Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1201 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lee, Sang-Bae
Soul-si: Yon Lim kati nol, 2012
KOR 895.73 LEE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rasih
"Kebutuhan akan metode diagnosa fungsional tubuh mendorong perluasan pemanfaatan Kedokteran Nuklir untuk pencitraan hati dan limpa serta deteksi perdarahan pada saluran cerna. Kit radiofarmaka 99mTc-Sulfur Colloid dapat dimanfaatkan untuk mendukung diagnosa penyakit dan kelainan fungsi organ hati dan limpa. Penelitian ini berhasil melakukan produksi in House kit radiofarmaka 99mTc-Sulfur Colloid. Pengujian biodistribusi dan dosimetri internal kit radiofarmaka 99mTc-Sulfur Colloid pada kelinci jantan putih menggunakan Kamera Gamma single head, menunjukan persentase biodistribusi aktivitas untuk 99mTc-Sulfur Colloid pada hati 80.11% dan 13.14% pada limpa setelah 35 menit injeksi secara intravena. Nilai laju eliminasi k sangat berpengaruh terhadap waktu retensi radiofarmaka dalam suatu organ, diketahui nilai k sebesar 9.72E-03 /menit (hati) dan 1.81E-02 /menit (limpa), maka didapatkan waktu retensi radiofarmaka 99mTc-Sulfur Colloid 102.68 menit pada hati dan 55.11 menit pada limpa. Hal ini menunjukkan waktu retensi baik dihati dan limpa cukup lama, karena keduanya memiliki RES yang menangkap Tc-99m yang dilabelkan pada sulfur colloid secara fagositosis sehingga dapat dimanfaatkan untuk skintigrafi organ hati dan limpa sebagai perluasan pemanfaatan dari penggunaan radiofarmaka dalam kedokteran nuklir.

The need for body functional diagnostic method encouraging the expanded use of nuclear medicine for the imaging of liver and spleen. Radiopharmaceutical kit 99mTc-Sulfur Colloid can be used to support the diagnosa of disease and abnormalities of function and physiology of the liver and spleen organ. This study successfully perform radiopharmaceutical kit of 99mTc-Sulfur Colloid produced in House. The testing of bio-distribution and internal dosimetry of radiopharmaceutical kit 99mTc-Sulfur Colloid in male rabbits using a singlehead gamma camera, shows the percentage of bio-distribution of 99mTc-SC was 80.11% in the liver and 13.14% in the spleen, at 35 minutes after intravenous injection. Amount of the elimination rate k is greatly affect the retention time of radiopharmaceutical in an organ, once known of k is 9.72E-03 /minute (liver) and 1.81E-02 /minute (spleen), the retention time obtained from radiopharmaceutical 99mTc-Sulfur Colloid is 102.68 minutes in the liver and 55.11 minutes in the spleen. This shows the retention time in both the liver and spleen is quite long, because both have the RES that captures the activity of Tc-99m which is labeled on the sulfur colloid, so it can be used for scintigraphy of liver and spleen organ as the expanded use of radiopharmaceutical utilization in nuclear medicine."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S46887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Angelina
"Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Peran puasa sebagai upaya pencegahan stres oksidatif telah terbukti, tetapi tidak dengan durasi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh puasa dan durasi puasa optimal dalam meningkatkan kadar glutation (GSH), antioksidan endogen nonprotein terbanyak tubuh. Penelitian dilakukan pada jaringan hati dan plasma kelinci new Zealand white. Subjek dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan, yakni (1) kelompok kontrol dengan asupan makanan normal, (2) kelompok puasa intermittent, yakni siklus puasa 16 jam dan makan delapan jam, serta (3) kelompok puasa berkepanjangan, yakni siklus puasa 40 jam dan makan delapan jam, selama satu minggu. Setelah itu, dilakukan pengukuran kadar GSH plasma serta jaringan hati dengan metode Ellman. Data kemudian dianalisis dengan uji Anova untuk jaringan hati serta uji Kruskal-Wallis untuk sampel plasma.
Pada jaringan hati didapati rerata kadar GSH kelompok kontrol 0,73 ± 0,026 μmol/mg, kelompok puasa intermittent 1,03 ± 0,023 μmol/mg, dan kelompok puasa berkepanjangan 0,91 ± 0,059 μmol/mg yang memperlihatkan perbedaan signifikan (p<0,05). Sedangkan, pada plasma didapati median kadar GSH kelompok kontrol 2,08 ± 0,056 μmol/mL, kelompok puasa intermittent 2,35 ± 0,158 μmol/mL, dan kelompok puasa berkepanjangan 2,15 ± 0,060 μmol/mL yang memperlihatkan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Didapatkan hasil dan kesimpulan puasa intermittent dan berkepanjangan meningkatkan kadar GSH jaringan hati secara signifikan, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan pada plasma kelinci new Zealand white.

Oxidative stress is a condition of imbalance between oxidants and antioxidants that may trigger various diseases. The role of fasting to prevent oxidative stress has been proven, but the optimal fasting duration remains unknown. This study aims to find the impact of fasting and optimal fasting duration in increasing glutathione (GSH) concentration, the body's most abundant non-protein endogen antioxidant. This study observed GSH concentration on liver tissue and plasma of New Zealand white rabbits. Subjects were divided into three treatment groups, a control group with usual food intake, an intermittent fasting group with 16-hour of fasting and eight hours of eating, and a prolonged fasting group with 40-hour of fasting and eight hours of eating, for one week. After that, GSH levels were measured in plasma and liver tissue using Ellman’s method.
In liver tissue, the mean GSH level in the control group is 0.73 ± 0.026 mol/mg, in the intermittent fasting group is 1.03 ± 0.023 mol/mg, and in the prolonged fasting group is 0.91 ± 0.059 mol/mg with significant differences (p<0, 05). Meanwhile, in plasma, the median GSH level in the control group is 2.08 ± 0.056 mol/mL, in the intermittent fasting group is 2.35 ± 0.158 mol/mL, and in the prolonged fasting group is 2.15 ± 0.060 mol/mL, which means the difference is not significant (p > 0.05). In conclusion, Intermittent and prolonged fasting significantly increase liver GSH concentration. However, fasting has an insignificant impact on the plasma of New Zealand white rabbits.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Engelbert Julyan Gravianto
"Latar belakang: Puasa sudah terbukti meningkatkan aktivtias enzim katalase pada berbagai jaringan tikus. Namun, belum diketahui jenis puasa yang paling berpengaruh terhadap aktivitas enzim katalase. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh puasa dan jenis puasa yang paling berpengaruh terhadap aktivitas enzim katalase pada plasma dan jaringan hati kelinci new zealand white yang merupakan hewan berderajat lebih tinggi daripada tikus.
Metode: Kelinci new zealand white dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan berbeda, yaitu (1) mendapat asupan makan dan minum (kelompok kontrol), (2) intermittent fasting, yaitu fase puasa selama 16 jam lalu diselingi fase tidak puasa selama 8 jam, selama 7 hari, (3) prolonged fasting, yaitu fase puasa selama 40 jam lalu diselingi fase tidak puasa selama 8 jam, selama 7 hari. Kemudian dilakukan pengukuran aktivitas enzim katalase pada plasma dan jaringan hati, yaitu hasil bagi kadar enzim katalase dengan protein.
Hasil: Pada jaringan hati, rerata aktivitas enzim katalase kelompok kontrol sebesar 156,23 ± 10,59 U/mg, kelompok intermittent fasting 181,42 ± 7,48 U/mg, kelompok prolonged fasting 159,38 ± 11,40 U/mg yang menunjukan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05). Pada plasma, rerata aktivitas enzim katalase kelompok kontrol sebesar 9,73 ± 4,19 U/mg, kelompok intermittent fasting 7,47 ± 4,22 U/mg, kelompok prolonged fasting 7,15 ± 2,69 U/mg yang menunjukan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05)
Kesimpulan: Intermittent fasting dan prolonged fasting selama 7 hari tidak mempengaruhi aktivitas enzim katalase pada plasma dan jaringan hati kelinci new zraland white.

Introduction: Fasting has been known to increase catalase activity in various mouse’s tissues. However, the types of fasting which mostly affect catalase activity remains unknown. This study showed the impact of various types of fasting toward catalase activity in the plasma and liver of new zealand white rabbit which level is higher than mouse.
Method: The new zealand white rabbits are divided to 3 different treatment group, (1) received food and drinks (control group), (2) intermittent fasting, 16 hours fasting phase then interluded with 8 hours not fasting phase, for 7 days, (3) prolonged fasting, 40 hours fasting phase then interluded with 8 hours not fasting phase, for 7 days. Specific catalase activity in the liver and plasma were obtained by dividing catalase level with protein level.
Result: In liver, the means of specific catalase activity in control group is 156,23 ± 10,59 U/mg, intermittent fasting group is 181,42 ± 7,48 U/mg, prolonged fasting group is 159,38 ± 11,40 U/mg which show unsignificant difference (p>0,05). In plasma, the means of specific catalase activity in control group is 9,73 ± 4,19 U/mg, intermittent fasting group is 7,47 ± 4,22 U/mg, prolonged fasting group is 7,15 ± 2,69 U/mg which show unsignificant difference (p>0,05).
Conclusion: Intermittent fasting and prolonged fasting for 7 days doesn’t affect specific catalase activity in plasma and liver new zealand white rabbit.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcello Mikhael Kadharusman
"

Pendahuluan: Sebuah karakteristik penuaan adalah penurunan kepuncaan, sebuah kondisi yang disebabkan oleh proliferasi dan diferensiasi sel punca yang berlebihan. Alhasil, risiko penyakit tidak menular seperti kanker, diabetes, dan penyakit neurodegenerative, meningkat dengan usia. Salah satu terapi regeneratif untuk penyakit tersebut adalah pembatasan diet, khususnya puasa, karena penelitian telah menunjukkan manfaatnya terhadap kepuncaan lokal. Namun, hubungan pembatasan diet dengan pluripotensi masih belum jelas. Studi terbaru menunjukkan bahwa octamer-binding transcription factor 4 (Oct4), faktor transkripsi pluripotensi, bersama dengan hepatocyte nuclear factor 4 alpha (Hnf4a) memiliki peran dalam regenerasi sel punca dan diferensiasi menjadi sel hati. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki kapasitas regeneratif puasa dengan cara membandingkan ekspresi Oct4 dalam sel hati kelinci puasa dengan kelinci diet ad libitum.

Metode: Kelinci dirawat dengan 3 diet yang berbeda. Kelompok pertama menjalani diet ad libitum, kedua menjalani puasa intermiten (16 jam), dan ketiga menjalani puasa berkepanjangan (40 jam). Kemudian, RNA diekstraksi dari jaringan hati dari masing-masing kelinci, dan dianalisis melalui qRT-PCR. Metode Livak digunakan untuk mengukur ekspresi relatif gen Oct4.

Hasil: Dibandingkan dengan kelinci dengan diet ad libitum, terdapat peningkatan secara tidak signifikan di ekspresi relatif gen Oct4 di hati kelinci yang melalui puasa intermiten dan penurunan secara signifikan di kelinci yang melalui puasa berkepanjangan.

Kesimpulan: Berdasarkan penurunan yang signifikan, puasa berkepanjangan mungkin menyebabkan kerusakan jaringan hati dan menurunkan kepuncaan. Penelitian lebih lanjut harus menjelaskan pengaruh ekspresi protein Oct4 terhadap regenerasi sel hati.


Introduction: A characteristic of aging is stem cell exhaustion, a condition caused by excessive proliferation and differentiation of stem cells. Consequently, the risk of non-communicable diseases, e.g. cancer, diabetes, and neurodegenerative diseases, increases with age. A regenerative therapy for these pathologies is dietary restriction (DR), specifically fasting, as studies have demonstrated benefits on local stemness. However, the relationship of DR towards pluripotency remains unclear. Recent studies show that octamer-binding transcription factor 4 (Oct4), a vital pluripotent transcription factor, with hepatocyte nuclear factor 4 alpha (Hnf4a) has a role in the self-renewal of stem cell and differentiation to hepatocytes. Therefore, this research aims to investigate the regenerative ability of fasting by comparing the expression of Oct4 in liver cells of fasted rabbits with rabbits fed ad libitum.

Methods: The rabbits were conditioned into 3 different groups. The first was subjected to ad libitum diet, second to intermittent fasting (16- hours fasting), and third to prolonged fasting (40-hours fasting). Afterward, the RNA was extracted from the liver tissues of each rabbit and analyzed via real-time quantitative reverse transcriptase polymerase chain reaction (qRT-PCR). The relative expression was calculated using the Livak method.

Results: In comparison to the ad libitum diet, there was a statistically insignificant increase in the relative expression of Oct4 in the liver of intermittent fasted rabbits, and a statistically significant decrease in prolonged fasted rabbits.

Conclusion: Prolonged fasting possibly leads to starvation-induced liver injury and decreased stemness, as seen from the decreased expression of Oct4. Future studies should highlight the effect of different expression of Oct4 proteins towards liver cell regeneration.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wuri Handayani
"Studi biodistribusi radiofarmaka 99mTc-Red Blood Cells merupakan parameter kualitas produk kit radiofarmaka dan berguna sebagai tinjauan dosimetri radiasi internal. Injeksi 99mTc-RBC dilakukan melalui intravena telinga kelinci dan dilanjutkan dengan scanning PA dinamik dan statik selama 80 menit. Biodistribusi menunjukkan nilai tangkapan radiofarmaka tertinggi terdapat pada jantung (100%) pada periode 10-15 menit, diikuti dengan organ hati (81.93%), ginjal kanan (70.92%), dan ginjal kiri (45.51%).
Organ dengan waktu eliminasi obat paling cepat dibuktikan dengan nilai konstanta laju eliminasi (k) terbesar, yakni terdapat pada organ jantung (1.94 x 10-2/menit), sedangkan nilai terkecil pada organ ginjal kiri (5.0 x 10-3/menit). Perhitungan dosimetri internal menghasilkan nilai 6.517 x 10-4 mGy/mCi pada jantung, 6.259 x 10-4 mGy/mCi pada ginjal, 1.677 x 10-4 mGy/mCi pada hati, dan 2.244 x 10-3 mGy/mCi pada kandung kemih. Implementasi perhitungan laju eliminasi diwujudkan dalam bentuk kalkulator evaluasi laju eliminasi organ pasien.

The study of biodistribution and dosimetry testing for 99mTc-Red Blood Cells has been done to assess the quality of product and predict internal patient’s dose. Tc-99m RBC were injected at intravenous of rabbits and periodically scanned with PA planar imaging for several interval times up to 80 minutes after 99mTc-RBC injected. Biodistribution shows the highest activity percentage in the heart (100.0%) at period 10 - 15 minutes, followed by liver (81.93%), right kidney (70.92%), and the left kidney (45.51%).
Organ with the most rapid drug elimination is evidenced by the largest elimination rate’s value (k) which is present in the heart (1.94 x 10-2 /minutes), while the smallest is left kidney (5.0 x 10-3 /minutes). Internal dose calculation shows 6.517 x 10-4 mGy/mCi for heart, 6.259 x 10-4 mGy/mCi for kidney, 1.677 x 10-4 mGy/mCi for liver, and 2.244 x 10-3 mGy/mCi for bladder. Implementation of the elimination rate calculations realized in the form of organ elimination rate calculator to patient evaluation.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S52525
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyunia Likhayati S
"Latar belakang: Hati kelinci yang dideselularisasi sebagai perancah untuk kultur organoid hati telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan viabilitas dan fungsinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan organoid dari kokultur sel yang dapat mendukung fungsi hati. Pemanfaaatan perancah hati yang dideselularisasi untuk mempertahankan viabilitas dan fungsionalitas hepatosit dan mengevaluasi organoid hati manusia yang ditransplantasikan ke model hewan coba dan mengetahui respons yang dimediasi sel imun.
Metode: Sel hepatosit yang berasal dari iPSC manusia dikokultur dengan tiga sel lain untuk membentuk organoid hati. Delapan belas belas kelinci putih berusia 3 bulan digunakan dalam percobaan ini dan dibagi menjadi empat kelompok: Kelompok sham-operated (n = 3), kelompok ligasi duktus biliaris (n = 6), kelompok eksperimen dengan ligasi saluran empedu diikuti oleh transplantasi organoid hati (kelompok jangka pendek, (n=5); kelompok jangka panjang, (n=4).
Hasil: Pada penelitian ini dilakukan analisis survival menggunakan metode Kaplan-Meier (KM) untuk menentukan probabilitas kumulatif kelangsungan hidup dari kejadian kematian pada kedua kelompok dengan dan tanpa transplantasi organoid hati. Hasil tes log-rank menunjukkan bahwa kemungkinan bertahan hidup secara keseluruhan antara kedua kelompok yang menerima perlakuan berbeda. (p=0,003). Kelompok jangka pendek menunjukkan peningkatan fungsi hati seperti albumin, CYP3A, dan tingkat AST yang lebih rendah daripada kelompok jangka panjang. Hati kelompok jangka pendek menunjukkan tingkat deposisi kolagen yang lebih rendah.
Kesimpulan: Transplantasi organoid hati kokultur manusia dalam perancah hati yang dideselularisasi ke hewan yang diligasi duktus biliaris dapat mendukung kelangsungan hidup hewan dan fungsi hati untuk jangka pendek. Studi ini menyoroti potensi transplantasi organoid hati untuk mendukung fungsi hati jangka pendek. Namun, fungsi dan penolakan organoid hati dapat membatasi penggunaan pada jangka panjang.

Background: Decellularized native liver scaffolds as a platform for liver organoid culture have shown promising results in improving their viability and function. This research aims to develop cocultured liver organoids that can recapitulate liver functions, utilize a decellularized native liver scaffold to maintain the viability and functionality of hepatocytes and evaluate human liver organoids transplanted into animal models to support liver function in two periods categories and immune-mediated response.
Methods: The hepatocyte-like cells derived from the human iPSCs were cocultured with three other cells to form liver organoids. Eighteen 3-month-old New Zealand White Rabbits were used in the experiment, divided into four groups: A sham-operated group (n=3), a bile duct ligation group (n=6), an experimental group with biliary duct ligation followed by liver organoid transplantation (short-term group, n=5; long-term group, n=4).
Results: We performed a survival analysis using the Kaplan-Meier (KM) method to determine the cumulative probability of survival from death events in both groups with and without liver organoid transplantation. The log-rank test results indicated a notable variation in the overall likelihood of survival between the two groups receiving different treatments. (p=0.003). The short-term group exhibited improved liver functions such as albumin, CYP3A, and lower levels of AST than the long-term group. The livers of the short-term group showed lower levels of collagen deposition.
Conclusions: Transplanting human coculture liver organoids in decellularized native liver scaffold into bile duct ligated animals could support the animal's survival and hepatic function for the short term. This study highlights the potential of liver organoid transplantation for short-term liver support. However, the functionality and rejection of liver organoids may limit their long-term use.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
301.36 Hal a: 0, FISIP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2015
617.556 TRA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Seoul: The Korean Society of Gastroenterology,
611 GL
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>