Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154102 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salman Alfarisi
"[ABSTRAK
Masyarakat Minangkabau dikenal aktif melakukan pergerakan keluar dari daerah asalnya atau disebut merantau. Merantau telah melembaga dalam sistem sosial. Itulah sebabnya penelitian geografi kebudayaan mengenai pola pergerakan dalam merantau menarik untuk dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan mewawancarai delapan informan. Pada dasarnya, merantau merupakan budaya yang digunakan untuk meningkatkan kualitas diri laki-laki Minang. Merantau dipengaruhi daya dorong dari ranah berupa sistem sosial, budaya, dan kondisi fisik serta daya tarik yang kuat dari rantau berupa perekonomian dan pendidikan yang menimbulkan kesenjangan di kedua wilayah. Faktor pribadi individu berupa motivasi dan tujuan, kekerabatan, serta identitas diri juga berperan penting dalam menentukan keputusan merantau. Pola pergerakan dalam proses merantau terlihat mengarah ke kota-kota dengan kondisi perekonomian dan pendidikan yang baik.
ABSTRACT
Minangkabau community is known for actively migrating out from their origins, the tradition called "merantau". Merantau has been institutionalized in a particular social systems. The nature made the study of cultural geography regarding the movement patterns in merantau is fascinating. This research was conducted using qualitative method by interviewing eight informants. Basically, ?merantau? is a culture that is used to improve the quality of men in Minang Merantau is influenced by the outer stimuli ranging from the form of social system, culture, and physical conditions and the strong appeals of the ?rantau?, the destination areas, in the form of economic and education opportunities that constituted gaps in the two distinct regions. Individual personal factors such as motivation and purpose, kinship, and identity also plays an important role in determining the decision to undergo "merantau". Movement patterns in the process of merantau have inclinations to prefer cities with good economic conditions and good educational opportunities.
;Minangkabau community is known for actively migrating out from their origins, the tradition called "merantau". Merantau has been institutionalized in a particular social systems. The nature made the study of cultural geography regarding the movement patterns in merantau is fascinating. This research was conducted using qualitative method by interviewing eight informants. Basically, ?merantau? is a culture that is used to improve the quality of men in Minang Merantau is influenced by the outer stimuli ranging from the form of social system, culture, and physical conditions and the strong appeals of the ?rantau?, the destination areas, in the form of economic and education opportunities that constituted gaps in the two distinct regions. Individual personal factors such as motivation and purpose, kinship, and identity also plays an important role in determining the decision to undergo "merantau". Movement patterns in the process of merantau have inclinations to prefer cities with good economic conditions and good educational opportunities.
, Minangkabau community is known for actively migrating out from their origins, the tradition called "merantau". Merantau has been institutionalized in a particular social systems. The nature made the study of cultural geography regarding the movement patterns in merantau is fascinating. This research was conducted using qualitative method by interviewing eight informants. Basically, “merantau” is a culture that is used to improve the quality of men in Minang Merantau is influenced by the outer stimuli ranging from the form of social system, culture, and physical conditions and the strong appeals of the “rantau”, the destination areas, in the form of economic and education opportunities that constituted gaps in the two distinct regions. Individual personal factors such as motivation and purpose, kinship, and identity also plays an important role in determining the decision to undergo "merantau". Movement patterns in the process of merantau have inclinations to prefer cities with good economic conditions and good educational opportunities.
]"
Universitas Indonesia, 2016
S61817
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bob Aditya Hidayat
"Penelitian ini membahas mengenai film yang mengangkat tema kebudayaan Minangkabau, yaitu Film Surau dan Silek. Film Surau dan Silek adalah sebuah film yang menceritakan tentang surau dan silek yang merupakan bagian dari kebudayaan Minangkabau. Penelitian ini melihat bagaimana kebudayaan Minangkabau direpresentasikan di dalam film berdasarkan persepsi generasi muda Minangkabau dan menggali mengenai surau dan silek dalam kebudayaan Minangkabau. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Film Surau dan Silek berhasil merepresentasikan kebudayaan Minangkabau menurut generasi muda dilihat dari cerita yang diangkat dan tampilan visual seperti simbol kebudayaan, latar tempat, bahasa yang digunakan, dan hal lainnya yang merepresentasikan kebudayaan Minangkabau dalam film. Akan tetapi hal-hal mendasar dari surau dan silek sebagai kebudayaan Minangkabau tidak dijelaskan dengan baik di dalam film serta dalam kehidupan masyarakat Minangkabau saat ini kebiasaan untuk belajar di surau dan mempelajari silek sudah sangat jarang ditemukan

This study discusses about a movie that elevates Minangkabau culture theme, which are Surau dan Silek the Movie. Surau dan Silek the Movie is a movie that depicts about surau and silek which are parts of Minangkabau culture. This study views how Minangkabau culture is represented in the movie based on the young Minangkabau generation’s perception and digs more about surau and silek in Minangkabau culture. This study uses constructivist paradigm and qualitative approach. The result of this study shows that Surau dan Silek the Movie succeeds to represent Minangkabau culture according to the young generation as observed through the appointed storyline and visual views such as cultural symbols, background scene, the language that is used, and other things that represents Minangkabau culture in the movie. However, the basics of surau and silek as Minangkabau culture is not explained well in the movie along with theMinangkabau community’s life nowadays the habit to study in surau and to learn silek is rarely to be found."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dodi Chandra
"Kursi batu merupakan produk dari budaya megalitik dari batu terdiri dari komponen alas dan sandaran. Di Sumatera Barat khususnya di wilayah Kabupaten Tanah Datar, kursi batu secara umum dinamakan dengan Medan nan Bapaneh, adapula dengan istilah balai batu, balai-balai, batu sandaran dan batu tagak. Di Kabupaten Tanah Datar dijumpai sejumlah kursi batu yang memiliki pola susunan yang membentuk huruf U, huruf L, garis lurus, segitiga, dan bulat. Di samping itu, kursi batu diindikasikan pula sebagai lembaga demokrasi awal di wilayah nagari di Minangkabau. Sistem matrilineal yang dianut oleh orang Minangkabau, menjadi kaum perempuan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Namun, dalam penggunaan kursi batu, kaum laki-lakilah yang memegang kendali. Sehingga, adanya ketidakseimbangan kekuasaan perempuan dalam kehidupan matrilineal di Minangkabau. Bagaimanakah peranan kursi batu dalam kebudayaan Minangkabau dan bagaimanakah kursi batu di kaji dalam perspektif gender?. Dalam tulisan ini berusaha melihat dan menggambarkan kursi batu dalam sistem matrilineal yang dipakai oleh masyarakat Minangkabau hingga saat ini.

Stone seat is a product of megalithic, culture of stone which consists of a base component and backrest. In West Sumatera, especially Tanah Datar regency, stone seats are generally called Medan nan Bapaneh, Balai Batu, Batu Sandaran, and Batu Tagak. In Tanah Datar regency, there are found a number of stone seats arrangement patterns in the form of letter U, L, straight lines, triangles, and round. Stone seat is indicated as an early democratic institution in Minangkabau villages. Even though the matrilineal system adopted by Minangkabau people puts women as the highest authority, the use of stone seats is the men’s authoriry. So there is a power imbalance in the lives of women in Minangkabau. How is the role of the stone seats in Minangkabau culture ad how the stone seats studied in the perspective of gender?. This paper tries to see and describe the stone seats in the matrilineal system adopted by Minangkabau people.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S58213
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid S. Suryo
Jakarta : Yayasan Gebu Minang, 1993,
R 915.981 3 Min
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal Iskandar
"Kebudayaan dan adat istiadat Minangkabau merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sering ditampilkan dalam karya sastra Indonesia. Di dalam kebudayaan Minangkabau tersebut terdapat falsafah dan moralitas adat yang diyakini dan dijalankan oleh masyarakatnya. Salah satu cara untuk melestarikan falsafah adat tersebut adalah melalui alat budaya. Penelitian ini membahas peran Kaba, tradisi lisan Minangkabau, sebagai alat budaya dalam merepresentasikan falsafah dan moralitas adat dalam novel Jemput Terbawa (2018) karya Pinto Anugrah. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra khususnya dari sudut pandang kebudayaan Minangkabau. Hasil analisis mengungkapkan bahwa falsafah adat Minangkabau yang ditampilkan secara menonjol dalam novel tersebut adalah perihal menjaga martabat dan harga diri. Falsafah tersebut dikaitkan dengan masalah moralitas adat yang dialami para tokoh utama perempuan di dalam novel. Peran Kaba dalam novel ini adalah sebagai alat untuk melestarikan dan menegakkan falsafah dan moralitas adat Minangkabau tersebut kepada tokoh dan pembaca. Kaba dalam novel ini tidak hanya didefinisikan sebagai tradisi lisan yang dilestarikan dari zaman ke zaman tetapi juga sebagai segala upaya masyarakat Minangkabau untuk menjaga martabat dan harga diri seorang perempuan atau ibu dalam lingkungan masyarakat.

Minangkabau culture is one of many cultural points of view that are often represented in Indonesian literature. Within the said culture, traditional philosophy and morality are believed and carried out by the people. One of the ways to preserve that traditional philosophy is through the cultural tool. This study discusses the role of Kaba, a verbal tradition from Minangkabau, as a tool to represent one of Minangkabau's traditional philosophies and morality in a novel titled Jemput Terbawa (2018) by Pinto Anugrah. The method used in this research is a descriptive qualitative method with a sociology literature approach from the point of view of Minangkabau culture. The results from the analysis found that the traditional philosophy of Minangkabau that is represented the most in the novel is about preserving dignity and self-esteem. That philosophy is linked to the moral issues that the female main characters in the novel are facing. The role of Kaba in this novel is a tool to preserve and uphold that philosophy and morality for the characters and the readers. Kaba in this novel is not only defined as a verbal tradition that has been preserved through generations but also as any efforts that the Minangkabau people make to preserve and protect the dignity and self-esteem of the women or mothers in their society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Amir M.S.
Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997
306.095 981 AMI a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Moechtar Naim
Jakarta: Rajawali, 2013
304.8 MOC m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aimifrina
"Kesusastraan Minangkabau yang terpenting adalah kaba, Kabamerupakan cerita rakyatJ\4inangkabay yang berisi falsafah hidup Lerdlsaikan kebiiaksanaan masyarakat Minangkablu -{.at1m seluruh urpJt t"niaupannya. Untuk mengetahui falsafah hidup dan makna yang berada dibalik falsa{ah hidup tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis Kabq Cindua Mato. Teori yang digunakan adalah teori struktural Levi-Strauss dengan metode deskriptif. Hasil pembahasan diperoleh bahwa terdapat relasi antartokoh dan kontradilisi tokoh pa dakabatersebut. Relasi antartokoh antara tokoh yar,g tit ggrl di daerah Luhak Tanah Datar dengan daerah Rantau Luhak Tanah Datar. Daerah iunit, yiii, Ou"g Tuanku, Bundo Kanduang, dan Cindua Mato, sedangkan daerah rantau ialah Imbang Jayo, Rajo Mudo, dan Tiang Bungkuk. Kontradiksi terjadi antara Dang Tuanku dengan mban[ Jayo, Bundo Kanduang dengan Rajo Mudo, dan Cindua Mato dengan Tiang Bungkuk. Dari relasi intirtokoh dan kontradiksi dapat diketahui maknanya adalah (1) prosedur pelaksanaan hukum dan mendapat keadilan untuk semua warga adalah sama;(2) masalah diselesaikan dengan cara kekeluargaarrdan musyawarah; (3) fitnah menimbulkan permusuhan, peperangan, dan pembunuhan;(+;k";,r;rrrurr, kesetiaao dan tanggung jawab dapat mengangkat martabat dan derajat i"r"or*g (5) kebenaranberita perlu diselidiki, baru menentukan sikap; (6) penguasa harus memberi contoh yang baik dan menjadi panutan bagi warganya."
Yogyakarta: Balai Bahasa Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta, 2013
407 WID 41:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurana
Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1993
306.095 98 NUR u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Fathurrahman
"Penelitian ini berawal dari kegelisahan peneliti terhadap kehidupan keberagamaan di Minangkabau khususnya di Koto Tuo Panganak Bukittinggi. Meskipun hingga kini persaingan antar kelompok agama tersebut tidak terlalu nampak, sisa-sisa persaingan masih terlihat khususnya pada golongan tua dan mereka yang masih saja mempermasalahkan perbedaaan atas penafsiran agama. Kesan yang muncul bahwa Minangkabau sebagai pusat ?modernisasi? masih saja terlihat. Dengan demikian, penelitian ini mencoba menjelaskan pihak-pihak yang ?terlibat? dan berusaha menampilkan kelompok keagamaan yang pro maupun kontra atas pembahan atau pemurnian ataupun modemisasi keagamaan tersebut. Sekaligus usaha untuk menjelaskan motif-motif serta nilai-nilai yang ingin dipertahankan oleh kelompok-kelompok tersebut.
Fokus penelitian dalam kerangka penulisan tesis ini adalah pembaharuan atau modernisasi keagamaan, yaitu pemikiran-pemikinan yang menyangkut pola pikir terhadap Islam itu sendiri, bukan dalam hal-hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental dari ajaran Islam, tetapi memperbaharui penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar Al-Quran dan Hadits. Kepercayaan terhadap penafsiran-penafsiran "baru? tersebut yang menggerakkan orang untuk melakukan perubahan terhadap penafsiran yang sebelumnya ada (gerakan modernisasi keagamaan/gerakan puritan). Sedangkan Syattari merupakan kelompok keagamaan tertua yang ada di Minangkabau. Hingga kini Syattari masih eksis dan ajarannya pun masih sama persis ketika ajaran tersebut diajarkan oleh pendahulunya. Hubungan keduanya lebih menggambarkan pertautan antara modemisasi versus tradisional.
Weber, Bellah menggambarkan modernisasi sebagai struktur dibangun dengan rasionalitas. Sedangkan Syattari menganggap ?pembangunan atau modernisasi? tersebut upaya untuk menghilangkan atau menyederhanakan unsur-unsur hakiki dalarn keagamaan. Untuk itu diperlukan penjelasan melalui teori Berger dalam upaya mempertahankan keyakinan Syattari dalam konsepnya sosialisasi makna dan fungsi agama sebagai pemeliharaan dunia.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tekniknya snowball sampling dan observasi, karena keterbatasan dalam mengidentifikasi pihak-pihak yang benar-benar paham terhadap permasalahan penelitian perlunya pengamatan alas fenomena yang akan diteliti.
Sebagai penelusuran historis dalam tesis ini, gerakan modernisasi keagamaan di Minangkabau dimotori oleh tiga orang haji yang pulang dari Mekkah. Mereka adalah Tiga orang tersebut adalah Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Pengaruh yang dibawa dan paling terasa atas gerakan tersebut adalah terkikisnya surau yang tergantikan dengan sistem pesanuen dan madrasah. Surau diidentifikasi sebagai Iembaga pendidikan tradisional Minangkabau sedangkan pesantren dan madrasah sistem pendidikan yang diadopsi dari luar Indonesia. Sebelumnya otoritas keagamaan (dalam sistem surau) di Minangkabau dipegang oleh bebempa ahli agama, mereka adalah Buya, Qari, Faqih, Qadhi, Alim dan gelar Labai, setiap gelar tersebut mempunyai otoritas masing-masing.
Analisa dalam penelitian ini adalah modernisasi agama dilihat sebagai bentuk usaha merombak pemahaman (penafsiran baru) masyarakat terhadap unsur hakiki (doktrin) dalam agama. Sedangkan pertautan antara ?tradisional-modern? atau ?konservatif-moderat? merupakan relasi sosial yang dianalisa ke dalam tiga dimensi, dimensi sejarah, dimensi kelembagaan dan dimensi gerakan sosial. Penjelasan terhadap ketiga dimensi ini adalah potret atas pola dan relasi sosial hubungan mayoritas-minoritas tersebut.
Ajaran Syattari digarisbawahi sebagai bagian dari sosialisasi makna. Artinya setiap pengikut yang terus konsisten (istiqomah) rnenerapkan ajaran Syattari secara tidak langsung ataupun langsung telah tersosialisasi makna-makna relijius dalam diri mereka. Berger menyebutkan fenomena tersebut adalah fungsi agarna sebagai pemeliharaan dunia.
Kesimpulan dalam penelilian ini yaitu terdapatnya relevansi konsep Berger mengenai agama mengenai funggsi agama seperti fungsinya sebagai pemeliharaan dunia, diyakini masih relevan dalam pernbahasan penelitiau ini. Sedangkan konsep Weber dan Bellah mengenai rasionalitas dan pembangunan yang digembar-gemborkan dalarn modernisasi keagamaan perlu digarisbawahi, karena motif-motifnya lebih menggambarkan usaha untuk mengubah unsur hakiki dalam doktrin agama. Selanjutnya kesimpulan bahwa Syattari sebeai organisasi keagaman lebih bersifat tertutup dan pengikutnya pun sangat terbatas, dan pola syiar-nya pun sembunyi-sembunyi dan berpindah Iempat sehingga lebih sulit untuk mengenal pengikut dan organisasi tersebut secara menyeluruh kecuali ikut dan bergabung didalamnya. Sedangkan, Syattariyah sebagai organisasi keagamaan tarekat, bersifat lebih terbuka meskipun keanggotaannya sudah menurun. Selanjutnya, Organisasi modem seperti Muhammadiyah, Persis, NU dan sebagainya dikategorikan sebagai organisasi keagamaan yang pengaruhnya datang kemudian atau paling terakahir.
Organisasi ini lebih terbuka dan pola syiamya menyentuh kepada aspek pengajaran (agama), pendidikan bahkan politik. Ketiganya menggambarkan kultur yang terjadi dalam sikap dan sistem masyarakat Minang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>