Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108837 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasan Basri, 1967-
"[ABSTRAK
Latar Belakang : Isu yang berkembang pada donor ginjal hidup adalah penurunan fungsi ginjal dan terjadinya hipertensi setelah dilakukan nefrektomi. Satu minggu setelah nefrektomi pola tekanan darah sirkadian berubah menjadi non dipper. Selanjutnya terjadi kompensasi sehingga fungsi ginjal akan stabil dalam 12 minggu. Namun belum diketahui apakah perbaikan fungsi ginjal akan diikuti oleh pola tekanan darah sirkadian kembali menjadi dipper.
Tujuan : Untuk mengetahui perubahan pola sirkadian tekanan darah donor ginjal hidup setelah 12 minggu nefrektomi unilateral.
Metode Penelitian : Studi Pre-experimental dengan before and after design. Subyek sebanyak 18 orang donor ginjal hidup sehat yang berusia 18-50 tahun . Peneltian dilakukan di RSCM pada bulan Januari 2015 sampai dengan Mei 2015. Tekanan darah diukur dengan 24 jam ABPM . Pemeriksaan kreatinin darah, eLFG epi dan uACR dilakukan sebelum nefrektomi, pada 1 minggu dan 12 minggu setelah nefrektomi.
Hasil :Terdapat 18 subyek yang memiliki pola dipper sebelum dilakukan nefrektomi unilateral. Tujuh belas subyek mengalami pola non dipper setelah 1 minggu nefrektomi. Pada 12 minggu setelah nefrektomi 16 diantaranya kembali menjadi pola dipper yang bermakna secara statistik (p<0.001).
Simpulan : Terdapat perubahan pola sirkadian tekanan darah non dipper kembali menjadi pola dipper pada donor ginjal hidup 12 minggu setelah nefrektomi unilateral.ABSTRACT Background : The issue of post nephrectomy in living kidney donor is kidney function decrease and hypertension. One week after nephrectomy circadian pattern of blood pressure becomes non dipper. Then there will be a compensatory of renal function that becomes stable within 12 weeks after nephrectomy. However, whether the improvement of renal function is followed by the circadian pattern of blood pressure becomes dipper is still unknown.
Aims : To know the changes circadian pattern of blood pressure among living kidney donors 12 weeks after unilateral nephrectomy.
Methods : A pre-experimental study with before and after design. The subjects were 18 healthy living kidney donors aged 18 to 50 years old , conducted in RSCM hospital between January 2015 to May 2015. Blood pressure was measured by 24 hours ABPM. Serum creatinine, e-GFR epi and uACR were taken before nephrectomy, 1 week and 12 weeks after nephrectomy.
Results : There were 18 subjects had dipper pattern before unilateral nephrectomy. Seventeen of them exhibited a pattern became non dipper on one week after nephrectomy. Sixteen subjects showed the pattern returned to dipper after 12 weeks nephrectomy that statistically significant (p<0.01)
Conclusions : The circadian pattern of blood pressure returned to dipper from non dipper on living kidney donors after 12 weeks unilateral nephrectomy., Background : The issue of post nephrectomy in living kidney donor is kidney function decrease and hypertension. One week after nephrectomy circadian pattern of blood pressure becomes non dipper. Then there will be a compensatory of renal function that becomes stable within 12 weeks after nephrectomy. However, whether the improvement of renal function is followed by the circadian pattern of blood pressure becomes dipper is still unknown.
Aims : To know the changes circadian pattern of blood pressure among living kidney donors 12 weeks after unilateral nephrectomy.
Methods : A pre-experimental study with before and after design. The subjects were 18 healthy living kidney donors aged 18 to 50 years old , conducted in RSCM hospital between January 2015 to May 2015. Blood pressure was measured by 24 hours ABPM. Serum creatinine, e-GFR epi and uACR were taken before nephrectomy, 1 week and 12 weeks after nephrectomy.
Results : There were 18 subjects had dipper pattern before unilateral nephrectomy. Seventeen of them exhibited a pattern became non dipper on one week after nephrectomy. Sixteen subjects showed the pattern returned to dipper after 12 weeks nephrectomy that statistically significant (p<0.01)
Conclusions : The circadian pattern of blood pressure returned to dipper from non dipper on living kidney donors after 12 weeks unilateral nephrectomy.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Farah Adibah
"Latar belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronis (PGK) adalah sebesar 13,4% dari seluruh populasi global. Sindrom kardiorenal (SK) tipe 4 menyebabkan 40% mortalitas pada pasien PGK. Salah satu mediator dalam patogenesis SK adalah stres oksidatif yang dapat mengakibatkan disfungsi endotel, fibrosis miokardial dan penebalan dinding ventrikel. Terapi obat golongan penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan statin mempunyai efek antiinfalamasi dan antioksidan terhadap jantung. Hal ini menjadi pertimbangan penggunaannya untuk memperbaiki kondisi stres oksidatif pada SK. Hingga saat ini belum banyak diketahui pengaruh pemberian ARB dan statin pada jantung dengan SK.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi ARB + statin terhadap fibrosis miokardial dan tebal dinding ventrikel jantung pada tikus PGK dengan metode 5/6 nefrektomi.
Metode: Penelitian ini menggunakan organ jantung tersimpan dari tikus jantan Sprague-Dawley yang terdiri atas 5 kelompok perlakuan dan masing-masing terdiri atas 4 sampel: kelompok kontrol (sham), 5/6 nefrektomi (Nx), 5/6 nefrektomi dengan terapi irbersatan 20mg/kgBB/hari selama 4 minggu (Nx + Ir), 5/6 nefrektomi dengan terapi simvastatin 10mg/kgBB/hari selama 4 minggu (Nx + S), dan 5/6 nefrektomi dengan terapi irbersatan 20mg/kgBB/hari dan simvastatin 10mg/kgBB/hari selama 4 minggu (Nx + Ir-S). Sampel organ jantung tersimpan dipotong secara cross-sectional dan diamati gambaran histopatologinya (HE dan Masson’s trichrome) menggunakan aplikasi ImageJ. Data kemudian dianalisis secara statistik menggunakan One-Way Anova.
Hasil: Pemberian terapi baik irbersatan, simvastatin, maupun kombinasi keduanya selama 4 minggu menunjukkan persentase luas area fibrosis miokardial dan tebal dinding ventrikel jantung yang cenderung lebih kecil dibanding kontrol namun tidak bermakna secara statistik. Terapi irbesartan, kombinasi irbesartan dan simvastatin, dan simvastatin menunjukkan persentase luas area fibrosis dan tebal dinding ventrikel jantung yang paling kecil secara berurutan.
Kesimpulan: Pemberian kombinasi ARB dan statin selama 4 minggu belum dapat memperbaiki fibrosis miokardial dan hipertropi dinding ventrikel jantung pada tikus model PGK. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan dosis yang lebih besar, dengan perlakuan lebih lama serta jumlah sampel yang lebih banyak agar efek kombinasi lebih nyata terlihat

Background: The prevalence of chronic kidney disease (CKD) is 13.4% of the entire global population. Cardiorenal syndrome (SK) type 4 causes 40% mortality in CKD patients. One of the mediators in the pathogenesis of SK is oxidative stress which can lead to endothelial dysfunction, myocardial fibrosis and ventricular wall thickening. Angiotensin receptor blocker (ARB) and statin inhibitor class drugs have anti-inflammatory and antioxidant effects on the heart. This is a consideration for its use to improve oxidative stress conditions in SK. Until now, it has not been widely known the effect of ARB and statin administration on the heart with SC.
Objective: This study aims to determine the effect of ARB + statin combination on myocardial fibrosis and ventricular wall thickness in CKD rats using the 5/6 nephrectomy method.
Methods: This study used stored heart organs from male Sprague-Dawley rats consisting of 5 treatment groups and each consisting of 4 samples: control group (sham), 5/6 nephrectomy (Nx), 5/6 nephrectomy with radiation therapy. 20mg / kgBW / day for 4 weeks (Nx + Ir), 5/6 nephrectomy with simvastatin therapy 10mg / kgBW / day for 4 weeks (Nx + S), and 5/6 nephrectomy with 20mg / kgBW / day irresistible therapy and simvastatin 10mg / kgBB / day for 4 weeks (Nx + Ir-S). Stored cardiac samples were cut cross-sectional and observed histopathologically (HE and Masson's trichrome) using ImageJ application. Data were then analyzed statistically using One-Way Anova.
Results: The treatment of both irbers, simvastatin, and a combination of both for 4 weeks showed that the percentage of myocardial fibrosis area and the thickness of the heart ventricles tended to be smaller than the control but not statistically significant. Irbesartan therapy, a combination of irbesartan and simvastatin, and simvastatin showed the smallest percentage of fibrosis area and ventricular wall thickness, respectively.
Conclusion: The combination of ARB and statin for 4 weeks has not been able to improve myocardial fibrosis and ventricular wall hypertrophy in CKD mice. Further research is needed using a larger dose, with a longer treatment and a larger number of samples so that the combined effect is more visible
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adzra Dhiya Jannati
"Kebisingan merupakan suara yang tidak dikehendaki dan mengganggu pendengaran manusia. Kebisingan salah satu bahaya fisik yang paling umum terjadi di beberapa lingkungan kerja. Dampak dari kebisingan lebih umum diketahui dapat mengganggu fungsi pendengaran atau auditori. Tetapi pada pajanan dengan waktu yang lebih lama, efeknya dapat bersifat kumulatif yang mempengaruhi gangguan non-auditori salah satunya adalah tekanan darah tinggi (hipertensi). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi antara tingkat kebisingan dengan kejadian tekanan darah tinggi (hipertensi) pada pekerja di unit water pump PT X tahun 2020. Metode yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengambilan sampel menggunakan proportionate stratified random sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengolahan data dilakukan dengan analisis univariat, bivariat menggunakan uji chi square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat asosiasi yang signifikan secara statistik antara tingkat kebisingan pada intensitas >79,57 dBA dengan kejadian tekanan darah tinggi (hipertensi) pada pekerja unit water pump di PT X (nilai p = 0,025<0,05; OR 9,481: 95% CI). Selain itu, terdapat asosiasi yang signifikan antara usia dan riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi) pada keluarga terhadap tekanan darah tinggi (hipertensi) (nilai p<0,05). Hasil analisis multivariat menunjukkan, responden yang terpajan kebisingan pada intensitas >79,57 dBA memiliki perbedaan risiko tekanan darah tinggi (hipertensi) 7 kali lebih besar dibanding responden yang terpajan <79,57 dBA setelah dikontrol dengan variabel riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi) pada keluarga, usia dan masa kerja. Maka dari itu, perusahaan perlu meningkatkan promosi kesehatan dalam hal pengendalian kebisingan untuk mencegah risiko komplikasi akibat tekanan darah tinggi (hipertensi) di lokasi kerja dengan tingkat kebisingan di atas rata-rata.

Noise is unwanted and hearing-disturbing sounds. Noise is the most common physical hazards in various working environments. The impacts of noise are commonly known to disturb hearing or auditory functions. However, long-term exposure may pose cumulative effects that influence non-auditory disorders, such as hypertension. The study aimed to discover the association between noise level and hypertension incidence on workers at the water pump unit of PT X of 2020. The method used was cross-sectional with a quantitative approach. The sampling technique utilized the proportionate stratified random sampling based on inclusion and exclusion criteria. Data processing was carried out using univariate and bivariate analyses with the Chi-Square test and multivariate analysis with the logistic regression test. The study results show a statistically significant association between noise level in intensity of >79,57 dBA with hypertension incidence on workers at water pump unit of PT X (p-value = 0,025<0,05; OR 9,481: 95% CI). Furthermore, there was a significant association between age and hypertension history in the family with hypertension incidence (p-value<0,05). In the multivariate analysis, respondents exposed to >79,57 dBA intensity had a 7-fold hypertension risk than respondents exposed to <79,57 dBA intensity after being controlled with hypertension history in the family, age, and working period. Therefore, the company should improve health promotion regarding noise control to prevent complication risks due to hypertension in working environments with over-average noise levels."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Marihot
"Pola sirkadian tekanan darah (TD) adalah gambaran TD 24 jam berupa kurva TD yang meningkat pada pagi hari, menurun pada siang / sore hari dan terendah pada malam hari / waktu tidur. 24 hours Ambulatory Blood Pressure Monitoring (24 hrs ABPM) merupakan alat pengukur TD yang lebih akurat dan dapat memperlihatkan pola sirkadian TD 24 jam. Turunnya TD 10 - 20% pada malam hari disebut dipper, jika turun < 10% disebut nondipper. Meningkatnya TD 24 jam dan nondipper merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Prevalensi hipertensi dan nondipper pada Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 dalam Terapi Dialisis (PGK 5D) masih sangat tinggi. Faktor utama penyebab hipertensi pada PGK 5D adalah menurunnya Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dan meningkatnya cairan ekstraselular. Transplantasi ginjal akan memperbaiki TD dan nondipper dengan membaiknya LFG, meningkatnya produksi urin dan menurunnya cairan ekstraseluler. Namun demikian satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal kebutuhan dosis obat imunosupresan masih cukup tinggi yang dapat mengakibatkan hambatan penurunan TD.
Tujuan : Mengetahui perbedaan pola sirkadian TD, data dipper / nondipper dan rerata TD 24 jam pada pasien PGK Pra dan satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal.
Metode Penelitian : Studi Pre experimental dengan before and after design. Subjek penelitian pasien PGK 5D / Pra Transplantasi Ginjal berusia 18 ? 60 tahun, dilakukan di RSCM pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Jumlah subjek sebanyak 15 orang. Dilakukan pengumpulan urin 24 jam, pemeriksaan LFG, pengukuran TD 24 jam dengan 24 hrs ABPM, Pra dan satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal. Analisis statistik dengan uji McNemar dan uji t dependen.
Hasil : Terdapat 12 subjek nondipper dan 3 subjek dipper pada pasien PGK Pra Transplantasi Ginjal. Satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal seluruh subjek (15 orang) memperlihatkan keadaan nondipper. Uji McNemar tidak dapat dilakukan karena seluruh subjek PGK satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal nondipper (homogen). Terdapat penurunan rerata TD sistolik 24 jam pasien PGK satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal yang tidak signifikan (p > 0,05) dan penurunan rerata TD diastolik 24 jam yang signifikan (p < 0,05).
Simpulan : Belum terdapat perbaikan nondipper pada pasien satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal. Terdapat penurunan rerata TD sistolik 24 jam yang tidak signifikan dan penurunan rerata TD diastolik 24 jam yang signifikan pada pasien satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal.

The circadian pattern of blood pressure (BP) is a 24 hours blood pressure (24hrs BP) curve which increases in the morning, decreases in the afternoon/evening and the lowest state is at night/bedtime. 24 hrs Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) is a BP measuring device that is accurate and can exhibit a circadian pattern of 24 hrs BP. The fall of BP 10-􀀃20% at night is called as a dipper, while less than 10% is called as a nondipper. The increasing of 24 hrs BP and nondipper are the risk factor for cardiovascular morbidity and mortality. The prevalence of hypertension and nondipper in Chronic Kidney Disease stage 5 on Dialysis (CKD 5D) are still very high. The main factors causing hypertension in CKD 5D are decreased Glomerular Filtration Rate (GFR) and increased extracellular fluid. Kidney transplantation will improve BP and nondipper by GFR improvement, increases urine production and decreases extracellular fluid. However, one month after kidney transplantation, the dose of immunosuppressant drugs is relatively high, which is an obstacle to decrease BP.
Aim: To determine differences in the circadian pattern of BP, the data of dipper and nondipper, and the mean of 24 hrs BP in CKD before, and one month after kidney transplantation.
Methods: Design of the study is before and after design. Subjects of the study were patients with CKD 5D before kidney transplantation, aged 18-60 years, were conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital during October to December 2014. 15 subjects were included in the study. 24 hrs urine collection, GFR, 24 hrs BP measurement with 24 hrs ABPM were recorded in all subjects, before and one month after kidney transplantation. McNemar test and t dependent test were used in statistical analysis.
Results: Before kidney transplantation, 12 of 15 subjects were nondippers while the others 3 subjects were dippers. After kidney transplantation, all subjects (15 patients) were nondippers. McNemar test can not be used because all subjects one month after kidney transplantation were nondippers (homogeneous). The decreasing of the mean of 24 hrs systolic BP was found in all CKD one month after kidney transplantation, but statistically not significant (p>0.05), while decreasing of the mean of 24 hrs diastolic BP was statistically significant (p<0.05).
Conclusion: There were still no improvement in nondipper patients one month after kidney transplantation. There were a decrease in the mean of 24 hrs systolic BP but statistically not significant and a decrease in the mean of 24 hrs diastolic BP which is statistically significant in patients one month after kidney􀀃transplantation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Jumlah perokok remaja yang semakin banyak ditemui disebabkan ketidaktahuan remaja tentang bahaya merokok. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan karakteristik remaja dengan persepsi remaja mengenai bahaya merokok pada remaja. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Karakteristik responden pada penelitian ini adalah siswa SMA kelas X, dan XI di Jakarta Utara. Sampel dalam penelitian ini, yaitu 205 responden yang diambil dengan simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan dari lima karakteristik hanya satu yang berhubungan dengan persepsi, yaitu status merokok (p = 0,011; α = 0,05). Peneliti merekomendasikan agar pernerintah membuat iklan tentang bahaya rnerokok sehingga persepsi remaja positif terhadap bahaya merokok.
Kata kunci: bahaya; karakteristik; merokok; persepsi; remaja"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5660
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia terrnasuk mahasiswa. Fenomena ini sangat memprihatinkan karena rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Hal ini membuat berbagai pihak berupaya untuk menarnbah pengetahuan masyarakat tentang bahaya merokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan perokok aktif tentarig bahaya merokok dengan frekuensi merokok. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 responden yang diambil dengan cara purposive sampling. Alat pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang bahaya merokok dengan frekuensi merokok (p=0,201; α=0,05). Peneliti merekomendasikan kepada petugas kesehatan agar mengadakan pelatihan, seminar, simposium yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi mahasiswa perokok aktif untuk menghentikan kebiasaan merokok."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5661
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Alharis
"Di Indonesia khususnya di Sumatera, gempa bumi telah membawa dampak kerusakan yang sulit untuk diprediksi, tidak hanya pada manusia tetapi juga pada lingkungan dan makhluk hidup lainya. Karena kondisi ini lah selama beberapa dekade para ahli mengembangkan disiplin ilmu tentang gempa dan mitigasi setelah terjadinya gempa. Salah satu aplikasi yang telah dikembangkan adalah Sistem Proteksi Pasif dengan menggunakan sistem seismic isolation. Pada studi ini akan dijelaskan tentang pengaruh seismic isolation terhadap prilaku lateral pondasi. Studi ini mengacu pada gedung di Sumatera Barat yang menggunakan Sistem proteksi Pasif dengan Lead Rubber Bearing sebagai isolatornya. Dengan Sistem Proteksi Pasif ini diharapkan momen, lendutan, geser dan putaran sudut di sepanjang tiang pondasi dapat dikurangi, sehingga menghindari terjadinya kegagalan pondasi dan struktur tetap dalam keadaan stabil setelah terjadinya gempa.
In Indonesia, especially in West Sumatera earthquake phenome has bought unpredictable damage, not only for the people but also for environment and all living thing. Because of this situation, over the past few decades, earthquake engineering has developed as a branch of engineering concerned with the estimation of earthquake consequences and the mitigation of these consequences. One of them is passive protective system that using Seismic Isolation system. In this study would be explained the influence of seismic isolation to foundation behavior of structure. Its study refers to building in west sumatera. In this case, Lead Rubber Bearing is one of passive protective system that used. With this passive protective system, the moment, deflection, shear and rotation along of foundation will be over come and there is no failure on foundation, so the structure of building stay on stable condition after earthquake attack."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42828
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Feny Yuzanda
"Respon tekanan tanah dinamik pada struktur dinding penahan tanah menjadi suatu permasalahan di dunia konstruksi Teknik Sipil yang harus diselidiki. Fokus penelitian ini adalah bagaimana perbedaan respon tekanan tanah dinamik terhadap variasi kedalaman dinding basement embedded non-yielding. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode numerik dengan menggunakan program PLAXIS 2D v8. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan ukuran kedalaman dinding basement embedded non-yielding tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap respon tekanan tanah dinamik yang terjadi di belakang dinding.

The dynamic earth pressure response on the retaining wall structure becomes a problem in the construction of Civil Engineering that must be investigated. This study focuses on how the response differences of the dynamic earth pressure to the depths variation of embedded non yielding basement wall. The research method used is numerical method using PLAXIS 2D v8. The result of this study indicates that the size differences of depths of embedded non yielding basement wall does not have a significant effect to the dynamic earth pressure response that occurs behind the wall."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S69036
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretta Limawan
"Terdapat 200 anak dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) di Indonesia. Hampir 99% menjalani hemodialisis. Pasien dengan catheter double lumen (CDL) sering mengalami infeksi pada akses hemodialisis yang digunakan. Penelitian ini bertujuan melihat karakteristik pasien yang menjalani hemodialisis menggunakan CDL baik tunnelled (TCDL) maupun non-tunnelled (NTCDL), insidensi infeksi, faktor risiko yang memengaruhi terjadinya infeksi, dan angka kesintasan CDL. Penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medik pasien anak yang dipasang akses vaskular hemodialis oleh Divisi Bedah Vaskular RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) mulai Januari 2016 hingga Juli 2022. Sebanyak 154 pasien PGTA anak menjalani hemodialisis di RSCM. Didominasi oleh laki-laki, dengan median usia 14,0 tahun (range: 2,0–18,0). Terdapat 277 prosedur pemasangan akses vaskular, terdiri dari 164 NTCDL dan 113 TCDL. Komplikasi infeksi keseluruhan mencapai 220 kasus (79,4%), infeksi exit site 179 kasus (64,6%), dan catheter-related blood infection 41 kasus (14,8%). Faktor yang berhubungan dengan infeksi adalah leukositosis/leukopenia, hipoalbuminemia, dan lama pemakaian (p<0,05). Median survival NTCDL: 45,0 hari (IK95%: 39,2 – 50,8) vs. TCDL: 213,0 hari (IK95%: 149,6 – 276,4); Log-rank p <0,001. Tidak terdapat perbedaan karakteristik demografi, antara kelompok NTCDL dengan TCDL. Terdapat perbedaan angka median kesintasan (median survival) CDL sejak insersi hingga terjadi infeksi antara NTCDL dengan TCDL.

There were 200 children with end-stage renal disease (ESRD) in Indonesia. Nearly 99% undergo hemodialysis. Pediatric ESRD with catheters double lumen (CDL) often experienced hemodialysis access infections. This study aimed to find the characteristics of patients between tunnelled CDL (TCDL) and non-tunnelled (NTCDL), the incidence, risk factors, and survival of infection. This study was a retrospective cohort using medical record who had hemodialysis vascular access placement by the Division of Vascular and Endovascular Surgery RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) from January 2016 to July 2022. A total of 154 pediatric ESRD underwent hemodialysis at CMH, dominated by males, with median age 14.0 years (range: 2.0–18.0).  There were 277 procedures for placing vascular access, 164 NTCDL and 113 TCDL. Overall infection occured in 220 cases (79.4%), exit site infection in 179 cases (64.6%), and catheter-related blood infection in 41 cases (14.8%). Factors associated with infection were leukocytosis/leukopenia, hypoalbuminemia, and duration of catheter use (p<0.05). NTCDL median survival: 45.0 days (95%CI: 39.2 – 50.8) vs. TCDL: 213.0 days (95%CI: 149.6 – 276.4); Log-rank p<0.001. There were no demographic characteristic differences between the NTCDL and TCDL groups. There was a median catheter survival difference between NTCDL and TCDL from insertion to infection episode."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Afni Afifah
"Latar belakang: Produktivitas pertanian yang tinggi di Kabupaten Brebes berpotensi untuk menimbulkan berbagai gangguan kesehatan akibat pestisida pada pekerja tani. Beberapa penelitian sebelumnya pada lokasi yang sama menunjukan bahwa terdapat beberapa efek kesehatan, baik akut maupun kronis yang dialami pekerja tani akibat pajanan pestisida.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran golongan pestisida yang banyak digunakan, aktivitas enzim kolinesterase darah, gejala gangguan saraf, dan gejala gangguan kulit serta hubungannya dengan faktor lama pajanan dan karakteristik individu.
Metodologi: Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes. Sampel merupakan petani dan buruh tani pada lima desa di Kecamatan Kersana yang berjumlah 121 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode quota sampling. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur, pengukuran status gizi, dan pengukuran enzim kolinesterase darah.
Hasil: Penelitian ini menunjukan bahwa pestisida yang paling banyak digunakan adalah golongan piretroid dan avermektin (26%). Terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah gejala gangguan saraf dengan lama pajanan per minggu (p=0,015). Hubungan yang signifikan juga terdapat antara jumlah gejala gangguan kulit yang dialami dengan faktor lama bekerja (p=0,045), lama pajanan per minggu (p=0,005), umur (p=0,002), jenis kelamin (p=0,044), dan kebiasaaan cuci tangan setelah bekerja dengan pestisida (p=0,000).
Kesimpulan: Pestisida yang paling banyak digunakan adalah golongan piretroid dan avermektin. Terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah gejala gangguan saraf dengan lama pajanan per minggu. Hubungan yang signifikan juga terdapat antara jumlah gejala gangguan kulit yang dialami dengan faktor lama bekerja, lama pajanan per minggu, umur, jenis kelamin, dan kebiasaaan cuci tangan setelah bekerja dengan pestisida.

Backgrounds: Brebes Region is one of various region which has high productivity in agricultural products, so this region has a potency for any health effects due to pesticide exposure. Several studies have shown that many health effects has occured in agirucultural workers in Brebes.
Objectives: This research’s objectives are knowing the groups of pesticide that commonly used, red blood cell cholinesterase activity, symtomps of neurological and skin disorders and their associatons with length of exposure and individual characteristics.
Methods: This research is located on Kersana sub-District, Brebes District, Central Java. Samples are farmers and fam labourers who live in five village on Kersana District. The number of samples is 121 persons. Quota sampling methods hava chosen by researchers to collect the samples. Data collecting was done by structured-interview, cholinesterase measurement, and nutritional status measurement.
Results: The result has shown that pesticide group which commonly used are phyretroid and avermectin. There is an significant association between the number of neurological disorders and length of exposure in week (p=0,015). There are also significant association between the number of skin disorders with working periods (p=0,045), length of exposure in week (p=0,005), age (p=0,002), gender (p=0,044), and hand-washing behaviours after working with pesticides (p=0,000).
Conclusions: Pesticide group which commonly used are phyretroid and avermectin. There is an significant association between the number of neurological disorders and length of exposure in week. There are also significant association between the number of skin disorders with working periods, length of exposure in week, age, gender, and hand-washing behaviours after working with pesticides.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S56246
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>