Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163668 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Banjarnahor, Reny Damayanti
"Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan hiperglikemia sebagai karakteristik utama. Hiperglikemia terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, dan atau keduanya. Sekitar 50% penyandang diabetes di Indonesia belum terdiagnosis sehingga komplikasi akibat DM tidak dapat dihindari. Pengendalian terjadinya komplikasi dilakukan dengan kontrol glikemik secara teratur. Pemeriksaan kontrol glikemik antara lain dengan glukosa darah puasa, HbA1c, dan fruktosamin.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kadar fruktosamin dan HbA1c pada diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol, mengetahui perubahan kadar fruktosamin dan HbA1c setelah terapi 2 minggu dan 8 minggu, serta hubungan antara keduanya.
Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 33 subyek yang terdiri dari 24 orang perempuan dan 9 orang laki-laki. Subyek penelitian diikuti selama 2 minggu dan 8 minggu sejak dilakukan perubahan terapi. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai April 2015. Subyek yang termasuk dalam penelitian adalah diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol dengan HbA1c>7%.
Hasil penelitian diperoleh nilai median dan rentang fruktosamin pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 berturut-turut 362 μmol/L (257-711), 327 μmol/L (234-616), dan 350 μmol/L (245-660). Kadar HbA1c memiliki nilai median dan rentang pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 yaitu 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7), dan 8.4% (5.9-14.2). Terdapat penurunan bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c dengan p<0.001. Adanya korelasi yang kuat dan arah korelasi yang positif antara fruktosamin dan HbA1c (minggu ke-0, r=0.86; minggu ke-2, r=0.82; minggu ke-8, r= 0.84).
Pada penelitian ini diperoleh penurunan yang bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c pada 2 minggu dan 8 minggu setelah terapi dengan korelasi yang kuat ( r > 0.8) dan arah korelasi positif. Fruktosamin lebih baik digunakan untuk kontrol glikemik jangka menengah (2 minggu) sedangkan HbA1c lebih baik dipakai untuk kontrol glikemik jangka panjang (8 minggu).

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with hyperglycemia as the main characteristics. Hyperglycemia occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action, or both. Approximately 50% of people with diabetes in Indonesia have not been diagnosed, thus complications due to diabetes cannot be avoided. Taking control of diabetes mellitus can be done through glycemic control measurements on a regular basis. Fasting blood glucose, HbA1c, and fructosamine tests are lists of key features for glycemic control measurements.
The aims of this study was to overview the levels of fructosamine and HbA1c in uncontrolled type-2 diabetes mellitus, determine changes in fructosamine and HbA1c levels after two weeks and eight weeks of treatment, and analyze the relationship between the two.
This study used a prospective cohort design with 33 subjects consisted of 24 women and 9 men. Subjects were followed for two weeks and eight weeks after the initial therapy amendment. The study began in February and April 2015. The subjects included in the study were uncontrolled type-2 diabetes mellitus with HbA1c> 7%.
Fructosamine concentration, given as median and range values, at weeks 0, 2, and 8 were 362 μmol/L (257-711), 347 μmol/L (234-660), and 333 μmol/L (235-676), respectively. HbA1c levels (median and range) at weeks 0, 2, and 8 were 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7) and 8.4% (5.9-14.2). There was a significant reduction of fructosamine and HbA1c levels (p <0.001). A strong and positive correlation were found between fructosamine and HbA1c (week 0, r = 0.86; week 2, r = 0.82; week 8, r = 0.84).
From this study, it can be concluded that fructosamine and HbA1c levels were significantly reduced at weeks 2 and 8 after treatment, with a positive strong correlation (r> 0.8). Thus, fructosamine is preferable for medium-term (two weeks) glycemic control while the HbA1c is preferred for long-term (eight weeks) glycemic control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yati Darmiati
"Diabetes Melitus tipe 2 merupakan sekumpulan gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia. Komplikasi klinis akibat DM berkolerasi dengan status glikemik, sehingga diperlukan upaya pengontrolan status glikemik pasien DM, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang untuk mencegah atau mengurangi komplikasi progresif akibat penyakit tersebut. Parameter laboratorium untuk pemantauan status glikemik meliputi kadar glukosa darah harian, HbA1c, dan albumin glikat (AG).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kadar HbA1c dan kadar AG pada pasien DM tipe 2 tidak terkontrol, mendapatkan korelasi antara kadar HbA1c dan kadar AG, juga melihat penurunan kadar HbA1c dan AG sesudah terapi 1 dan 3 bulan. Penelitian dilakukan dengan desain studi diagnostik, yang melibatkan 32 subyek penelitian yang diikuti selama 3 bulan mulai bulan Februari hingga Mei 2014. Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan oleh dokter Spesialis Penyakit Dalam dan diagnosis DM tipe 2 tidak terkontrol didapatkan dari hasil pemeriksaan HbA1c > 7 %.
Hasil penelitian mendapatkan rerata (SD) kadar glukosa darah puasa bulan ke-0, ke-1, dan ke-3 berturut-turut sebesar 170,5(51,6) mg/dL; 162,7(54,6) mg/dL, dan 147,3(45,9) mg/dL. Median (rentang) kadar glukosa darah 2 jam postprandial l(G2PP) bulan ke-0 dan ke-1 sebesar 220 mg/dL (90-544) mg/dL dan 191,5 mg/dL (114-468) mg/dL; rerata(SD) kadar G2PP bulan ke-3 sebesar 201(65,98) mg/dL. Korelasi antara kadar HbA1c dan kadar AG adalah : pada bulan ke-0, r=0,79, p<0,001, bulan ke-1 r=0,74, p<0,001 dan bulan ke-3 r=0,78, p<0,001.
Penurunan kadar HbA1c dari baseline (delta-1) dan pada bulan ke-3 (delta-3) adalah median (rentang) delta-1 sebesar 0,43% (0,35-0,74)%, p<0,001 dan median (rentang) delta-3 sebesar 0,89% (0,64-2,30)%, p<0,001. Penurunan kadar AG bulan ke-1 dari baseline (delta-1) dan pada bulan ke-3 (delta-3): median (rentang) delta-1 sebesar 0,94% (0,48-1,64)%, p<0,001, dan median (rentang) delta-3 sebesar 1,79% (0,33-1,40)%, p<0,001.
Kami menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif bermakna antara kadar HbA1c dan kadar AG pada bulan ke-0, ke-1, dan ke-3, dengan kekuatan korelasi kuat (r = 0.7-0.8), selain itu terdapat penurunan kadar HbA1c dan AG yang bermakna sesudah terapi 1 dan 3 bulan.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a group of metabolic disorders with hyperglycemic characteristic. Clinical complications of DM correlate with glycemic state, therefore it is necessary to make an effort to control DM glycemic state, in short-, medium-, and long-term to prevent or minimize progressive complications due to the disease. Laboratory parameters to monitor glycemic state include daily blood glucose, HbA1c, and glycated albumin (GA).
This study aimed to obtain HbA1c and GA levels in uncontrolled type 2 DM patients, the correlations between HbA1c and GA levels, and also the decrease in HbA1c and GA levels after 1 month and 3 months treatment. This was a diagnostic study involving 32 subjects that were followed for 3 months from February to May 2014. Type 2 DM was diagnosed by the internist in the Department of Internal Medicine and the uncontrolled type 2 DM was confirmed by HbA1c measurement of > 7%.
The results showed that mean (SD) fasting blood glucose levels at baseline, 1 month and 3 months were 170.5 (51.6) mg/dL; 162.7 (54.6) mg/dL, and 147.3(45.9) mg/dL, respectively. Median (range) 2 hours postprandial blood glucose levels at baseline and 1 month respectively, were 220 mg/dL (90-544) mg/dL and 191.5 mg/dL, respectively, and mean (SD) at 3 months was 201,7 (65,98) mg/dL. Correlations between HbA1c and GA levels : at baseline r =0.79, p<0.001, at 1 month r=0.74, p<0.001 and at 3 months r=0.78, p<0.001.
Decreases of HbA1c level from baseline, at 1 month (delta-1) and at 3 months (delta-3) : median (range) delta-1was 0.43% (0.35-0.74)%, p<0.001 and median (range) delta-3 was 0.89% (0.64-2.30)%, p<0.001. Decreases of GA level from baseline, at 1 month (delta-1) and at 3 months (delta-3) : median (range) delta-1 was 0.94%(0.48-1.64)%, p<0.001, and median (range) delta-3 was 1.79%(0.33-1.40)%, p<0.001.
We concluded that there were significant positive correlations between HbA1c and GA levels at baseline,1 month and 3 months, with strong correlations (r=0.7-0.8). In addition, there were also significant decreases in HbA1c and GA levels from baseline at 1 month and 3 months therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelique Valentia Wijaya
"Penyakit Ginjal Diabetes (PGD) merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular dari penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) yang cenderung tidak terdeteksi secara dini sehingga diperlukan biomarker yang lebih efektif untuk mendeteksi penyakit ini. Tingginya HbA1c diketahui berpengaruh pada progresivitas PGD karena berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (eGFR) dan peningkatan rasio albumin kreatinin urin (UACR). Penelitian ini merupakan studi metabolomik tidak tertarget dan bertujuan untuk membandingkan metabolit urin pasien DMT2 risiko PGD rendah dengan HbA1c terkontrol dan tidak terkontrol pada pasien yang mengonsumsi terapi metformin-glimepirid. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dengan teknik pengambilan sampel non-probabilitas di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Sebanyak 32 sampel dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok HbA1c terkontrol (n=16) dan kelompok HbA1c tidak terkontrol (n=16). Sampel darah diambil untuk pengukuran HbA1c dan eGFR sedangkan sampel urin diambil untuk pengukuran UACR dan dianalisis metabolitnya. Analisis metabolit dilakukan menggunakan LC/MS-QTOF dan diolah datanya menggunakan MetaboAnalyst 6.0 serta berbagai database. Signifikansi metabolit antarkelompok diseleksi dengan parameter VIP>1, log2(FC)>1,2, dan p-value<0,05. Tiga metabolit yang berpotensi menjadi biomarker (AUC>0,65), yaitu oxaloacetate, 5'-phosphoribosyl-N-formylglycinamidine, dan (S)-dihydroorotate. Berdasarkan ketiga metabolit tersebut, jalur metabolisme yang terlibat meliputi (1) alanin, aspartat, dan glutamat, (2) asam sitrat (siklus Krebs), (3) glukoneogenesis, (4) piruvat, (5) pirimidin, dan (6) purin.

Diabetic Kidney Disease (DKD) is one of the microvascular complications of Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) which tended not to be detected early, necessitating more effective biomarkers for its detection. Uncontrolled HbA1c was significantly associated with the progression of DKD because it is associated with a decrease in glomerular filtration rate (eGFR) and an increase in the urine albumin creatinine ratio (UACR). This study was an untargeted metabolomics study and aimed to compare urine metabolites in low-risk DKD T2DM patients with controlled and uncontrolled HbA1c undergoing metformin-glimepiride therapy. Conducted with a cross-sectional design and non-probability sampling at Pasar Minggu District Health Center, 32 samples were split into controlled (n=16) and uncontrolled HbA1c groups (n=16). Blood samples were taken for measurement of HbA1c and eGFR, while urine samples were taken for measurement of UACR and analyzed for metabolites. Metabolite analysis was carried out using LC/MS-QTOF and the data were processed using MetaboAnalyst 6.0 and various databases. Significant metabolites were identified with VIP>1, log2(FC)>1.2, and p-value<0.05. Three metabolites, namely oxaloacetate, 5'-phosphoribosyl-N-formylglycinamidine, and (S)-dihydroorotate, emerged as potential biomarkers (AUC>0.65). The involved metabolic pathways included (1) alanine, aspartate, and glutamate, (2) citric acid (Krebs cycle), (3) gluconeogenesis, (4) pyruvate, (5) pyrimidine, and (6) purine."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Dorthy Santoso
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit metabolik yang sering dijumpai dan merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit DM meningkat dengan pesat dan akan menjadikan Indonesia peringkat ke empat dunia. Betambahnya jumlah penyandang DM dan komplikasi akibat DM menjadi beban negara terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu komplikasi yang terkait dengan bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah komplikasi mikrovaskular yakni neuropati. Neuropati otonom ditandai dengan kulit kering dan jumlah keringat yang berkurang. Kekeringan kulit yang tidak di tata laksana dengan baik mempermudah timbulnya kaki diabetik.
Tujuan: Mengetahui pengaruh kadar HbA1c dan gula darah terhadap kulit kering pada pasien DM tipe 2.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Endokrin Ilmu Penyakit Dalam dan Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat kekeringan kulit dengan menggunakan penilaian SRRC, dilanjutkan dengan pemeriksaan corneometer dan tewameter. Terakhir dilakukan pemeriksaan laboratorium darah untuk kadar HbA1c dan GDS.
Hasil: Didapatkan total 95 subjek dengan usia rerata 54 tahun, hampir sebagian besar pasien tidak merokok, tidak menggunakan pelembap dan AC, tidak menggunakan air hangat untuk mandi, mengkonsumsi obat penurun kolesterol, mengalami neuropati dan menopause, serta durasi lama DM ≥5 tahun. Hasil utama penelitian ini didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar HbA1c dengan nilai SRRC berdasarkan uji nonparametrik Spearman (r = 0,224; p = 0,029). Perhitungan statistik dilanjutkan kembali dengan analisis stratifikasi dan regresi linear stepwise.

Background: Type 2 diabetes mellitus is one of the most common metabolic diseases and is one of the top four non-contagious priorities. DM prevalence has been increasing rapidly and would make Indonesia ranked fourth in the worldwide. The increasing number of people with DM and its associated complications are major burden, especially for developing countries such as Indonesia. One of the complications associated with Dermatology and Venereology is microvascular complications, specifically neuropathy. Autonomic neuropathy is characterized by dry skin and reduced amount of sweat. Unmanaged dry skin is a potential risk factor of developing diabetic foot.
Objective: To determine the effect of HbA1c and blood glucose level on dry skin in type 2 diabetes mellitus patient.
Methods: This study was a cross-sectional study conducted on patients with type 2 diabetes mellitus in the Endocrine outpatient clinic of the Internal Medicine and Dermatology and Venereology outpatient clinic of RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta from July to September 2018. History taking, physical examination to determine the degree of skin dryness using SRRC assessment, followed by examination of the corneometer and tewameter. At last, blood test examination was performed for HbA1c and random blood glucose levels measurement.
Results: A total of 95 subjects were enrolled with an average age of 54 years, most if the patients were non-smoker, did not use moisturizers and air conditioning, did not use warm water for bathing, consumed cholesterol lowering agent, experienced neuropathy and menopause, and have been suffering DM for more than 5 years. The main results of this study were statistically significant correlation between HbA1c levels and SRRC values based on the Spearman nonparametric test (r = 0,224; p = 0,029). Statistical calculations were continued with stratification analysis and stepwise linear regression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Dorthy Santoso
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit metabolik yang sering dijumpai dan merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit DM meningkat dengan pesat dan akan menjadikan Indonesia perillgkat kc empat dunia. Bctrunbalmya jumlnh penyandang DM dan komplikasi akibat DM menjadi beban negara terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu komplikasi yang l~rkail d~Ilgan bidang Hum Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah komplikasi mikrovaskular yakni neuropati. Neuropati otonom ditandai dengan kulit kering dan jumlah keringat yang berkurang. Kekeringan kulit yang tidak di tata laksana dengan baik mempennudah timbulnya kaki diabetik. Tujuan: Mengetahui pengaruh kadar HbAle dan gula darah terhadap kulit kering pada pasien DM tipe 2. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklini.k Endokrin IImu Penyakit Dalam dan Poliklinik Hmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat kekeringan kulit dengan menggunakan penilaian SRRC, dilanjutkan dengan pemeriksaan eorneometer dan tewameter. Terakhir dilakukan pemeriksaan laboratorium darah untuk kadar HbAle dan GDS. Basil: Didapatkan total 95 subjek clengan usia rerata 54 tahun, hampir sebagian besar pasien tidak merokok, tidak menggunakan pelembap dan AC, tidak menggunakan air hangat untuk mandi, mengkonsumsi obat penurun kolesterol, mengalami neuropati dan menopause, serta durasi lama DM 2:5 tabun. Hasil utama penelitian ini didapatkan korelac;;i yang hennakna seeara statistik antara kadar HbAle dengan nilai SRRC berdasarkan uji nonparametrik Spearman (r· = 0,224; P = 0,029). Perhitungan statistik dilanjutkan kembali dengan anal isis stratiflkasi dan regresi linear stepwise. Kesimpulan: Pada pasicn DM tipe 2 terdapat peningkatan SRRC dan SCap yang dipengaruhi oleh kadar HbAle.

Background: Type 2 diabetes mellitus is one of the most common metabolic diseases and is one of the top four non-contagious priorities. DM prevalence has been increasing rapidly and would make Indonesia ranked fourth in the worldwide. The increasing number of people with DM and its associated complications are major burden, especially for developing countries such as Indonesia. One of the complications associated with Dermatology and Venereology is microvascular complications, specifically neuropathy. Autonomic neuropathy is characterized by dry skin and reduced amount of sweat. Unmanaged dry skin is a potential risk factor of developing diabetic foot. Objective: To determine the effect ofHbAlc and blood glucose level on dry skin in type 2 diabetes mellitus patient. Methods: This study was a cross-sectional study conducted on patients with type 2 diabetes mellitus in the Endocrine outpatient clinic of the Internal Medicine and Dermatology and Venereology outpatient clinic of RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta from July to September 2018. History taking, physical examination to dctcrminc the degree of skin dryness using SRRC assessment, followed by examination of the comeometer and tewameter. At last, blood test examination was performed for HbAlc and random blood glucose levels measurement. Results: A total of95 subjects were enrolled with an average age of 54 years, most if the patients were non-smoker, did not use moisturizers and air conditioning, did not use warm water for bathing, consumed cholesterol lowering agent, experienced neuropathy and menopause, and have been suffering DM for more than 5 years. The main results of this study were statistic3.Ily significant correlation between HbAlc levels and SRRC values based on the Spearman nonparametric test (r = 0,224; P = 0,029). Statistical calculations were continued with stratification analysis and stepwise linear regression. Conclusion: Type 2 DM patients experience increment in SRRC and SCap, which are associated with HbA 1 c level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
T59211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devo Fitrah Ramadhan
"Penyakit ginjal diabetes (PGD) merupakan komplikasi jangka panjang yang terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Parameter laju filtrasi glomerulus (LFG) dan albuminuria untuk diagnosis PGD memiliki keterbatasan sehingga cenderung tidak terdeteksi secara dini. Oleh karena itu, diperlukan biomarker yang lebih efektif untuk mendeteksi penyakit ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil metabolit serum pasien DMT2 risiko rendah PGD yang mengonsumsi metformin-glimepirid dengan nilai HbA1c terkontrol dan nilai HbA1c tidak terkontrol. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling sesuai dengan kriteria inklusi yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Total sebanyak 32 sampel penelitian yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok risiko HbA1c terkontrol (n=16) dan kelompok risiko HbA1c tidak terkontrol (n=16). Berdasarkan analisis karakteristik dasar dan klinis, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada seluruh karakteristik dasar dan klinis. Analisis metabolomik tidak tertarget dilakukan dengan menggunakan liquid chromatography-mass spectrometry quadrupole time-of-flight (LC/MS-QTOF) dan pengolahan data menggunakan MetaboAnalyst 6.0 serta identifikasi metabolit menggunakan beberapa database, seperti HMDB, Metlin, Pubchem, dan KEGG. Hasil analisis statistik ditampilkan dalam grafik Principal Component Analysis (PCA), Partial Least Squares-Discriminant Analysis (PLS-DA), dan heatmap. Beberapa parameter untuk menentukan metabolit yang signifikan dalam penelitian ini, yaitu nilai (log2(FC)>1,2), variable importance in projection (VIP>1), p value (p<0,05), dan nilai area under the curve (AUC>0,65). Hasil analisis metabolomik menunjukkan bahwa terdapat 10 metabolit yang signifikan berbeda antara 2 kelompok subjek penelitian dan 1 metabolit potensial dijadikan sebagai biomarker PGD, yaitu lysoPC(18:1(9Z)/0:0 yang terlibat dalam jalur metabolisme gliserofosfolipid dengan tren naik terhadap HbA1c tidak terkontrol.

Diabetic kidney disease (DKD) is a long-term complication that occurs in patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM). The parameters of glomerular filtration rate (GFR) and albuminuria for the diagnosis of DKD have limitations and tend not to be detected early. Therefore, more effective biomarkers are needed to detect this disease.  This study aimed to determine the serum metabolite profile of low risk T2DM patients with PGD who take metformin-glimepirid with controlled HbA1c and uncontrolled HbA1c values. The research was conducted using a cross-sectional design with nonprobability sampling techniques at Pasar Minggu District Health Center. A total of 32 research samples were divided into two groups, namely the controlled HbA1c risk group (n = 16) and the uncontrolled HbA1c risk group (n = 16). Untargeted metabolomic analysis was performed using LC/MS-QTOF and the data was processed using MetaboAnalyst 6.0 and various databases including the HMDB, METLIN, PubChem, and KEGG. The signature metabolites determined by Projections to Latent Structures Discriminant Analysis with Variable Importance for the Projection > 1.0, fold change >1.2, p-value <0.05, and Area Under the Receiver Operating Characteristic Curve > 0.65. The results showed 10 metabolites that were significantly different between the 2 groups of study subjects. The metabolic pathway analysis of these metabolites found that likely the three metabolic pathways were glycerophospholipids, porphyrin, and sphingolipid metabolism. Only one metabolite is qualified as DKD  potential biomarker between the two groups, namely lysoPC(18:1(9Z)/0:0 which is involved in the glycerophospholipid metabolic pathway with an upward trend towards uncontrolled HbA1c groups."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Wahyu Puspitasari
"Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan pada pasien DM tipe 2 menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol sehingga meningkatkan resiko komplikasi. Edukasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan. Keterbatasan tenaga Apoteker di puskesmas di Indonesia menyebabkan edukasi tidak dapat dilakukan secara efektif sehingga perlu dicari alternatif edukasi lain, seperti pemberian booklet.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian booklet obat terhadap tingkat kepatuhan melalui Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8 dan hemoglobin terglikasi (HbA1C) pada pasien DM tipe 2 dari Maret sampai Mei 2012. Penelitian merupakan pre-eksperimental yang dilakukan secara prospektif di puskesmas Bakti Jaya Kota Depok. Sampel terdiri dari 30 pasien DM tipe 2 yang diberikan booklet pengobatan DM. Skor MMAS-8 dan persentase HbA1C diukur sebelum dan 8 minggu sesudah pemberian intervensi.
Hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan uji paired t test untuk HbA1C dan uji Wilcoxon untuk MMAS-8. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (p < 0,05) terhadap nilai HbA1C dan MMAS-8 antara sebelum dan 8 minggu setelah pemberian intervensi. Dengan demikian, penelitian ini mengindikasikan bahwa edukasi diabetes melalui pemberian booklet pengobatan efektif membantu meningkatkan kepatuhan pasien. Penelitian ini juga menyatakan bahwa pasien yang memiliki skor MMAS-8 yang rendah dikaitkan memiliki pengukuran HbA1C yang juga rendah.

Diabetes Mellitus (DM) is a chronic metabolic disorder characterized by elevation of blood glucose concentration. Non-adherence to diabetes treatment in type 2 DM patients leads to poor glucose control and increases the risk of disease complications. Education is one of way to increase medication adherence. Limitation of pharmacists in public primary health care in Indonesia led to education could not be done effectively so that it was necessary to find other alternatives education such as medication booklet.
This study was undertaken to evaluate the effect of a medication booklet on adherence rate parameters, such as The 8-item Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) and glycosylated haemoglobin (HbA1C) in type 2 diabetic patients from March to May 2012. This were pre-experimental and prospective study conducted at Bakti Jaya primary care, Depok. A convenience sample of 30 type 2 diabetic patients was studied to receive medication booklet. The value of MMAS-8 and percentage of HbA1C were measured before and after the 8-week intervention.
The results were analyzed by paired t-test for HbA1C and Wilcoxon test for MMAS-8. It showed that there were significant differences (p < 0.05) of the value of HbA1C and MMAS-8 between before and after the 8-week intervention. It indicated that a diabetes education by medication booklet, was effective enhancing their medication adherence. This study also found that patients with a lower score on the Morisky scale had a lower HbA1C measurement."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31262
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Saptarini
"Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 mengalami peningkatan risiko kanker yang diduga diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan inflamasi. Ketiga faktor tersebut dapat menginduksi proses tumorigenesis melalui jalur glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan mutan p53 sebagai tumor marker pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker, mengukur dan membandingkan HbA1c pada kedua kelompok, serta melihat korelasi mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Kelompok yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 (n = 51) dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis mutan p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer.
Pada penelitian ini kadar serum mutan p53 pada kelompok pasien DM tipe 2 (1,62 ± 0,08 ng/ml) tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (1,64 ± 0,09 ng/ml) (p = 0,774). Sementara itu, HbA1c pada kelompok DM tipe 2 (8,42 ± 0,25 %) berbeda bermakna dengan kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c, baik pada kelompok DM tipe 2 (r = 0,083; p = 0,561), maupun kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (r = 0,072; p = 0,617). Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mutan p53 pada kelompok DM tipe 2 dan DM tipe 2 yang menderita kanker tidak berbeda bermakna, namun HbA1c pada kedua kelompok berbeda bermakna. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok.

Type 2 Diabetes Mellitus has been found to increase the risk of cancer which is caused by conditions of hyperglycemia, hyperinsulinemia, and inflammation. These three factors are able to induce tumorigenesis through mechanisms of glucotoxicity, lipotoxicity, and oxidative stress. This study aimed to measure and compare mutant p53 as tumor marker in Type 2 Diabetes Mellitus patients and Type 2 Diabetes Mellitus patients with cancer, to measure and compare HbA1c level in both groups, and to analyze the correlation between mutant p53 and HbA1c level in both groups. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling technique in which two groups were involved, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 51) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Serological level of mutant p53 protein was analyzed using ELISA and HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer.
The serological level of mutant p53 in the type 2 diabetes mellitus patients (1.62 ± 0.08 ng/ml) showed no significant difference compared with type 2 diabetes mellitus patients with cancer (1.64 ± 0.09 ng/ml) (p = 0.774). Meanwhile, HbA1c level showed significant difference between type 2 diabetes mellitus patients (8.42 ± 0.25 %) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (7.02 ± 0.20 %) (p < 0.001). Mild correlations between mutant p53 and HbA1c level were found in both type 2 diabetes mellitus patients (r = 0.083; p = 0.561) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (r = 0.072; p = 0.617). Based on the result, there was no significant difference between mutant p53 in type 2 diabetes mellitus patients with and without cancer. HbA1c level was found to be significantly different in both groups. Meanwhile, there was no significant correlation between mutant p53 and HbA1c in both groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karla Carolina
"Beberapa studi epidemiologi dan meta analisis menunjukkan faktor risiko berhubungan dengan diabetes melitus dan kanker, diantaranya jenis kelamin, usia, hiperglikemia dan obesitas. Hiperinsulinemia, hiperglikemia dan inflamasi pada diabetes dapat menginduksi kerusakan sel yang bertransformasi  menjadi sel kanker. Kerusakan sel dapat berupa stress oksidatif, lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan non-parallel sampling design yang bertujuan untuk mengukur dan melihat hubungan antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada dua kelompok. Kelompok pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 (n = 78) dan pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis antibodi anti-p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer. Pada penelitian ini kadar serum antibodi anti-p53 pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (0,25 ± 0,05 U/ml) berbeda bermakna dengan kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). Sementara, HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 (8,39 ± 0,23 %) berbeda bermakna dengan kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak ada korelasi antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (r = -0,188,  p = 0,099).  Terdapat korelasi sedang antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (r = -0,359, p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antibodi anti-p53 dan HbA1c pada kedua kelompok. Terdapat hubungan negatif yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown risk factors are related with diebetes mellitus and cancer, they are such as gender, age, hyperglycemia and obesity. Hyperinsulinemia, hyperglycemia dan inflamation on diabetes can induce cell destruction that are transformed into cancer cells. Cell destruction form of oxidative stress, lipotoxicity and glucotoxicity. This study was a cross-sectional with  non-parallel sampling design which compares and analyzes the correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus and type 2 diabetes mellitus with cancer, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 78) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Analyze for anti-p53 antibody was using ELISA,while HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer. The serological level of anti-p53 antibody in the type 2 diabetes mellitus (0,25 ± 0,05 U/ml) significant diference between type 2 diabetes mellitus type 2 (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). HbA1c showed significant difference in the type 2 diabetes mellitus (8,39 ± 0,23 %) between type 2 diabetes mellitus type 2 (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). There was no correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus (r=-0,188, p=0,099). There was moderate correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus with cancer (r = -0,359, p = 0,01).  Based on result showed there were significant difference between anti-p53 antibody with HbA1c in both groups. There was negative correlation anti-p53 antibody with HbA1c in the type 2 diabetes mellitus with cancer.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Muhammad Sakti
"ABSTRAK
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan pasien DM tipe 2 menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol. Pemberian informasi obat dan edukasi booklet merupakan salah satu cara meningkatkan kepatuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian informasi obat dan booklet terhadap penurunan kadar HbA1c pada pasien DM tipe 2 dari Maret sampai Juni 2017. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental yang dilakukan secara prospektif di Puskesmas Kembangan Jakarta Barat. Subjek penelitian sebanyak 30 pasien dibagi dalam dua kelompok, masing-masing terdiri lima belas pasien yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan informasi obat PIO dan booklet sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan PIO dan booklet. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar HbA1c. PIO dilakukan pada kelompok intervensi melalui edukasi langsung saat pemberian obat, telepon, layanan pesan singkat, dan booklet. Kadar HbA1c diukur sebelum dan 11 minggu setelah pemberian intervensi. Hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan uji t berpasangan untuk HbA1c. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan signifikan.

ABSTRACT
Diabetes mellitus DM is a chronic metabolic disorder characterized by elevation of blood glucose concentration. Non adherence to diabetes treatment in type 2 DM patients leads to poor blood glucose control. Provision of drug information and booklet education is one of way to increase adherence. This study was aim to evaluate the effect of give drug information and booklet on decrease HbA1c concentration in type 2 Diabetes mellitus patients from Maret until Juni 2017. This study was experimental method and prospective study conducted at puskesmas Kembangan Jakarta Barat. A convenience sample of 30 patients was divided two groups, there were 15 patients each other in control group and intervention grup. Intervention group was given by drug information and booklet, meanwhile control group without it. The next step is HbA1c concentration measurement. PIO in intervention group through direct education giving drug information, telephone, short message, and booklet. HbA1c concentration was measured before that and 11 weeks after intervention. The measurement results were analyzed using paired t test for HbA1c. The result of the analysis showed that there was significant difference."
2017
S67541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>