Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217865 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stephanie Apsari Suharto
"[ABSTRAK
Tugas Karya Akhir ini membahas mengenai kebijakan Mandatory Sentencing Law
yang diberlakukan di Northern Territory, Australia dengan memberikan hukuman
wajib atau hukuman minimal bagi pelaku tindak kejahatan properti dengan melihat
dampaknya terhadap masyarakat Aborigin. Melalui model penelitian kualitatif,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari sebuah kebijakan terhadap
kelompok minoritas di Australia. Teori kebijakan publik oleh James E. Anderson
digunakan untuk menjelaskan dampak kebijakan publik terhadap kelompok
minoritas.

ABSTRACT
This thesis scrutinizes Mandatory Sentencing Law as public policy that enforced in
Northern Territory, Australia by giving fixed or minimum penalty to the property
offenders and see how its impact on indigenous people of Australia. Through a
qualitative research, this study aims to discover impact of public policy on minority
group in Australia. The public policy theory by James E. Anderson is the theory
which used in this thesis to explain the impact of public policy to minority group., This thesis scrutinizes Mandatory Sentencing Law as public policy that enforced in
Northern Territory, Australia by giving fixed or minimum penalty to the property
offenders and see how its impact on indigenous people of Australia. Through a
qualitative research, this study aims to discover impact of public policy on minority
group in Australia. The public policy theory by James E. Anderson is the theory
which used in this thesis to explain the impact of public policy to minority group.]"
2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Berdnt, Ronald M.
Canberra : Australian Institute of Aboriginal Studies, 1987
305.899 1 BER e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lo, David
Darwin, N.T. : Charles Darwin University Press, 2005
616.009 LOD l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Berndt, Ronald M.
Melbourne: University Microfilms International, 1954
994.295 BER a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adelya Rizky Safanisa
"Penelitian ini menganalisis kebijakan pendidikan terhadap masyarakat Aborigin di wilayah Northern Territory Australia sejak 1948—1967. Kebijakan ini merupakan langkah pertama upaya pemerintah negara bagian bersama pemerintah federal dalam mengatasi ketimpangan pendidikan antara masyarakat Aborigin dan kulit putih sejak tahun 1948 hingga referendum pada tahun 1967. Pendidikan masyarakat Aborigin terutama di wilayah Northern Territory pada mulanya kurang mendapatkan perhatian secara khusus dari masyarakat kulit putih selaku pemangku jabatan dalam pemerintahan karena adanya sikap diskriminatif terhadap masyarakat Aborigin yang mengakibatkan mereka tidak dapat merasakan pendidikan yang setara dengan masyarakat kulit putih. Hingga muncul kesadaran dan upaya dari pemerintah untuk menangani permasalahan ini, salah satunya dengan merancang sebuah kebijakan pendidikan untuk masyarakat Aborigin di wilayah Northern Territory. Metode yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah metode sejarah dengan teknik penulisan deskriptif analitis. Sumber yang digunakan diperoleh dari beberapa literatur yaitu berupa sumber pustaka, arsip berupa dokumen pemerintah negara Australia, surat kabar, serta jurnal ilmiah. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa kebijakan pendidikan terhadap masyarakat Aborigin di wilayah Northern Territory Australia mulai dirancang oleh pemerintah dikarenakan beberapa faktor seperti goncangan identitas dan diskriminasi rasial masyarakat Aborigin dalam berbagai bidang. Selain itu, dalam perkembangannya juga memberikan dampak yang baik terutama dalam aspek kesiapan pembelajaran pendidikan, lingkup sosial, dan pemenuhan kebutuhan hidup sendiri yang sama dengan masyarakat kulit putih.

This research analyses the education policy towards Aboriginal people in the Northern Territory of Australia from 1948—1967. This policy was the first step of the state government's efforts with the federal government in overcoming educational inequality between Aboriginal and white people from 1948 until the referendum in 1967. The education of Aboriginal people, especially in the Northern Territory, initially did not receive special attention from the white community as stakeholders in the government because of the discriminatory attitude towards Aboriginal people which resulted in them not being able to experience education equal to the white community. Until there was awareness and efforts from the government to deal with this problem, one of which was by designing an education policy for Aboriginal people in the Northern Territory. This research uses the historical method with analytical and descriptive writing techniques. The sources used were obtained from several works of literature, such as library sources, archives in the form of documents from the Australian government, newspapers, and scientific journals. The results of this research show that the government in the Northern Territory of Australia created educational policies for Aboriginal people in response to several reasons, including identity shock and racial discrimination against Aboriginal people in various fields. This policy's development also had a positive effect, particularly in terms of readiness for educational learning, social scope, and the ability to fulfill the fundamental needs of living that are the same as white people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Duncan, Ross
Melbourne: Melbourne University Press, 1967
338.176 2 DUN n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Yulia
"ABSTRAK
Dalam rangka tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah, pada tanggal 31 Maret 2015 Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam PBI tersebut diatur bahwa setiap pihak, baik perorangan maupun badan usaha, wajib menggunakan rupiah dalam tiap transaksi tunai maupun non tunai di dalam wilayah Republik Indonesia. Terhadap kewajiban penggunaan rupiah sebagaimana yang diatur oleh PBI Nomor 17/3/PBI/2015, terdapat keberatan dari sejumlah pihak terutama dari sektor energi. Hal ini disebabkan oleh adanya karakteristik khusus dalam industri energi sehingga sebagian besar kontrak kerjasama di bidang tersebut masih menggunakan dan membutuhkan pembayaran dalam mata uang asing. Demikian pula halnya dengan industri di sektor minyak dan gas bumi, pada tanggal 23 Juni 2015 Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun telah mengajukan surat permohonan diberikannya pengecualian terhadap implementasi PBI Nomor 17/3/PBI/2015. Yang kemudian permohonan tersebut disetujui oleh Bank Indonesia melalui suratnya Nomor 17/573/DKSP tanggal 1 Juli 2015, berisikan bahwa Bank Indonesia sepakat dengan road map pemenuhan ketentuan kewajiban penggunaan rupiah yang disampaikan oleh SKK Migas dalam 3 (tiga) jenis kategori dan memberikan jangka waktu penerapannya paling lambat 30 September 2015 untuk kategori yang harus menggunakan rupiah. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K-KKS) perlahan-lahan menyesuaikan seluruh kegiatan usahanya dengan ketentuan PBI No. 17/3/PBI/2015, antara lain penyelenggaraan tender, perpanjangan atau pembaharuan kontrak dengan para kontraktornya. Namun demikian, masih terdapat kendala pada kontraktor dari K-KKS, terutama untuk jenis kontrak lumpsum, karena ada beberapa material dan peralatan yang hanya tersedia di luar negeri dan harga ditentukan dalam mata uang asing, sehingga kontraktor pada saat menentukan nilai kontrak harus dapat memperkirakan dengan sebaik-baiknya nilai tukar yang sekiranya berlaku pada saat pembayaran terhadap vendor asing tersebut dilakukan. Penulisan ini merupakan penelitian hukum normatif. Penulis melakukan wawancara dengan narasumber dari pihak terkait guna melengkapi hasil penelitian. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

ABSTRACT
In the framework to achieve the stability of the Indonesian Rupiah currency, on March 31, 2015, Bank Indonesia issued Bank Indonesia Regulation Number 17/3/PBI/2015 regarding the Mandatory Use of the Indonesian Currency in the Territory of the Republic of Indonesia, as the implementing regulation of the Law of the Republic of Indonesia Number 7 of 2011 regarding Currency. The said Bank Indonesia regulation stipulates that any party, individual or business entity, shall mandatorily use the Indonesian Rupiah currency on any cash or noncash transaction conducted in the territory of the Republic of Indonesia. An objection has arisen from various parties as the result of the promulgation of the said Bank Indonesia Regulation number 17/3/PBI/2015, in particular from the energy business sector. This is due to the specific characteristic in the energy business sector in which most of the cooperation contracts in that sector remain using and require the use of foreign currency. Similarly with the oil and gas business sector, on June 23, 2015 the Special Task Force For Upstream Oil and Gas Business Activities Republic of Indonesia (SKK Migas) has applied for an exemption from the application of the Bank Indonesia Regulation Number 17/3/PBI/2015. The said application was further approved by Bank Indonesia through its Letter Number 17/573/DKSP dated July 2015, which stipulates among others that Bank Indonesia could agree to the 3 (three) categories for the fulfilment of mandatory use of Indonesian Rupiah currency as set out in the road map and further grants an extension for the fulfilment of such obligations by no later than September 30, 2015 for the category that must use Indonesian Rupiah currency. A contractor to the Production Sharing Contract shall gradually adjust its business activities in compliance with the PBI Number 17/3/PBI/2015, among others the tender process, the extension or renewal of the contract with the contractor. However, there are still barriers faced by a contractor to the Production Sharing Contract, in particular to the lump sum contract wherein some of the materials and/or the equipment required under the contract are only available offshore and the price is set in the foreign currency, therefore the contractor to the Production Sharing Contract shall carefully calculating the contract price and foreseeing the exchange rate that nay apply at the time payment to their offshore vendor be made. This thesis is a normative law research. The author conducted interviews with sources of relevant parties in order to complete the research. Data used in this thesis is secondary data consists of primary laws, secondary laws and tertiary legal materials.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stacia Faustine
"Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.

Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Summary:
This timely research review discusses key articles dealing with the importance of territory for international law in its relationship with power, state building and globalization. The collection also analyses the evolution and scope of the law of acquisition of territory from colonial times until today, the emergence of new areas for the territorial expansion of states and border delimitation rules. Finally, the review investigates the impact of the human dimension in the way international law addresses territorial issues, particularly the individual and collective human rights, including indigenous peoples and the right to self-determination.--Résumé de l'éditeur"
[Cheltenham] : Edward Elgar Publishing, In, 2016
341.42 TER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Effendi
"ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh efektivitas dewan komisaris, direksi, dan komite audit serta audit eksternal (biaya audit, ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), dan opini audit) terhadap tingkat pengungkapan wajib dan sukarela. Penelitian menggunakan sampel 142 perusahaan publik non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2011 dan 2012. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ukuran KAP berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat pengungkapan wajib, sedangkan efektivitas dewan komisaris dan direksi berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan wajib. Efektivitas direksi dan komite audit juga berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan sukarela, sedangkan audit eksternal tidak berpengaruh.


ABSTRACT

The aim of this research is to examine the impact of board commissionner, director, audit committee effectiveness and external audit (audit fee, audit firm and audit opinion) on mandatory and voluntary disclosure. This research used 142 non financial companies listed on Indonesian Stock Exchange on 2011 and 2012. The result of the test shows that audit firm size has negative significant impact on mandatory disclosure, while board commissionner and director effectiveness have positive significant impact on mandatory disclosure. Board of director and audit committee effectiveness also have positive significant impact on voluntary disclosure, while audit external doesn‟t have significant impact.

"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S57149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>