Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172360 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Huwaida
"Dance Cover merupakan salah satu kegiatan mengikuti gerakan tarian dari para artis K-pop. Anggota dance cover dituntut untuk memiliki kemiripan dari segi gerakan,kostum ,postur tubuh serta ekspresi yang ditampilkan. Namun, perilaku tersebut sering mendapatkan stereotip buruk di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan pengamatan berperan ini saya akan mencoba untuk melihat identitas dan ekspresi gender serta tanggapan dari keluarga dan teman sebaya terhadap identitas dan ekspresi gender yang mereka tunjukkan. Dari penelitian yang dilakukan terhadap enam orang remaja pria yang mengikuti dance cover terlihat bahwa identitas gender mereka adalah laki-laki,namun mereka mengekspresikan gender mereka secara androgini dan sudah mulai ada keluarga serta teman-teman sebaya mereka yang tidak bermasalah dengan ekspresi gender yang mereka tunjukkan.
Dance cover is one of the activities to follow the dance move from the K-pop artist. All the members of dance cover need to have the similarities in their dance relate to costume, posture and expression with the K-pop who they covered. However their behavior was often get a bad stereotype in Indonesia society. Therefore with this research with using qualitative approach with in-depth interviews and participative observation methods, I will try to describe their identity and gender expression as well as feedback from their family and friends from the identity and gender expression as their appearance. The research was conducted against six boys who followed a dance cover showed that the identity of their gender were a boy but they not expressed their gender as masculine. They express the gender as a androgyny and nowadays their family and some friends not bothered at all with their gender expression that they show up."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S62691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Dyah Savira
"Fandom sebagai ruang yang didominasi perempuan seringkali dianggap lebih ramah gender. Melalui berbagai aktivitas, seperti menulis fanfiksi, menggambar fan art, dan mengonsumsi juga membagikan karya pengemar lain, serta membangun jejaring sesama penggemar, para penggemar perempuan dapat berkegiatan dengan relatif lebih bebas, tanpa batas-batas yang ditetapkan lelaki. Penelitian ini bertujuan untuk mencaritahu cara-cara penggemar perempuan dapat mengeksplorasi dan mengekspresikan dirinya di fandom, dan bagaimana kegiatan mereka dalam ruang penggemar dapat berkelindan dengan hal tersebut. Melalui pendekatan etnografi, dengan metode observasi partisipan dan wawancara mendalam secara daring, studi ini juga menggunakan studi pustaka untuk memperkaya analisa. Hasilnya menunjukkan bahwa informan dapat mengeksplorasi dan mengekspresikan gender mereka melalui berbagai kegiatan penggemar, termasuk terlibat dalam, atau sekadar memperhatikan, diskursus yang sering muncul dalam fandom. Sekalipun ruang fandom masih heteronormatif, informan dapat menentukan sendiri pendekatan mereka pada fandom, termasuk dalam menghadirkan diri mereka.

Fandom as a female-dominated space is often considered more gender-friendly. Through various activities, such as writing fan fiction, drawing fan art, consuming and sharing the fan works of other fans, as well as building networks with fellow fans, female fans can carry out their activities relatively freely, without scornful limitations imposed by men. This research aims to find out the ways female fans can explore and express themselves in fandom, and how their activities in the fan space can be related to this. Through an ethnographic approach, with participant observation methods and online in-depth interviews, this study also uses literature research to enrich the analysis. The results show that informants can explore and express their gender through various fan activities, including engaging in, or simply paying attention to, discourses that often arise in fandom. Even though the fandom space is still heteronormative, informants can determine their own approach to fandom, including in presenting themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fadilah
"ABSTRAK
Artikel ini membahas penggemar laki-laki fanboy K-pop mengonstruksikan identitas gendernya ketika ia menyukai budaya populer yakni musik K-pop yang secara umum dilihat memiliki banyak penggemar perempuan. Artikel ini juga melihat bagaimana fanboy K-pop mendefinisikan identitas gender mereka baik ketika mereka menjadi fanboy K-pop maupun identitas seksual mereka sebagai laki-laki. Fanboy K-pop mendefinisikan identitas gender mereka dengan meakukan negosiasi dengan konstruksi gender yang ada di institusi sosial tempat mereka berinteraksi meskipun terdapat berbagai stereotip terhadap mereka sebagai fanboy K-pop.Studi sebelumnya mengemukakan bahwa buaya populer seperti musik, film, olahraga, dan video games bisa mengekspresikan dan menguatkan identitas gender individu yang melakukan atau menikmatinya. Mereka bernegosiasi baik dengan meyembunyikan hal yang mereka sukai atau mempertahankan hal yang mereka sukai dan menunjukkan identitas gender mereka dengan cara lain. Argumen penulis dalam artikel ini penggemar laki-laki K-pop bisa mengonstruksikan dan menegosiasikan identitas gender mereka. Hal tersebut karena fanboy K-Pop memiliki power dalam pembentukan identitas gender mereka. Pengetahuan yang dimiliki oleh fanboy K-pop baik dari institusi pendidikan maupun media membuat mereka memiliki kekuatan atau daya tawar untuk mengonstruksi identitas gender mereka. Ketika melakukan konstruksi identitas gender, mereka menggunakan pengetahuan mereka sebagai kekuatan untuk menegosiasikan identitas gender mereka dengan masyarakat dan institusi sosial mereka.Pendekatan penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dengan fanboy K-pop digunakan untuk memahami bagaimana mereka mengonstruksi atau menegosiasikan identitas gender mereka.

ABSTRACT
This article focuses on gender identity construction inmale K pop fans K pop fanboys as they interested in K pop music which in generalconsidered as popular culture that primarily cater towards female audience. This article also aims to pinpoint how K pop fanboy defines their gender identityboth as K pop fanboy and as a male. K pop fanboy defines their gender identity by negotiating with existing gender constructs at the social institution in which they interacts even though there are some steoreotypes toward them being a K pop fanboy.Previous studies showed popular culturesuch as music, film, sports, and video games express and strengthen gender identity of its participants.They either negotiate by concealing things that they like, or by continue defending what they like and project their gender identity through other ways. In this article, it is argued that K pop fanboys construct and negotiate their gender identity because they have power in their gender identity construction. Knowledges that they get both from their educational institution and media make them have bargaining power to construct their gender identity. During gender identity construction, their knowledge used as their power to negotiating their gender identitywith their society and social institution.Qualitative research approach using in depth interview with K pop fanboys to understandhow they construct or negotiate their gender identity."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Debby Novitadewi Susanto
"Masuknya budaya populer Korea, terutama musik pop, memunculkan fenomena baru yang lain yaitu roleplay di kalangan para penggemarnya. Roleplay merupakan permainan peran, baik memainkan peran karakter fiksi maupun publik figur di kehidupan nyata. Setiap orang dibebaskan memainkan karakter yang mereka inginkan dan mendorong pemain untuk memainkan karakter dengan identitas yang berbeda, salah satunya identitas gender. Dari sinilah muncul fenomena gender swap. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dengan metode observasi dan wawancara mendalam secara daring untuk menyesuaikan dengan pandemi COVID-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana seseorang mengonstruksikan identitas gender yang berbeda dan kaitannya dengan stereotip gender yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah informan mengonstruksikan identitas gender yang berbeda dengan tindakan performatif yang dilakukan secara berulang-ulang melalui tampilan akun, typing, dan interaksi sosial. Dalam mengonstruksikan identitas gendernya, informan melanggengkan dan menentang stereotip gender secara bersamaan.

The entry of Korean pop culture, especially pop music, has led to another new phenomenon, namely roleplay among fans. Roleplay is a role-playing game, both playing the role of fictional characters and public figures in real life. Everyone is free to play the character they want and encourages players to play characters with different identities, one of which is gender identity. This is where the gender swap phenomenon emerges. This study uses an ethnographic approach with online observation and in-depth interviews to adapt to the COVID-19 pandemic. The purpose of this study is to see how a person constructs a different gender identity and its relation to prevailing gender stereotypes. The results of this study are informants construct different gender identities with performative actions that are carried out repeatedly through account display, typing, and social interaction. In constructing their gender identity, informants perpetuate and oppose gender stereotypes simultaneously."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhraeni
Jakarta: AFRA Institute, 2008
305.3 SUH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Masthuriyah Sa'dan
Yogyakarta: Suka Press, 2022
305.3 MAS s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Fauziah
"ABSTRAK
Diskriminasi terhadap kelompok gay di Indonesia merupakan latar
belakang dari penelitian ini. Adanya diskriminasi membuat mereka
menyembunyikan identitasnya dan memilih untuk menikah dengan perempuan.
Mereka membutuhkan ruang agar dapat merasa nyaman dan aman untuk
mengekspresikan dan menunjukkan identitasnya. Kemajuan teknologi membantu
mereka dalam menemukan ruang tersebut. Line di dalam penelitian ini dilihat
sebagai sebuah cyberqueer space, yaitu tempat ketika pengalaman-pengalaman
gay dapat terjadi dengan lebih mudah dari pada di offline. Oleh karena itu, melalui
penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara
mendalam terhadap ke-enam infoman dan pengamatan baik di online ataupun
offline, saya mencoba melihat identitas dan ekspresi diri yang dilakukan oleh
individu gay di dalam grup mak-mak. Ekspresi yang mereka tunjukkan terlihat
dari pembentukan identitas gay yaitu dari penerimaan hingga perasaan bangga
akan identitasnya. Cara gay mengartikulasi identitasnya di Line berbeda-beda dan
bermacam-macam, ada yang memilih hanya sedikit menambahkan apa yang telah
ada dalam dirinya, ada pula yang mengubah total seluruh identitas aslinya.
Interaksi yang dilakukan dalam grup membentuk hubungan sosial yaitu
pertemanan, romantisme dan pekerjaan.

ABSTRACT
Discrimination against gay group in Indonesia is the background of this
research. Discrimination makes them hide their identity and choose to marry
women. They need space in order to feel comfortable and safe to express and
show their credentials. Advances in technology help them in finding the space.
Line in this study is seen as a cyberqueer space, that place when the experiences
of gay can occur more easily than in the real world. Therefore, through the study
used a qualitative approach with in-depth interviews on all six informant and
observations both in the real world or the virtual world, I try to see the identity
and self-expression by individuals in a group of gay-mak mak. They show visible
expression of gay identity formation, namely from reception to feeling proud of
their identity. How gay identity in Line articulate different and diverse, there are
selected only a few add what we have in him, there is also a change in total
throughout his true identity. Interaction is done in a group that is forming social
relationships of friendship, romance and work."
2016
S65958
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erica Christiana
"Berdasarkan konsep transitivitas Halliday, studi ini bertujuan untuk menganalisis perdebatan antara Senator Hawley dan Profesor Bridges yang dilakukan pada 12 Juli 2022. Perdebatan ini berfokus pada topik people with the capacity for pregnancy yang berujung pada pandangan tentang identitas gender. Kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi distribusi keenam proses konsep transitivitas dan hubungannya dengan klausa yang dipilih masing-masing partisipan untuk menampilkan ideologi mereka. Analisis menemukan bahwa Senator Hawley secara dominan menggunakan proses mental dalam klausa-klausanya yang terdiri dari proses keinginan, proses kognitif, dan proses emosi. Sedangkan, Profesor Bridges seringkali menunjukkan penggunaan proses relasional dalam klausanya yang terdiri dari proses atribusi dan proses identifikasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses yang digunakan dalam klausa berfungsi untuk mengedepankan perbedaan ideologi gender antara Senator Hawley dan Profesor Bridges. Proses relasional yang digunakan oleh Profesor Bridges menunjukkan identifikasi gender Senator Hawley yang kaku dengan cara mengidentifikasi dan menyadari keragaman gender. Senator Hawley melawan pernyataan Profesor Bridges menggunakan proses mental dengan meminta klarifikasi untuk menyelaraskan kesadaran mereka tentang gender. Hal ini menampilkan pemahahaman Senator Hawley terkait polarisasi gender, yang mengarah kepada transphobia.

Based on Halliday’s transitivity concept, this paper aims to analyze the debate between Senator Hawley and Professor Bridges conducted on July 12, 2022. The debate focuses on the topic of people with a capacity for pregnancy which led to views of gender identity. A combination of quantitative and qualitative method is used to explore the distribution of the six processes within the transitivity concept and its relation to the clause chosen to showcase each of the participants’ ideologies. The analysis has found that Senator Hawley dominantly uses the mental process within his clauses consisting of the desideration process, cognition process, and emotion process. In comparison, Professor Bridges shows high use of relational process within her clauses consisting of the attribution process and identification process. The analysis shows that the used processes in the clause do hold function to put forward the different ideologies on gender between Senator Hawley and Professor Bridges. The relational processes used by Professor Bridges points out Senator Hawley's rigid identification of gender by identifying and valuing the variety of genders. Senator Hawley counters Professor Bridges' allegations using mental processes by asking clarification to align their awareness on gender, which also displays his gender polarization, leading to transphobia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eneng Darol Affiah
"Dalam sepuluh tahun terakhir ini, salah satu gejala sosial yang menarik untuk dicermati adalah mengenai pengaruh perspektif gender terhadap ajaran Islam dan gerakan organisasi perempuan Islam. Pengaruh tersebut dapat diamati dengan maraknya diskusi, pendidikan dan pelatihan serta penerbitan buku yang mensosialisasikan gagasan keadilan gender ke dalam berbagai komunitas Islam.
Berdasarkan pada fenomena sosial di atas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: faktor-faktor apa yang melatarbelakangi diadopsinya analisis gender ke dalam organisasi perempuan Islam dan dalam bentuk apa pengaruh tersebut terhadap gerakan organisasi?
Penelitian menunjukkan bahwa analisis gender dan pengaruhnya terhadap gerakan organisasi perempuan Islam dengan organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama sebagai kasus dilatarbelakangi oleh adanya pertarungan wacana dan kebijakan terhadap pendekatan Woman In Development (WID) dari mereka yang menggunakan pendekatan Gender and Development (GAD). Pendekatan terakhir ini menjadi titik pandang bagi sejumlah individu dan organisasi-organisasi LSM perempuan untuk melakukan counter culture dalam menggugat dan menantang nilai-nilai yang dibakukan oleh masyarakat dan negara. Bentuk penggugatan tersebut antara lain dengan membentuk organisasi yang memunculkan perspektif tanding mengenai ideologi gender dan melakukan proses penyadaran terhadap komunitas perempuan pada tingkat akar rumput. Oranisasi-organisasi ini melahirkan arah dan gerakan baru bagi perempuan Indonesia yang sering disebut gerakan yang berwawasan gender.
Gerakan yang sama dilakukan oleh kelompok perempuan Muslim yang dikategorikan sebagai kelompok "Muslim Transformatif'?. Dengan analisis gender, mereka membedah teks-teks keagamaan Islam, terutama al-Quran, Hadis dan berbagai literatur hukum Islam serta menafsirkan ulang (reinterpretasi) sejumlah tema-tema keagamaan seperti tema kepemimpinan perempuan, hak waris bagi perempuan, nilai kesaksian perempuan, hak-hak reproduksi perempuan, hak menentukan pasangan hidup bagi perempuan, poligami, sunat bagi perempuan (mutilasi), aborsi, dan lain-lain.
Sejumlah literatur agama yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah ditinjau kembali dan aksi kongkret pun telah dilakukan, seperti upaya amandemen terhadap undang-undang negara yang memiliki bias gender, terutama yang didasarkan pada perspektif hukum Islam, seperti UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Disamping itu telah berdiri pusat-pusat penanganan perempuan korban kekerasan yang berbasis pada lembaga-lembaga keagamaan, seperti yang dibentuk oleh Puan Amal Hayati di beberapa pesantren, seperti Pesantren Nurul Islam, Jember, Pesantren Al-Ishlahiah, Malang, Pesantren Aqidah Usmaniah, Madura, dan lain-lain.
Pengaruh yang paling terlihat dari analisis gender terhadap gerakan perempuan Islam adalah pada organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, hampir semua program organisasi ini berbasis pada analisis gender. Program yang telah dilakukannya antara lain membentuk crisis center untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi (PIKER). Hal yang jauh lebih penting dari pengaruh tersebut adalah membuka perspektif baru yang bergerak pada tiga tataran utama, yaitu: (1) dari eksklusif ke inklusif; (2) dari kejumudan ke pencerahan dan pemberdayaan; dan (3) dari kekangan ke pembebasan dan demokrasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Wisudantari Parthami
"Penelitian tentang identitas jender laki-laki dalam kerangka psikologi ulayat juga masih sangat minim jumlahnya. Pengaplikasian teori psikologi barat secara utuh pada fenomena budaya tentu dapat menimbulkan bias. Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali merupakan salah satu desa Bali asli yang mengelompokan peran pemuda dan gadis desanya berdasarkan organisasi khusus, sekeha teruna (untuk pemuda) dan sekeha deha (untuk gadis).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran pemahaman subjek terhadap identitas jender laki-laki mereka dan proses pembentukan identitas jender laki-laki mereka. Penelitian ini menggabungkan berbagai macam teori mengenai identitas jender laki-laki serta teori belajar sosial?termasuk sosialisasi dan skema jender-sebagai kerangga acuan dalam menganalisis.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan wawancara dan studi pustaka sebagai teknik pengambilan data. Wawancara dilakukan pada tiga pemuda desa adat Tenganan Pegringsingan yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda.
Hasil penelitian menunjukan ketiga subjek memiliki pemahaman bahwa identitas jender laki-laki mereka terpisah antara 'teruna' dan 'laki-laki'. 'Teruna' adalah identitas jender mereka dalam konteks adat. Sedangkan 'lakilaki' merupakan identitas jender laki-laki mereka di luar konteks adat. Pemahaman identitas jender laki-laki mereka dihayati dari sisi fisik, karakter, dan perilaku mereka sebagai laki-laki. Ketiga subjek memahami ada banyak pihak yang membentuk mereka menjadi laki-laki dan atau teruna. Eka memandang keluarga sebagai faktor utama dalam proses pembentukan identitas jender lakilakinya. Dwi merasa pengaruh adat yang paling besar membentuk identitas jender laki-lakinya. Sedangkan Tri menekankan peran teman-teman laki-lakinya.

It is still few study of male gender identity on indigenous psychology perspective. Straight forward applied of western theories on local phenomena could lead bias. Tenganan Pegringsingan Village, Karangasem, Bali, is an ancient Balinese Village at the present moment, which is classifying its young men and women based on special organization called sekeha teruna (for young men) dan sekeha deha (for young women).
Objectives of this study are to describe subject's understanding about their male gender identity and the process of their male gender identity construction. These studies used eclectic approach by composing many theories of male gender identity and social learning theory?including ocialization and gender schema theory-as base theory.
Research is conducted with qualitative method, using indepth interview and study literature as data collection technique. Three young adult from Tenganan Pegringsingan Village were chosen purposively as participants.
Research findings show participants distinct their concept between 'teruna' and 'man'. 'Teruna' they define as their male gender identity in indigenous context. Otherwise, 'man' is their male jender identity out side indigenous context. They find their male gender identity in term masculine physic, trait, and behavior. Participants have recognize many factor have construct them become a man or teruna. Eka put his family as the main factor of his male gender identity construction. Dwi thought Tenganan Pegringsingan give biggest influence to himself. Meanwhile, Tri sees his friends are the main factor.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
305.3 PUT k
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>