Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160574 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"[Pada pasien usia lanjut, terjadi penurunan fungsi tubuh yang berisiko menimbulkan multipatologi. Keadaan ini mengharuskan pasien geriatri mengonsumsi lebih dari satu macam obat secara bersamaan. Penggunaan enam atau lebih macam obat dalam waktu yang bersamaan dapat menimbulkan polifarmasi dan dapat meningkatkan risiko interaksi obat serta efek samping obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persentase polifarmasi dan potensi interaksi obat pada pasien geriatri yang dirawat inap di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Desain yang digunakan adalah retrospektif cross sectional dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien geriatri yang dirawat inap selama periode Januari-Juni 2015. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase polifarmasi adalah sebanyak 89,55% Dalam penelitian ini, rentang jumlah jenis penggunaan obat adalah 2-18 obat. Rata-rata penggunaan obat per pasien sebanyak 9,9 obat. Obat yang paling banyak diresepkan adalah omeprazol, diresepkan pada 52 dari 67 pasien (77.6%), disusul oleh n-asetil sistein, diresepkan pada 36 dari 67 pasien (53,7%), parasetamol yang diresepkan pada 27 dari 67 pasien (40,3%), dan salbutamol-ipratropium bromide yang diresepkan pada 25 dari 67 pasien (37,4%). Dari total 666 penggunaan obat, terdapat potensi interaksi antar obat sebesar 4,95%., The decrease of organ function in elderly is one of risk factors of multiple diseases that requires geriatric patients taking more than one medications at a time. Polipharmacy, the use of six or more medications at the same time, increases the potential of drug-drug interactions and adverse effects.of drugs. This study aimed to evaluate the extent of polypharmacy and potential drug-drug interactions among geriatric patients hospitalized in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta. In this observational retrospective study, secondary data was obtained from medical records of geriatric patients hospitalized in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital during January to June 2015. The results of this study showed that the percentage of polypharmacy was as much as 89.55%. The number of types of medications given to patients was ranged from 2 to 18 medications. The average use of medications per patient was 9.9 medications. The most widely prescribed drugs were omeprazole, prescribed in 52 of 67 patients (77.6%), followed by n-acetyl cysteine, prescribed in 36 of 67 patients (53,7%), paracetamol, prescribed in 27 of 67 patients (40,3%), and salbutamol-ipratropium bromide, prescribed in 25 of 67 patients (37,4%). There was 4.95% of potential for drug-drug interactions of 666 drug use.]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Nugroho Widananto Kusuma
"Latar Belakang: Polifarmasi dan pengobatan berpotensi tidak tepat (Potentially inappropriate medication/PIM) merupakan permasalahan terkait obat pada usia lanjut terutama dengan multimorbiditas dan berhubungan dengan luaran buruk pada geriatri termasuk kejadian perawatan rumah sakit (admisi).
Tujuan: Mengetahui hubungan polifarmasi dan pengobatan berpotensi tidak tepat pada pasien usia lanjut yang menjalani pengobatan rawat jalan di RSCM dengan kejadian admisi di rumah sakit selama 1 tahun.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif yang diikuti sampai dengan 1 Tahun pasca kedatangan di poli rawat jalan. Sampel diambil secara konsekutif sampai tercapai jumlah sampel yang diperlukan sesuai penghitungan. Follow up selama 1 Tahun Pasien dipantau setiap bulan selama 1 Tahun paska kunjungan rawat jalan pertama atau kunjungan rumah jika diperlukan. Data akan dikonfirmasi dengan rekam medik elektronik lalu dilakukan pemantauan meliputi jumlah kejadian perawatan rumah sakit dan kriteria polifarmasi dan PIM menggunakan STOPP versi 2 selama 1 Tahun
Hasil: Dari 528 subjek penelitian, mendapatkan polifarmasi 465 (88,07%), peresepan obat berpotensi tidak tepat (PIM) berdasarkan kriteria STOPP versi 2 sebanyak 134 (25,38%) subjek. Polifarmasi menurunkan risiko perawatan di rumah sakit selama 1 tahun, dengan crude RR sebesar sebesar 0,542 ( 95% IK 0,353-0,832, p=0,005). Tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat berpotensi tidak tepat dengan admisi rumah sakit RR 0,994 (95% IK 0,653-1,511, p=0,977). Status fungsional, dan penyakit akut merupakan variabel perancu dalam analisis hubungan polifarmasi dan kejadian admisi selama 1 Tahun sedangkan Status kerentaan merupakan faktor perancu PIM dengan kejadian admisi di RS..
Kesimpulan: Polifarmasi dengan angka PIM rendah pada usia lanjut dengan multikomorbiditas menurunkan kejadian admisi di rumah sakit selama 1 tahun pemantauan. PIM tidak memiliki hubungan dengan kejadian admisi di RS pada pasien usia lanjut selama 1 tahun pemantauan.

Background: Polypharmacy and potentially inappropriate medication (PIM) are drug-related problems in the elderly, especially with multimorbidity, and are associated with poor geriatric outcomes including admission.
Aim: To determine the association between polypharmacy and potentially inappropriate medication in elderly patients undergoing outpatient treatment at RSCM with hospital admission over 1 year
Method: This study used a prospective cohort design followed up to 1 year after arrival at the outpatient clinic. Samples were taken consecutively until the required number of samples was reached according to the calculation. Patients are monitored every month for 1 year after the first outpatient visit or home visit if necessary. Data will be confirmed with electronic medical records and then monitoring will be carried out covering the number of admission incidents and polypharmacy criteria and PIM (based on STOPP version 2) for 1 year.
Result: Of the 528 research subjects, 465 (88,07%) received polypharmacy, 134 (25,38%) subjects received potentially inappropriate drug prescriptions (PIM) based on the STOPP version 2 criteria and 78 (23.85%) subjects. There was no significant association between polypharmacy and the risk of admission for 1 year, with a crude RR of 0,542 ( 95% IK 0,353-0,832, p=0,005). There is no significant association between potentially inappropriate medication use and admission RR 0,994 (95% IK 0,653-1,511, p=0,977). Functional status and acute disease are confounding variables in the association between polypharmacy and admission and frailty is a confounding variable in the association between PIM and admission over 1 year.
Conclusion: Polypharmacy with low PIM rates in the elderly with multi-comorbidity reduces the incidence of hospital admission over 1 year. PIM was not significantly associated with hospital admission in elderly patients over 1 year.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Husna
"Indonesia akan mengalami penuaan penduduk dengan proyeksi peningkatan populasi lanjut usia (lansia) sebesar 15.8% pada tahun 2035. Peningkatan populasi lansia dapat mempengaruhi peningkatan kejadian penyakit degeneratif, termasuk sarkopenia yang ditandai dengan hilangnya massa dan kekuatan otot secara progresif. Lansia obesitas dapat mengalami sarkopenia di mana kondisi ini disebut obesitas sarkopenia dengan morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan hanya obesitas atau sarkopenia. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar kolesterol total dengan kondisi obesitas sarkopenia pada pasien lansia.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dilakukan pada populasi pasien lansia dengan sarkopenia. Penilaian obesitas sarkopenia pada subjek dilakukan berdasarkan kuesioner SARC-F dan BIA untuk komponen sarkopenia, IMT untuk komponen obesitas, dan kadar kolesterol total dari uji laboratorium melalui data rekam medis RSCM dari bulan Januari – Agustus 2022.
Hasil: Terdapat 157 subjek penelitian dengan prevalensi yang mengalami obesitas sarkopenia sebanyak 94 orang (59.87%). Pada analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa kadar kolesterol total memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan obesitas sarkopenia (p= 0.376). Rerata kadar kolesterol total pada kelompok sarkopenia tanpa obesitas adalah 177.65 ± 38.75 dan pada kelompok obesitas sarkopenia adalah 176.21 ± 46.73.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol total dengan kondisi obesitas sarkopenia pada pasien lansia.

Indonesia will experience an aging population, with a projected increase in the elderly population by 15.8% in 2035. An increase in the elderly population can affect the incidence of degenerative diseases, including sarcopenia, characterized by progressive muscle mass and strength loss. The elderly with obesity can experience sarcopenia. This condition is called obesity sarcopenia, with higher morbidity and mortality than only obesity or sarcopenia. This study aims to determine the relationship between total cholesterol levels and obesity sarcopenia in elderly patients.
Method: This research is a cross-sectional study of elderly patients with sarcopenia. Sarcopenic obesity assessment was performed on subjects based on the SARC-F and BIA questionnaires for sarcopenic components, BMI for obesity components, and total cholesterol levels from laboratory tests through RSCM medical record data from January - August 2022.
Result: There was 157 subjects in total, with a sarcopenic obesity prevalence of 94 people (59.87%). The bivariate analysis showed that total cholesterol levels had no significant relationship with sarcopenic obesity (p = 0.376). The mean total cholesterol level in the sarcopenia group without obesity was 177.65 ± 38.75 and in the sarcopenia obesity group was 176.21 ± 46.73.
Conclusion: There is no significant relationship between total cholesterol levels and sarcopenic obesity in elderly patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Nurahma
"Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kusta menyebabkan gangguan fisik, psikologik, dan sosial, yang menurunkan kualitas hidup penderita. Deformitas yang terlihat pada pasien kusta adalah salah satu penyebab utama stigma yang mempengaruhi perilaku pencarian kesehatan dan inklusi sosial. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil bentuk dan derajat kecacatan pada pasien kusta di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi. Metode Penelitian dilakukan secara retrospektif terhadap data pasien kusta di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2022 - September 2023 dengan variabel penelitian, yaitu usia, jenis kelamin, klasifikasi, bentuk dan derajat cacat, serta tindak lanjut pengobatan cacat kusta. Hasil Pada 83 subjek penelitian, didapatkan paling banyak pasien pada kelompok usia dewasa dengan jenis kelamin laki-laki dan tipe multi basiler. Ditemukan paling banyak pasien dengan cacat kusta dengan didominasi pasien cacat tingkat 1. Frekuensi paling banyak cacat pada ekstermitas atas dan/atau bawah. Tindak lanjut pengobatan pasien cacat kusta menunjukan paling banyak pasien yang tidak dirujuk balik. Kesimpulan Didapatkan profil pasien kusta terkait bentuk dan derajat kecacatan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Terdapat rekam medis yang tidak lengkap terhadap pemeriksaan cacat pada pasien kusta.

Introduction Leprosy is a chronic infectious disease caused by Mycobacterium leprae. Leprosy causes physical, psychological and social disorders, which reduce the quality of life. The deformities seen in leprosy patients are one of the main causes of stigma that influences health-seeking behavior and social inclusion. This research was conducted to determine the profile of the shape and degree of disability in leprosy patients at the Dermatology and Venereology Polyclinic. Method This research was conducted retrospectively on data from leprosy patients at Dr. Cipto Mangunkusumo during the period January 2022 - September 2023 with research variables, namely age, gender, classification, shape and degree of disability, and the follow-up treatment. Results In the 83 research subjects, the majority of patients were in the adult age group with male gender and multi bacillary type. The highest number of patients with leprosy defects were found, with the majority being patients with grade 1 defects. The highest frequency of defects was in the upper and/or lower extremities. Follow-up treatment of disabled leprosy patients showed that most patients were not referred back. Conclusion Profiles of leprosy patients were obtained regarding the form and degree of disability at Dr. Cipto Mangunkusumo. There are incomplete medical records regarding examinations of defects in leprosy patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Nur Komarudin
"Latar Belakang
Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memiliki tingkat insidensi dan mortalitas yang tinggi di Indonesia serta berdampak pada aspek kesehatan, sosial, dan budaya. Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memicu inflamasi yang dapat mengakibatkan ganguan multi-organ. Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan sebagai indikator keparahan untuk menilai inflamasi dan kerusakan organ. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas mengenai analisis kakteristik klinis dan hasil laboratorium pasien kanker ginekologi dengan COVID-19.
Metode
Metode yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah deskritif dan analitik dengan pendekatan potong lintang retrospektif.
Hasil
Tingkat insidensi pasien kanker ginekologi dengan COVID-19 2020-2022 sebesar 154 per 100.000. Kanker serviks (54,3%) menjadi diagnosis terbanyak diikuti dengan kanker ovarium (28,7%), kanker rahim (14,9%), kanker vulva (1,1%), dan kanker vagina (1,1%). Stadium III (37,2%) menjadi yang terbanyak diikuti stadium IV (26,6%), stadium I (20,2%), stadium II (16%). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan stadium kanker adalah obesitas (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), neutrofil absolut tinggi (OR 5,006; Cl 95%, 1,307 – 19,176; P value 0,019), ureum tinggi (OR 3,977; Cl 95%, 1,112 – 14,224; P value 0,034), dan platelet to leucocyte ratio (PLR) tinggi (OR 7,379; 95% CI 2,067-26,466; P value 0,002). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas (OR 12,364; Cl 95%, 4,148 – 36,848; P value <0.001) dan PLR tinggi (OR 6,787; 95% CI 1,103 - 41,774; P value 0,039).
Kesimpulan
Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan sebagai indikator keparahan berdasarkan stadium kanker ginekologi adalah obesitas, neutrofil absolut tingg, ureum dan PLR tinggi. Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan dengan indikator keparahan berdasarkan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas dan PLR tinggi.

Introduction
Gynecologic cancer and COVID-19 infection have high incidence and mortality rates in Indonesia and impact health, social and cultural aspects. Gynecological cancers and COVID-19 infections trigger inflammation that can lead to multi-organ disorders. Laboratory tests can be used as an indicator of severity to assess inflammation and organ damage. Therefore, this study will discuss the analysis of clinical characteristics and laboratory results of gynecological cancer patients with COVID-19.
Method
The method used in this study is descriptive and analytic with a retrospective cross- sectional approach.
Results
The incidence rate of gynecologic cancer patients with COVID-19 2020-2022 was 154 per 100,000. Cervical cancer (54.3%) was the most common diagnosis followed by ovarian cancer (28.7%), uterine cancer (14.9%), vulvar cancer (1.1%), and vaginal cancer (1.1%). Stage III (37.2%) was the most common followed by stage IV (26.6%), stage I (20.2%), stage II (16%). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with cancer stage were obesity (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), high absolute neutrophils (OR 5.006; 95% CI, 1.307-19.176; P value 0.019), high high ureum level (OR 3.977; 95% CI, 1.112-14.224; P value 0.034), and high PLR (OR 7.379; 95% CI 2.067-26.466; P value 0.002). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with COVID-19 severity were shortness of breath (OR 12.364; Cl 95%, 4.148 - 36.848; P value <0.001) and high PLR (OR 6.787; 95% CI 1.103 - 41.774; P value 0.039).
Conclusion Clinical characteristics and laboratory results associated with gynecologic cancer stage were obesity, high absolute neutrophils, high ureum level, and high PLR. Clinical characteristics and laboratory results associated with COVID-19 severity were shortness of breath and high PLR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Naomi Lidwina
"Latar Belakang
Koristoma atau kista dermoid orbita adalah tumor kongenital yang terdiri dari sel dan jaringan normal yang tumbuh di lokasi yang tidak seharusnya secara anatomis. Limbal dermoid sering dikaitkan dengan penyakit sistemik dengan sindrom Goldenharr. Penelitian mengenai karakteristik koristoma okular di Indonesia masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi karakteristik klinis dan demografis koristoma okular.
Metode
Penelitian ini menggunakan studi deskriptif retrospektif yang menggunakan data sekunder berupa rekam medis pada pasien koristoma okular di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun 2019-2023. Pengumpulan informasi mencakup data demografis, karakteristik klinis, temuan histopatologi, hasil pemeriksaan radiologi, dan tatalaksana. Data-data tersebut dianalisis dengan SPSS Windows versi 25. Data disajikan dalam bentuk N dan persentase serta median dan range minimal-maksimal.
Hasil
Jumlah subjek yang terlibat adalah 72 orang, yang mayoritas adalah perempuan dengan paling banyak berusia lebih dari 18 tahun dan tinggal luar Jakarta. Onset gejala pasien paling banyak dalam rentang dari lahir hingga lebih dari 12 tahun. Jenis koristoma yang paling banyak dijumpai adalah kista dermoid (45,8%) di sebelah kiri (54,2%) dan di orbita (55,6%). Karakteristik klinis lainnya paling banyak dijumpai tidak ada gangguan penglihatan (61,1%). Histopatologi paling banyak ditemukan epitel skuamosa berlapis (76,4%). Data radiologi ditemukan batas tegas (95,5%) dengan diameter maksimal adalah 3,7cm. Semua pasien menjalankan operasi dengan kombinasi eksisi paling banyak dilakukan (80,6%).
Kesimpulan
Koristoma dapat terjadi di berbagi lokasi mata dengan lokasi terbanyak di orbita dan dapat menimbulkan manifestasi klinis yang berbeda tergantung dari lokasi. Tatalaksana terhadap koristoma okular tergantung dari posisi tumor.

Introduction
Choristoma or dermoid cyst of the orbita is a congenital tumor consisting of normal cells and tissues growing in an anatomically inappropriate location. Limbal dermoid is often associated with systemic disease with Goldenharr Syndrome. Research on the characteristics of ocular choristoma in Indonesia is still rare. Therefore, this study aims to explore the clinical and demographic characteristics of ocular choristoma.
Method
This study used a retrospective descriptive study using secondary data from medical records on ocular choristoma patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from 2019- 2023. Demographic data, clinical characteristics, histopathology findings, radiology examination, and management were collected. The data will be analyzed with SPSS Windows version 25. Data will be presented as N and percentage, as well as median and minimum-maximum range.
Results
The number of subjects involved was 72, the majority of whom were female with most being over 18 years old and living outside of Jakarta. The onset of symptoms mostly ranged from birth to over 12 years old. The most common types of choristoma were dermoid cysts (45.8%) on the left side (54.2%) and in the orbit (55.6%). Other clinical characteristics were mostly no visual impairment (61.1%). Histopathology found mostly stratified squamous epithelium (76.4%). Radiologic data showed clear borders (95.5%) with a maximum diameter of 3.7cm. All patients underwent surgery with combined excision being the most common (80.6%)
Conclusion
Choristomas can occur in various locations of the eye with the most locations in the orbit and can cause different clinical manifestations depending on the location. Management of ocular choristoma depends on the position of the tumor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novianti Santoso
"Analisis gelombang bekuan dapat mengevaluasi profil reaksi pembentukan bekuan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis gelombang bekuan ini didapatkan dari pemeriksaan masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) tanpa menambah biaya pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola gelombang bekuan dan mengetahui nilai max velocity (Min1), max acceleration (Min2), dan max deceleration (Max2) pada pasien hemostasis normal dan hemofilia; serta mengetahui korelasi antara parameter tersebut dengan aktivitas F.VIII/F.IX. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan 160 sampel pasien hemostasis normal dan 145 sampel pasien hemofilia di Laboratorium Pusat Departemen Patologi Klinik RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo yang berlangsung pada bulan Agustus-Desember 2019. Pada penelitian ini didapatkan titik awal koagulasi pada pasien normal adalah ±30-40 detik dengan fase prekoagulasi pendek dan slope yang lebih curam. Pada pasien hemofilia didapatkan fase prekoagulasi yang lebih panjang dan slope yang lebih landai dengan titik awal koagulasi yang lebih panjang dan bervariasi. Nilai median Min1, Min2, dan Max2 dewasa hemostasis normal didapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pasien anak. Nilai Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemofilia A dan B juga didapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan pasien hemostasis normal dan didapatkan perbedaan yang bermakna antara parameter Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemostasis normal dengan pasien hemofilia. Korelasi antara parameter Min1, Min2, dan Max2 dengan aktivitas F.VIII didapatkan korelasi sedang (p<0,001), dan Analisis gelombang bekuan dapat bermanfaat untuk skrining pasien hemofilia di fasilitas kesehatan yang memiliki keterbatasan pemeriksan F.VIII dan memberikan gambaran yang lebih lanjut terhadap pasien hemofilia A berat yang memiliki aktivitas F.VIII <1% dan pasien hemofilia A yang dengan atau tanpa inhibitor.

Clot waveform analysis can be used to evaluate clot formation profile both qualitatively and quantitatively. This waveform may be obtained from activated partial thrombolpastin time (APTT) assay without additional cost. This study aims to determine the clot wave pattern as well as the value of max velocity (Min1), max acceleration (Min2), and max deceleration (Max2) in patients with normal hemostasis and hemophilia; and to determine the correlation between these parameters with F.VIII/F.IX activities. The study was conducted with a cross-sectional design using 160 samples of normal hemostasis patients and 145 samples of hemophilia patients in the Central Laboratory of the Department of Clinical Pathology of Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital which takes place in August-December 2019. In this study, the starting point of coagulation in normal patients is ± 30-40 seconds with shorter precocagulation phase and steeper slope. In hemophilia patients, longer precoagulation phase and flatter slope was seen with longer and more variable starting point for coagulation. The min1, min2, and max2 value of adult with normal hemostasis are higher than that of children. The min1, min2 and max2 value of hemophilia A and B are also lower than the patients with normal hemostasis. There is a significant difference between min1, min2, and max2 parameters of patients with normal hemostasis and hemophilia patients. Moderate correlation was found between Min1, Min2, and Max2 parameters with F.VIII activity (p <0.001). Clot wave analysis is a very useful tool for screening hemophilia patients in health facilities with limited F.VIII examination and may provides much detailed information of severe hemophilia A patients who have F.VIII activity <1% as well as hemophilia A patients with or without inhibitors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dequarta Splinaria Umar
"Latar Belakang: Ketidaktaatan pengobatan pada orang dengan skizofrenia merupakan masalah di seluruh dunia dan merupakan aspek paling menantang dalam menangani pasien dengan skizofrenia. Ketaatan pengobatan merupakan faktor penting untuk memberikan luaran yang baik pada pasien dengan skizofrenia. Terdapat beberapa perbedaan hasil dari berbagai penelitian terhadap faktor yang menyebabkan ketidaktaan pengobatan, namun ketidaktaatan pengobatan tetap merupakan masalah yang konsisten dalam pengobatan skizofrenia. kasus di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo cenderung kompleks. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor terkait yang menyebabkan ketidaktaatan pengobatan di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang. Sebanyak 1440 subjek berasal dari pasien rawat jalan dengan skizofrenia di poliklinik psikiatri RS dr. Cipto Mangunkusumo. yang ditentukan dengan cluster konsekutif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur menggunakan Positive and Negative Symptom of Schizophrenia (PANSS). Penilaian efek samping ekstrapiramidal mengunakan extrapyramidal symptom rating scale (ESRS). Data ketidaktaatan pengobatan diambil dengan menggunakan instrumen self-report medication adherence rating scale (MARS) data yang diperoleh kemdian dilakukan analisis dengan metode regresi logistik.
Hasil: Ditemukan proporsi ketidaktaatan pengobatan pada pasien dengan skizofrenia di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sebesar 21,4%. Tilikan, fungsi kognitif, status ekonomi, keparahan gejala, gejala depresi, efektivitas pengobatan ditemukan memengaruhi ketidaktaan pengobatan. Melalui analisis multivariat hanya tilikan (p 0,003 ; OR = 5,437 ; CI95% 1,752-16,868) dan fungsi kognitif (p = 0.035 ; OR = 3,294 ; CI95% 1,089-9,967) yang menunjukkan pengaruh bermaknak terhadap ketidaktaatan pengobatan.

Introduction: Medication non-adherence in people with schizophrenia is a worldwide problem and is the most challenging aspect of managing patients with schizophrenia. Adherence to medication is an important factor to provide a good outcome in patients with schizophrenia. There are differences in the results of various studies on the factors that lead to medication non-adherence, but medication adherence remains a consistent problem in the treatment of schizophrenia. the case at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital tends to be more complex. So this research was conducted to determine the related factors that led to medication non-adherence at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods: we conducted in a cross-sectional research. The sample size was 140 subjects from outpatients with schizophrenia in psychiatric polyclinic at dr. Cipto Mangunkusumo hospital and selected by consecutive clusters. Data were collected by structured interviews using Positive and Negative Symptoms of Schizophrenia (PANSS). Extrapyramidal side effect assessment using extrapyramidal symptom rating scale (ESRS). Medication adherence data were taken using the instrument self-report medication adherence rating scale (MARS). The data obtained were analyzed using logistic regression methods.
Results: The Proportion of medication non-adherence in patients with schizophrenia of 21.4% was found at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. Insight, cognitive function, economic status, symptom severity, depressive symptoms, and effectiveness of treatment were found to be significant related to medication non-adherence. Multivariate analysis shown only insight (p 0.003; OR = 5.437; 95% CI 1.752-16.868) and cognitive function (p = 0.035; OR = 3.294; 95% CI 1.089-9.967) were found were found significant related to medication non-adherence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Asicha
"Latar Belakang Artritis reumatoid merupakan penyakit reumatik yang sering menyebabkan gangguan fungsional dan penurunan kualitas hidup. Faktor-faktor yang berbeda telah dilaporkan mempengaruhi kualitas hidup pasien AR. Penelitian ini bertujuan mengetahui rerata kualitas hidup pasien AR dan faktor-faktor yang berperan dalam kualitas hidup pasien AR.
Metode Penelitian Sebanyak 152 subjek direkrut dari Poliklinik Reumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Data mengenai sosiodemografi, kondisi klinis dan laboratorium yang berkaitan dengan aktivitas penyakit, status fungsional, masalah psikologis, dan jumlah komorbiditas diambil dalam penelitian ini. Kualitas hidup diukur menggunakan kuesioner EuroQol five demensional (EQ-5D) and EQ global health visual analogue (VAS). Analisis dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat.
Hasil Penelitian Sebayak 90,8% perempuan dengan rerata usia 49,41 ± 12,31 tahun dengan tingkat pendidikan menengah serta tidak bekerja. Mayoritas subjek memiliki derajat aktivitas penyakit sedang (median 3.26 (1,03 – 6,89) dan status fungsional mandiri. Median durasi penyakit penyakit 3 (0 – 34) tahun. Gangguan psikologis seperti ansietas (11,2%) dan depresi (20,4%) juga ditemukan. Median nilai indeks 0,84 (0,170 – 1,000) dan median nilai EQ VAS 70 40 – 100). Faktor-faktor yang secara independen berperan dalam nilai indeks adalah disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, dan depresi, sedangkan untuk EQ VAS disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, depresi, ansietas dan komorbiditas untuk EQ VAS.
Kesimpulan Disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, gangguan psikologis dan jumlah komorbiditas memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas hidup pasien AR. Sehingga evaluasi terhadap faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam standar pelayanan pasien AR dan tatalaksana yang sesuai harus dioptimalkan.

Background. Rheumatoid arthritis (RA) is a rheumatic disease that often causes functional disorders and decreased health related quality of life (HRQoL). Different factors have been reported affecting HRQoL of RA patients. This study aims to evaluate the HRQoL and related factors in patients with RA.
Methods. One hundred and fifty-two patients from Reumatology polyclinic at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta were enrolled. Data about sosiodemographic, clinical and laboratory data related to disease activity, functional status, psyological problem, and number of comorbidities were collected. HRQoL was assessed using the Indonesian EuroQol five demensional questionnaire (EQ-5D) and EQ global health visual analogue (VAS). Univariate analysis, bivariate and multivariate analysis were employed to identify factors related to HRQoL.
Results. Ninety percent were female with a mean age ± Sof 49.41 ± 12.31 years with a secondary education level and unemployed. Majority of subjects had moderate disease activity (median 3.26 (1.03 – 6.89) and independent functional status. Median duration of illness was 3 (0 – 34) years. Psychological disorders such as anxiety (11.2%) and depression (20 .4%) were also found, the median index value 0.84 (0.170 – 1,000) and the median EQ VAS 70 40 – 100). The factors that independently played a role in the index score were functional disability, disease activity, and depression, while for the EQ VAS were functional disability, disease activity, depression, anxiety, and number of comorbidities.
Conclusion. Functional disability, disease activity, psychological disorders and the number of comorbidities have a negative influence on the HRQoL of RA patients. So, the evaluation of these factors must be considered in the standard of care for RA patients and the appropriate management must be optimized
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Himawan Aulia Rahman
"Latar belakang. Pembuatan stoma dan reseksi usus adalah tindakan pembedahan yang umum dilakukan pada anak dengan masalah bedah di sistem gastrointestinal. Salah satu komplikasi dari pembuatan stoma adalah high output stoma yang menyebabkan perawatan menjadi lebih lama.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya high output stoma dan prediktor terhadap lama rawat, lama penggunaan nutrisi parenteral, dan kematian.
Metode. Kami melakukan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di rumah sakit tersier rujukan di Indonesia. Subjek adalah pasien anak usia 0 bulan – 18 tahun dengan stoma di usus halus (enterostomi) selama periode Oktober 2019 – Desember 2023. Penelitian tahap I dilakukan pada semua subjek untuk melihat faktor risiko terjadinya high output stoma. Penelitian tahap II dilakukan pada subjek yang mengalami high output stoma untuk menilai prediktor terhadap lama rawat, lama penggunaan nutrisi parenteral, dan kematian.
Hasil. Penelitian tahap I melibatkan 64 subjek. Kelompok usia terbanyak adalah usia neonatus (43,8%). Penyakit dasar terbanyak sebagai penyebab pembentukan stoma adalah perforasi intestinal (39,1%). High output stoma terjadi pada 48,4% subjek. Tidak ada faktor risiko teknik pembedahan yang secara signifikan menyebabkan high output stoma. Penelitian tahap II memasukkan 31 subjek yang mengalami high output stoma. Pada semua subjek, panjang usus halus berkorelasi dengan lama rawat (p = 0,033), lama penggunaan nutrisi parenteral (p = 0,032), dan berhubungan dengan kematian (p = 0,041).
Kesimpulan. Panjang usus halus yang lebih pendek berhubungan dengan luaran yang lebih buruk pada pembentukan enterostomi pada anak.

Backgrounds. Stoma creation and intestinal resection are common surgical procedures in children with surgical problems in the gastrointestinal system. One of the complications of creating a stoma is a high output stoma (HOS), which causes more prolonged treatment.
Objectives. This study aims to determine the risk factors for HOS and predictors of length of stay, length of use of parenteral nutrition (PN), and death.
Methods. We conducted a retrospective cohort study at a tertiary referral hospital in Indonesia. Subjects were pediatric patients aged 0 months – 18 years with a stoma in the small intestine (enterostomy) during the period October 2019 – December 2023. Phase I study was carried out on all subjects to examine at risk factors of HOS. Phase II study was conducted on subjects who experienced HOS to assess predictors of length of stay, length of PN use, and death.
Results. Phase I study involved 64 subjects. The largest age group is neonates (43.8%). Intestinal perforation is the most common underlying disease that causes stoma formation (39.1%). There are no risk factors for surgical techniques that significantly cause HOS. Phase II study included 31 subjects who experienced HOS. In all subjects, the length of the small intestine was correlated with length of stay (p = 0.033), duration of PN use (p = 0.032), and was associated with mortality (p = 0.041).
Conclusions. Shorter small intestinal length is associated with worse outcomes in enterostomy formation in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>