Ditemukan 165526 dokumen yang sesuai dengan query
Hayun Nurdiniyah
"Pasca Perang Dunia II, Jepang maju pesat sebagai negara industri maju. Sektor manufaktur Jepang, termasuk industri otomotif berkembang pesat. Namun, laju industrialisasi menyebabkan perpindahan penduduk usia produktif dari desa ke kota dan dari sektor pertanian ke sektor industri. Akibatnya, sektor pertanian hanya ditangani oleh tenaga kerja usia lanjut. Di samping itu, nilai tambah yang rendah juga menyebabkan sektor pertanian kurang diminati oleh generasi muda angkatan kerja. Akibatnya, pertanian menjadi sektor yang tidak kompetitif di Jepang. Sejak era pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerintah Jepang menjalankan kebijakan proteksi dengan memberi subsidi kepada pelaku sektor pertanian. Memasuki abad ke-21, globalisasi dan liberalisasi perdagangan menjadi agenda utama dunia, termasuk Jepang. Untuk mengantisipasi impor produk pertanian yang lebih murah, pemerintah Jepang harus menjalankan kebijakan untuk tidak hanya melindungi, tetapi juga membantu meningkatkan daya saing sektor pertanian. Setelah menjabat sebagai perdana menteri pada Desember 2012, PM Shinzo Abe mengeluarkan paket kebijakan ekonomi salah satunya untuk sektor pertanian. Selain itu, pada Mei 2013 PM Shinzo Abe memutuskan bahwa Jepang akan berpartisipasi dalam perundingan Trans-Pacific Partnership (TPP). Di saat yang bersamaan, PM Abe mendorong implementasi beberapa kebijakan untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian Jepang.
In post World War II era, Japan has transformed itself into a leading industrial nation. Manufacturing industries, including automotive industry, has become a leading industry for Japan. However, rapid industrialization caused the urbanization and the migration of working forces from rural to urban area. Consequently, agricultural sector was left to the elderly worker. Meanwhile, the value added of the agricultural products are much lower, causing it less and less attractive to the younger generation. As a result, agricultural sector became less competitive. Since the era of high economic growth, the Japanese government has been taking a number of protective policies, including heavy subsidies, to protect the farmers. However, in the 21st century, globalization and trade liberalization has become the rule of the day, and Japan must also join itu. In order to anticipate the influx of low price agricultural product imports, the Japanese government had to implement policies not only to protect, but also to empower the farmers, and to make agricultural sector in Japan more competitive. In December 2012, prime minister Abe Shinzo came to power, and immediately after, he announced a number of economic policies, including policies to boost the growth of agricultural sector. In May 2013, PM Abe announced that Japan will join the negotiation of Trans-Pacific Partnership (TPP). At the same time, PM Abe had push the implementation of a number of policies to boost agricultural sector in Japan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T45513
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
"The development (included agricultural sector) in Indonesia in the last decade that more focused on economic growth,has caused negative impact on natural resource and environment degradation....."
JUPEPEP
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Lely Demiyati
"Penelitian ini membahas pemagaran atau hedging dalam pidato politik bahasa Jepang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis dan fungsi pagar dalam teks-teks pidato perdana menteri Jepang Shinzo Abe. Teks pidato yang dijadikan sumber data berjumlah lima pidato yang diunduh dari situs resmi lsquo;perdana menteri Jepang dan kabinetnya rsquo;. Pagar temuan dalam pidato akan dianalisis menggunakan pagar taksonomi Salager-Meyer 1994 sebagai acuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pagar yang dominan digunakan adalah frasa pembuka sebesar 50 . Urutan kedua pagar adalah verba bantu modal sekitar 22 . Urutan ketiga jenis pagar kata penunjuk derajat, kuantitas frekuensi dan waktu sekitar 11 . Jenis pagar verba leksikal modal urutan ke empat sekitar 6 . Urutan kelima pagar frasa modal nomina, adjektiva dan adverbia berjumlah 5 atau. Jenis pagar klausa bersyarat menempati urutan keenam yaitu 4 . Urutan terakhir adalah pagar majemuk sekitar 2 . Fungsi dari pagar-pagar yang digunakan oleh PM Abe ini sebagai mitigasi, melindungi diri dari kritik, menunjukkan kesantunan, mencegah konfrontasi, membangun hubungan baik dengan mitra tutur dan menunjukkan kurangnya komitmen atau tanggung jawab.Kata kunci: Pemagaran, pidato politik, Shinzo Abe, pragmatik, kesantunan.
The object of this research is hedging in Japanese political speeches. The objective of this research is to identify types and functions of hedging in the speeches of the Japan Prime Minister Shinzo Abe. The data consist of five Shinzo Abe rsquo s speeches taken from website Prime Minister and Cabinet at http www.kantei.go.jp. The hedges found in the speeches are analyzed using the taxonomy and functions of hedges according to Salager Meyer 1994 . The analysis shows that the most frequently used hedges in political speeches by Shinzo Abe is introductory phrases 50 , followed modal auxiliaries 22 , approximators of degree, quantity, 11 , lexical verb 6 , frasa modal nomina, adjektiva dan adverbia 5 , lsquo if rsquo type clauses 4 , and compound hedge 2 . In addition, the function of hedging in the speeches of Shinzo Abe is to mitigate, to protect himself from critique, to show politeness, to prevent confrontation, to build a good relation with the hearer, and show lack of commitment or responsibility.Key words pragmatics, hedging, political speech, politeness. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T49377
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rizki Pratomo Sunarwibowo
"Indonesia merupakan negara agraris dengan sekitar 30 persen angkatan kerja berada di sektor pertanian, dan kebanyakan penduduknya tinggal di daerah pedesaan. Pembangunan sektor pertanian menjadi salah satu prioritas pemerintah menuju ketahanan pangan dan ekonomi. Koperasi menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan pembangunan sektor pertanian. Bung Hatta sebagai bapak koperasi Indonesia menyatakan bahwa koperasi dapat meningkatkan standar ekonomi Indonesia sekaligus memberikan pendidikan sosial dan moral bagi para anggotanya. Penelitian ini menemukan bahwa dengan menjadi anggota koperasi, petani memiliki efisiensi produksi lebih tinggi yang meningkatkan keuntungan yang diperoleh. Dampaknya adalah dengan menjadi anggota koperasi, petani menjadi lebih meningkat kesejahteraannya. Namun, walaupun koperasi terbukti memberikan keuntungan bagi para anggotanya tetapi koperasi belum mampu berkembang pesat. Koperasi belum mampu menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia. Kecukupan modal menjadi salah satu tantangannya. Penelitian ini menemukan bahwa kecukupan modal, khususnya modal eksternal, dapat meningkatkan laba koperasi. Temuan ini dapat digunakan oleh pemerintah untuk memperbaiki struktur permodalan koperasi. Seiring berkembangnya dunia usaha, koperasi membutuhkan perundangan yang dapat beradaptasi dengan perkembangan dunia sehingga koperasi dapat bersaing dan meningkatkan performanya. Koperasi harus bergerak progresif tanpa harus membuat kehilangan jati dirinya sebagai bentuk usaha rakyat kecil yang menjunjung tinggi prinsip kerakyatan.
Indonesia is an agrarian country, with approximately 30 percent of its workforce engaged in the agricultural sector, and the majority of its population residing in rural areas. The development of the agricultural sector is one of the priorities of the government in achieving food and economic security. Cooperatives emerge as a strategy to enhance the development of the agricultural sector. Bung Hatta, regarded as the father of Indonesian cooperatives, asserts that cooperatives can elevate Indonesia's economic standards while also imparting social and moral education to its members. This study finds that by becoming members of cooperatives, farmers achieve higher production efficiency, leading to increased profits. Consequently, membership in cooperatives enhances the welfare of farmers. However, despite evidence of the benefits accruing to their members, cooperatives have yet to experience rapid growth. They have not become a significant pillar of the Indonesian economy. Adequacy of capital presents one of the challenges. This research reveals that sufficient capital, particularly external capital, can enhance cooperative profits. These findings can be utilized by the government to improve the capital structure of cooperatives. As the business landscape evolves, cooperatives require legislation that can adapt to global developments, enabling them to compete and enhance their performance. Cooperatives must progress without compromising their identity as small-scale enterprises that uphold the principles of democracy."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Naya Rizka Hafiza Rijal
"Fenomena shoushika atau menurunnya tingkat kelahiran merupakan salah satu isu yang krusial di Jepang. Rendahnya angka kelahiran, diikuti oleh meningkatnya angka harapan hidup, berdampak secara signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan di negara tersebut. Sebagai konsekuensi dari berkurangnya populasi penduduk di usia produktif dan menyusutnya jumlah penduduk secara keseluruhan, fenomena ini telah berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas negara sehingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi Jepang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe melalui paket kebijakan Abenomics-nya mengeluarkan serangkaian kebijakan keluarga untuk mendorong angka kelahiran yang berfokus pada peningkatan fasilitas penitipan anak, cuti orang tua, dan pengurangan jam kerja. Meskipun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut nyatanya tidak dapat memberikan hasil yang efektif. Sebaliknya, angka kelahiran cenderung menurun pada masa periode jabatan Abe. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tidak efektifnya implementasi kebijakan keluarga dalam menangani fenomena shoushika di Jepang. Berdasarkan hasil temuan, dapat diketahui bahwa hambatan budaya, konservatisme politik, dan silver democracy di Jepang telah memengaruhi tidak efektifnya kebijakan keluarga yang diluncurkan pemerintah Abe dalam menangani fenomena shoushika.
The shoushika phenomenon or declining birth rates is a crucial issue in Japan. The low birth rate, coupled with rising life expectancy, has significantly impacted various aspects of life in the country. As a consequence of the dwindling working-age population and the shrinking population as a whole, this phenomenon has contributed to a decline in the country's productivity, affecting Japan's economic growth. To address this issue, Prime Minister Shinzo Abe’s government through its Abenomics policy package issued a set of family policies to boost birth rates that focused on increasing childcare facilities, parental leave, and reducing working hours. However, these policies did not produce effective results. On the contrary, the birth rate tended to decline during Abe's term. Through this paper, the author aims to identify the factors that influence the ineffective implementation of family policies in dealing with the shoushika phenomenon in Japan. Based on the findings, it can be seen that cultural barriers, political conservatism, and silver democracy in Japan have influenced the ineffectiveness of the family policies launched by Abe’s government in dealing with the shoushika phenomenon."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui pendekatan kointergrasi model pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Indonesia.. hasil emperiis studi ini menunjukan bahwa variabel- variabel pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian yang diamati tersebut berintegrasi pada derajat integrasi dua dan berkointtegrasi."
330 JMM 4:1 (2011)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Abdul Haris
"Kerjasama keamanan Jepang dengan Uni Eropa (UE) yang telah berlangsung cukup lama, dinilai masih sangat minim dan terbatas. Namun, di masa pemerintahan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terjadi perkembangan yang cukup signifikan. Ditandai dengan kerjasama keamanan kedua pihak yang terlibat dalam misi kontra pembajakan di Somalia dan pembuatan Perjanjian Kerjasama Strategis (Strategic Partnership Agreement, SPA) sebagai kerangka kerja yang mengikat dan berkekuatan hukum, menimbulkan optimisme Jepang-UE terhadap semakin eratnya kerjasama keamanan kedua belah pihak di masa yang akan datang. Pertanyaan dalam penelitian adalah: Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Jepang di masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe dalam melakukan kerjasama keamanannya dengan UE?. Penelitian ini menggunakan konsep dan teori adaptive foreign policy James N. Rosenau. Analisis dalam penelitian ini menemukan bahwa Jepang dalam melakukan kerjasama keamanannya dengan UE di masa pemerintahan Abe, dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di lingkungan internal dan eksternalnya. Faktor internalnya adalah kepemimpinan dari Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri dan reformasi kebijakan pertahanan dan keamanan yang menginginkan Jepang lebih proaktif berkontribusi untuk perdamaian. Sedangkan faktor eksternalnya adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dengan kebijakan-kebijakannya dan perkembangan dari peran UE sebagai aktor keamanan global. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui studi pustaka dan dokumen. Data bersumber dari pemerintah dan pernyataan yang diterbitkan dan jurnal, buku dan situs internet.
Japanese security cooperation with the European Union (EU) that has been going on for quite a long time, but still considered very minimal and limited. However, during the reign of Japanese Prime Minister Shinzo Abe there was a significant development. Marked by the security cooperation of the two parties involved in the counter-piracy mission in Somalia and the creation of a Strategic Partnership Agreement (SPA) as a binding and legally enforceable framework, it has raised optimism between Japan and the EU in the increasingly tight cooperation between the two parties which will come. The questions in the study are: What factors influence Japan during the reign of Prime Minister Shinzo Abe in conducting security cooperation with the EU? This research uses James N. Rosenau's adaptive foreign policy concept and theory. The analysis in this study found that Japan in carrying out its security cooperation with the EU in Abe's reign, was influenced by changes that occurred in its internal and external environment. Its internal factor is the leadership of Shinzo Abe as Prime Minister and defense and security policy reforms who want Japan to be more proactive in contributing to peace. While the external factor is the election of Donald Trump as US President with his policies and the development of the EU's role as a global security actor. This study uses qualitative methods through literature and document studies. Data sourced from the government and published statements and journals, books and internet sites."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T51685
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ni Nyoman Sukranadi
"Penelitian ini bertujuan untuk menghitung kontribusi pertumbuhan tenaga kerja dan kapital UMKM dari sektor Pertanian, Pertambangan dan sektor Industri Pengolahan terhadap pertumbuhan PDB non migas menggunakan Solow Growth Accounting. Data yang digunakan bersumber dari Kementrian Koperasi dan UMKM yang bekerja sama dengan BPS. Dengan menggunakan model pertumbuhan Solow dan regresi model efek tetap, diperoleh hasil bahwa dampak pertumbuhan tenaga kerja dan kapital UMKM berbeda antar sektor. Dampak positif signifikan pertumbuhan tenaga kerja UMKM terjadi pada sektor Industri Pengolahan, sedangkan untuk kapital terjadi pada sektor Pertanian. Sumber pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh pertumbuhan kapital usaha besar.
The objectives of this study are to count the contribution of labor growth and capital growth of Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) from Agriculture, Mining and Manufacture sector to GNP growth using Solow Growth Accounting. Data in this study are from Cooperative and Micro, Small and Medium Enterprises Department and Central Bureau of Statistic (BPS). Using the Solow growth model and fixed effect model regression, was found that impact of labor growth and capital growth of MSMEs are different on each sector. The significant positif impact of labor growth was found on Manufacture sector, while for capital growth was found on Agriculture sector. The source of economic growth was dominated by capital growth of big firm."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42211
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Wildan Ahmad Adani
"Shinzō Abe adalah Perdana Menteri Jepang yang ke-57 yang diangkat pada Desember 2012. Sebagai Perdana Menteri, Shinzō Abe berencana untuk merevisi Konstitusi 1947. Rencana revisi tersebut merupakan upaya untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu untuk menjalankan hak pertahanan kolektif. Shinzō Abe ingin Jepang agar lebih proaktif dalam menjaga perdamaian dunia, dan menjalankan hak pertahanan kolektif dapat mewujudkannya. Namun, konstitusi menghalanginya untuk menjalankan hak tersebut. Di sisi lain, konflik Kepulauan Senkaku yang sedang Jepang hadapi dengan Cina dan Taiwan sedang berada di titik tertingginya. Ketiga pihak yang terlibat dalam konflik terus melakukan tindakan untuk menegaskan klaimnya. Shinzō Abe sedang berusaha untuk merevisi Konstitusi 1947 dengan memanfaatkan ketegangan konflik Kepulauan Senkaku sebagai justifikasi tindakannya. Ketegangan konflik tersebut merupakan bukti dari situasi regional yang buruk bagi Jepang, sehingga dapat dijadikan alasan untuk merevisi konstitusi, dan akhirnya menjalankan hak pertahanan kolektif.
Shinzō Abe is Japanese 57th Prime Minister who was appointed in December 2012. As Prime Minister, he is planning to revise the 1947 Constitution. His revision plan is an attempt to do something even greater, which is to exercise the right of collective defense. Shinzō Abe wants Japan to be more proactive in keeping peace in the world, and exercising the right of collective defense can realize his vision. However, the constitution stands in the way of it. On the other hand, the Senkaku Islands territorial dispute between Japan, China, and Taiwan is on its highest point. Those three countries are consistently asserting their claims about the island’s ownership. Shinzō Abe is using the tension on the dispute to justify his plan to revise the 1947 Constitution. The tension on the dispute is proof that regional situation is not good for Japan, so it can be used to justify the constitution revision, and eventually exercise the right of collective defense."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57061
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ajeng Tri Hidayati
"Keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa menuai pro dan kontra pada tingkat domestik ataupun internasional. Relokasi Marine Corps Air Station atau MCAS Futenma dari kota Ginowan ke kota Nago di Henoko. Relokasi MCAS Futenma yang telah disepakati sejak tahun 1996 oleh Jepang dan Amerika Serikat hingga kini masih belum sepenuhnya disetujui oleh masyarakat Okinawa. Masyarakat Okinawa tidak ingin pangkalan militer tersebut direlokasi ke kota Nago, karena mereka ingin agar pangkalan militer Amerika Serikat dapat dipindahkan sepenuhnya dari Okinawa. Penelitian ini akan menganalisis mengenai kebijakan Perdana Menteri Shinzo Abe dalam menangani isu relokasi pangkalan militer AS di Okinawa MCAS Futenma . Dalam menjawab pertanyaan penelitian, penulis akan menggunakan teori proses pengambilan keputusan decision making process yang dikemukakan oleh William D. Coplin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perdana Menteri Shinzo Abe tetap melanjutkan usaha-usaha untuk merelokasi pangkalan militer AS di Okinawa, yaitu MCAS Futenma ke Henoko dengan melihat berbagai faktor-faktor penentu kebijakan. Faktor-faktor yang melahirkan strategi kebijakan yang dikeluarkan oleh Shinzo Abe ialah faktor domestik Jepang, kapabilitas ekonomi dan militer, dan konteks internasional.Kata kunci: MCAS Futenma; Okinawa; Relokasi; Shinzo Abe.
The existence of US military bases in Okinawa reaped pros and cons at the domestic and international level to relocate Marine Corps Air Station or MCAS Futenma from Ginowan city to Nago city in Henoko. The relocation of MCAS Futenma that has been agreed since 1996 by Japan and the United States was still not fully approved by Okinawa people. The Okinawa people do not want the military base to be relocated to Nago city, because they wanted the US military base to be completely removed from Okinawa. This research will analyze the policy of Prime Minister Shinzo Abe in addressing the issue of relocation of US military base in Okinawa MCAS Futenma . This research used theory of decision making process proposed by William D. Coplin. The results of this study indicated that Prime Minister Shinzo Abe continue efforts to relocate the US military base in Okinawa, namely MCAS Futenma to Henoko by looking at various policy determinants. The factors that boost Shinzo Abe 39 s policy were Japanese domestic factors, economic and military capabilities,including the international context. "
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T51116
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library