Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8077 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oxford: Oxford University Press, 2015
346.07 COM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shanti
"Future trading adalah suatu bentuk jual beli dimana
penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian ditunda
sampai waktu tertentu. Pada perdagangan semacam ini,
penjual belum memiliki barang yang diperjualbelikan. Selain
itu, prestasi perjanjian ini ditunda sampai waktu yang
ditentukan. Perjanjian ini juga menggunakan bentuk kontrak
baku dalam future contract-nya. Metodologi yang digunakan
dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan. Terdapat
beberapa masalah yaitu bagaimanakah future trading apabila
ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(KUHPer) dan
Unidroit Principles of Commercial Contracts – 2004 (UPICC),
serta apa persamaan dan perbedaannya. Merujuk pada Pasal
1268 - Pasal 1271 KUHPer, perjanjian ini dapat
dikategorikan sebagai perjanjian dengan ketetapan waktu,
sehingga diperbolehkan. Akan tetapi, perjanjian ini tetap
harus memenuhi syarat sah perikatan pada Pasal 1320 KUHPer.
Perjanjian future trading sendiri langsung lahir pada saat
kesepakatan tentang harga dan jenis barang tercapai, tidak
menunggu pelaksanaan prestasi. Hal ini merujuk pada asas
konsensualisme pada Pasal 1458 KUHPer. Sedangkan pada
UPICC, perjanjian semacam ini diperbolehkan dalam Pasal 3.3
ayat 2. Dalam UPICC terdapat pengaturan tentang kontrak
baku, yaitu dalam Pasal 2.1.19 – Pasal 2.1.22, dan Pasal
4.7 mengenai penafsiran kontrak baku. Persamaan dari
pengaturan future trading menurut kedua instrumen hukum
ini, yaitu sama-sama mengatur mengenai masalah kesepakatan
para pihak yang menjadi syarat sahnya kontrak ini,
kebolehan menjual barang yang belum ada pada penjual,
keadaan yang menyebabkan wanprestasi, dan alasan-alasan
untuk menghindari tuduhan wanprestasi. Sedangkan
perbedaannya, dalam KUHPer tidak diatur tentang kontrak
baku. Selain itu, terdapat perbedaan dalam konsep
perjumpaan utang antara KUHPer dan UPICC, untuk
penyelesaian future trading dengan cara offsetting."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21352
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lauditta Indahdewi
"Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Asas itikad baik dalam suatu perjanjian dikenal sejak masa hukum Romawi, dan terus berkembang hingga masa modern dan telah dicantumkan ke dalam berbagai unifikasi hukum perjanjian. Asas itikad baik berperan sebagai pemberi batasan dalam asas kebebasan berkontrak dan menjaga terlaksananya norma-norma keadilan dan kepatutan. Itikad baik harus tercermin dalam setiap tahapan perjanjian, mulai dari pembentukan, pelaksanaan, hingga pengakhiran perjanjian. Asas itikad baik berperan penting untuk menjaga perjanjian agar tetap berlangsung sesuai ketentuan yang telah disepakati dan sebagai jembatan atas permasalahan-permasalahan dalam perjanjian yang semakin berkembang. Dalam perkembangannya, asas itikad baik menjadikan asas kebebasan berkontrak saat ini bukanlah lagi kebebasan tanpa batas, melainkan menjadi paradigma kebebasan berkepatutan. Asas itikad baik memiliki kekuatan hukum dengan memberikan Hakim kekuatan untuk melakukan campur tangan ke dalam suatu perjanjian, bilamana perjanjian tersebut telah melanggar itikad baik. Dalam hal ini diperlukan pula tinjauan terhadap unsur-unsur yang menentukan bagaimana suatu asas itikad baik telah dilanggar. Di Indonesia, pengaturan itikad baik terdapat pada pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, namun, pengaturannya dalam KUH Perdata Indonesia masih sangat terbatas sehingga menimbulkan ketidakpastian. Selain di Indonesia, Itikad baik pun telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional yang terbukti dengan diakuinya asas itikad baik dalam Prinsip Hukum Kontrak Eropa dan Prinsip-Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT. Sehingga dalam hal ini, diperlukan suatu tinjauan perbandingan hukum terhadap asas itikad baik menurut Prinsip Hukum Kontrak Eropa dan Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT.
The principle of good faith is a well known principle in contract law. The principle of good faith in an agreement has been acknowledge since the era of Roman law and continue to evolve into modern law to be included in a variety of contractual clause. The principle of good faith take the role to constraints the principle of “freedom of contract” to be shifted towards the “appropriate freedom”. Good faith principle should be reflected in every stage of the agreement, ranging from the establishment, implementation, until the termination of the agreement. The principle of good faith plays an important role to keep the agreement in order, and nowadays has given the judge a power to intervene into a contract. In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) of the Indonesian Civil Code, however, the regulation of this principle in the Indonesia is still very limited which lead to uncertainty. Good faith principle has also been recognized as customary international law, which proven by its recognition in the Principles of European Contract Law and the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts. Thus, in this case, there need an analysis of comparative law on the good faith principle in the Indonesian Civil Code, Principles of European Contract Law and the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Born, Gary B.
London: Kluwer law and Taxation Publishers, 1994
347.739 BOR i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lennart Ezra
"Dalam hubungan kontraktual, suatu kewajiban yang telah disepakati para pihak dapat tidak terpenuhi oleh karena adanya supervening event yang tidak dapat diduga datangnya. Ketentuan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract dapat mengakomodir kejadian atau peristiwa yang datangnya tidak dapat diduga itu, khususnya dalam situasi pandemi COVID-19 yang datangnya tidak dapat diduga. Menanggapi hal tersebut, UNIDROIT kemudian menerbitkan Note of the UNIDROIT Secretariat on the Principles of International Commercial Contract on the COVID-19 Health Crisis sebagai panduan dalam penggunaan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract apabila terdapat permasalahan kontraktual yang melibatkan pihak dari negara yang berbeda-beda. Penelitian ini akan menyajikan penjelasan (i) bagaimana konsepsi supervening events dan doktrin yang menjadi dasar pemaaf atas tidak terlaksananya prestasi suatu kontrak dilihat dari perspektif hukum perdata Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand; dan (ii) bagaimana kejadian pandemi seperti COVID-19 dapat diinterpretasikan sebagai force majeure dilihat dari klausula force majeure di dalam suatu perjanjian distributor yang melibatkan pihak asing dan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia dan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract. Dengan metode penelitian yuridis normatif serta dengan pendekatan kualitatif, dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, dari persamaan dan perbedaan ketentuan yang ada, telah terlihat adanya keberagaman pengaturan mengenai doktrin supervening events yang diakui di Indonesia, Korea Selatan, dan juga Thailand, yang dalam penelitian ini adalah force majeure. Kedua, pandemi COVID-19 dapat dianggap sebagai suatu keadaan force majeure sebagai alasan lepasnya pihak yang terdampak dari tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dari pandemi COVID-19 apabila mengacu pada UNIDROIT Principles of International Commercial Contract.

In a contractual relationship, the agreed performances may not be fulfilled due to an unexpected supervening event. However, the UNIDROIT Principles of International Commercial contract would accommodate such supervening events, particularly in a COVID-19 pandemic situation which appears to be unexpected. Given that, UNIDROIT then issued Note of the UNIDROIT Secretariat on the Principles of International Commercial Contract on the COVID-19 Health Crisis as a guidance in utilizing the UNIDROIT Principles of International Commercial Contract in event of any contractual disruption between the parties who are originated from different countries. This study will provide explanations regarding (i) how the concept of supervening events and the doctrine that forms the basis of excuse for non-performance of a contract perceived from the perspective of Indonesian, South Korean, and Thai civil law; and (ii) how the COVID-19 pandemic event can be interpreted as a force majeure perceived from a force majeure clause stipulated in a distributorship agreement which involves foreign parties and in accordance with Indonesian Bylaws and UNIDROIT Principles of International Commercial Contract. Through a research using normative juridical method and qualitative approach, it can be concluded that: First, on the basis of the provisions’ similarities and contrast distinction, the diversities of regulation can be seen in regards with the recognized supervening events doctrine in Indonesia, South Korea, and Thailand, that is force majeure. Second, COVID-19 pandemic can be constituted as a force majeure to excuse the affected party from responsibility towards the incurred loss under UNIDROIT Principles of International Commercial Contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moses, Margaret L.
Cambridge: Cambridge University Press, 2017
341.5 MOS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Perth: Sweet & Maxwell Asia, 2012
346.022 CEN m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Baggiano, Antonio
Dordrecht: Graham & Trotman, 1991
346.02 Bag i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andres, Cameron K.
New Jersey: Pearson, 2004
690 AND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>