Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113221 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pricillia Azhani
"Pelaksanaan pengembangan ekowisata mangrove tidak sesuai dengan konsep ekowisata yaitu konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Rumusan masalah penelitian ini adalah belum adanya pelaksanaan pengembangan ekowisata karena pengelolaan Hutan Mangrove Wonorejo (HMW) yang belum maksimal terutama akibat dari pemahaman pengelola Ekowisata Mangrove Wonorejo (EMW) yang belum diaplikasikan dalam pengelolaan ekowisata untuk pemberdayaan masyarakat.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis vegetasi mangrove di HMW, menganalisis pemahaman pengelola EMW, menganalisis pemberdayaan masyarakat, dan menganalisis pelaksanaan pengembangan ekowisata di EWM. Hasil penelitian menunjukan kategori pohon INP tertinggi pada jenis Avicennia marina (251,22%), hal ini menunjukkan bahwa Avicennia marina adalah jenis mangrove yang paling dominan. Pemahaman pengelola EMW mengenai pengelolaan mangrove (96%), konsep ekowisata (86,67%), dan pelaksanaan ekowisata (83,33%). Masyarakat belum memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan melaksanakan keputusan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, dan evaluasi pelaksanaan pengembangan ekowisata di EMW dilakukan melalui prinsip-prinsip ekowisata hanya tercapai satu indikator (11,11%) dan delapan indikator tidak tercapai.

Implementation of mangrove ecotourism development which is not suitable with ecotourism concept namely conservation and improvement of people's well-being. The research problems is the lack management of Mangrove forest Wonorejo it caused by manager?s understanding Mangrove Wonorejo Ecotourism (EMW) which has not been applied in the management of the EMW activities for community development.
The purpose of this study is to analyze mangrove vegetation in Wonorejo mangrove forest, to analyze understanding EMW manager, analyze community empowerment, and analyze the implementation of ecotourism development in EWM. The results showed the highest IVI species in tree category is Avicennia marina (251.22%), indicating that Avicennia marina is the most dominant mangrove species. EMW managers understanding about mangrove management (96%), the concept of ecotourism (86.67%), and the implementation of eco-tourism (83.33%). People did not have the ability to make decisions and applied that decisions to achieve the goal of public well-being and evaluation of the ecotourism implementation development using the principles of ecotourism only 1 indicators (11.11%) were achieved, while 8 other indicators have not been achieved.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Puji Hartati
"

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan flora, fauna serta manusia yang ada disekitarnya. Pengembangan ekosistem mangrove menjadi ekowisata merupakan salah satu cara untuk keberlanjutan ekosistem mangrove agar tidak berdampak negatif terhadap kehidupan makhluk hidup disekitarnya. Kabupaten Karawang memiliki ekosistem mangrove dengan luas 275 hektar yang tersebar di 8 desa yaitu Desa Tambaksari, Sedari, Pusakajaya Utara, Pasir Putih, Sukakerta, Rawagempol Kulon, Muara Baru dan Muara. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis daya tarik dan persepsi masyarakat dalam pengembangan ekowisata mangrove di Kabupaten Karawang dan menganalisis potensi pengembangan ekowsiata mangrove di Kabupaten Karawang. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan perhitungan menggunakan bobot dan skoring. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial untuk melihat persamaan dan perbedaan daya tarik, persepsi dan potensi pengembangan ekowisata mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desa yang memiliki nilai daya tarik sangat menarik berada pada Desa Sukakerta yang memiliki fasilitas lengkap dengan jumlah banyak, sedangkan yang memiliki daya tarik rendah yaitu Desa Rawagempol Kulon dan Tambaksari dengan ketersediaan fasilitas yang terbatas. Persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata mangrove didominasi dengan persepsi setuju dan hanya satu desa yang memiliki persepsi tidak setuju yaitu Desa Muara. Berdasarkan daya tarik dan persepsi masyarakat dapat diketahui potensi pengembangan ekowisata mangrove memiliki klasifikasi cukup berpotensi dan hanya terdapat satu desa yang kurang berpotensi yaitu Desa Rawagempol Kulon. 


Mangrove ecosystem is one of the ecosystems that is very important for the life of flora, fauna as well as the people around it. Development of mangrove ecosystems into ecoturism is one way to sustainability of mangrove ecosystem so that have a negative impact on the lives of their creatures. Karawang Regency has a mangrove ecosystem with an area of 275 hectares spread across 8 villages, that is Tambaksari, Sedari, North Pusakajaya, Pasir Putih, Sukakerta, Rawagempol Kulon, Muara Baru and Muara Villages.. This research was conducted to analyze the attractiveness and perception of the community in the development of mangrove ecotourism in Karawang Regency and to analyze the non-physical potential of mangrove ecotourism in Karawang Regency. The method used in this research is to do calculations using weights and scoring. The analysis used in this study is a spatial analysis to see the similarities and differences in attractiveness, perceptions and non-physical potential of mangrove ecotourism development. The results showed that villages that had very attractive attractiveness value were in Sukakerta village which had complete facilities with large numbers, while those that had low attractiveness were the villages of Rawagempol Kulon and Tambaksari with limited availability of facilities. Community perception of the development of mangrove ecotourism is dominated by the perception of agree and only one village that has a perception of disagreeing is the village of Muara. Non-physical potential of ecotourism development has a potential category and there is only one village that has no potential, that is Rawagempol Kulon village

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Pangestu Kuswana
"Konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak adalah salah satu penyebab utama terjadinya penurunan luas hutan mangrove. Pesisir Kabupaten Karawang mengalami penurunan luas mangrove dari seluas 2.66,3 ha (1972) menjadi seluas 233,7 ha (2013). Pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Desa Sedari ini tidak diimbangi dengan pemahaman akan pentingnya kelestarian ekosistem hutan mangrove di kemudian hari. Tujuan dari riset ini adalah mengidentifikasi jasa lingkungan dari hutan mangrove, menghitung nilai ekonomi hutan mangrove, dan menganalisis potensi skema pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan di Desa Sedari. Riset ini menggunakan pendekatan kuantitatif. pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan dengan metode kuesioner kepada 45 responden petani tambak dan observasi lapangan. data dianalisis dengan Model Burkhard dan statistik deskriptif. Potensi skema PES divalidasi oleh tenaga ahli PES. Hasil yang diperoleh, jasa-jasa lingkungan dari hutan mangrove yang utama dirasakan masyarakat adalah pelindung dari abrasi pantai dan daerah tangkapan ikan, kepiting serta udang. Nilai proksi ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Desa Sedari sebesar Rp. 8.394.459.800/tahun dengan nilai bersih sekarang (NPV) dihitung untuk jangka waktu 10 tahun, menggunakan tingkat suku bunga 8% sebesar Rp. 61,0720655,400. Potensi skema PES yang dapat diterapkan di Desa Sedari adalah antara kelompok OTAP sebagai aktor penyedia jasa lingkungan/seller, masyarakat Sedari yang berasosiasi dengan hutan mangrove (petani tambak, nelayan, dan petani sawah) sebagai buyer dan pemerintah daerah/PERHUTANI/LSM yang menjadi fasilitator. Nilai willingness to pay/WTP yang harus dibayarkan oleh buyer untuk pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Desa Sedari sebesar Rp. 1.324.054/ha/tahun. Sebaliknya, nilai willingness to accept/WTA yang akan diterima secara tidak langsung oleh pihak petani tambak sebesar Rp. 24.374.324 ha/tahun untuk keberlanjutan ekosistem hutan mangrove di masa mendatang.

Land conversion of mangrove forests into fishponds is one of the main causes of the decline of mangrove forest area at Indonesia. Mangrove in the coastal area of Karawang District has declined from an area of 2699,3 ha (1972) became an area of 233,7 ha (2013). Utilization of mangrove forest ecosystems in Sedari village is not matched by an understanding of the importance of conservation of mangrove forest ecosystems in the future. The aims of this research are to identify the ecosystem services of mangrove forests, calculate the economic value of mangrove forests, and to analyze the potential for payment for ecosystem services in the sustainable management of mangrove ecosystems that can be applied in Sedari village. This research uses a quantitative approach. The collection of primary data and secondary data was conducted by questionnaire to 45 respondents (Fishpond?s farmer). Data were analyzed with descriptive statistics and Burkhard Model. The potential for PES schemes is validated by PES experts. The results obtained, the main ecosystem services of the mangrove forest choosed by communities is protecting the coastal area from erosion and mangrove as fishing ground, spaing ground and nursery ground for fish, crabs and shrimp. A proxy for the total economic value of mangrove forest ecosystems in the Sedari village is Rp. 8.394.459.800/year. Net present value (NPV) is Rp. 61,072,655,400. The NPV was calculated for a period of 10 years and discount rate of 8%. The potential for PES schemes that can be applied in the Sedari village is among a group of OTAP as ecosystem seller, all Sedari communities that associated with mangrove forests (fishpond farmers, fishermen and rice farmers) as ecosystem buyer and the local government/PERHUTANI/NGO as intermediaries/facilitators. The value of willingness to pay/WTP to be paid by the buyer for sustainable management of mangrove ecosystems in the village is Rp 1,324,054/ha/year. Meanwhile, the value of willingness to accept/WTA to be accepted indirectly by the fish farmers is Rp. 24,374,324 ha / year for the sustainability of mangrove forest ecosystems in the future."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ufairah Hartanti
"Hutan mangrove Blanakan memiliki daya tarik wisata seperti memiliki jenis mangrove dan fauna yang beranekaragam, tempat pelelangan ikan terpadu, penangkaran buaya, upacara Nadran dan Sisingaan. Berdasarkan data kunjungan wisatawan, jumlah wisatawan dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, daya dukung fisik kawasan wisata seperti membatasi jumlah maksimal pengunjung yang datang perlu diperhitungkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi kawasan ekowisata berdasarkan aspek biofisik, sosial, dan ekonomi; daya dukung fisik kawasan wisata; dan membuat strategi pengembangan ekowisata. Metode penelitian yang digunakan adalah mix method. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi biofisik ini ditinjau dari jenis-jenis mangrove yang didominasi oleh Avicennia marina, indeks keanekaragaman fauna mangrove masuk dalam kategori sedang, indeks vegetasi kerapatan mangrove lebat, kondisi amenitas yang masih harus diperbaiki, serta aksesibilitas yang kurang memadai dan perlu diperbaiki. Keberadaan kawasan ekowisata mangrove Blanakan menciptakan lapangan kerja baru untuk masyarakat Blanakan. Masyarakat banyak yang menggantungkan hidupnya di kawasan ekowisata ini dengan berperan sebagai penyedia jasa wisata, keamanan, kebersihan, penyelenggara budaya, dan penanaman mangrove. Indeks kepuasan pengunjung dalam kategori kurang puas. Berdasarkan analisis daya dukung fisik kawasan wisata, jumlah pengunjung yang datang belum melampaui batas daya dukung fisik kawasan wisata. Strategi pengembangan ekowisata adalah membuat program-program wisata, melibatkan masyarakat setempat di lokasi wisata, membuat dan memperbaiki sarana dan prasarana, memperbaiki aksesibilitas, mengadakan pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat di bidang ekowisata, membuat tata tertib wisata.

Blanakan mangrove forest has good tourist attractions such as having various types of mangroves and fauna, integrated fish auction sites, crocodile breeding, Nadran and Sisingaan ceremonies. Based on tourist visits data, the number of tourists from year to year has increased. This is feared to cause environmental damage. Therefore, to avoid further damage, efforts on limiting the physical carrying of tourist areas. This study aims to analyze the condition of the ecotourism area based on biophysical, social and economic aspects; physical carrying capacity of tourist areas and make a strategy for developing ecotourism. The method of the research is quantitative and qualitative methods. The result showed that the types of mangrove dominated by Avicennia marina, the index of mangrove fauna diversity was in the moderate category, vegetation induction of dense mangrove density, the facilities and infrastructures still had to be repaired, and inadequate accessibility and needed repairs. The existence of the Blanakan mangrove ecotourism area creates new jobs for the Blanakan community. Many people depend their lives on this ecotourism area by acting as a provider of tourism services, security, cleanliness, cultural organizers, and planting of mangroves. The visitor satisfaction index in the category was less satisfied. Based on the analysis of the physical carrying capacity of the tourist area, the number of visitors who come has not exceeded the physical carrying capacity of the tourist area. The strategy are make tourism programs, involve the local community in tourist sites, create and improve facilities and infrastructure, improve accessibility, provide guidance and training to the community in the field of ecotourism, make tourism rules."
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2019
T53221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqman Andhyk Bintaryanto
"Keberadaan ekosistem hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Pulau Dua, Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Provinsi Banten saat ini banyak memberikan sumber penghidupan yang nyata bagi masyarakat sekitar yang memanfaatkan ekosistem hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai valuasi ekonomi total hutan mangrove untuk menyusun strategi pengelolaan hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Pulau Dua. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan analisis data kualitatif dan kuantitatif. Perhitungan valuasi ekonomi total hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Pulau Dua seluas 30 Ha adalah Rp 4 milyar/tahun atau Rp 144 juta/ha/tahun. Selanjutnya masing-masing nilai manfaat dibuatkan usaha skenario pemanfaatan di kawasan Cagar Alam Pulau Dua dengan analisis Net Present Value (NPV). Dari nilai NPV ini dapat disusun strategi pengelolaan wilayah pesisir hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Pulau Dua yang paling baik dan menguntungkan dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pemancingan dengan nilai Rp 48 milyar.

The presence of mangrove forest in the Pulau Dua Nature Reserve currently provides many tangible livelihood for the communities that use mangrove forest ecosystem. This study aims to determine the valuation of the total economic value of mangrove forests to develop strategies for the management of mangrove forest in the Pulau Dua Nature Reserve. This study uses survey with qualitative and quantitative data analysis. Calculation of total economic valuation of mangrove forest in the Pulau Dua Nature Reserve area of 30 ha obtained is Rp 4 billion/year or Rp 144 million/ha/year. Furthermore, each of the value of the benefit created for use in the business scenario Pulau Dua Nature Reserve with Net Present Value (NPV) analysis can be arranged mangrove coastal zone management strategy in the Pulau Dua Nature Reserve most excellent and profitable is to use the land for fishing effort with a value of Rp 48 billion."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T42849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chahya Chairani
"ABSTRAK
Seiring berjalannya waktu hutan mangrove dapat megalami perubahan luas yang disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya ahli fungsi lahan menjadi tambak dan permukiman serta perubahan garis pantai juga dapat mengubah luas hutan mangrove. Pamurbaya merupakan kawasan lindung alam berupa vegetasi mangrove yang perlu di perhatikan dan dipertahankan. Penelitan ini mengenai perubahan luas hutan mangrove selama kurun waktu 13 tahun dari tahun 2004 hingga tahun 2017. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada hutan mangrove di Pantai Timur Surabaya Pamurbaya sepanjang tahun 2004 - 2017 dan mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan hutan mangrove. Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI dan Landsat 7 ETM. Metode yang digunakan yaitu mengoverlay vegetasi mangrove, tambak, permukiman dan garis pantai disetiap tahun penelitian. Karakteristik mangrove di Pamurbaya memiliki perbedaan warna substrat dan jenis vegetasi disetiap keadaan lingkungan yang berbeda. Tingkat kerapatan sedang mendominas pada tahun 2004-2009 sedangkan tingkat kerapatan sangat rapat mendominasi pada tahun 2017. Selama tahun 2004-2017 terjadi perubahan lahan mangrove menjadi lahan tambak dan lahan tambak berubah menjadi lahan permukiman. Faktor terjadinya perubahan hutan mangrove yaitu perubahan alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak. Perubahan lahan tambak menjadi mangrove mengalami puncak perubahan pada tahun 2007-2009 sebesar 200,86 Ha atau 66 , namun pada tahun 2009 ndash; 2017 perubahan tambak menjadi lahan mangrove meningkat seluas 275,71 Ha atau 73.

ABSTRACT
Mangrove areas over time can be experienced by extensive changes caused by several factors, such as land use experts into ponds and settlements and coastline changes can also change the area of mangroves. Pamurbaya is a natural protected area of mangrove vegetation that needs to be noticed and maintained. This research is about the change of mangrove area during 13 year period from 2004 until 2017. The purpose of this research is to know the changes that occurred in mangrove area in East Coast Surabaya Pamurbaya during 2004 2017 and to know the factors that caused the change of area mangroves. This study uses Landsat 8 OLI and Landsat 7 ETM satellite images. The method used is covering mangrove vegetation, ponds, settlements and coastline in every year of research. The characteristics of mangroves in Pamurbaya have different substrate colors and vegetation types in different environmental circumstances. The density level was dominating in 2004-2009 while the density level was dominantly dominated by 2017. During 2004-2017 there was a change of mangrove land into pond land and pond area turned into a settlement land. Factor of change of mangrove area that is change of change of function of mangrove land into pond. The change of pond area to mangrove has peak of change in 2007-2009 by 200,86 Ha or 66, but in 2009-2017 the change of pond into mangrove land increased 275,71 Ha or 73."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Muchairina
"Sebagai ekosistem peralihan antara wilayah darat dan laut, pengelolaan mangrove harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dan melalui berbagai pendekatan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan. Peneliti turut melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber untuk sebagai data pendukung. Terdapat dua permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, yaitu mengenai kelembagaan dan tata kelola hutan mangrove di Indonesia serta penerapan pengelolaan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke (SM Muara Angke) dan Taman Wisata Angke Kapuk (TWA Angke Kapuk) sebagai bagian dari Kawasan Hutan Mangrove Angke Kapuk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mangrove memiliki berbagai macam fungsi dan manfaat. Akan tetapi, pengelolaan terhadap mangrove di Indonesia belum dilaksanakan secara terpadu. Kemudian, dalam pengelolaan mangrove di kawasan SM Muara Angke dan TWA Angke Kapuk ditemui beberapa kendala, seperti keterbatasan anggaran, sarana prasarana, dan sumber daya manusia, kurangnya koordinasi antar para pihak, permasalahan batas kawasan, rendahnya keterlibatan masyarakat, serta kegiatan masyarakat di sekitar kawasan.

As mangroves are an ecosystem at the interface between land and sea, their management involves various stakeholders as well as various approaches. Therefore, an integrated management of mangroves is required to protect and preserve them. This normative juridical research study uses materials derived from literature. The researcher also conducted several interviews to obtain supporting data. There are two questions that will be discussed in this study, namely the authority and management of mangrove forest in Indonesia, and the implementation of mangrove management in Muara Angke Wildlife Reserve and the Angke Kapuk Nature Recreation Park, which are part of the Angke Kapuk Mangrove Forest. The results show that mangroves have important functions and uses. However, the management of mangroves in Indonesia has not been yet integrated. The implementation of mangrove management in both the Muara Angke Wildlife Reserve and the Angke Kapuk Nature Recreation Park has faced several obstacles, such as limited budget, infrastructure, and facilities as well as lack of personnel and coordination, boundary issues, limited engagement from the local community, and human activities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josua Leo Petra
"Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan analisis daya dukung kawasan dalam rangka pengembangan pengelolaan pariwisata hutan mangrove di Pulau Untung Jawa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat empat jenis mangrove yang ditemukan yaitu Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Rhizopora stylossa, dan Bruguiera gymnorhiza. Indeks Kesesuaian Wisata IKW di kawasan hutan mangrove Pulau Untung Jawa termasuk pada kategori sesuai yaitu 53,84. Daya dukung kawasan untuk obyek wisata hutan mangrove di Pulau Untung Jawa yaitu 62 pengunjung/hari. Daya dukung sosial dari perhitungan menggunakan Indeks Kepuasan Pengunjung IKP adalah 29,60 dan termasuk kedalam kriteria tidak puas saat berwisata. Selain itu, daya dukung ekonomi dari persepsi kepala keluarga 82,45 menyatakan bahwa kegiatan pariwisata mulai meningkatkan ekonomi masyarakat dan 87,20 menyatakan bahwa kegiatan pariwisata tidak mengganggu kegiatan perekonomian masyarakat di Pulau Untung Jawa. Pengembangan kawasan ekowisata hutan mangrove yang berkelanjutan harus memperhatikan nilai daya dukung kawasan, daya dukung sosial, dan daya dukung ekonomi, sebagai dasar keputusan untuk menentukan arah pengembangan wisata di kawasan ekowisata hutan mangrove Pulau Untung Jawa.

This research was conducted using carrying capacity analysis method on management of mangrove forest tourism development in Untung Jawa Island. The result showed that there is four mangrove species were found is Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Rhizopora stylossa, dan Bruguiera gymnorhiza. Suitability Index of mangrove forest in Untung Jawa Island categorized as suitable of 53,84 . The carrying capacity for mangrove forest as tourism object in Untung Jawa Island were 62 tourists day. Based on social aspect of the calculation using Customer Satisfaction Index CSI is 29,60 and is included in the criteria were not satisfied during tourist in the tourism object. In economic carrying capacity, tourism activities increase local peoples rsquo income 82,45 and 87,20 didn rsquo t interfere the economy activities of people in Untung Jawa Island. Developing sustainable of mangrove forest ecotourism should notice the score of carrying capacity, social carrying capacity, and economic carrying capacity, as basis decision making to determine the direction of tourism development in the ecotourism of mangrove forest of Untung Jawa Island."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2017
T49396
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ella Whidayanti
"Pesisir Barat Kabupaten Pandeglang yang menghadap Selat Sunda merupakan daerah yang rawan terhadap terjadinya bencana alam. Tinggi gelombang dan pasang surut air laut, termasuk tsunami merupakan bencana yang sering melanda pesisir tersebut. Eksosistem mangrove yang merupakan bagian dari ekosistem pesisir memiliki peranan penting dalam mengurangi bencana alam akibat gelombang air laut. Di samping dapat mengurangi terjadinya abrasi, sistem perakaran mangrove dapat menahan laju sedimentasi. Sehingga akan memperluas garis pantai atau akresi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekosistem mangrove terhadap perubahan garis pantai yang berupa abrasi dan akresi dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 2010 hingga 2020. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan memanfaatkan Remote Sensing dan teknologi GIS. Pengumpulan data menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ Tahun 2010, Landsat 8 OLI/TRS Tahun 2015 dan 2020. Pengolahan data spasial menggunakan google earth engine, software ArcGIS 10.6 dan ENVI 5.3. Data perubahan ekosistem mangrove diperoleh dengan menggunakan metode NDVI. Teknis GIS digunakan untuk analisis data laju perubahan garis pantai secara spasial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari tahun 2010 hingga 2020, ekosistem mangrove selalu mengalami perubahan setiap periodenya. Ekosistem mangrove di sepanjang pesisir Kabupaten Pandeglang mengalami penambahan dari tahun 2010 hingga 2015, namun kembali berkurang pada tahun 2020 akibat bencana tsunami Banten tahun 2018. Perubahan ini tentunya juga mempengaruhi terjadinya perubahan garis pantai. Berdasarkan hasil analisis statistik, penurunan luas mangrove mempunyai pengaruh sebesar 48,63% terhadap luas abrasi dan penambahan luas mangrove mempunyai pengaruh sebesar 51,7% terhadap luas akresi. Secara spasial penelitian ini menunjukkan penurunan dan penambahan luas mangrove berbanding lurus dengan perubahan luas abrasi dan akresi.

The coastal area of Pandeglang Regency , which faces the Sunda Strait, is prone to natural disaters. As the high wave tides, and in same periode including tsunami, are the named type of disasters that frequently hit the area. Mangrove ecosystem that are the part of coastal ecosystems have an importance role in reducing natural disasters caused by seawater waves. In addition to preventing abrasion, the mangrove root system can hold sediment. So that it will expand the coastline or accretion. This study aims to determine the effect of existence of mangrove ecosystems on coastline change in the form of abrasion and accretion within ten years during 2010 to 2020. The research method uses remote sensing and GIS Technology. The remote sensing data collection uses is separate into Landsat 7 ETM+ for 2010 and Landsat 8 OLI/TRS for 2015 and 2020. Spatial data processing using google earth engine, ArcGIS 10.6 and ENVI 5.3 software. Mangrove ecosystem change data is obtained using NDVI method. GIS technology is used for spatial analysis of coastline change rate data. As a result of this study show that during 2010 to 2020, mangrove ecosystems always change every period. Mangrove ecosystems along the coastal area of Pandeglang Regency increased during 2010 to 2020, but decreased in 2020 caused by Banten Tsunami disaster in 2018. This change certainly also affects the change of coastline. Based on the results of statistical analysis, the decrease in mangrove area has an influence of 48.68% on the area of abrasion, and the addition of mangrove area has an influence of 51.7% on the area of accretion. Spatially revealed that the decrease and the addition of mangrove area is proportional to the area changes abrasion and accretion."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Hakim
"Hutan mangrove tergolong sumberdaya hutan yang mempunyai peranan penting bagi pernbangunan Nasional. Hal ini karena lokasinya yang strategis dan potensi yang terkandung di dalamnya, serta fungsi perlindungannya yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi eksistensi dan berfungsinya sumberdaya alam lain.
Ekosistem ini dicirikan oleh produktivitasnya yang tinggi dan daur nutrisi yang cepat, sehingga mangrove dianggap penyedia nutrisi bagi kontinuitas sebagian besar energi yang diperlukan oleh berbagai biota akuatik di ekosisitem pantai. Ekosistem ini juga berperan sebagai pendukung eksistensi lingkungan fisik, yaitu sebagai penyangga abrasi pantai oleh gelombang, intrusi air laut ataupun hembusan angin yang dapat merusak ekosistem darat.
Pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan pesatnya perkembangan teknologi mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove. Pemanfaatan tidak saja dilakukan dalam bentuk pengambilan hasil hutan, tetapi berkembang ke bentuk pemanfaatan lahan mangrove.
Pulau Bengkalis adalah satu diantara enam pulau yang ada di Kabupaten Bengkalis yang mempunyai hutan mangrove rnencapai 15.039 ha tersebar mengelilingi pulau. Wilayah hutan mangrove yang mengalami tekanan cukup berat berada di wilayah pantai utara yang berbatasan dengan Selat Malaka Luas hutan mangrove di wilayah tersebut mencapai 9.133 ha. Secara ekologis lingkungan fisik wilayah tersebut mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove. Terdapat tiga aliran sungai yang bermuara di di Pantai Utara Pulau Bengkalis, dan menjadi sumber aliran air tawar. Kandungan lumpur (sedimen) berkisar antara 5%-85%, bahan organik 50%, salinitas 26-32 ppm. Keadaan laut, tenang sampai agak kuat yang tinggi gelombangnya antara 0,4 sampai 2,7 m dengan kecepatan 0,1-5 knot. Kondisi lingkungan alami tersebut selayaknya mendukung kelestarian hutan mangrove. Namun demikian, akibat pemanfaatan yang tidak terkendali dan sudah berlangsung lama, mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan mangrove, sehingga menurunkan fungsinya sebagai pelindung pantai akibat abrasi. Terjadinya kerusakan hutan mangrove dan abrasi belum menjadi perhatian serius bagi masyarakat dan pemerintah, sekalipun dampaknya sudah dirasakan. Atas dasar permasalahan tersebut, rumusan yang perlu untuk dijawab adalah 1). Seberapa besar kerusakan hutan mangrove yang terjadi; dan 2). Seberapa besar abrasi di Pantai Utara Pulau Bengkalis; serta 3). Adakah hubungan kerusakan hutan mangrove dengan abrasi yang terjadi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi kerusakan hutan mangrove dan hubungannya dengan abrasi yang telah terjadi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada perencana dan pengambil keputusan, khususnya Pemerintah Kabupaten Bengkalis dalam penyempurnaan, maupun pembuatan kebijakan tentang pengelolaan hutan mangrove yang ada di daerah penelitian atau kawasan lainnya. Hopotesis yang diajukan adalah bahwa semakin tinggi tingkat kerusakan hutan mangrove akan mengakibatkan semakin tinggi abrasi yang terjadi di Pantai Utara Pulau Bengkalis.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa komposisi jenis mangrove di wilayah Pantai Utara Pulau Bengkalis terdiri dari 9 spesies jenis pohon. Jenis yang dominan adalah api-api (Avicennia marina), bakau (Rhizophora mucronata) dan lenggadai (Bruguiera cylindrica). Kerapatan individu setiap hektarnya pada strata anakan mencapai 1.897 pohon, sedangkan strata pancang 1.341 pohon dan strata pohon hanya 849 phn/ha.
Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat meliputi pengambilan kayu untuk bangunan/pancang, bahan baku arang, dan untuk kayu bakar serta konversi menjadi lahan tambak. Rata-rata pemanfaatan setiap tahun untuk kayu bangunan/pancang sebanyak 2.812 pohon, kayu arang 3.217 pohon dan kayu bakar untuk rumah tangga 2.444 pohon, sedangkan yang kayu bakar industri bata mencapai 7.657 pohon.
Akibat pemanfaatan yang tidak terkendali, menyebabkan terjadinya kerusakan hutan mangrove yaitu menurunnya kerapatan pohon setiap tahun yang berkisar antara 0,32%-1,6% atau rata-rata 0,79%. Penurunan kerapatan pohon ini setara dengan berkurangnya pohon sebanyak 61.255 pohon setiap tahun. Kerusakan ini menyebabkan menurunnya kemampuan fisik hutan mangrove untuk menahan terjadinya abrasi. Laju abrasi per tahun berkisar antara 3,6-8,4 meter atau rata.-rata 6,03 meter. Hasil analisis memperlihatkan bahwa terdapat hubungan positif dan signitikan antara penurunan kerapatan pohon dengan laju abrasi yang terjadi.
Kerusakan hutan mangrove dan terjadinya abrasi ada kaitannya dengan persepsi masyarakat mengenai hutan mangrove. Sebagian besar (5S,3 %) menyatakan hutan mangrove hanya sebagai sumber hasil hutan, dan tingkat kesadaran masyarakat untuk memelihara juga sangat rendah (4,57%), sedangkan sebagian besar (56,00%) menyadari pentingnya hutan mangrove tetapi tidak melakukan pemeliharaan.
Berdasarkan kenyataan ini perlu adanya upaya rehabilitasi hutan mangrove, sekaligus meningkatkan sumberdaya manusia agar pengetahuan dan partisipasi masyarakat sehjngga upaya pelestarian fungsi hutan mangrove dapat meningkat.

Mangrove forests has a very strategic locations, many potentials and great protective functions that bring them to be one of forest resources that play important role for the nation development. Its protective functions have a strong influence to the existence and the function of other resources, directly or indirectly.
This ecosystem is characterized by its high productivity and fast nutrient cycle made it become the nutrient source for the most energy supply need by varies aquatic biota in coastal ecosystems. Mangrove ecosystem also functioned as physical environment existence support to protect the coast from abrasion, restrain seawater intrusion and strong wind that can ravage terrestrial ecosystems.
The fast growth of population and high technology development has lead to a high pressure on mangrove forests existence. The exploitations of mangrove forest resources are not only done by reaping its product but as well as exploit its land.
Bengkalis Island as one of six islands in Bengkalis District has a 15.093 ha mangrove forests spreading along its coastal area. Mangrove forests at the north coast, bordered on Malacca Strait, are the one received high pressure. Its area occupied 9.133 hectare area. Ecologically, its physical environment supports the growth of that mangrove forest. There are three rivers ending in Bengkalis Island North Coast that become the source of fresh water. The sediment content of those streams varies between 5% to 85%, organic matter 50%, and salinity between 26-32 ppm. The sea situation is still to strong. The wave height is between 0,4 to 2,7 m with the speed of 0,1 - 5 knots. This natural condition supposed to support mangrove forest sustainability. However, uncontrolled exploitation for a long time result in the degradation of mangrove forest that decrease its function to prevent coastal abrasion Those two phenomenons haven?t got a big concem of the govemment and the community yet, even though some of its impact has been experienced. Based on those problems, there is some questions arise: I). How worse is that mangrove forest degradation?, 2). How big is the abrasion in Bengkalis Island north coast?, 3). Is there a conelation between mangrove forest degradation and the abrasion?.
The purpose of this research is to gain information of mangrove forest degradation and its correlation with the abrasion. The result is expected to be a valuable input for the planner and the decision makers in Bengkalis District to make and perfecting policies on mangrove forest management, not only in the research area but also in other regions.
The research showed that mangrove forest in Bengkalis Island North Coast composed 9 tree species. The dominant species are api-api (A vicennia marina), bakau (Rhizophora mucronara) dan lenggadai (Bruguiera cylindrica). The density in seedling stratum reaches 1.897 individual per hectare, while sapling stratum reach 1.341 and there are only 849 in tree stratum.
People use the forest to get the log to build houses. They also use the resources as raw material to make charcoal, use it as fuel and converse the land to be used as fishpond. Average usage for building need is 2.812 trees annually, 3.217 trees converted to charcoal annually, 2.444 trees used as fuel annually, and 7.657 trees cut to supply brick indusuies.
This uncontrolled use of the mangrove lead to its degradation showed by the decreasing of its density between 0,32% to 1,6% annually or 0,66% on the average. This decrease is equal to the loose of 61,255 trees annually. It also leads to the declining of mangrove forest function to prevent the land from abrasion. Abrasion rate varied between 3,6 to 8,4 meter annually or 6,03 meter on the average. The analysis showed that there is a positive and significant correlation between trees decreasing rate and abrasion rate.
Mangrove forest degradation and coast abrasion are related to community perception. Most of the respondents (58,3%) stated that mangrove forest is functioned only as the source of mangrove product they need. They also have a low awareness to preserve the mangrove (4,57%). Most of them (56%) understand the important role of mangrove forest but didn?t conduct any acts to preserve it.
Based on these findings, mangrove forest rehabilitation is very needed along with environmental education to develop human resources lived surrounding the forest and increase community participation to preserve functions of mangrove forest could be step up."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>