Ditemukan 166040 dokumen yang sesuai dengan query
Alden Martin
"Compulsory licensing diatur dalam Pasal 31 Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. Di dalam pasal tersebut ada pengecualian compulsory licensing yakni dalam hal terjadinya suatu national emergency or extreme urgency atau untuk public non-commercial use. Tetapi perjanjian internasional tersebut tidak mengatur definisi pengecualian penerapan compulsory licensing. Penelitian ini meninjau penafsiran terkait penerapan compulsory licensing atas paten farmasi, dalam hal terjadinya epidemi HIV/AIDS di Afrika Selatan, Brasil dan Thailand. Dalam penerapannya, masih terdapat perbedaan tafsiran antara negara-negara tersebut dan Amerika Serikat. Perbedaan tafsiran ini menimbulkan konflik yang akhirnya diselesaikan secara bilateral.
Compulsory licensing is one of patent?s flexibilities, that is governed on Art. 31 of Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. There are several exceptions in implementing compulsory licensing such as in case of ?national emergency or extreme urgency? or for ?public non-commercial use?. However, the international law instrument does not give exact definition of such exceptions. Furthermore, it reviews the implementation of compulsory licensing over pharmaceutical patent in regards of HIV/AIDS epidemic in South Africa, Brazil and Thailand. In practice, there are differences in interpretation between these countries with United States. The differences in interpretation raise conflict that eventually settled bilaterally."
2016
S62593
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Anggraini Puspita Dewi
"Mekanisme lisensi wajib dalam Pasal 31 Persetujuan TRIPs memungkinkan negara yang mengalami epidemi HIV/AIDS untuk dapat memberikan izin pada pihak ketiga untuk mengeksploitasi paten atas obat tanpa izin dari pemegang paten sehingga akses terhadap obat tetap terjamin. Namun, permasalahan yang muncul dari pelaksanaan lisensi wajib ini salah satunya justru berasal dari ambiguitas Pasal 31 Persetujuan TRIPs sendiri, khususnya Pasal 31 (b) dan Pasal 31 (f) Persetujuan TRIPs, yang kemudian menjadi konflik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Di satu sisi, negara maju berpendapat bahwa dasar/alasan lisensi wajib dalam Pasal 31 (b) Persetujuan TRIPs, yaitu ?national emergency or other circumstances of extreme urgency?, tidak dapat dilakukan di bidang farmasi dalam hal terjadinya epidemi, sedangkan negara berkembang berpendapat sebaliknya. Pada dasarnya, permasalahan ini disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi Pasal 31 Persetujuan TRIPs. Oleh karena itu, dalam pembahasan skripsi ini permasalahan tersebut akan dianalisa dengan metode interpretasi dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Berdasarkan metode tersebut, terbukti bahwa lisensi wajib dapat dilakukan di bidang farmasi dalam hal terjadinya epidemi, khususnya HIV/AIDS. Permasalahan Pasal 31 (f) Persetujuan TRIPs terselesaikan dengan disepakatinya mekanisme ekspor impor obat dibawah lisensi wajib pada tahun 2003, yang kemudian diadopsi menjadi protokol amandemen Persetujuan TRIPs pada tahun 2005."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S25432
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nur Laila Hidayati
"
ABSTRAKPenulisan tesis ini bertujuan untuk mengkaji penetapan lisensi wajib dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana penetapan lisensi wajib dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sejauh mana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan perlindungan hukum atas hak cipta yang diterjemahkan dan/atau digandakan, bagaimana konsekuensi tidak diterapkannya lisensi wajib dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Penetapan lisensi wajib dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah terhadap ciptaan yang benar-benar dinilai penting dan diperlukan bagi kemajuan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta lebih memberikan perlindungan hukum terhadap hak moral maupun hak ekonomi atas ciptaan yang diterjemahkan dan/atau digandakan. Perlindungan ini juga dengan pengenaan sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda, namun tindak pidana yang merupakan delik aduan dapat menghambat penegakan hukum terkait pelanggaran hak cipta. Konsekuensi tidak diterapkannya lisensi wajib dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra adalah akan menghambat kemajuan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, karena kurang tersedianya buku dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra dengan harga yang terjangkau dan dalam bahasa Indonesia. Hal ini akan menghambat minat baca, sehingga peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia juga akan terhambat, yang akibatnya negara Indonesia akan terhambat dalam memajukan diri. Agar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dapat dilaksanakan dengan baik, maka Pemerintah tepat waktu dalam menetapkan peraturan pemerintah, sehingga amanat Pasal 125 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 dapat dipenuhi. Bagi masyarakat, agar membiasakan gemar membaca buku ilmu pengetahuan dan sastra sebagai salah satu cara mendapat ilmu pengetahuan. Pelaku usaha penerbitan buku terjemahan agar lebih memperhatikan kualitas buku terjemahan sehingga masyarakat dapat menyerap ilmu pengetahuan dan sastra yang diterjemahkan dengan baik.
ABSTRACTThis thesis aims to assess the determination of compulsory license in the fields of science and literature according to Law No. 28 of 2014 on Copyright. The problem in this thesis are how the establishment of a compulsory license in the field of science and literature according to Law No. 28 of 2014 on Copyright, the extent to which Act No. 28 of 2014 on Copyrights provide legal protection of copyright translated and/or duplicated, how the consequences of failure to apply compulsory license in the fields of science and literature according to Law No. 28 of 2014 on Copyright. This thesis uses normative law research method with secondary data as its data source. Determination of compulsory license in the field of science and literature according to Law No. 28 of 2014 on Copyright is against the creation of a truly considered important and necessary for the advancement of education, the development of science, as well as research and development activities, by the Minister of conducting affairs administration in the field of law. Law No. 28 of 2014 on Copyrights is providing legal protection of the rights of moral and economic rights over the creation of translated and/or duplicated. This protection also to the imposition of penalties of imprisonment and fines to criminal sanctions, but the offense is a complaint-based offense could hinder law enforcement related to copyright infringement. Consequences of nonapplication of compulsory licensing in the fields of science and literature are going to hinder the advancement of education, the development of science, as well as research and development activities, due to lack of availability of books in the fields of science and literature at an affordable price and in Indonesian. This will hamper reading, thus improving the quality of Indonesian human resources will also be hampered, with the result that the state of Indonesia will be hampered in advancing themselves. So that Law No. 28 of 2014 regarding Copyright can be executed properly, the Government is timely in setting government regulations, so that the mandate of Article 125 of Law No. 28 of 2014 can be met. For the community, in order to familiarize likes to read science books and literature as a way to gain knowledge. Translation of book publishing business operators to be more attention to the quality of the translation of books so that people can absorb science and literature were translated properly."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45332
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Daniel Nicholas Putra
"Komitmen-komitmen WTO, khususnya terkait hak atas kekayaan intelektual dalam Perjanjian TRIPS, berpotensi menghambat peningkatan akses terhadap obat-obatan dan vaksin dalam situasi pandemi Covid-19. Dalam keadaan darurat, komitmen-komitmen tersebut dapat dikesampingkan menggunakan klausul security exceptions WTO. Penelitian ini menjelaskan (i) bagaimana pengaturan security exceptions WTO dibandingkan dengan general exceptions di Pasal XX GATT 1994 dan non-precluded measures di BIT Argentina-AS, BIT India-Jerman, dan BIT India-Mauritius; serta (ii) apakah pandemi Covid-19 merupakan alasan yang sah untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS menggunakan klausul security exceptions. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, klausul security exceptions WTO memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan general exceptions dan non-precluded measures; klausul security exceptions WTO memberi ruang gerak yang lebih luas bagi negara dalam mengambil tindakan keamanan yang berpotensi melanggar kewajiban WTO asal dilakukan untuk meresponi sebuah “emergency in international relations”. Kedua, pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS, sebab pandemi ini telah mengakibatkan sebuah “emergency in international relations” dan pengesampingan kewajiban-kewajiban dalam Perjanjian TRIPS bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat memenuhi syarat sebagai “essential security interests”.
WTO commitments, particularly related to intellectual property rights in the TRIPS Agreement, could potentially hinder efforts to increase access to medicines and vaccines during the Covid-19 pandemic. In time of emergency, these commitments can be overridden using the WTO security exceptions clause. This study explains (i) how the WTO security exceptions are compared to general exceptions in Article XX of the GATT 1994 and non-precluded measures in the Argentina-US BIT, India-Germany BIT, and India-Mauritius BIT; and (ii) whether the Covid-19 pandemic is a valid reason to waive the obligations under the TRIPS Agreement using the security exceptions clause. Through research using normative juridical methods and qualitative approach, it can be concluded that: First, the WTO security exceptions clause has several similarities and differences with general exceptions and non-precluded measures clauses; the WTO's security exceptions clause provides wider latitude for countries to take security actions that otherwise would have violated WTO obligations as long as they are carried out in response to an “emergency in international relations”. Second, the Covid-19 pandemic can be used as an excuse to waive obligations under the TRIPS Agreement, because this pandemic has resulted in an “emergency in international relations” and the waiver of obligations in the TRIPS Agreement for public health and safety qualify as “essential security interests”."
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dhea Ardiana
"Penelitian ini mengkaji pengaruh kepatuhan perjanjian TRIPS terhadap kegiatan FDI di negara-negara ASEAN-5. Studi ini berfokus pada negara-negara yang secara aktif mereformasi sistem hak kekayaan intelektual mereka setelah menandatangani perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih menekankan aliran FDI dari negara asal ke berbagai kelompok negara tujuan investasi. Penelitian ini menggunakan data panel dari negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam) dari tahun 1991 hingga 2020. Pendekatan data panel memungkinkan kita untuk mengkaji secara dinamis hubungan antara FDI dan perubahan kebijakan. Dalam analisis ini, tiga kemungkinan model yang digunakan dalam metode regresi, yaitu Pooled Least Square Model (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Uji Chow, uji Hausman, dan uji Breusch-Pagan/Cook-Weisberg dilakukan untuk menentukan model yang cocok. Temuan menunjukkan bahwa kepatuhan TRIPS tidak secara signifikan menarik investasi asing langsung (FDI) ke negara-negara ASEAN-5. Kemungkinan alasan kurangnya dampak ini mencakup berbagai tingkat kepatuhan perjanjian, penerapan yang berbeda, prioritas ekonomi, pertimbangan kebijakan, kondisi pasar, ketidaksepakatan antar negara, daya saing pasar global, dan faktor lainnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan penting untuk mengevaluasi pengaruh implementasi perjanjian TRIPS terhadap FDI di negara-negara ASEAN-5.
This research examines the effect of compliance with the TRIPS agreement on FDI activities in ASEAN-5 countries. This research focuses on countries actively reforming their intellectual property rights systems after signing the Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) agreement. This differs from previous studies, which emphasize the flow of FDI from countries of origin to various groups of investment destination countries. This research uses panel data from ASEAN-5 countries (Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand, and Vietnam) from 1991 to 2020. The panel data approach allows us to dynamically examine the relationship between FDI and policy changes. In this analysis, three possible models are used in the regression method, namely the Pooled Least Square Model (PLS), Fixed Effect Model (FEM), and Random Effect Model (REM). The Chow test, Hausman test, and Breusch-Pagan/Cook-Weisberg test were carried out to determine the suitable model. The findings show that TRIPS compliance doesn't significantly attract foreign direct investment (FDI) to the ASEAN-5 countries. Possible reasons for this lack of impact include varying levels of agreement compliance, differing implementation, economic priorities, policy considerations, market conditions, inter-country disagreements, global market competitiveness, and other factors. The results of this research are expected to be an essential consideration for evaluating the effect of the implementation of the TRIPS agreement on FDI in ASEAN-5 countries."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 1996
S25611
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Evany Onnara
"Merek merupakan identifikasi suatu produk perusahaan sehingga perlu dilindungi. Perlindungan terhadap merek dilakukan dalam kerangka hukum nasional dan internasional. Salah satu prinsip dalam konvensi-konvensi internasional yang mengatur mengenai perlindungan merek adalah prinsip perlakuan nasional. Sejak keberlakuan undang-undang tentang merek pertama tahun 1961 hingga yang terbaru tahun 2016, belum ada yang mengatur mengenai prinsip perlakuan nasional. Penulis akan membahas mengenai penerapan prinsip perlakuan nasional dalam gugatan permohonan pembatalan pendaftaran merek Cap Kaki Tiga oleh Russel Vince, seorang warga negara Inggris di Pengadilan Niaga sampai tahap peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Pembahasan kasus dilakukan dari perspektif Hukum Perdata Internasional.
Trademark is the identification of a company 39 s product, therefore it needs to be protected. The trademark protection is regulated within the framework of national and international law. One of the principles in international conventions governing trademark protection is national treatment principle. Since the enforcement of the first trademark law in 1961 to the latest trademark law in 2016, there has been no regulation about national treatment principle. Researcher will discuss about the implementation of national treatment principle in the lawsuit for the cancellation of the registered Trademark, Cap Kaki Tiga, by Russell Vince, a British citizen in the Commercial Court until the review stage of the Supreme Court. The case discussions are conducted from the Private International Law perspective."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S68503
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Krislestyo Atsianti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S23072
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Taryana Soenandra <=Sunandar>
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1993/1994
346.048 2 TAR p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Purnama Wulandari
"Tesis ini membahas mengenai pemanfaatan sumberdaya hayati Indonesia oleh pihak asing dimana ada beberapa tanaman tradisional Indonesia yang dipatenkan oleh negara maju tanpa memberikan kompensasi kepada Indonesia. Negara maju menggunakan pengetahuan tradisional yang terkait dengan temulawak, brotowali, gambir, pasak bumi dan kunyit sehingga menghasilkan produk yang bernilai jual tinggi seperti obat-obatan, kosmetik, dan pangan. Hal ini tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena bahan dasar produk-produk tersebut berasal dari Indonesia. Produk yang telah dipatenkan pun memiliki hak eksklusif/monopoli sehingga jika Indonesia membuat, menggunakan, atau menjual hal yang sama maka Indonesia harus membayar royalti kepada pemegang hak paten. Padahal apa yang telah dipatenkan oleh pihak asing tersebut disinyalir merupakan pengembangan dari pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia yang sudah bertahun-tahun menggunakan tanaman obat tersebut untuk berbagai macam manfaat terutama obat-obatan. Sesuai dengan konvensi keanekaragaman hayati seharusnya Indonesia mendapatkan pembagian keuntungan yang adil dari hasil pemanfaatan bahan hayati tersebut. Dengan menggunakan teori strukturalis, penelitian ini melihat bagaimana hak paten merupakan alat dari para kapitalis di negara maju untuk tetap mempertahankan kekuasaannya terhadap negara berkembang (Indonesia) dan justifikasi atas eksploitasi sumberdaya hayati milik Indonesia. Struktur sistem internasional yang ada menyebabkan tidak terjadinya benefit sharing atas pemanfaatan dan komersialisasi sumberdaya hayati Indonesia. Hasil penelitian membuktikan bahwa pemanfaatan dan komersialisasi sumberdaya hayati Indonesia oleh pihak asing tanpa disertai benefit sharing disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kepentingan negara maju dalam TRIPs, adanya ketidaksinkronan TRIPs dan CBD, serta permasalahan internal di dalam negeri Indonesia sendiri.
This thesis discusses the use of Indonesia's biological resources by foreign parties, where there are several traditional Indonesian plants are patented by develop countries without giving compensation to Indonesia. Developed countries using traditional knowledge related to ginger, brotowali, gambier, pasak bumi and turmeric to produce high value products such as pharmaceutivals, cosmetics, and food. It is not beneficial for Indonesia, because the basic ingredients of such products from Indonesia. The products have been patented also has exclusive rights/monopoly so that if Indonesia is making, using, or selling the same thing then Indonesia has to pay royalties to patent holders. Whereas what has been patented by a foreign party is alleged is a development of traditional knowledge of Indonesian people who have been using herbs for years for a variety of benefits, especially medication. In accordance with the convention of biodiversity, Indonesia should get a fair sharing of benefits from the utilization of these biological materials. With the use of structuralism theory, the study looks at how a patent is a tool of the capitalists in developed countries to retain power over developing countries (Indonesia) and the justification of the exploitation of Indonesia's biological resources. The structure of the existing international system led to the absence of benefit sharing of biological resources, utilization and commercialization of Indonesia. The results prove that the utilization and commercialization of Indonesia's biological resources by a foreign party without benefit sharing is caused by several factors, including the interests of developed countries in TRIPS, inappropriate of the TRIPS and CBD, and as well as internal problems within Indonesia itself."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T28888
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library