Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164968 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Petrus Antonius Jehadu
"ABSTRAK
Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah membandingkan hal-hal penting berkaitan dengan aspek significantly different yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000 dan Japanese Design Law, Act No. 36 of 2014. Melalui studi kepustakaan dan pendekatan komparatif, tesis ini membahas tentang arti significantly different, known design, combination of known design features, dan bagaimana cara menentukan aspek significantly different dalam aplikasi permohonan dan pemeriksaan desain industri yang diterapkan dalam UUDI dan Japanese Design Law, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat 1 TRIPS Agreement. Hasil dari penelitian ini adalah: pertama, tafsiran hukum desain Jepang tentang significantly different lebih baik daripada UUDI. Kedua, frasa known design, baik dalam hukum desain Jepang maupun UUDI sama-sama mengedepankan aspek publikasi sehingga dikenal umum, perbedaannya ada pada waktu publikasi di mana di Jepang dimungkinkan adanya jangka waktu ?non - publicly known design?, yang tidak terdapat dalam hukum desain industri Indonesia. Sementara itu, frasa combination of known design features dalam hukum desain Jepang menekankan aspek fitur dari suatu desain tanpa mempertimbangkan kesamaan article, sementara dalam UUDI tidak diatur. Ketiga, pemeriksaan substansial dalam DA Jepang bersifat wajib setelah persyaratan administratif dipenuhi, sementara dalam UUDI, pemeriksaan substansial dilakukan berdasarkan sanggahan/keberatan. Fakta ini memungkinkan tidak adanya pemeriksaan terhadap aspek significantly different dalam hukum desain industri Indonesia. Keempat, Penentuan aspek significantly different pada dasarnya sama-sama dilakukan berdasarkan observasi mata. Perbedaannya terletak pada acuan penilaian yang diukur berdasarkan kesan estetis, dimana dalam hukum desain Jepang, kesan estetis tersebut ada dalam sudut pandang konsumen (termasuk pedagang), sementara dalam UUDI kesan estetis yang terdapat dalam pengertian desain industri tidak dijelaskan artinya dan pada sudut pandang siapa dinilai.

ABSTRACT
Focus of this thesis is comparing important aspects of significantly different case ruled in Indonesian Industrial Design Law No. 31 Of 2000 and Japanese Design Law, Act No. 36 of 2014. This study uses literature study and comparative approach to discuss about significantly different, known design, and combination of known design features interpretation, and how to determine significantly different aspect in design application and industrial design examination ruled in Indonesian Design Law and Japanese Design Law referring to TRIPS Agreement Provision Article 25 (1) as the main substance. This study has some results: first, Japanese Design Law better than Indonesian Design Law in applying significantly different aspects interpretation. Second, both Japanese Design Law and Indonesian Design Law take publication factor as the internal part of known design phrase interpretation. The different between them is the time of publication with create non-publicly known design only in Japanese Design Law. Besides, combination of known design features phrase specially concerns to the features aspect of design without taking consideration to the article in Japanese Design Law; it is not specifically ruled in Indonesian Design Law. Third, regarding to the substantial examination, Japanese Design law regulates it as compulsory provision; in Indonesian Design Law, it shall not be done if there isn?t a disclaimer from the plaintiff. This said provision will make the probability in determining significantly different aspect in Indonesian Industrial Design Law become weak. Fourth, both Japanese Design Law and Indonesian Design Law basically determine the significantly different aspect by sight observation. The different between them occurs when aesthetical impression is used; Japanese Design Law uses aesthetical impression in the view of consumer (including trader), but Indonesian Design Law doesn?t regulate it specifically.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqman Wafi Robbani
"Skripsi ini membahas mengenai ketentuan tentang unsur significantly different dalam desain industri, khususnya desain industri botol minuman. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh frasa significantly different dalam Persetujuan TRIPs yang tidak ditemukan dalam UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Hal ini menjadi masalah karena dengan tidak adanya ketentuan dan penjelasan lebih lanjut mengenai unsur significantly different akan membuat putusan pengadilan terkait desain industri akan berbeda satu dengan yang lainnya, seperti yang terjadi pada kasus Tupperware mengenai desain industri antara Eco Bottle milik Tupperware sebagai Penggugat dengan Bio Life dan Bio Life Borneo dalam Putusan Nomor 02/Pdt.Sus-HAKI/2016/PN Niaga Smg dan Putusan No. 11/HKI/Desain Industri/2016/PN Niaga Sby. Penggugat, gugatan Penggugat, dan jawaban Para Tergugat dalam kedua putusan ini sama, yang membedakan hanya pihak Para Tergugat karena memiliki perbedaan domisili. Walaupun gugatan dan jawaban sama, putusan yang dihasilkan baik di tingkat pengadilan niaga maupun Mahkamah Agung berbeda. Pada hasil penelitian ini dinyatakan bahwa pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan No. 11/HKI/Desain Industri/2016/PN Niaga Sby adalah tepat karena memberikan penjelasan yang lengkap dan tepat mengenai perbedaan desain industri antara Eco Bottle dengan Bio Life dan Bio Life Borneo. Sedangkan pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 02/Pdt.Sus-HAKI/2016/PN Niaga Smg dan putusan kasasinya tidak tepat. Pada Putusan Pengadilan Niaga Semarang salah dalam menerapkan hukum terkait kedudukan dari Para Tergugat, sedangkan pada tingkat kasasi tidak memberikan penjelasan mengenai perbedaan desain industri antara Eco Bottle dengan Bio Life dan Bio Life Borneo.

This thesis dicusses how the legal provisions regrading the significantly different elements of an industrial design, especially for industrial design of drinking bottle. This thesis is backed by significantly different phrase in TRIPs Agreement that can not find in Law No. 31 of December 20, 2000, regrading Industrial Designs. It is a problem because without the legal provisions regrading the significantly different elements of an industrial design makes judge verdicts will be different between one another, as in the Tupperware case regrading industrial design between Eco Bottle that is property of Tupperware as palintiff against Bio Life and Bio Life Borneo in the Verdict No.02 Pdt.Sus HAKI 2016 PN Niaga Smg and the Verdict No.11 HKI Desain Industri 2016 PN Niaga Sby. The plaintiff, claim, and answer the defendants are similar, the difference is only the defendants because they have different domicile. Although the calim and answer the defendants are similar, it has different of judge verdicts in both commercial court level and supreme court level. In the result of this study revealed that consideration of the judges in the Verdict No.11 HKI Desain Industri 2016 PN Niaga Sby is appropriate because they expalined about the difference of industrial design between Eco Botlle, Bio Life and Bio Life Borneo completely and appropriately. Whereas consideration of the judge in the Verdict No.02 Pdt.Sus HAKI 2016 PN Niaga Smg and its cassation verdict is not appropriate. The judge from Semarang Commercial Court is incorrect in adjusting of the law regrading legal standing of the defendants, whereas supreme court level did not explain about the difference of industrial design between Eco Botlle, Bio Life and Bio Life Borneo.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kamal Shidiq
"Penulisan hukum ini pada dasarnya melakukan analisa terhadap pengaturan dan penerapan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia beserta perkembangannya dalam lingkup hukum perjanjian, pengaturan mengenai asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Jepang, Prancis, dan Inggris, dan juga analisis mengenai perspektif baru terhadap penerapan doktrin mitigasi dan asas itikad baik di Indonesia melalui perbandingan dengan pengaturan terkait doktrin mitigasi dan asas itikad baik di Jepang, Prancis, dan Inggris. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk Yuridis-Normatif dengan tipe deskriptif. Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa asas itikad baik dalam hukum perjanjian Indonesia bersumber ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Selanjutnya terkait doktrin mitigasi di Indonesia telah diatur dalam ketentuan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga menggambarkan secara komprehensif mengenai pengaturan terkait asas itikad baik dan doktrin mitigasi dalam hukum Jepang, Prancis dan Inggris yang masing-masing memiliki penerapan dan penasfiran yang berbeda dengan Indonesia. Dengan memperbandingkan ketentuan tersebut ditemukan berbagai perbedaan dan persamaan terkait pengaturan dan penerapan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia, Jepang, Prancis dan Inggris yang dapat memberikan pemahaman dan penerapan baru terhadap itikad baik dan doktrin mitigasi yang pengertian dan penerapannya masih belum diatur secara definitif sehingga menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, Pemerintah Indonesia khususnya bagi perancang dan pembuat Undang-Undang dirasa perlu untuk melakukan perincian terhadap pengaturan-pengaturan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia agar terdapat suatu pemahaman dan penerapan yang sama.

This legal writing analyzes the regulation and application of good faith principle and duty to mitigate doctrine in Indonesia along with its development within the scope of the law of agreement, the regulation of good faith principles and the duty to mitigate doctrine in Japan, France and England, with analysis of new perspectives on it application in Indonesia by comparison with the regulation related to the duty to mitigate doctrine and the principle of good faith in Japan, France and England. The research method used in this research is Juridical Normative with descriptive type. This study illustrate that the principle of good faith in Indonesia 39 s treaty law stems from the Indonesian Civil Code. Furthermore, the duty to mitigate doctrine in Indonesia has been regulated in the provisions of various laws and regulations. This study also describes comprehensively the regulations related to good faith principles and the duty to mitigate doctrine in Japanese, French and English law which each have different application and interpretation with Indonesia. This study found differences and similarities concerning the regulation and application of good faith principles and the doctrine of mitigation in Indonesia, Japan, France and England that can provide new insights and applications in Indonesia whose definition and application is not yet definitively regulated causing different interpretations. Based on the results, the drafters and legislators of Indonesian Law, are deemed necessary to detail the regulations of good faith principles and the doctrine of mitigation in Indonesia in order to have a common understanding and application.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghali Fairuzy Windiansyah
"Nowadays, international transactions become common in obtaining goods or services abroad of a country. The ac- tors are not limited to natural person. Most of the time the actors are legal persons. The emergence of legal person in the said activity is due to its mere permanent existence compared to natural person. Asian countries such as Indonesia, Thailand, Vietnam, PRC, Japan, Taiwan, and South Korea are called the High performing Asian Economies (HPAEs) by World Bank. Due to their geographical affinity, actors within the HPAEs started to conduct international transactions to obtain eccentric goods or services that each country offers. This thesis focuses on the forms of legal person in the HPAEs. Apart from it, there is personal status to which law is applicable to the legal person. It plays an important role in international transactions. It has drawn an attention that the determination of personal status varies from one country to another. On how it varies, is one of the reason in conducting this thesis. The research is con- ducted through normative juridical method by examining positive law of the said countries. The result of the re- search will list the known forms of legal person as well as its personal status that each country adhere.

Saat ini, transaksi internasional menjadi hal yang umum dalam memperoleh barang atau jasa di luar negeri. Para pelaku tidak terbatas pada pribadi kodrati, sebagian besar, mereka adalah badan hukum. Munculnya badan hukum dalam kegiatan tersebut adalah karena keberadaannya yang lebih abadi dibandingkan dengan pribadi kodrati. Ne- gara-negara Asia seperti Indonesia, Thailand, Vietnam, RRC, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan disebut sebagai High Performing Asian Economies oleh Bank Dunia. Karena lokasi geografisnya yang dekat satu sama lain, pelaku dalam HPAEs mulai melakukan transaksi internasional untuk mendapatkan barang atau layanan eksen- trik yang ditawarkan masing-masing negara. Karena salah satu pelaku adalah badan hukum, sangatlah penting untuk mengetahui bentuk-bentuk dari badan hukum yang dikenal dalam HPAEs. Selain itu, dalam berbicara tentang orang, ada status personal untuk menentukan hukum mana yang berlaku untuk orang tersebut. Menegaskan pada badan hukum, status personal memainkan peran penting di dalam transaksi internasional. Penentuan status personal telah menjadi perhatian dikarenakan caranya yang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Adanya variasi tersebut adalah merupakan salah satu alasan dalam melakukan tesis ini. Penelitian ini dilakukan melalui metode yuridis nor-matif dengan memeriksa hukum positif negara- negara tersebut. Hasil penelitian akan memaparkan bentuk badan hukum yang diketahui serta status pribadinya yang dianut oleh masing-masing negara."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkya Kinanti Nastiti
"Diaturnya ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Desain Industri No. 31 Tahun 2000 (“UU DI”) yang tidak mengatur ukuran jelas mengenai batasan tidak sama dari sebuah desain yang baru menyebabkan timbulnya inkonsistensi penafsiran penilaian kebaruan Desain Industri di Indonesia. Ditambah pengaturan penilaian substantif ditentukan hanya dilakukan apabila terdapatnya sanggahan sebagaimana dalam Pasal 26 ayat (5) UU DI. Kondisi tersebut akhirnya menciptakan celah terjadinya pendaftaran Desain Industri yang tidak baru dan memungkinkan terjadinya sengketa kebaruan Desain Industri. Dengan begitu penelitian ini dilakukan untuk meneliti bagaimana ketentuan penilaian kebaruan Desain Industri sebaiknya diatur agar tercipta kepastian hukum. Penelitian ini juga akan dilihat dari prespektif hukum desain Uni Eropa dan Perjanjian TRIPs sebagai perbandingan untuk mengetahui bagaimana sebaiknya ketentuan perundang-undangan Desain Industri khususnya mengenai nilai kebaruan diatur. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan bahan pustaka seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku teks hukum serta jurnal sebagai bahan acuan dalam menganalisa permasalahan ini. Hasil dari penelitian ini didapati bahwa pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam menilai kebaruan Desain Industri di Indonesia yaitu pendekatan perbedaan signifikan. Sebab pendekatan tersebut lebih sesuai dalam menilai apakah suatu desain yang dibuat benar-benar memiliki suatu kreasi baru atau tidak. Kemudian guna mewujudkan ketentuan penilaian Desain Industri yang memberi kepastian hukum maka upaya yang perlu dilakukan diantaranya berupa merubah pengaturan pasal yang mengandung ambiguitas seperti dalam 2 ayat (2) UU DI serta mempertimbangkan untuk mengadaptasi mengenai syarat karakter individu yang terdapat dalam hukum desain Uni Eropa agar meningkatkan persyaratan pendaftaran desain. Dengan begitu suatu desain tidak hanya harus baru namun juga harus memiliki karakter khas yang membedakan dengan desain lainnya.

The provisions of Article 2 paragraph (2) of the Industrial Design Law No. 31 of 2000 (“ID Law”) which does not set clear limits on limits not the same as a new design causes inconsistencies in the interpretation of the assessment of the novelty of Industrial Designs in Indonesia. In addition, substantive evaluation arrangements are determined to only be carried out if there is objection as stated in Article 26 paragraph (5) of the DI Law. This condition eventually creates a loophole for registration of Industrial Designs that are not new and allows for disputes over the novelty of Industrial Designs. In this way, this research was conducted to examine how the provisions for assessing the novelty of Industrial Designs should be regulated in order to create legal certainty. This research will also be seen from the perspective of European Union design law and the TRIPS Agreement as a comparison to find out how the provisions of Industrial Design legislation should be regulated, especially regarding the value of novelty. In conducting this research the authors used normative legal research methods by using library materials such as laws and regulations, legal textbooks and journals as reference materials in analyzing this problem. The results of this study found that a more appropriate approach is used in assessing the novelty of industrial design in Indonesia, namely the significant difference approach. Because this approach is more appropriate in assessing whether a design that is made really has a new creation or not. Then, in order to realize the provisions for evaluating Industrial Designs that provide legal certainty, the efforts that need to be made include changing the arrangement of articles that contain ambiguity as in 2 paragraph (2) of the ID Law and considering adapting the individual character requirements contained in European Union design law in order to improve design registration requirements. That way a design must not only be new but must also have a distinctive character that distinguishes it from other designs."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Karunia Putri
"Penelitian ini membahas mengenai perbandingan hukum dimana hak cipta yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia di Negara Indonesia dan Negara Singapura. Berdasarkan Pasal 16 ayat 3 Undang-Undang Hak Cipta yang menyatakan bahwa hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia hal ini menyadarkan kita bahwasanya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis. Dengan adanya perkembangan masyarakat global, HKI dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Dengan adanya pasal tersebut memunculkan masalah baru dimana belum adanya konsep yang jelas terkait due diligence, penilaian aset HKI, dan lembaga appraisal HKI di Indonesia, serta belum adanya dukungan yuridis baik dalam bentukperaturan terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan maupun revisi mengenai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum terkait agunan kredit menjadi salah satu faktor utama mengapa pihak bank belum dapat menerima HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediary, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, khususnya dalam menyalurkan dana melalui pemberian kredit atau pembiayaan untuk memastikan bahwa debitur atau nasabah memiliki itikad dan kemampuan untuk membayar sesuai kesepakatan. Untuk mewujudkan konsep tersebut, Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang telah mengatur secara jelas dan pasti peraturan mengenai HKI dapat dijadikan sebagai agunan di Bank.

This research discusses the comparative law where copyright can be used as an object of fiduciary security in Indonesia and Singapore. Based on Article 16 paragraph 3 of the Copyright Law which states that copyright can be used as an object of fiduciary security, this makes us aware that Intellectual Property Rights (IPR) basically have economic value. As is development of the global community, IPR can be used as collateral to get credit banking internationally. The existence of this article raises new problems where there is no clear concept related to due diligence, IPR asset valuation, and IPR appraisal institutions in Indonesia, and there is no juridical support either in the form of regulations related to IPR assets as objects of bank credit guarantees or revisions to Bank Indonesia Regulations. (PBI) No. 9/6/PBI/2007 concerning Asset Quality Assessment of Commercial Banks related to credit collateral is one of the main factors why banks have not been able to accept HKI as objects of bank credit guarantees. In carrying out its function as an intermediary institution, Banks are required to apply the precautionary principle, particularly in channeling funds through the provision of credit or financing to ensure that the debtor or customer has the intention and ability to pay according to the agreement. To realize this concept, Indonesia needs to learn from countries that have clearly and definitely regulated IPR regulations that can be used as collateral in banks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Fadli Zaini
"Perkembangan teknologi informasi yang cepat membawa perubahan di hampir semua bidang kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, sosial, pendidikan, termasuk bidang hukum. Keterkaitan antara perkembangan teknologi informasi dengan hukum melahirkan berbagai macam peristiwa baru yang berkaitan hukum dan penggunaan dunia siber. Salah satunya terkait dengan perlindungan hukum atas informasi yang merugikan seseorang di dunia internet berupa penghapusan informasi. Hal ini dikenal dengan istilah hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten). Penelitian ini fokus membahas perbandingan pengaturan dan mekanisme penerapan Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) di Indonesia dengan beberapa negara di Asia Pasifik seperti Australia, Jepang dan Korea Selatan. Dengan melakukan perbandingan hukum, maka akan dapat melihat perbedaan dan mengambil pelajaran dari berbagai negara tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pengaturan Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) di Uni Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan diatur dalam Peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan data / informasi pribadi, sementara Indonesia muncul dan diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Implementasi Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) dalam General Data Protection Regulation hanya mewajibkan pengontrol data, karena dalam GDPR memisahkan pengontrol dan pemproses data. Sementara Australia, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia tidak membedakan antara pengontrol dan pemproses data. Setiap negara membentuk komisi independen untuk melindungi data pribadi dan membantu penyelesaian sengketa data pribadi.

The development of information technology that brings changes in all fields of humanity, ranging from economics, social, education, including the legal field. The link between the development of information technology and the law produces a variety of new types relating to law and the use of cyberspace. One of the cyber laws is related to legal protection for information that is detrimental to someone in the internet world is the removal of information. This is known as the Right to be Forgotten. This research focuses on discussing the regulation and implementation of the Right to be Forgotten in Indonesia with several countries in the Asia Pacific such as Australia, Japan and South Korea. By making legal comparisons will be able to see differences and take lessons from various countries. This study uses a normative juridical research method. Regulation of Rights to be Forgotten in the European Union, Australia, Japan and South Korea be regulated in legislation in the sector of personal data/information protection, while Indonesia is emerge and regulated in the Law on Information and Electronic Transactions. Implementation of the Right to be Forgotten in the General Data Protection Regulation only requires data controllers, because in the GDPR the data controller and processors are prepared. While Australia, Japan, South Korea and Indonesia do not distinguish between process controllers and data processing. Each country establishes independent data commission to protect personal data and help resolve personal data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arghie Adriano Hanafi
"Franchise merupakan metode pendistribusian produk atau layanan yang dilakukan antara franchisor dan franchisee, di mana franchisor dan franchisee memberikan hak khusus usaha nya kepada franchisee yang didasari oleh perjanjian franchisee. Pengaturan terkait franchise di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Lalu, pengaturan terkait franchise di Belanda diatur dalam Wet Franchise yang baru saja diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2021. Penelitian ini akan membahas persamaan, perbedaan, serta manfaat membandingkan hukum franchise Indonesia dan Belanda. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif

Franchise is a product or service distribution method carried out between the franchisor and the franchisee, in which the franchisor and franchisee grant special business rights to the franchisee offered by the franchisee agreement. Regulations related to franchising in Indonesia are regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 on Franchise and Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 on Franchise Implementation. Then, regulations regarding franchising in the Netherlands are regulated in the Wet Franchise which was enforced on January 1, 2021. This research will discuss the similarities, differences, and benefits of comparing Indonesian and Dutch franchise laws. The research method used in this research is normative juridical method.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Patricia
"Skripsi ini membahas mengenai insolvensi sebagai syarat pengajuan kepailitan. Insolvensi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan debitur yang tidak dapat membayar utang kepada para kreditornya. Di dalam hukum kepailitan, debitur dapat diajukan permohonan pailit apabila debitur tersebut sudah dalam keadaan insolven. Keadaan insolven adalah apabila debitur itu tidak lagi mampu secara finansial untuk membayar sebagaian besar utang-utangnya atau nilai aktiva atas asetnya kurang dari nilai pasiva atau liabilities-nya. Syarat Kepailitan di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan bahwa permohonan pailit dapat diajukan dengan dalam hal seseorang atau suatu badan mempunyai 2 (dua) kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai syarat yang sangat sederhana apabila dibandingkan dengan syarat kepailitan di negara Jepang, Malaysia, dan Singapura. Dimana masing-masing negara tersebut mensyaratkan bahwa diwajibkan adanya suatu rangkaian tes untuk mengetahui keadaan keuangan suatu debitur pailit, atau yang disebut sebagai insolvency test. Insolvency test ini digunakan untuk mengukur, menghitung, dan menganalisa bagaimana keadaan keuangan suatu debitur apakah sudah layak atau belum layak dipailitkan.
Kata Kunci: Insolvensi; Kepailitan; Insolvency Test

This thesis discusses insolvency as a condition for filing for bankruptcy. Insolvency is a term used to describe the situation of debtors who cannot pay debts to their creditors. In the bankruptcy law, the debtor can be filed for bankruptcy if the debtor is insolvent. An insolvent situation is if the debtor is no longer financially able to pay most of his debts or the asset value is less than its liability value. Indonesia’s Bankruptcy Law No. 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (the “Bankruptcy Law”) sets forth the requirements for filing a bankruptcy petition. The essential requirement is that there must be two or more creditors and at least one mature but unpaid debt for a bankruptcy action to be initiated against a debtor. It can be said as a very simple requirement when compared to the bankruptcy conditions in Japan, Malaysia and Singapore. Where each country requires that a financial test is required to determine the financial situation of a debtor, or what is called an insolvency test. This insolvency test is used to measure, calculate, and analyze how a debtor's financial condition is feasible or not bankrupt."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nuzul Fajri
"Skripsi ini membahas mengenai hukum pengangkatan anak di Indonesia, termasuk pengertian mengenai pengangkatan anak, sejarah pengangkatan anak, bentuk pengangkatan anak, para pihak dalam pengangkatan anak, syarat-syarat dan tata cara pengangkatan anak, dan pengawasannya yang kemudian dibandingkan dengan hukum pengangkatan anak yang berlaku di Perancis.
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan dalam hukum pengangkatan anak antara Indonesia dengan hukum pengangkatan anak di Perancis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah perbandingan yang menghasilkan bentuk penelitian yuridis-normatif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa Indonesia perlu membentuk undang-undang khusus mengenai pengangkatan anak atau adopsi yang lebih komprehensif dan efektif untuk melindungi sekaligus mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak.

This thesis focuses on the child adoption law in Indonesia, including the understanding of child adoption, history of adoption, types of adoption, parties in the adoption, and procedure and requirements of adoption. It is then compared with the child adoption law in France.
This study shows that there are similarities and differences between Indonesian child adoption law and France child adoption law. The method of this study is comparison which resulting into a normative juridical research.
The result of this study suggests that Indonesia should form a new comprehensive and effective legislation concerning child adoption in order to protect and embody the best interest of the child."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S65797
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>