agreement and outsourcing in Indonesia regulated under Article 59, 64, 65, and Article 66 of Law No. 13 Year 2003 on Manpower. Definition of outsourcing is an act of diverting some of the company's activities and decision rights to another party (outside provider), where the action is bound in a contract of cooperation. In other words, the company utilizes outside resources replaces the resources of the company to complete a specific task that is considered less efficient. Thus decision rights meant the responsibility to take decisions on important aspects related to the transferred activities. So to do the work and / or production, the company fully use the facilities and assets owned by the company which implementing production, including by qualifications and expertise of its. An example is aircraft manufacturer Boeing were transferred manufacturing operations of its aircraft engines to Rolls Royce, and motor vehicle manufacturer Mercedes Benz that transfer the job of making its shock absorbers to Billstein, or the aircraft manufacturer AIRBUS which divert the aircraft engine manufacturing operations to General Electrics. So it can be understood outsourcing construction is purely a business relationship that is not necessary and should not be and can not be regulated in Employment / Manpower Act. But definition, the implementation and outsourcing arrangement in indonesia instead arranged in article 64, 65, and 66 the act of no. 13 year 2003 on manpower so that highly distorted far of the nature of the transfer of work that is supposed to be and cause a gaping legal loophole to smooth over the practice of modern slavery. Concept or construction law regarding outsourcing in Indonesia is the existence of a working agreement between the worker/labor service provider company (outsourcing company) with otsourcing workers, and the agreement between the worker/labor service provider company (outsourcing company) with user company, where the worker/labor service provider company (outsourcing company) will send and puts their employees / workers at user company. Thus the concept of outsourcing in Indonesia is the concept of the transfer of workers / laborers and not a transfer of work, the worker / laborer is positioned as a commodity that can be leased or sold. Often the application and implementation of outsourcing also "bundled" with the Specific Time Employment Agreement, so in addition to the status of workers is not clear, nor is there certainty about job continuity. This is seen as modern slavery (modern slavery) and contrary to Article 27 paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 which states " Every citizen shall have the right to work and to earn a humane livelihood.", and Article 28D (2 ) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 which states " Every person shall have the right to work and to receive fair and proper remuneration and treatment in employment.". Based on these things, it is referred to the Constitutional Court Judicial Review of Articles 59, 64, 65, and Article 66 of Law No. 13 of 2003 on Manpower."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T41479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amani Fidella
"ABSTRAK
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan outsourcing atau alih daya di Indonesia diatur dalam Pasal 59, 64, 65, dan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Tesis ini membahas mengenai pelaksanaan pengalihan pekerjaan penunjang pada perusahaan dengan sisten outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan data sekunder sebagai sumber datanya, yang diperoleh melalui studi dokumentasi. Hasil penelitian, penggunaan sistem outsourcing pada saat ini masih relevan, namun dalam praktek penggunaannya di Indonesia belum mendekati tujuan outsourcing yang sebenarnya, yaitu dalam rangka meningkatkan profesionalisme kerja dan usaha. Dalam hal hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan setelah adanya uji materi (judicial review) terhadap pasal-pasal 59, dan pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003, maka hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh dapat dilakukan/diperjanjikan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Apabila hubungan kerja diperjanjikan dengan PKWT, pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE), apabila terjadi pergantian perusahaan pemberi kerja atau perusahaan outsourcing. Pekerjaan sebagai hak setiap warga negara harus dilindungi oleh hukum. Dan semua pihak wajib melakukan segala upaya untuk menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dengan pekerja, yang disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Kata kunci: Hubungan Kerja, Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.

ABSTRACT
Implementation of Specific Time Work Agreements and outsourcing or outsourcing in Indonesia are regulated in Articles 59, 64, 65, and Article 66 of Law No. 13 of 2003 concerning employment. This thesis discusses the implementation of the transfer of supporting work to companies with outsourcing systems according to Law Number 13 of 2003 concerning Manpower after the Decision of the Constitutional Court Number 27/PUU-IX/2011. This study uses normative juridical research methods with secondary data as the source of the data, obtained through documentation studies. The results of the study, the use of the outsourcing system at this time is still relevant, but in practice its use in Indonesia has not approached the actual outsourcing goal, namely in the context of increasing the professionalism of work and business. In the case of a legal relationship between outsourcing employees and the company after a judicial review of articles 59, and article 64 of Law No. 13 of 2003, then the employment relationship between outsourcing companies and workers/laborers can be done/agreed through an Indefinite Time Work Agreement (PKWTT) or through a Specified Time Work Agreement (PKWT). If the employment relationship is agreed with PKWT, the worker must continue to be protected by his rights as a worker by applying the principle of transfer of undertaking protection for employees (TUPE), in the event of a change of employer or outsourcing company. Work as a right of every citizen must be protected by law. And all parties must make every effort to resolve disputes between employers and workers, which is called industrial relations disputes. Keywords: Employment Relations, Outsourcing Post Constitutional Court Decision No.27/PUU-IX/2011."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincentius Oesman
"Penelitian ini mengangkat permasalahan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan UU untuk permasalahan pertama, serta penelitian hukum empiris untuk permasalahan kedua. Dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011, maka menimbulkan permasalahan baru karena melegalkan prinsip outsourcing dan hubungan kerja yang salah selama ini dalam outsourcing melalui mekanisme penyediaan jasa pekerja. Selain itu, Putusan tersebut bertentangan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator serta bertentangan dengan asas kepribadian dalam perjanjian. Dalam praktek Putusan ini tidak dilaksanakan, alasan utamanya adalah karena belum adanya UU yang mengatur sebagai tindak lanjut dari suatu putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai saran, seharusnya pemerintah segera membuat UU terkait tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi dengan catatan memperbaiki prinsip outsourcing dan hubungan kerja yang salah dalam penyediaan jasa pekerja.

This study raised the problem in Constitustional Court's Verdict No. 27 PUU IX 2011. Using the normative law method with enactment approach for the first problem, and empirical law research for the second one. With the birth of the Constitutional Court's Verdict No. 27 PUU IX 2011, new problems are arisen because it is permitted outsourcing principal and incorrect work relationship of outsorcing through the mechanism of the service provider. Beside, the Verdict against the Constitutional Court's authority as negative legislator and also against the personality principal in an agreement. In practice, the Verdict is not enforced, the main reason is because there isn't enactment yet that sets as the follow up of a Constitutional Court's Verdict. As a recommendation, the government should immediately forms an enactment as the follow up for this Verdict, with some notes to repair the outsourcing principle and incorrect work relationship in a service provider.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kehadiran UU ketenagakerjaan sering mendapat tantangan dari para pendukung kepentingan terutama dari pihak pekerja, terutama yang berkaitan dengan pengaturan perjanjian kerja Outsourcing di Indonesia. Alasan para penentang tersebut antara lain adalah, bahwa pengaturan outsourcing hanya mengeksploitasi dan memarjinnalisasi sisi kemanusiaan mereka yang telah dijamin oleh konstitusi. Berbagai upaya telah mereka lakukan agar aturan yang dinilai diskriminatif ini dihapus dari praktik ketenagakerjaan di Indonesia, termasuk pilihan hukum dengan melalakukan uji material aturan tersebut ke mahkamah konstitusi (MK). Akhirnya, melalui putusan No. 27/PUU-IX/2011, MK mengabulkan permohonan pekerja dengan menyatakan inkonstitusional sebagai ketentuan tentang perjanjian kerja outsourcing. Dalam menyikapi putusan MK tersebut, pemerintah melalui kemenakertrans menerbitkan permenakertrans No. 19 tahun 2012"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Alzura
"Tulisan ini membahas peraturan pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran bersifat mendesak setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dan perbandingan pertimbangan hakim dalam pemutusan hubungan kerja akibat kesalahan berat dan pelanggaran bersifat mendesak pada dua putusan yang berbeda. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pengumpulan data melalui penelusuran literatur. Peraturan pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran bersifat mendesak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 memungkinkan pengusaha dapat langsung melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang diduga melakukan pelanggaran bersifat mendesak. Mekanisme ini memiliki persamaan dengan pemutusan hubungan kerja akibat kesalahan berat pada Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 karena melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 dan asas praduga tak bersalah. Pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 16/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bgl mengenai kesalahan berat dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr mengenai pelanggaran bersifat mendesak juga menunjukkan persamaan dalam menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Kedua putusan memperbolehkan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan karena pekerja diduga melakukan tindak pidana yang dikategorikan sebagai kesalahan berat pelanggaran bersifat mendesak tanpa adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut menandakan bahwa kesalahan berat yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dilahirkan kembali dengan mekanisme yang sama, tetapi dalam istilah yang berbeda, yaitu pelanggaran bersifat mendesak.

This paper discuss the regulation of employment termination due to urgent violations following Constitutional Court Decision Number 012/PUU-I/2003 and compares the opinion of the court in related to grave wrongdoings and urgent violations in two different decisions. The study uses doctrinal research and data collection through literature reviews. Government Regulations Number 35 of 2021, a derivative of the Job Creation Law, addresses the termination of the employment relationship due to urgent violations. According to Article 52 paragraphs (2) and (3) of this regulation, employers can immediately terminate employees suspected of urgent violations without a notification letter. This mechanism is similar to the annulled Article 158 of the Labour Law, which allows termination for grave wrongdoings, nullified by the Constitutional Court for the violating Article 27 of the 1945 Constitution and the principle of presumption of innocence. The opinion of court in the Industrial Relations Court decisions at the Bengkulu District Court Number 16/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bgl and the Pekanbaru District Court Number 10/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr also show similarities in handling such disputes. Both decisions permit the termination based on suspected criminal offenses without permanent legal force decision. These similarities suggest that the annulled concept of grave wrongdoings has re-emerged under the different term urgent violations, using the same mechanism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Diandra Putri Sandiya
"Keppres No. 33 Tahun 2000 telah memberikan perizinan pengoperasian bagi maskapai penerbangan, sehingga memunculkan berbagai perusahaan maskapai penerbangan berjenis Low-Cost Carrier yang menawarkan jasa angkutan penumpang dan kargo. Hal ini berimbas pada peningkatan persaingan di pasar bersangkutan. Persaingan tersebut acap kali dijadikan alasan bagi pelaku usaha untuk melakukan tindakan anti persaingan untuk dapat mempertahankan penguasaan pangsa pasar bersangkutan, dimana salah satunya dilakukan melalui praktik diskriminasi untuk menghalangi atau menyingkirkan pelaku usaha pesaing. Maka, melalui Penelitian ini Penulis memiliki tujuan untuk menganalisis pembuktian praktik diskriminasi serta pelaksananaan denda yang ditetapkan oleh KPPU terhadap pelanggar Hukum Persaingan Usaha. Permasalahan tersebut terdapat pada Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-I/2020, yang sejatinya mencoba membuktikan keterlibatan PT Lion Mentari, PT Batik Air Indonesia, PT Wings Abadi, dan PT Lion Express dan penangguhan pelaksanaan sanksi denda bagi Terlapor yang memang terbukti melakukan tindakan praktik diskriminasi akibat kesepakatan perjanjian pemberian kapasitas kargo eksklusif sebesar 40-ton per hari kepada PT Lion Express pada rute Bandara Hang Nadim ke Bandara Soekarno- Hatta, Bandara Halim Perdana Kusuma, Bandara Juanda dan Bandara Kualanamu. Pada pokoknya, UU No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur mengenai penangguhan pelaksanaan denda, melainkan hanya pemberian kelonggaran proses pembayaran denda saja. Dalam menganalisis permasalahan ini, Penulis melakukan penelitian yuridis normatif melalui pendekatan kualitatif dengan memberikan pemahaman mengenai praktik penetapan kapasitas kargo, dan menganalisis syarat pembuktian Pasal 19 huruf D UU No. 5 Tahun 1999 terhadap kasus tersebut, serta memberikan saran agar pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 lebih ditingkatkan dan
Presidential Decree No. 33 of 2000 has given operating permission for Airlines in Indonesia, which resulted in bringing out plenty of new Low-Cost Carrier Airlines that offer passenger and cargo transportation services. This matter has caused an impact on the increase of competition in the relevant market. The competition itself frequently being used as a reason for the company to conduct an anti-competition practice to maintain control of the relevant market shares, one of them is through discrimination practice in order to prevent or to eliminate competitors. Therefore, in this research, the writer aims are to analyze the proof of discrimination practices and the implementation of fines that have been settled by KPPU against the violators of competition law. The issues can be found in KPPU's Verdict Number 07/KPPU-I/2020, which are trying to prove the involvement of PT Lion Mentari, PT Batik Air Indonesia, PT Wings Abadi, and PT Lion Express and the suspension of execution of fines towards the companies that are found guilty of discrimination practice as a result of the agreement to give exclusive cargo's capacity as much as 40-ton per days to PT Lion Express on the route from Hang Nadim Airport heading to Soekarno-Hatta Airport, Halim Perdana Kusuma Airport, Juanda Airport, and Kualanamu Airport. Fundamentally, Law No. 5 of 1999 doesn't accommodate rules about the suspension of fines execution, however, it does regulate of giving some loose in terms of how the payment process will be conducted. In the analysis of these issues, the author uses normative-juridical based research through a qualitative approach by giving further understanding about cargo capacity determination and analyzing the evidentiary requirement of Article 19 letter D Law No. 5 of 1999 on the verdict, as well as providing suggestions to enhance the implementations of Law No. 5 of 1999 and maintains a deterrent effect through the imposition of fines"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Aryani P.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S20838
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Nugroho Wicaksono
"ABSTRAK
Dalam Tesis ini Penulis akan membahas dan mengembangkan secara rinci yang
mengenai bagaiman perlindungan Tenaga Kerja Wanita di Malaysia yang dalam
hal sekarang-sekarang ini banyak terjadi polemic di dalam nya. Penulis juga ingin
meneliti apakah UU No 39 Tahun 2004 yang berisi tentang perlindungan terhadap
Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri sudah benar diterapkan oleh pihak yang
berwajib dalam hal penanganan Tenaga Kerja Indonesia khususnya Tenaga Kerja
Wanita."
2011
T38067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Loura Hardjaloka
"Adanya ketidakpastian hukum pekerja alih daya dalam hubungan kerja mengakibatkan pekerja alih daya kehilangan keamanan kerja (job security) untuk mendapatkan penghasilan serta minimnya penghasilan telah melanggar hak konstitusional pekerja alih daya berdasarkan UUD 1945. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, maka menentukan dua model PKWT untuk melindungi hak-hak pekerja. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan alih daya tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan alih daya. Dengan menggunakan model TUPE, maka perjanjian kerja yang terdahulu akan dialihkan kepada perusahaan alih daya yang baru padahal pihaknya tidak mengetahui dan tidak mengikatkan diri sama sekali dalam perjanjian kerja tersebut. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip perjanjian sebagaimana dapat dilihat dari pengertian perjanjian perburuhan dalam Pasal 1601 huruf (a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 1 ayat (14) UU No. 13 Tahun 2003 serta bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Selain itu, prinsip TUPE ini dianggap memiliki kelebihan dan kelemahan berdasarkan perspektif masing-masing pihak yakni pihak PT X dan PT Y serta pekerja alih daya, jika model TUPE akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.

Legal uncertainty outsourced workers in employment resulted in the job security to earn an income as well as lack of income has violated the constitutional rights of workers outsourced by the 1945 Constitution. With the Constitutional Court Decision No. 27/PUU-IX/2011, then determine the two models PKWT to protect workers' rights. First, by requiring that agreements between workers and companies are not outsourcing form, but the form of PKWTT. Second, applying the principle of the transfer of protective measures for workers/laborers (Transfer of Undertaking Protection of Employment or TUPE) who work in companies that perform outsourced work. Using the TUPE model, the previous labor agreement will be transferred to the new outsourced/user company but it did not know and did not engage in the employment agreement. This is unecessary with the contract principle as ruled on Article 1601 sub (a) Civil Law Code dan Article 1 paragraph (14) Law No. 13 Year 2003, and contrary to Article 1320 Civil Code regarding the validity of the agreement terms. Moreover, the principle of TUPE is considered to have advantages and disadvantages from the perspective of each party that the PT X and PT Y and outsourced workers, if the model Tupe will be implemented in the near future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45133
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Wijayanto
"Tesis ini membahas pelayanan Publik di lembaga Peradilan Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelayanan lembaga peradilan. Sebagai lembaga peradilan baru yang belum lama berdiri, penelitian ini mencoba untuk menilai sejauh mana pelayanan lembaga ini kepada masyarakat pencari keadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan model penelitian Service quality yang menekankan pengkajian terhadap lima dimensi penelitian dari Parasuraman, yaitu daya tanggap, fisik, empati, keyakinan dan keandalan. Pokok masalah yang dikaji pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana persepsi masyarakat terhadap kualitas penelitian di Mahkamah Konstitusi ditinjau dari lima dimensi tersebut. Apabila kualitas pelayanan melebihi dari yang diharapkan masyarakat, maka kualitas pelayanan disebut baik, dan apabila kurang dari yang diharapkan dari masyarakat, maka penelitian disebut tidak baik. Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang mengacu pada konsep service quality, dihasilkan bahwa penilaian lebih dari separuh penerima layanan di Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kelima dimensi kualitas pelayanan pada Bagian Pelayanan Risalah dan Putusan Mahkamah Konstitusi adalah baik. Berdasarkan perhitungan statistik dan diagram kartesius, beberapa hal yang dianggap baik dan perlu dipertahankan adalah kemudahan layanan dan sikap internal petugas layanan terhadap penerima layanan. Penerima layanan merasa puas terhadap akses pelayanan yang mudah, prosedur yang tidak berbelit-belit, sikap simpatik dan manusiawi petugas, serta kenyamanan dan kebersihan ruangan pelayanan. Selain itu, terdapat beberapa hal yang menurut penerima layanan perlu harus ditingkatkan, dimana keduanya merupakan bagian dari atribut tangibles yaitu ketersediaan peralatan yang modern dan lengkap untuk memudahkan pelayanan. dan adanya buku petunjuk atau informasi pelayanan yang tersedia untuk memudahkan pelayanan.

This research discuss on Public Service at the Constitutional Court. It is based on fact that people have no longer trust on court services. As a newly established institution, this research explore on how the Constitutional Court provide services to the justice seekers. It use the quantitative research method with service quality research model which focus on study of Parasuraman?s five dimensional research which are responsiveness, tangible, empathy, assurance and reliability. The main issue of this research is about people opinion on the quality of public services at the Constitutional Court based upon five dimensional factors as mentioned before. If the quality of public services is beyond public expectation then it is regard as a good service and if the quality of public service is far from public needs then it is regard as a poor service. Based on analysis and the result of research which refer to service quality concept, it is found that more than a half of the respondent said that the quality of the service base on five dimensional factors which are tangible, reliability, assurance, responsiveness, and emphaty at the Record and Ruling of Constitional Court Service Department is good. Based on statistical calculation and Cartesius chart, few things that are consider a good service and need to maintained are the simple procedures and the warm-welcome of the officers. The respondent are content on easy access, simple procedure, kind and helpfulness of the staff, and the comfort and tidiness of the service room. Nevertheless, there are also few things that need to improve, and both of them are part of the tangibles factors which are the needs to have a modern equipments and manual or service information to improve services."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26405
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>