Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185875 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kurniadi Husodo
"[ABSTRAK
Pendahuluan. Irigasi dan debridement yang adekuat dinilai sebagai faktor yang paling menentukan dalam pencegahan infeksi pada fraktur terbuka. Povidone Iodine dan hidrogen peroksida sering digunakan sebagai adjuvant pada proses irigasi untuk membunuh mikroorganisme dan menurunkan angka infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh povidone iodine dan hidrogen peroksida terhadap penyembuhan fraktur dan reaksi jaringan yang terjadi.
Metode. Empat puluh ekor tikus Sprague Dawley jantan dialokasikan acak ke dalam kelompok perlakuan, yaitu; kelompok I (kontrol), kelompok II (povidone iodine 10%), kelompok III (povidone iodine 1%), dan kelompok IV (hidrogen peroksida 3%). Pada minggu pertama, kedua, dan kelima masing-masing dikorbankan 3 ekor tikus pada setiap kelompok. Evaluasi penyembuhan fraktur dilakukan dengan histomorfometri menggunakan program ImageJ®, variabel yang dinilai meliputi; persentase jaringan fibrosa, jaringan tulang rawan, dan jaringan penulangan pada kalus. Reaksi jaringan dinilai dari jumlah sel limfosit dan makrofag yang dinilai secara semikuantitatif. Analisis statistik dilakukan dengan uji ANCOVA dilanjutkan dengan uji post hoc Dunnett.
Hasil. Persentase luas jaringan penulangan terbanyak ditemukan pada kelompok III, diikuti oleh kelompok I, kelompok IV, dan kelompok II. Persentase luas jaringan fibrosa terbanyak ditemukan pada kelompok II, diikuti oleh kelompok IV, kelompok I, dan kelompok III. Reaksi jaringan terbesar ditemukan pada kelompok II, diikuti oleh kelompok IV, kelompok III, dan kelompok I. Pada uji ANCOVA ditemukan perbedaan antar kelompok yang bermakna. Pada uji Dunnett terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok II dan IV terhadap kontrol.
Simpulan. Povidone iodine 1% menunjukkan gangguan penyembuhan fraktur dan reaksi jaringan yang minimal.

ABSTRACT
Introduction. Adequate irrigation and debridement are important factors to prevent infection in open fractures. Povidone iodine and hydrogen peroxide are adjuvants often used in irrigation to kill microorganisms and prevent infections. This study aims to determine the effect of povidone iodine and hydrogen peroxide on fracture healing and also reaction of host tissue to their presence.
Methods. Fourty male Sprague Dawley rats were allocated randomly into group I (control), group II (10% povidone iodine), group III (1% povidone iodine), and group IV (3% hydrogen peroxide). Three rats on each group were sacrificed on the first, second, and fifth week. Evaluation of fracture healing was done by histomorphometry using ImageJ®, variables measured were; percentage of fibrous tissue, cartilage tissue, and osseous tissue in fracture callus. Reaction of host tissue was analyzed by semiquantative evaluation of lymphocytes and macrophages. Statistical analysis was performed with ANCOVA test followed by Dunnett post hoc test.
Results. The highest percentage of osseous tissue was found in group III, followed by Group I, Group IV and Group II. The highest percentage of fibrous tissue was found in group II, followed by group IV, group I, and group III. The largest tissue reaction was found in group II, followed by group IV, group III, and group I. In ANCOVA test, there was significant difference found between groups. In Dunnett test, significant differences were found between group II and IV to control.
Conclusion. One percent povidone iodine caused minimal impairment of fracture healing and host tissue reaction., Introduction. Adequate irrigation and debridement are important factors to prevent infection in open fractures. Povidone iodine and hydrogen peroxide are adjuvants often used in irrigation to kill microorganisms and prevent infections. This study aims to determine the effect of povidone iodine and hydrogen peroxide on fracture healing and also reaction of host tissue to their presence.
Methods. Fourty male Sprague Dawley rats were allocated randomly into group I (control), group II (10% povidone iodine), group III (1% povidone iodine), and group IV (3% hydrogen peroxide). Three rats on each group were sacrificed on the first, second, and fifth week. Evaluation of fracture healing was done by histomorphometry using ImageJ®, variables measured were; percentage of fibrous tissue, cartilage tissue, and osseous tissue in fracture callus. Reaction of host tissue was analyzed by semiquantative evaluation of lymphocytes and macrophages. Statistical analysis was performed with ANCOVA test followed by Dunnett post hoc test.
Results. The highest percentage of osseous tissue was found in group III, followed by Group I, Group IV and Group II. The highest percentage of fibrous tissue was found in group II, followed by group IV, group I, and group III. The largest tissue reaction was found in group II, followed by group IV, group III, and group I. In ANCOVA test, there was significant difference found between groups. In Dunnett test, significant differences were found between group II and IV to control.
Conclusion. One percent povidone iodine caused minimal impairment of fracture healing and host tissue reaction.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunarwan Prihargono
"Delayed union adalah masalah besar pada penyembuhan fraktur. Bone Morphogenetic Protein (BMP) terbukti dapat mempercepat penyembuhan tulang dari 30 sampai 40 persen. Salah satu obat yang dapat digunakan untuk meningkatkan BMP2 dan BMP4 adalah pentoxyfillin. Pada studi eksperimental ini dilakukan untuk menginvestigasi pengaruh pentoxyfillin oral terhadap percepatan penyembuhan tulang pada fraktur dengan periosteal stripping di femur tikus putih Spague Dawley sejumlah 24 ekor. Evaluasi dilakukan secara radiologis dengan skor RUST dan histologis dengan histomorphometri pada minggu ke 4. Terdapat percepatan penyembuhan fraktur pada skor RSUT maupun pada histomorfometri, namun tidak bermakna secara statistik. Namun didapatkan perbedaan bermakna pada area penulangan dan area tulang rawan pada kelompok dengan dosis obat tertentu. Pentoxyfillin oral berpengaruh pada percepatan penyembuhan fraktur pada delayed union, dengan dosis 100mg/KgBB/hari.

Delayed union is an important problem during fracture healing process. Bone Morphogenetic Protein (BMP) has shown to accelerate the bone healing from 30 to 40 percent. Pentoxyfilline is a drug used to increase BMP2 and BMP4. This experimental study was conducted to investigate the effect of oral pentoxyfilline accelerating bone healing process on fractured femur with periosteal strapping on 24 Sprague Dawley Rats. The evaluation of RUST score and histologically on histomorphometric analysis was done on the forth week. There was an enhancement of fracture healing in terms of RUST score and histomorphometric analysis, but statistically not significant. However, the significant difference was observed in area of osseous tissue and cartilage area in the dose group. Oral Pentoxyfilline accelerates the fracture healing process in delayed union model, with dosing of 100mg/KgBW/day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abidin
"Dari hasil pemeriksaan histology, radiolagy, biomekanik dan biokimia pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa proses penyembuhan patah tulang pada tibia kanan adalah lebih cepat di banding tibia kiri atau proses penyembuhan patah tulang dengan pencucian larutan NaCl lebih cepat dari pada pencucian dengan larutan povidone iodine encer. Ini menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh larutan povidone iodine pada proses penyembuhan patah tulang"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fauzi
"Latar belakang : Delayed union merupakan salah satu komplikasi penyembuhan fraktur dengan insiden berkisar antara 4,4% hingga 31%. Penatalaksanaan delayed union dapat menimbulkan masalah ekonomi dan kesehatan pada pasien. Angiogenesis memiliki peran penting dalam penyembuhan fraktur. Sildenafil telah terbukti menjadi stimulator poten angiogenesis melalui peningkatan regulasi faktor pro-angiogenik atau yang dikenal sebagai vascular endothelial growth factor (VEGF). Studi ini akan menentukan apakah sildenafil juga mempengaruhi aktivitas angiogenesis dengan ekspresi VEGF dan mempercepat penyembuhan fraktur dengan delayed union.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan post test only control group design, yang dilakukan pada model delayed union tikus Sprague dawley menggunakan analisis histomorfometri dan imunohistokimia. Penelitian ini diawali dengan studi pendahuluan untuk menentukan model delayed union yang hasilnya akan digunakan sebagai kontrol pada penelitian selanjutnya. Tikus dibagi secara acak menjadi empat kelompok : kelompok delayed union (n=6), kelompok dengan pemberian sildenafil 3,5 mg/kgbb (n=6), sildenafil 5 mg/kgbb (n=6) dan sildenafil 7,5 mg/kgbb (n=6). Parameter yang dievaluasi meliputi luas total kalus, area tulang rawan, area penulangan, jaringan fibrosa dan ekspresi VEGF. Pengukuran dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-4 setelah intervensi.
Hasil : Setelah dua minggu kondisi delayed union, sildenafil secara signifikan meningkatkan parameter penyembuhan fraktur. Terjadi peningkatan yang signifikan pada total luas kalus (p=0,004), area tulang rawan (p=0,015), area penulangan (p=0,001), jaringan fibrosa (p=0,005) dan ekspresi VEGF (p=0,037). Setelah empat minggu, perbedaan yang signifikan hanya terjadi pada area penulangan (p=0,015) dan jaringan fibrosa (p=0,001).
Diskusi : Analisis histomorfometri dan imunohistokimia menunjukkan peningkatan yang signifikan pada parameter penyembuhan fraktur dan ekspresi VEGF. Hal ini menunjukkan terjadinya percepatan penyembuhan fraktur dan peningkatan pembentukan pembuluh darah. Semakin sedikitnya area kalus dan berkurangnya area tulang rawan serta meningkatnya area penulangan menunjukkan percepatan proses penyembuhan fraktur. Sildenafil meningkatkan aktivitas angiogenesis dengan meningkatnya ekspresi VEGF dan perbaikan vaskularisasi. Perbaikan vaskularisasi pada fraktur tidak hanya memperbaiki oksigenasi dan nutrisi jaringan, tetapi juga menyediakan suplai mesenchymal stem cells (MSCs) pada jaringan fraktur.
Simpulan : Sildenafil terbukti mempercepat penyembuhan fraktur dan meningkatkan ekspresi VEGF pada fraktur dengan delayed union.

Introduction : Inspite of various methods of management to achieve optimum fracture healing, delayed union remains a major problem. The incidence of delayed union ranging from 4.4% to 31%. The management of such problem include secondary operative intervention, which results in economic impact and patient morbidity. Angiogenesis plays an important role in fracture healing. Sildenafil has been shown to be a potent stimulator of angiogenesis through upregulation of pro-angiogenic factors or known as vascular endothelial growth factor (VEGF). This study will evaluate whether sildenafil also influences VEGF expression and bone formation during the process of healing in delayed union fracture.
Method : This study was an experimental study with post test only control group design. It was performed ina delayed union femur fracture model of Sprague Dawley rats using histomorphometric and immunohistochemistry evaluation. A pilot study was initiated previously to determine the model for delayed union fracture healing, and the results were used as the control. Rats were randomized into four groups : delayed union (n=6), administration of sildenafil 3.5 mg/kgbw (n=6), sildenafil 5 mg/kgbw (n=6) and sildenafil 7.5 mg/kgbw (n=6). The parameters evaluated include total area of callus, cartilage area, total osseous tissue, fibrous tissue and VEGF expression. The measurement was carried out at 2 and 4 weeks after intervention.
Results : After two weeks of delayed union fracture healing, sildenafil significantly increased the parameter of fracture healing. The results showed a significant increase of total area of callus (p=0.004), cartilage area (p=0.015), total osseous tissue (p=0.001), fibrous tissue (p=0.005) and VEGF expression (p=0.037). After four weeks, the results were still significant in total osseous tissue (p=0.015) and fibrous tissue (p=0.001).
Discussion : Histomorphometric and immunohistochemistry analysis showed a significant increase of fracture healing parameter and higher expression of the proangiogenic factors (VEGF). Such result confirmed the increase of bone and vascular formation. A smaller callus area with a slightly reduced amount of cartilaginous tissue and increased osseous tissue indicated an accelerated healing process. Sildenafil improves the expression of VEGF and vascularization repair. The vascular invasion in a fracture not only provide oxygen and nutrients needed to repair the injured tissue cells, but also provide an additional source of MSCs.
Conclusion : Sildenafil is proven to effectively accelerate fracture healing and increase VEGF expression in delayed union fracture.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Troydimas
"Latar Belakang Hipertensi dan fraktur merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi ACE inhibitor telah dilaporkan dapat mempromosikan diferensiasi osteoblas meningkatkan mineralisasi dan sekresi matriks tulang sehinga konsumsinya diharapkan mampu mempercepat penyembuhan Tujuan Penelitian bertujuan mengetahui efek pemberian ACE inhibitor terhadap proses penyembuhan fraktur model delayed union Metode Enam belas femur tikus yang dibuat sesuai model delayed union dibagi secara acak menjadi kelompok kontrol kelompok perlakuan Captopril dosis 4 mg kgBB kelompok perlakuan Captopril dosis 8 mg kgBB dan kelompok Captopril dosis 16 mg kgBB Evaluasi dilakukan pada minggu ke 4 secara radiologis foto polos dan histomorfometri Hasil Pada histomorfometri minggu ke 4 didapatkan peningkatan area penulangan yang bermakna terhadap kontrol p 0 033 terutama pada pemberian Captopril dosis 8 mg kgBB p 0 008 dan dosis 16 mg kgBB p 0 015 Penurunan area fibrosa yang bermakna terhadap kontrol p 0 042 terjadi pada Captopril dosis 4 mg kgBB p 0 020 dan dosis 8 mg kgBB p 0 012 Secara radiologis didapatkan peningkatan skor RUST semua kelompok perlakuan yang bermakna terhadap kontrol p 0 021 Kesimpulan Pemberian Captopril dapat menstimulasi proses penyembuhan fraktur pada model delayed union secara radiologis dan histomorfometri Captopril dosis 8 mg kgBB menunjukkan efek yang paling signifikan dalam proses penyembuhan fraktur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Claudya Dara Chaerunnisa
"Kulit merupakan sistem pertahanan eksternal, langsung menjalani proses penyembuhan luka ketika terjadi luka dan banyak orang cenderung memberi proses penyembuhan luka dengan agen antiseptik, povidone iodine 10 Betadine . Namun, terdapat ide baru tentang penggunaan povidone iodine 5 pada penyembuhan luka kulit yang dapat memberikan efek yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efek berbeda dari penggunaan konsentrasi yang berbeda dari povidone iodine pada jumlah PMN, fibroblast, dan serat kolagen dan untuk menentukan kadar 5 atau 10 yang lebih cocok untuk digunakan.
Penelitian ini menggunakan tikus sebagai sampel, masing-masing tikus diberikan 3 luka dengan 3 perlakuan berbeda terdiri dari kontrol, povidone iodine 10 , dan povidone iodine 5 . Pada hari ke-3, tiga tikus pertama dikorbankan dan pada hari ke-7 3 tikus berikut dikorbankan, lalu dibuat spesimen histologi dengan mengambil area luka dan diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin untuk menganalisis jumlah PMN dan fibroblast, serta Van Gieson menganalisis serat kolagen. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara povidone iodine 5 dan 10 dalam proses keseluruhan penyembuhan luka yang dilihat dari jumlah PMN, fibroblast, dan serat kolagen.

Skin is an external defense system, directly undergo wound healing process when scars occur and people tend to interfere the wound healing process with antiseptic agents, in this case is the use of povidone iodine 10 Betadine . However, there is new idea about the appliance of povidone iodine 5 on cutaneous wound healing may give different effect. This research aims to compare the different effect of using different concentration of povidone iodine on number of PMN, fibroblast, and collagen fibers during wound healing process and to determine which one is more suitable to use.
This experiment using rats as samples, each rat is given 3 wounds with 3 different treatments consisted of control, povidone iodine 10, and povidone iodine 5. On the 3rd day, the first three rats were sacrificed and on the 7th day the following 3 rats were sacrificed, then made histological specimens by taking the wound area and stained it using Hematoxylin eosin to analyze number of PMN and fibroblast, also Van Gieson to analyze collagen fibers. The result of this experiment is that there is no significant difference among povidone iodine 5 and 10 in overall process or phases of wound healing, as seen from number of PMN, fibroblast, as well as collagen fibers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzikry Kasman
"Pendahuluan: Fraktur merupakan masalah kesehatan utama karena sering terjadi, pengobatan yang kompleks dan mahal, serta hilangnya produktivitas. Masalah diperberat bila terjadi komplikasi berupa delayed union atau nonunions. Dalam menilai pengaruh suatu tindakan intervensi terhadap penyembuhan fraktur, diperlukan suatu model perlambatan penyembuhan fraktur dan suatu metode penilaian yang akurat yang meliputi radiologi, biomekanik, dan histologi. Berbagai model perlambatan peyembuhan fraktur telah di laporkan dengan melakukan stripping periosteal dengan menggunakan cauter yang menghasilkan tidak hanya efek mekanik namun juga efek termal. Selain itu, metode penilaian akurat radiologi, biomekani modern bergantung terhadap instrumen yang belum tersedia secara masal. Penilaian histologi melalui histomorphometri dapat dikerjakan tanpa bergantung pada instrument modern dan mahal. Hal ini ditunjang dengan tersedianya program image J yang merupakan program dari NIH dan dapat diperoleh secara cumacuma.
Metode: Penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga September 2013 di Departement Patologi Anatomi FKUI. Penilaian dilakukan terhadap 24 ekor tikus dengan fraktur dengan dan tanpa perlakuan mekanis pada periosteum yang kemudian dievaluasi pada minggu ke-2 dan minggu ke-4. Perlakuan mekanis pada periosteum berupa Stripping sirkular dengan bistruri sepanjang 10mm disekitar fraktur. Penilaian histomorfometri dilakukan secara semi-automated dengan bantuan program image-j, meliputi penilaian parameter total area kalus, area penulangan, area tulang rawan dan area jaringan fibrosa. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan perubahan pada kelompok 2 minggu, kelompok 4 minggu serta beda kelompok 2 dan 4 minggu.
Hasil: Pemeriksaan Histomorfometri minggu ke-2 dan minggu ke-4 didapatkan area penulangan, area tulang rawan dan area jaringan fibrosa kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan pada kelompok kontrol yang secara statistik bermakna. Pada evaluasi beda histomorfometri minggu ke-2 dan minggu ke-4 antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan didapatkan perlambatan proses penyembuhan yang juga secara statistik berbeda bermakna.
Kesimpulan: Analisa histomormofetri dengan image-J dapat dilakukan tanpa bergantung pada instrumentasi yang modern dan perlakuan mekanik pada periosteum berupa stripping sejauh 5mm dapat menghambat penyembuhan fraktur.

Introduction: Fracture is a major health problem because the complexity and expensive treatment, and also loss of productivity that accompanying. That problem worsened if there is complications such as delayed-union or nonunions. Many intervention was done to prevent that complication. In assessing the effect of intervention, a model and also analytic method that includes radiology, biomechanics, and histology were needed. Various models of delayed fracture healing have been reported by stripping the periosteal with cauter which produces not only mechanical but also thermal effect. Moreover, latest radiological and biomechanical assessment rely on instruments that are not available in every places. Histological assessment through histomorphometri can be done without relying on modern and expensive instruments. This evaluation method is supported by the availability of image-J program which is a program of the NIH, and can be obtained free of charge.
Method: The study is an experimental study that was conducted in the Department of Pathology Faculty of Medicine, University of Indonesia, on July to September 2013. 24 rats was divided into 2 group. 1 group was performed mechanical force to bone only to get fracture and other was done by giving mechanical force to bone and also periosteum. Each group was evaluated at 2 weeks and 4 weeks. Histomorfometri assessment was performed semi-automatically with the aid of image-j software. The paramater that measure was total area of callus, newbone area, cartilage area, and fibrotic area. Evaluation is done by comparing the difference of 2 group in 2 weeks, 4 weeks, and also the changes of 2 and 4 weeks of each group.
Result: From Histomorfometric examination on 2nd week and 4th week, we found that newbone formation area, cartilage area and fibrous tissue area of treatment group smaller than in the control group and statistically significant. We also found that there was delaying of healing process in comparring the changing in 2nd to 4th week of treatment group and it is also statistically significant.
Conclusions: Histomormofetri analysis with image-J can be done without relying on modern instrumentation, mechanical force on periosteum on a fracture site by periosteal stripping could inhibit healing fracture especially in histological pattern.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harmantya Mahadhipta
"Pendahuluan
Fraktur kominutif dapat memberikan permasalahan berupa nonunion. Penggunaan graft untuk mengatasi masalah tersebut masih diperdebatkan. Autograft merupakan baku emas dalam penggunaan graft, namun keterbatasannya adalah persediaan yang terbatas. Untuk itu banyak beredar pengganti autograft seperti allograft, xenograft, dan graft sintetik (biomaterial scaffold). Graft harus mempunyai biokompatibilitas yang baik guna mendukung penyembuhan fraktur.
Metode
Dilakukan randomized post test only control group terhadap 30 tikus Sprague Dawley guna menilai biokompatibilitas scaffold secara in vivo. Scaffold yang digunakan adalah hidroksiapatit (HA)-Bongros®, nanokristalin HA-CaSO4 (Perossal®), nanokristalin HA (Ostim®), morselized bovine xenograft (BATAN), dan HA-lokal bank jaringan dr. Sutomo. Dilakukan penilaian reaksi jaringan (jumlah sel datia benda asing dan limfosit), skor radiologis dan histologis pada minggu ke-8.
Hasil
Perbedaan bermakna ditunjukkan pada jumlah sel datia benda asing memberikan perbedaan bermakna (p=0,003), namun tidak dengan limfosit (p=0,397). Scaffold HA-lokal menunjukkan jumlah sela datia benda asing paling banyak. Skor histologis memberikan perbedaan bermakna (p=0,013) , namun skor radiologis tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p = 0,204 untuk proyeksi antero-posterior dan p = 0,506 untuk proyeksi mediolateral). Didapatkan 2 subjek yang drop out yaitu 1 subjek pada kelompok kontrol (implant failure) dan 1 subjek pada kelompok IV (osteomielitis). Terdapat korelasi yang bermakna antara jumlah sel datia benda asing dan skor histologis (p=0,034).
Diskusi
Biokompatibilitas scaffold secara in vivo ditentukan oleh komponen fisik dan kimia pembentuknya. Secara fisik, scaffold yang memiliki pori-pori menunjukkan skor histologis yang lebih baik. Komponen kimia pembentuk scaffold dapat memengaruhi reaksi jaringan. Jumlah sel datia benda asing berhubungan dengan sitotoksisitas scaffold.

Introduction
Comminuted fracture may result as nonunion. The use of bone graft is still debatable for treating comminuted fracture. Autograft is the gold standard of bone graft. However, it has a limitation in supply. Therefore, the use of other source of graft (allograft, xenograft, or synthetic) is increasing. Graft must have good biocompatibility in order to enhance fracture healing.
Method
Randomized post test only control group was conducted in 30 Sprague-Dawley rat in order to evaluate biocompatibility of the scaffold. We used hidroxyapatite (HA)-Bongros®, nanocrystalline (HA)-CaSO4 (Perossal®), nanocrystalline HA (Ostim®), morselized bovine xenograft (BATAN), dan local HA from dr. Sutomo Hospital as the scaffold. Tissue reaction (the amount of foreign body giant cell and lymphocyte), radiological and histological score was evaluated at 8th weeks.
Result
The amount of foreign body giant cell (FBGC) and histological score showed significant difference (p=0,003 and p=0,013). Local HA scaffold showed the most FBGC accumulation. There was no significant difference in the amount of lymphocyte (p=0,397) and radiological score (p=0,204 for antero-posterior projection and p=0,506 for medio-lateral projection). Two subjects were considered drop out, one due to implant failure (control group) and the other due to osteomyelitis (group IV). There was significant correlation between the amount of foreign body giant cell and histological score (p=0,034).
Discussion
Both physical and chemical factor influenced biocompatibility of scaffold. Scaffolds that have pores showed better histological score compared to that has none. Chemical compound of the scaffold play important role in tissue reaction. The amount of FBGC showed the cytotoxic level of the scaffold.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2103
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrianto Soeprapto
"Latar Belakang: Coronavirus disease 2019 (COVID-2019) disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan menjadi tantangan karena menyebar luas secara cepat. Jumlah virus SARS-CoV-2 ditemukan tinggi pada awal infeksi di rongga mulut dan saluran pernapasan bagian atas. Tindakan bedah di rongga mulut memiliki potensi tinggi untuk transmisi SARS-CoV-2. American Dental Association (ADA) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan berkumur hidrogen peroksida 1,5% atau iodin povidon 0,2% sebelum tindakan medis. Mengurangi jumlah virus di saluran pernapasan bagian atas pada awal infeksi menurunkan keparahan perkembangan penyakit dan risiko transmisi. Nilai cycle threshold (CT) dari hasil pemeriksaan real time reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) merepresentasikan secara semikuantitatif viral load.
Tujuan Penelitian: Menganalisis pengaruh berkumur iodin povidon 1% dan hidrogen peroksida 3% terhadap nilai CT RT-PCR SARS-CoV-2.
Metode Penelitian: 45 subjek penelitian diambil dari pasien Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan yang terinfeksi SARS-CoV-2 sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. Subjek penelitian dibagi ke dalam kelompok iodin povidon 1%, kelompok hidrogen peroksida 3%, dan kelompok kontrol. Subjek penelitian berkumur 30 detik di rongga mulut dan 30 detik di tenggorokan belakang dengan 15 ml sebanyak 3 kali sehari selama 5 hari. Analisis nilai CT dilakukan melalui pemeriksaan RT-PCR pada hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke-5 setelah berkumur.
Hasil: Didapatkan perbedaan bermakna pada hasil uji Friedman dan tampak peningkatan nilai CT RT-PCR mulai dari awal, hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke- 5 pada keseluruhan kelompok dan masing-masing kelompok perlakuan. Hasil uji Post- Hoc dengan Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada keseluruhan kelompok hari nilai CT RT-PCR dari keseluruhan kelompok dan kelompok iodin povidon 1%. Perbedaan bermakna sebagian besar kelompok hari nilai CT RT-PCR ditemukan dari hasil uji Post-Hoc dengan Wilcoxon pada kelompok hidrogen peroksida 3% dan kelompok kontrol, kecuali antara hari ke-1 dengan hari ke-3 dan antara hari ke-3 dengan hari ke-5 pada kelompok hidrogen peroksida 3% dan antara hari ke-3 dengan hari ke-5 pada kelompok kontrol. Peningkatan tertinggi nilai CT RT-PCR awal hingga hari ke-1 ditemukan pada kelompok hidrogen peroksida 3%, sedangkan antara hari ke-1 hingga ke-3 dan hari ke-3 hingga hari ke-5 ditemukan pada kelompok iodin povidon 1%. Usia dan jenis kelamin ditemukan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap perubahan nilai CT RT-PCR.
Kesimpulan: Berkumur iodin povidon 1% dan hidrogen peroksida 3% berpengaruh terhadap peningkatan nilai CT RT-PCR SARS-CoV-2. Peningkatan tertinggi nilai CT RT-PCR awal hingga hari ke-1 ditemukan pada kelompok hidrogen peroksida 3%, sedangkan antara hari ke-1 hingga ke-3 dan hari ke-3 hingga hari ke-5 ditemukan pada kelompok iodin povidon 1%.

Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-2019) is caused by severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) and poses a challenge because it can spread rapidly. The number of SARS-CoV-2 was found to be high at the beginning of infection in the oral cavity and upper respiratory tract. Surgery in the oral cavity poses high transmission risk of SARS-CoV-2. The American Dental Association (ADA) and the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) recommend the use of mouthrinse either 1.5% hydrogen peroxide or 0.2% povidone iodine before commencing any surgical treatment. Reducing the viral load in the upper respiratory tract at the early of infection may decrease the severity of disease progression and the risk of transmission. The cycle threshold (CT) value from the real time reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) examination semi-quantitatively represents the viral load.
Objective: To analyze the effect of mouthrinsing and gargling with 1% povidone iodine and 3% hydrogen peroxide on the CT value of SARS-CoV-2.
Methods: 45 subjects were patients recruited from Persahabatan General Hospital infected with SARS-CoV-2 according to the inclusion and exclusion criteria. The subjects were divided into 1% povidone iodine group, the 3% hydrogen peroxide group, and the control group. The subjects were instructed to rinse their mouths for 30 seconds and gargle for 30 seconds at the back of the throat with 15 mL of the mouthrinse 3 times a day for 5 days. Analysis of CT values were carried out using RT-PCR on day 1, day 3 and day 5 after mouthrinsing and gargling.
Results: Significant differences were found in the results of the Friedman test, and the CT value demonstrated increases from the initial, day 1, day 3 and day 5 in the whole group and each group. The results of the Post-Hoc test with Wilcoxon showed significant differences in the whole day group of the CT value of the whole group and the 1% povidone iodine group. Significant differences in most of the day group were found from the results of the Post-Hoc test with Wilcoxon in the 3% hydrogen peroxide group and the control group, except between day 1 and day 3 and between day 3 and day 5 in the 3% hydrogen peroxide group and between day 3 and day 5 in the control group. The highest increase in the initial CT value until day 1 was found in the 3% hydrogen peroxide group, while the increase between days 1 to 3 and day 3 to day 5 was found in the 1% povidone iodine group. Age and gender showed no significant correlation with changes in CT values.
Conclusion: Mouthrinsing and gargling with 1% povidone iodine and 3% hydrogen peroxide were found to increase the CT value of SARS-CoV-2. The highest increase in the initial CT value until day 1 was found in the 3% hydrogen peroxide group, while between days 1 to 3 and day 3 to day 5 was found in the 1% povidone iodine group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amri Muhyi
"Pendahuluan: Fraktur akibat kecelakaan merupakan masalah kesehatan yang menduduki peringkat ke sembilan secara global dan diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga pada tahun 2030. Dari seluruh kasus fraktur, kejadian delayed union berkisar antara 5-10%. Delayed union menimbulkan disabilitas, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan biaya pengobatan. Saat ini, penanganan delayed union terbaik dengan bone graft masih terbatas persediaannya. Terapi mutakhir penanganan delayed union menggunakan sintesis osteoinduktif seperti BMP-2 sudah banyak diteliti dan digunakan namun biayanya sangat mahal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas citrus flavonoid dalam meningkatkan ekspresi BMP-2 dan VEGF sehingga dapat meningkatkan kualitas fracture healing pada model delayed union hewan coba tikus Sprague-Dawley.
Material dan Metode: Uji eksperimental ini menggunakan 30 tikus Sprague-Dawley yang menjadi model delayed union dengan perlakuan stripping periosteum. Tikus dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok yang diberikan citrus flavonoid 250 mcg, dan kelompok yang diberikan citrus flavonoid 500 mcg. Tikus dieuthanasia pada hari ke-15 dan hari ke-30 untuk melihat profil histomorfometrik, ekspresi BMP-2, dan ekspresi VEGF melalui aplikasi ImageScope.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan area penulangan yang secara bermakna lebih luas pada kelompok 250 mcg dibandingkan dengan kelompok kontrol (p = 0.047) dan juga pada kelompok 500 mcg dibandingkan dengan kelompok kontrol (p = 0.047) pada hari ke-15. Pembentukan kalus pada hari ke-15 juga ditemukan lebih cepat pada kelompok 250 mcg dan kelompok 500 mcg dibandingkan dengan kontrol (p = 0.009, p = 0.009). Ekspresi BMP-2 paling tinggi didapatkan pada kelompok 250 mcg. BMP-2 secara bermakna lebih besar pada kelompok 250 mcg dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada hari ke-15 maupun hari ke-30 (p < 0.05). Selain itu, ekspresi BMP-2 pada kelompok 500 mcg juga ditemukan secara bermakna lebih besar dibandingkan kelompok kontrol namun hanya pada hari ke-30. Ekspresi VEGF terbesar didapatkan pada kelompok 500 mcg dengan perbandingan yang secara signifikan lebih besar daripada kelompok kontrol dan 250 mcg (p < 0.05). Penelitian ini menunjukkan ekspresi BMP-2 yang memiliki dosis terapeutik terbaik di 250 mcg dengan penambahan dosis yang menimbulkan efek negative pada produksi BMP-2. Selain itu, ekspresi VEGF ditemukan paling baik pada dosis 500 mcg sehingga terdapat perbaikan penyembuhan fraktur baik pada kelompok 250 mcg maupun 500 mcg.
Kesimpulan: Citrus flavonoid meningkatkan penyembuhan fraktur melalui peningkatan ekspresi BMP-2 dan VEGF. Terjadi mekanisme negative feedback dari BMP-2 pada pemberian citrus flavonoid yang berlebihan.

Introduction: Fracture due to traffic accidents is ranked ninth among other problems in health sector and projected to be ranked third in 2030. Delayed union accounts for 5-10% of all fractures. It causes disability, lower quality of life, and increased cost of treatment. Currently, the ideal treatments of delayed union using bone graft application is still limited and sometimes inaccessible. Advanced alternative treatments using BMP-2 synthetics as osteoinductive factors is currently too expensive although it has been clinically proven by previous literatures. This study aimed to discover the effectivity of citrus flavonoid in increasing the expression of BMP-2 and VEGF to accelerate the fracture healing process of delayed union models of Sprague-Dawley rats.
Methods: This experimental study used 30 Sprague-Dawley rats that underwent periosteal stripping to create delayed union models. Subjects were allocated into three groups, namely control group, group with 250 mcg citrus flavonoid initial administration, and group with 500 mcg citrus flavonoid initial administration. The subjects were sacrificed in day 15 and day 30 to observe the histomorphometric profile, BMP-2 expression, and VEGF expression using ImageScope application.
Results: The area of lamellar bone was observed significantly higher in 250 mcg and 500 mcg groups compared to control group on day 15 (p = 0.047). The callus area showed similar result and significantly higher area were observed in 250 mcg and 500 mcg groups compared to control on day 15 (p = 0.009, p = 0.009). The highest BMP-2 expression was observed in 250 mcg group. Statistical test showed significant difference between 250 mcg with 500 mcg and 250 mcg with control groups (p < 0.05). The highest VEGF expression was seen in 500 mcg group, also with significant difference between 500 mcg group compared with 250 mcg and control on day 15. This study found the best therapeutic dose for BMP-2 was 250 mcg while the best therapeutic dose for VEGF was 500 mcg. Excessive addition of citrus flavonoid caused negative impact on BMP-2 expression. Markedly accelerated fracture healing was observed in both 250 mcg and 500 mcg groups.
Conclusion: Citrus flavonoid accelerated the fracture healing process by increasing the expression of BMP-2 and VEGF. There is a negative feedback mechanism of BMP-2 expression when excessive dose of citrus flavonoid was given.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>