Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132333 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radhitya Bima Patiparlinto
"Melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia diharapkan bank sebagai lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit dengan jaminan barang bergerak tidak perlu khawatir akan statusnya sebagai kreditur, karena melalui undang-undang tersebut telah diatur bahwa bank diposisikan sebagai kreditur preferen dan memiliki hak untuk menjual barang bergerak yang menjadi jaminan tersebut. Hal tersebut karena di dalam Sertifikat Fidusia telah secara jelas memiliki irah-irah sehingga memiliki kekuatan eksekutorial yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan, hal tersebut tentunya memberikan kebebasan terhadap bank sebagai penerima fidusia untuk melakukan eksekusi barang jaminan tersebut apabila terjadi wanprestasi atau kredit macet sebagai bagian untuk menutupi pelunasan kredit tersebut. Namun dalam prakteknya fidusia masih memiliki beberapa kekurangan.
Penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan kekurangan tentang pengaturan fidusia, selain itu juga menjelaskan bahwa penjaminan secara fidusia kurang efektif apabila tidak diimbangi dengan tindakan lanjutan sebagai bagian dari fungsi kontrol terhadap barang jaminan tersebut. Dilihat dari permasalahan dan kendala yang ada maka teori falsifikasi yang dikemukakan oleh Karl Popper diarasa tepat untuk digunakan sebagai metode penelitian ini karena dirasakan dapat menjawab dan merumuskan permasalahan yang ada.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa apabila dilihat dari sisi bank sebagai kreditur dibandingkan dengan kreditur lainnya maka pranata fidusia sudah memberikan kemanan kepada bank selaku penyalur kredit dengan penjaminan barang bergerak, namun dalam hal kontrol dirasakan masih jauh dari kata cukup mengingat sifatnya barang bergerak yang mudah untuk dipindahtangankan dan nilainya yang fluktuatif bahkan cenderung menurun sehingga membahayakan penyelesaian kredit apabila terjadi kredit macet. Sehingga saya berpendapat bahwa masih diperlukan tindakan lanjutan untuk mengamankan bank sebagai kontrol akan jaminan tersebut.

Through Act No. 42 of 1999 on Fiduciary expected banks as financial institutions in lending with collateral chattels do not have to worry about his status as a creditor, since through the law has stipulated that the bank is positioned as a preferred creditor and has the right to sell goods moving into such guarantee. This is because in the Certificate Fiduciary has clearly had irah-irah so that it has the power executorial which has the same legal force the court decision, it must give freedom to the bank as the recipient of a fiduciary to execute goods such guarantee in case of default or bad credit as part to cover the loan repayment. However, in practice the fiduciary still has some shortcomings.
This study also aims to explain the shortcomings of fiduciary arrangements, it is also clear that a fiduciary guarantee less effective if not offset by further action as part of a control function to goods such guarantees. Judging from the problems and constraints that exist, the falsification theory proposed by Karl Popper diarasa appropriate for use as a method of this study because it felt able to answer and formulate problems.
The study concluded that when viewed from the side of banks as creditors compared with other creditors of the institution of fiduciary has given security to the bank as a loan portfolio with a guarantee of goods moving, but in terms of perceived control is far from sufficient given the nature of goods moving easily transferable and fluctuating value tends to decrease thus jeopardizing credit settlement in case of bad credit. So I would argue t
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T43277
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Untuk memastikan bahwa utang lunas, dalam suatu perjanjian antara debitur dan kreditur, debitur diwajibkan untuk menyediakan jaminan tambahan oleh kreditur yang bisa dalam bentuk jaminan bergerak atau agunan tidak bergerak seperti gadai, hipotek, dan fidusia. Sebuah fidusia adalah jaminan untuk benda bergerak yang kini telah diatur oleh Undang-undang Nomor 42 Bahasa Indonesia Tahun 1999, yang sebelumnya diatur oleh Fiduciare Eigendoms (FeO) dan diakui oleh yurisprudensi, dalam bertindak mengatur jaminan fidusia tidak ada spesifikasi yang pasti mengenai benda atau sifat yang dapat dijadikan jaminan utang. Banyak pendaftaran jaminan fidusia dalam bentuk persediaan telah menyebabkan kesulitan dalam menentukan status kepemilikan jaminan dan cara bagaimana untuk mentransfer jaminan. Permasalahan utama yang harus dijawab oleh penelitian adalah 1. Mengapa penyedia (kreditur) fidusia masih berwenang untuk menjual objek fidusia atas persediaan ? 2. Apakah perjanjian sesuai dengan ketentuan pasal 21 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 42 Bahasa Indonesia Tahun 1999 tentang Jaminan fidusia ?
Penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan normatif dan didukung oleh penelitian empiris. Lokasi penelitian ini adalah Palembang, yaitu untuk pendaftaran fidusia di Provinsi Sumatera Selatan. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder yang diperoleh melalui studi literatur dan studi lapangan. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penyedia fidusia (debitur0 masih berwenang untuk menjual objek fidusia atas persediaan karena transfer kepemilikan bukanlah pengalihan kepemilikan dalam arti yang sesungguhnya dan tidak resmi dilakukan. Penyedia fidusia hanya peminjam barang persediaan.
Pengalihan kepemilikan dilakukan possessorium thrugh constitutum sesuai dengan pasal 21 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 42 Bahasa Indonesia Tahun 1999 tentang jaminan fidusia di mana debitur adalah pemilik manfaat dan keberadaan bukti kepemilikan properti sebagai jaminan utang. Sedangkan arti kesepakatan sesuai denga stpulation pasal 21 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 42 Bahasa Indonesia Tahun 1999 tentang jaminan fiduaciary adalah perjanjian murni dari bahan menggunakan konsep penggunaan kredit, di mana perjanjian tersebut tergantung penjualan bersyarat dan perjanjian pembelian.
Kreditur memiliki hak milik dan kepemilikan jaminan mulai saat pendaftaran. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan bahwa pengalihan persediaan dilakukan sempurna seperti transaksi jual-beli. Berkenaan dengan pertukaran barang persediaan, itu harus dilaporkan kepada penerima fidusia, harus diawasi oleh penerima fidusia (kreditur) dan ada surat kuasa untuk menjual"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
348 JHUSR 9 (1) 2011
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyaningsih
"Dalam Praktek dunia perekonomian dan perdagangan, yang menyangkut perjanjian utang piutang, permodalan, maupun perbankan, dikenal suatu lembaga jaminan yang di dasarkan kepada kepercayaan yaitu Fiduciaire Eigendoms Overdracht (FEO) yang dikenal dengan nama "fiducia". Lembaga jaminan Fiducia ini hidup dalam masyarakat karena masyarakat menginginkan adanya semacam jaminan dimana benda/barang bergerak yang di jaminkan tetap dipegang oleh pemiliknya yang menjaminkan benda itu (debitur) untuk dipergunakan dalam menjalankan usahanya di bidang perekonomian dan perdagangan. Namun, konstruksi hukum seperti ini mengakibatkan masyarakat umum tidak mengetahui secara pasti status/posisi benda yang dijaminkan tersebut, karena seolah - olah barang tersebut adalah milik debitur sesuai dengan asas yang terkandung dalam pasal 1977 KUH Perdata yang mengatakan bahwa penguasaan (bezit) adalah alas hak yang sempurna. Perlindungan hukum yang memadai sangat diperlukan bagi pemberi modal (kreditur) dalam penjaminan fiducia, di mana oleh Undang- Undang Tentang Jaminan Fiducia Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 diakomodir sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepastian dan kepercayaan kreditur terhadap lembaga jaminan fiducia. Adapun perlindungan hukum itu berupa adanya institusi pendaftaran untuk mendaftararan benda yang dibebani sebagai jaminan fiducia, pemberian titel eksekutorial dalam proses eksekusi, dan ketentuan pidana bagi pelanggaran atau cidera janji. Lahirnya Undang-Undang ini sendiri juga merupakan perkembangan hukum yang menggembirakan bagi eksistensi hukum lembaga jaminan fiducia karena selama ini lembaga fiducia diakui berdasarkan yurisprudensi dan hanya diatur secara sporadis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang no 16 Tahun 1985 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1992. Diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang Tentang Jaminan Fiducia ini dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak dan pihak yang berkepentingan dalam lembaga penjaminan fiducia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20615
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Gupta Haruno
"Pendaftaran Fidusia adalah tahapan penting dalam proses pembebanan Jaminan Fidusia. Sistem pendaftaran diciptakan oleh Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak terutama pihak Penerima Fidusia dan juga pihak ketiga lainnya. Proses pendaftaran Jaminan Fidusia dapat dilakukan oleh Penerima Fidusia sendiri atau bisa juga oleh kuasanya. Dalam praktik, pendaftaran banyak dilakukan oleh Notaris karena Akta Jaminan Fidusia wajib dibuat dalam Akta Notaris. Salah satu risiko yang terbesar dalam proses pembebanan Jaminan Fidusia adalah terjadinya Fidusia ganda, dimana untuk 1 (satu) obyek dibebankan oleh lebih dari 1 (satu) Jaminan Fidusia di waktu yang bersamaan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atas bahan pustaka atau yang disebut juga penelitian terhadap data sekunder serta ditunjang dengan wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan narasumber terkait.
Analisis kasus dilakukan terhadap Putusan No. 410/PDT.G/2013/PN.JKT SEL tanggal 21 Juli 2014, di mana dalam kasus tersebut terjadi Fidusia ganda atas aset PT BKPL di mana pendaftaran Fidusia atas aset tersebut dilakukan oleh Notaris. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengenai penyebab terjadinya Fidusia ganda tersebut dan bagaimana pertanggungjawaban dari Notaris yang melakukan pendaftaran.
Dalam kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya Jaminan Fidusia ganda atas aset milik PT BKPL adalah itikad buruk dari PT BKPL memberikan jaminan atas aset yang telah dijaminkan sebelumnya kepada SP LLC. Penyebab lainnya adalah terdapat kelalaian SP LLC dan/atau kuasanya juga untuk melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap Buku Daftar Fidusia. Selain itu, sistem pengelolaan data Jaminan Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia yang belum efektif juga meningkatkan risiko terjadinya Fidusia ganda.
Terkait dengan Notaris yang melakukan pendaftaran dalam kasus ini tidak dapat dipertanggungjawaban atas terjadinya Jaminan Fidusia ganda ini karena Notaris telah melakukan tugasnya dengan baik terbukti dengan telah terbitnya sertipikat fidusia. Untuk mencegah kasus yang sama terulang kembali, sudah saatnya bagi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk menyelenggarakan sistem pencatatan dan pendaftaran Fidusia yang lebih efektif, lebih mudah diakses dan dipercaya.

Fiduciary registration is a very important step in Fiduciary encumbrance process. The registration system was created by Law No. 42 Year 1999 concerning Fiduciary with a purpose to give legal assurance to all stakeholders, especially for Fiduciary receiver and other third parties. The registration process of Fiduciary can be conducted by the Fiduciary receiver itself or its attorney. In practices, most of registration processes were conducted by Notary because the Deed of Fiduciary was compulsory to be made in Notarial Deed. One of the highest risks in the Fiduciary encumbrance process is double encumbrance of Fiduciary, whereby in the same period there was more than 1 (one) Fiduciary encumbrance that exist over 1 (one) same object.
The methodology of research being used in this research was normative methodology, which is research on reference materials or it can be called also as research on secondary data, supported with in-depth interview with related sources.
The case analysis were conducted on Verdict No. 410/PDT.G/2013/PN.JKT SEL dated 21 July 2014, whereby in that case, there was a case of double encumbrance over assets of PT BKPL and the registration process of the Fiduciary were conducted by Notary. The purpose of this research is to identify the causes of such double encumbrance of Fiduciary and to identify the responsibility of the Notary who conducted the registration.
From the case study, it can be concluded that the double encumbrance of Fiduciary of PT BKPL asset was occurred mainly due to badfaith of PT BKPL itself who given the asset that has been guaranteed to other party to SP LLC. The other cause was the neglectfulness of SP LLC and/or its attorney to examine the Fiduciary Registration Book before the encumbrance process. Moreover, the ineffectiveness of data management system of Fiduciary registry at Fiduciary Registration Office also contributes in raising the risk of double encumbrance of Fiduciary.
The Notary who filed the registration in this case cannot be accounted for the occurrence of the double encumbrance of Fiduciary because the Notary has concluded all his duty and it was proven by the issuance of the Fiduciary Certificate. To prevent the occurrence of the same case in the future, it is the time for the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia to manage the new registration system that more effective, accessible and reliable.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agiel Al Assyafar
"Terbitnya Putusan MK No.2/PUU-XIV/2021 telah menjadi acuan baru debitur dan kreditur yang terlibat dengan persoalan eksekusi jaminan fidusia akibat dari adanya wanprestasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis disparitas putusan hakim terkait proses eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021. Penelitian yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (Case Approach), tipe penelitian hukum bersifat normatif (normative legal research), dan Analisis bahan hukum menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PPU-XIX/2021 menegaskan bahwa eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui Pengadilan Negeri hanya sebuah alternative, dan menjadikan titel eksekutorial sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta mempunyai kekuatan hukum tetap pada keadaan tertentu. Hingga terdapat disparitas putusan hakim terkait eksekusi objek jaminan fidusia pasca putusan MK tersebut. Maka terlihat masih belum adanya kepastian hukum bagi kreditur pasca putusan MK. Maka dengan itu perlunya ada surat edaran Mahkamah Agung dalam menyikapi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor 2/PUU-XIX/2021 sebagai bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara eksekusi jaminan fidusia, sehingga dapat menghindari terjadinya disparitas Putusan kedepannya. Diperlukan peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang Jaminan Fidusia untuk mengakomidir terkait eksekusi jaminan fidusia sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor 2/PUU-XIX/2021 sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi debitur dan kreditur terkait tata cara eksekusi jaminan fidusia dan tidak membuat salah satu pihak kesulitan dalam terjadinya eksekusi jaminan fidusia. Terlebih dengan tidak jelasnya mengenai penentuan cidera janji sehingga memperlambat proses eksekusi objek jaminan fidusia.

issuance of Constitutional Court Decision No.2/PUU-XIV/2021 has become a new reference for debtors and creditors involved in the issue of the execution of fiduciary guarantees due to default. This study aims to determine and analyze the disparity in judges' decisions regarding the process of executing fiduciary security objects based on Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees after Constitutional Court Decision No.2/PUU-XIX/2021. This research uses a statutory approach (statute approach), the type of legal research is normative (normative legal research), and the analysis of legal materials uses qualitative descriptive analysis. Constitutional Court Decision Number 2/PPU-XIX/2021 confirms that the execution of a fiduciary security certificate through the District Court is only an alternative, and makes the executorial title of the fiduciary security certificate not necessarily have permanent legal force in certain circumstances. Until there is a disparity in judges' decisions regarding the execution of fiduciary security objects after the Constitutional Court's decision. So it appears that there is still no legal certainty for creditors after the Constitutional Court's decision. Therefore, there is a need for a Supreme Court circular letter in response to the Constitutional Court Decisions Number 18/PUU-XVII/2019 and Number 2/PUU-XIX/2021 as a material consideration by the Panel of Judges in deciding cases of fiduciary guarantee execution, to avoid disparity in future decisions. An implementing regulation is needed for the Fiduciary Guarantee Law to accommodate the execution of fiduciary guarantees by the Constitutional Court Decisions Number 18/PUU-XVII/2019 and Number 2/PUU-XIX/2021 to provide legal certainty for debtors and creditors regarding the procedures for executing fiduciary guarantees and not make it difficult for one party to execute fiduciary guarantees. Moreover, the lack of clarity regarding the determination of a breach of promise slows down the process of executing a fiduciary security object."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radityo Mahendra Hutomo
"Pada tahun 1997, terjadi krisis ekonomi di Indonesia membawa dampak besar bagi dunia perbankan. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan restukturisasi di bidang perbankan, salah satunya dengan cara melakukan merger antar bank. Dalam pelaksanaan merger bank terdapat beberapa pihak yang terlibat, diantaranya adalah kreditor.
Kreditor seringkali dirugikan dikarenakan merger bank yang dilatarbelakangi oleh itikad buruk. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai perlindungan hukum bagi kreditor dalam merger bank di Indonesia dan untuk mengetahui apa saja upaya hukum yang dapat dilakukan apabila dirugikan dalam pelaksanaan merger bank.
Penelitian dengan metode Juridical Normative ini akan menjelaskan mengenai perlindungan dan upaya hukum untuk kreditor dalam pelaksanaan merger bank. Contoh kasus terkait perlindungan kreditor dalam merger bank yaitu antara PT Bank IFI dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk juga akan dianalisa dalam penelitian ini. Penelitian ini pada akhirnya akan memberikan kesimpulan terkait perlindungan hukum untuk kreditor dalam pelaksanaan merger bank, serta memberikan saran demi terjaminnya kepastian hukum bagi para kreditor.

In 1997, the economic crisis in Indonesia had a huge impact on the banking world. The government rsquo s effort to resolve the problem was made restructuring in the banking sector, such as implement merger between commercial banks. In the implementation of bank merger there are several parties involved, one of them is the creditor.
Most of the time, creditors rights was harmed due to bank merger backed with bad faith. Therefore, the purpose of this thesis is to provide information about the legal protection for creditor in the bank merger in Indonesia and to know the legal remedies which can be done if felt disadvantaged by the implementation of bank merger.
This Juridical Normative research will explain the legal protection for creditor in the implementation of bank merger. Examples of case between PT Bank IFI and PT Bank Danamon Indonesia Tbk will be provided in this research. In the end, this research will provide conclusions regarding legal protection for creditor in the implementation of bank merger, as well as provide advice to ensure the legal certainty for the creditor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69022
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chekky Kurniasari Dewi
"Pada Pelaksanaan Penyaluran Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah dapat terjadi Permasalahan. Ketika terjadi permasalahan tersebut, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui eksekusi jaminan. Melalui penelitian yang bersifat yurudis normatif, dapat diketahui bahwa Bank Syariah selain dapat melakukan eksekusi jaminan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dapat pula membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui atau diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela dari pemilik agunan dan agunan yang dibeli oleh Bank Syariah tersebut wajib dicairkan dalam waktu 1 (satu) tahun atau yang dikenal dengan Agunan Yang Diambil Alih.

In the implementation of cost distribution of Islamic Banking, could be having problem. When the problem is happened, the solution could be taken is guarantee execution. Based on the normative juridical research, it can be understand that Islamic Bank could conduct the guarantee execution that under regulation of Law Number 4 Year 1996 about Mortgage and Law Number 42 Year 1999 about Guarantee of Fiduciary, but also this Islamic Bank could buy a part or the entire bond with or without auction, based on the free given from the guarantee owner and the guarantee that is already bought by the Islamic Bank have to pay in the period time of 1 (one) year that called the over taken guarantee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29241
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>