Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179282 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Adhitya Latief
"ABSTRAK
Pendahuluan : Perkembangan teknologi telah menghasilkan model 3-dimensi berdasarkan data CT-Scan yang mampu menyajikan data lebih informatif. Karena dapat menghasilkan bentuk seperti anatomi tubuh, maka model 3-dimensi dijadikan acuan dalam bidang rekonstruksi mandibula menggantikan peran CT-Scan.
Tujuan Penelitian: Membandingkan hasil pengukuran tebal dan tingginya symphisis mandibula pada model 3 dimensi terhadap data CT-Scan sehingga diketahui tingkat akurasinya.
Material dan Metode : 8 data CT-Scan Maksilofasial Pasien dalam bentuk DICOM (Digital Imaging and Communication for Medicine) dengan mandibula bebas defek atau hanya sebagian, dengan gigi geligi telah erupsi penuh dilakukan analisa dan pengukuran dengan piranti lunak OSIRIX pada komputer, kemudian dibuatkan 8 Model 3-Dimensi berdasarkan data DICOM dengan menggunakan mesin printing FDM (Fused Deposition Modelling) untuk dilakukan analisa dan pengukuran menggunakan kaliper digital.
Hasil : Tebal dan Tinggi Symphisis Mandibula hasil pengukuran model 3-Dimensi dan data CT-Scan berbeda, terdapat deviasi ukuran lebih kecil pada model 3 Dimensi, Nilai akurasi model 3-dimensi yang dihasilkan mesin FDM sebesar 98% dari data aslinya.
Kesimpulan : Perbandingan pengukuran ketebalan dan ketinggian tulang symphisis mandibula pada model 3 Dimensi terhadap CT-Scan memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik namun secara klinis dapat digunakan sebagai alternatif sebagai acuan rekonstruksi mandibula.

ABSTRACT
Introduction : the emerging technologies has invented 3-dimensional model based on CT-Scan data that able to present better information. Because of the similiarity to anatomy, 3-Dimensional model became guidance for mandible reconstruction, replacing the role of CT-Scan imaging.
Objective : To compare the measurements of mandibular symphisis height and thickness using 3 Dimensional model to CT-Scan data and be able to define the accuracy level of it.
Materials and Methods : 8 CT-Scan maxillofacial data in form of DICOM (Digital Imaging and Communication for Medicine) were analyzed and measured using OSIRIX software on computer, continued with production of 8 3-Dimensional model based on DICOM data using printing FDM (Fused Deposition Modelling) machine, model then analyzed and measured using digital caliper.
Result : The thickness and height of mandible symphisis from 3 dimensional model measurement compared with CT-Scan are different. Smaller deviation were measured in 3 dimensional model, the accuracy level of 3 Dimensional model made from FDM printing machine is 98% from original data.
Conclussion : The measurement comparison of mandibular symphisis height and thickness using 3 Dimensional model to CT-Scan data is statistically different but clinically 3 dimensional model could be used as alternative as mandibular reconstruction guidance.
"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isma Tria Savitri
"ABSTRAK
Nama Isma Tria SavitriProgram Studi Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah MulutJudul Keakuratan Model 3 Dimensi Fused Deposition Modeling FDM Dibandingkan CT Scan 3 Dimensi pada Pengukuran Panjang Vertikal Ramus Mandibula Jarak Gonion Menton dan Gonial Angle Latar Belakang Rekonstruksi dan koreksi defek pada regio kraniomaksilofasial membutuhkan perencanaan pra operasi yang sangat matang Hal ini dikarenakan anatomi pada regio ini sangat kompleks melibatkan sistem sistem yang sensitif berdekatan dengan struktur anatomis vital serta mempengaruhi penampilan dan fungsional Dengan perkembangan teknologi di bidang Computed Tomography mampu menciptakan pendekatan perawatan yang baru serta memungkinkan untuk memperoleh model tulang tengkorak 3 Dimensi 3D menggunakan teknik solid free form fabrication SFF Tiap tahapan proses produksi berpotensi untuk terjadi error dan menghasilkan model akhir yang mengalami distorsi Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keakuratan dari model 3D FDM dengan cara membandingkan panjang vertikal ramus mandibula jarak Gonion Menton dan gonial angle pada model 3D dengan pengukuran pada CT rekonstruksi 3D Metode Penelitian 8 Sampel data CT scan pasien Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dibuatkan model 3D menggunakan teknik FDM Kemudian dilakukan pengukuran panjang vertikal ramus mandibula jarak Gonion Menton dan gonial angle terhadap CT rekonstruksi 3D menggunakan piranti lunak OsiriX dan model 3D menggunakan kaliper digital dan goniometri lalu hasil keduanya dibandingkan Hasil Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara pengukuran panjang vertikal ramus mandibula jarak Gonion Menton dan gonial angle pada CT 3D dan model 3D FDM Kesimpulan Model 3D yang menggunakan teknik FDM dinilai akurat sehingga dapat diterima secara klinis Kata kunci Model 3D FDM CT 3D panjang vertikal ramus mandibula jarak Gonion Menton gonial angle.
ABSTRACT
Name Isma Tria SavitriStudy Program Post Graduate Student of Oral and Maxillofacial SurgeryTitle Accuracy of Three Dimensional Fused Deposition Modeling FDM Models Compared with Three Dimensional CT Scans on Measurement of Mandibular Ramus Vertical Length Gonion Menton Length and Gonial Angle Background Pre surgical treatment planning plays important role in reconstruction and correction of defect in craniomaxillofacial region The advance of solid freeform fabrication techniques has significantly improved the ability to prepare biomodel using computer aided design and data from medical imaging Many factors are implicated in the accuracy of the 3D model Purpose To determine the accuracy of the three dimensional fused deposition modeling FDM models compared with three dimensional CT scans on measurement of mandibular ramus vertical length Gonion Menton length and Gonial angle Research Methods 8 3D Models were produced from 8 CT scan data DICOM file patients of Oral and Maxillofacial Department Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Three measurements were done three times by two examiner Measurement of 3D CT scans were made using OsiriX software while measurement of 3D models were made using digital caliper and goniometry The measurement results were then compared Result There is no significant difference between measurement of mandibular ramus vertical length Gonion Menton length and Gonial angle 3D CT scans and FDM 3D models Conclusion FDM 3D models are considered accurate and is acceptable for clinical applications in dental and craniomaxillofacial surgery."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anglin Andhika Maharani
"CT-scan abdomen merupakan opsi dalam penegakan diagnosis terkait dengan dugaan penyakit yang diderita pasien menggunakan radiasi pengion, namun resiko radiasi pada organ sensitif di sekitar area abdomen dapat menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Maka dari itu, dilakukan penelitian untuk menunjukkan seberapa besar dosis radiasi yang diterima organ sensitif (gonad, payudara, tiroid dan mata) pada pelaksanaan pemeriksaan CT abdomen, dengan fantom rando sebagai objek pemeriksaan dan TLD rod sebagai penangkap radiasi. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dengan memvariasikan kV (80,120 dan 140) dan nilai pitch (4,6 dan 8). Dosis radiasi terbesar didapatkan pada gonad dengan 7,67 mGy dan terendah pada tiroid kanan dengan 0,01 mGy. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan CT-scan abdomen tidak menimbulkan efek langsung.

CT-scan for abdomen area is an examination option in diagnosis that related to patient’s disease, but the radiation risk that appears on sensitive organs near abdomen area need to be concern. Therefore, a research was done to show how much radiation dose for organs received (gonad, breasts, thyroids, and eyes) in CT-scan examination for abdomen, using rando phantom as an object and TLD rod as dosemeter. The variation of examination was done for kV (80, 120, and 140) and pitch (4, 6, and 8). The result show that gonad had received the highest radiation dose with 7,674 mGy (tube’s voltage was 140 kV, pitch 6). So, it can be concluded that examination with CT-scan did not give deterministic effect to sensitive organs."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55873
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joni S. Kadir
"Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pengukuran CTDI dan dosis efektif pada 3 mesin CT dengan pengujian abdominal terhadap pasien pediatrik dan dewasa menggunakan phantom CT yang dibuat dan detector pensil CT serta electrometer RADCAL. Phantom CT dibuat berdasarkan standar US-FDA untuk CT. Pengujian Computed Tomography (CT) yang dilakukan menggunakan 2 CT phantom yang berbeda, diameter 32 cm (pasien dewasa) dan diameter 16 cm (pasien pediatrik). Pengukuran CTDI dan perhitungan dosis efektif radiasi menunjukkan bahwa terdapat dosis pasien pediatrik yang lebih tinggi signifikan dibandingkan dengan dosis pasien dewasa pada perlakuan yang sama. Hal ini menandakan pentingnya penentuan secara hati-hati parameter teknis scan dan justifikasi yang kuat terhadap penggunaan pengujian CT pada pasien pediatrik.

A study has been performed to measure CTDI and effective dose on 3 CT machines pertinent to abdominal examination to adult and pediatric patients using fabricated CT phantom and RADCAL pencil detector and electrometer. The CT phantom was tailored according US-FDA standard. Computed tomographic (CT) examinations have been performed using two different CT phantoms, 32 cm (adult) and 16 cm (pediatric) diameter. Computed tomographic (CT) examinations and radiation effective dose showed significant higher pediatric dose as compared to adult patient dose at the same examinations. This indicates the importance of careful selection of technical scan parameters and strong justification of the use of CT examination on pediatric patient."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T20863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renaldi Dwiki Alfiansyah
"Material cetakan pengecoran aluminium SKD61 harus mampu tahan terhadap temperatur leleh aluminium, gesekan, fatik, aus dan deformasi sehingga membutuhkan lapisan yang mampu menjadi pelindung dari panas, keras, dan tangguh, seperti lapisan PVD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketebalan terhadap sifat permukaan, kekuatan adhesi, dan ketahanan aus pada lapisan AlCrN dengan Al dominan dan CrAlN dengan Cr dominan. Penelitian dilakukan dengan metode pengujian untuk AlCrN dan studi literatur untuk CrAlN. Proses pelapisan AlCrN menggunakan arc evaporation dengan target AlCr (64:36), temperatur proses 400oC tegangan bias -100 hingga -200 V, gas nitrogen 150 SCCM, kecepatan putaran 2 rpm, dan waktu 8 jam dengan variasi rotasi substrat (tunggal, dobel, dan tripel) pada substrat SKD61. Proses pembakaran menggunakan burner dengan campuran gas argon dan oksigen hingga temperatur 700oC lalu didinginkan di udara. Uji mikrostruktur menggunakan OM, ImageJ, dan SEM-EDX, uji kekerasan menggunakan makro Vickers, uji ketebalan menggunakan Calo Tester, uji ketahanan aus menggunakan Ogoshi Universal Wear Testing, dan uji kekuatan adhesi menggunakan Rockwell C. Uji OM dan ImageJ menunjukan AlCrN rotasi tripel memiliki % partikel paling tinggi (81.64%) dan uji SEM-EDX menunjukan partikel makro dan berbentuk jaring-jaring dengan komposisi Al lebih dominan. Setelah pembakaran AlCrN rotasi tunggal mempunyai permukaan yang halus dan berubah warna dari abu-abu menjadi biru. Uji Calo Test menunjukan rotasi tunggal paling tebal (6.14 μm) dengan kecepatan deposisi paling cepat (0.213203324 nm/s). Uji makro Vickers menunjukan AlCrN rotasi tunggal paling keras (941 HV). Setelah pembakaran, kekerasan AlCrN mengalami penurunan. Uji adhesi Rockwell C menunjukan kekuatan adhesi AlCrN rotasi dobel paling tinggi (HF1). Uji aus Ogoshi menunjukan AlCrN rotasi dobel memiliki laju aus terendah (0.000092 mm3/Nm). Setelah pembakaran, rotasi tunggal memiliki laju aus terendah (0.00089851 mm3/Nm). Sedangkan CrAlN ditinjau dalam studi literatur memiliki mikrostruktur berbentuk kolumnar dan padat dengan komposisi Cr lebih dominan. Kekerasan CrAlN 10 μm tertinggi (2743 HV). Setelah pembakaran pada 700oC kekerasan turun dan berubah menjadi biru. Kekuatan adhesi CrAlN 4.85 μm tertinggi. Ketahanan aus CrAlN menunjukan tidak ada retakan dan setelah pembakaran 120oC terdapat material terabrasi.

The aluminum die-casting mold material SKD61 must be able to withstand the melting temperature of aluminum, friction, fatigue, wear, and deformation so that it requires a layer that can become a thermal barrier, hardest, and toughest, such as PVD coating. This research is to study the effect of thickness on the surface properties, adhesion strength, and wear resistance of AlCrN with Al dominant and CrAlN with Cr dominant. The research was conducted using test methods for AlCrN and literature study methods for CrAlN. The AlCrN coating process uses arc evaporation with target of AlCr (64:36), process temperature 400oC, bias voltage -100 to -200 V, nitrogen gas 150 SCCM, the rotation speed of 2 rpm during 8 hours with variations in substrate rotation (single, doubles, and triples) on SKD61. The combustion process uses a burner with a mixture of argon gas and oxygen up to a temperature of 700oC and cooled in air. The microstructure test using OM, ImageJ, and SEM-EDX; the hardness test using Macro Vickers; the thickness test using Calo Tester; the wear resistance test using Ogoshi Universal Wear Testing; and the adhesion strength test using Rockwell C. The OM and ImageJ tests show AlCrN triple rotation has the highest % particle (81.64%) and the SEM-EDX test showed macro particles and net-shaped structure with a dominant composition from Al. After burning AlCrN single rotation has a smooth surface and changes color from gray to blue. The Calo Test showed single rotation has the thickest (6.14 m) with the fastest deposition speed (0.213203324 nm/s). The Macro Vickers test showed single rotation is the hardest (941 HV). The hardness of AlCrN decreased after burned. The adhesion test showed double rotation is the strongest (HF1). The Ogoshi wear test showed double rotation has the lowest wear rate (0.000092 mm3/Nm). The single rotation has the lowest wear rate (0.00089851 mm3/Nm) after burned. Meanwhile, CrAlN reviewed from the literature study has a columnar and solid microstructure with a more dominant Cr composition. The hardness CrAlN with 10 μm is the hardest. The hardness decreased and change to blue after burned. The adhesion strength of 4.85 μm was the highest. The wear resistance of CrAlN shows no cracks and after burning at 120oC there is abraded material."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Fetus in fetu (FIF) adalah kelainan kongenital yang jarang ditemukan, muncul 1 dari 500 000 kelahiran dengan perbandingan laki-laki lebh banyak 2:1. Lebih dari 80 kasus telah dilaporkan dalam literatur dengan lokasi yang bervariasi mulai dari retroperitoneal dan intraperitoneal yang tersering sampai ke intracranial, intraoral dan intrascrotal. Tanda penting FIF yang dapat ditemukan secara radiologis adalah ditemukannya massa kistik jaringan lunak dengan komponen padat di dalamnya yang berbentuk seperti fetus dan memiliki organ-organ dengan diferensiasi yang tinggi antara lain seperti ditemukannya vertebra, tulang panjang, kranium, usus, ekstremitas, jari-jari, dll. Secara radiologis FIF penting untuk dibedakan dengan Teratoma karena kemungkinan untuk terjadinya keganasan lebih tinggi dan operasi eksisi massa perlu dilakukan secepatnya pada teratoma.

Abstract
Fetus in fetu (FIF) is a rare congenital anomaly, appear 1 in 500 000 births, with male to female ratio of 2:1. More than 80 cases have been reported in the literature with varied locations ranging from the most common retroperitoneal and intraperitoneal to intracranial, intraoral and intrascrotal. Essential signs that can be found in the FIF is a large cystic mass with a complex solid component inside with a fetusform and have organs with high differentiation such as the the vertebrae, long bones, skull, intestine, limb, fingers, etc. It is radiologicaly important to distinguish FIF with teratoma because of the possibility for the occurrence of malignancy and mass excision surgery should be done as early as possible for teratomas."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Misbahul Munir
"Penyakit atau gangguan pada rongga perut merupakan salah satu penyakit yang sering diderita pasien dengan keluhan di daerah perut. Alat diagnostik untuk memeriksa gangguan atau penyakit pada rongga perut antara lain menggunakan CT Scan. Pemeriksaan CT Scan whole abdomen 3 fase banyak dijumpai dibeberapa rumah sakit yaitu untuk melihat jalannya obat kontras pada fase arteri, vena dan delay. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi besarnya dosis radiasi, faktor resiko yang akan timbul setelah pemeriksaan serta menganalisa faktor yang menyebabkan besarnya nilai dosis yang diterima pasien. Pada penelitian ini, tahapan-tahapan yang dilakukan yaitu uji kesesuaian pesawat CT Scan untuk lingkup kualitas citra, akurasi CTDIvol antara konsol pesawat terhadap pengukuran. Dalam penelitian ini dilakukan juga estimasi dosis pada 25 pasien dengan menggunakan program imPACT CT Dosimetry. Pesawat CT Scan yang digunakan memenuhi syarat uji kesesuaian alat berdasarkan standar Australia Barat dan British Columbia CDC. CTDIvol pengukuran dibandingkan dengan CTDIvol pada pesawat CT Scan terdapat perbedaan sebesar 4,62 ? 9,40%. Organ yang paling besar mendapatkan dosis ekivalen adalah ginjal yaitu berkisar dari 32 mGy ? 140 mGy, dan dosis efektif diseluruh tubuh berkisar dari 15 mSv - 64 mSv. Potensi resiko tertinggi yang diterima oleh pasien dengan dosis efektif diseluruh tubuh 64 mSv adalah sebesar 0,32%. Penggunaan mode AEC merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi dosis radiasi yang diterima oleh pasien pada saat pemeriksaan CT Scan whole abdomen 3 fase.

Abdominal disease or disorder is a common problem occured in a patient with abdominal symptom. One of diagnostic equipment being used to diagnose the abdominal disorder is CT Scan. A whole abdomen CT scan 3 phase examination is often taken in many hospitals to see the passage of contrass agent in arterial, vein and delayed. The aim of this study is to calculate radiation dose, risk factor that will arise after the examination and also to analyze factors that effect the amount of dose received by patient. During the study several steps are taken which are compliance test of CT equipment on image quality and CTDIvol display accuracy against measurement. In this study we also estimate the dose on 25 patients using imPACT CT dosimetry software. The CT Scan equipment is passed the Western Australia and British Columbia CDC standard. Comparison between measured CTDIvoI and console show 4,62% - 9,40% difference. The organ that received highest equivalent dose is kidney 32 mGy- 140 mGy with total body effective dose between 15 mSv - 64 mSv. The highest potential risk patient received with total body effective dose 64 mSv is 0,32%. Application of AEC is one of the factor to reduce radiation dose patient received in examination with CT Scan whole abdominal 3 phase.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S1262
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sean Zeliq Urian
"Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh novel coronavirus SARS-CoV-2. Penyakit yang berasal dari Provinsi Hubei di China ini sudah menyebar ke seluruh dunia, menjangkiti banyak hingga seluruh negara di dunia. Sudah menginfeksi kurang lebih 400 juta jiwa di seluruh dunia pada pertengahan kuartal pertama tahun 2022. Mencegah penyebaran COVID-19 merupakan tindakan yang harus segera dilakukan, salah satu caranya adalah dengan pendeteksian sedini mungkin. Pendeteksian COVID-19 selain menggunakan metode kedokteran, dapat dipertimbangkan mengenai penggunaan artificial intelligence. Penelitian mengenai metode pendeteksian COVID-19 menggunakan citra X-Ray yang telah dilakukan oleh Dhita menuai hasil yang cukup sukses. Menambahkan penelitian tersebut, kami melakukan metode pendeteksian menggunakan citra CT Scan. Beberapa penelitian mengenai pendeteksian COVID-19 menggunakan citra CT Scan seperti Tang et al. meneliti mengenai segmentasi citra CT Scan terhadap daerah local lesi terindikasi COVID-19 atau Pneumonia. Rahimzadeh, Attar, and S. M. Sakhaei juga melakukan penelitian sebelumnya mengenai pengklasifikasian pasien COVID-19 menggunakan citra CT Scan dengan mendapatkan hasil 90% akurasi dengan menggunakan metode FPN.

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a disease caused by the novel coronavirus SARS-CoV-2. This disease which originates from the Hubei Province in China has already spread throughout the world, reaching many if not all countries in the world. There have been more than 400 million people infected across the globe as of the first quarter of 2022. Prevention of the spreading of the disease is very important, and one of the best ways to do so is to detect its infection as soon as possible. Aside from asking a doctor, the task of detecting COVID-19 using artificial intelligence has been considered. The research done by Dhita to detect COVID-19 using X-ray images has been seen as a success. Adding to that, we attempt to detect COVID-19 using CT Scan images. A couple research papers about detecting COVID-19 using CT Scan images such as the ones done by Tang et al. tried to segment CT Scan images related to the lesions that indicate COVID-19 or Pneumonia. Rahimzadeh, Attar, and S. M. Sakhaei also conducted research related to classifying COVID-19 patients using CT Scan images and found success at 90% accuracy with an FPN model."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Apriyani S
"Pemeriksaan yang paling tepat dalam menentukan volume jaringan lemak visceral dilakukan dengan menggunakan modalitas CT-scan. Namun karena setiap slice citra memiliki bentuk dan lokasi lemak visceral yang berbeda-beda, maka penentuan volume menjadi tidak mudah. Sehingga, Computer Aided Diagnosis (CAD) dapat dijadikan salah satu solusi untuk membantu tenaga ahli dalam pembacaan citra dan menganalisa area lemak terutama area lemak visceral pada citra abdomen dengan lebih akurat. Dalam penelitian ini, sistem CAD dikembangkan dengan menggunakan metode segmentasi Thresholding, ekstrasi ciri berbasis Gray Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) dan klasifikasi citra lemak visceral menggunakan Multilayer Perceptron (MLP). Penelitian ini mengolah data 665 citra CT-scan abdomen dari 38 pasien yang diperoleh dari Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Data tersebut dibagi menjadi 70% citra sebagai data pelatihan dan 30% citra sebagai data pengujian. Hasil performa sistem CAD yang direpresentasikan sebagai tingkat keakurasian dengan nilai sebesar 98.73% untuk data pelatihan dan 95.58% untuk data pengujian. Selain itu, juga diperoleh informasi bahwa hasil kalkulasi volume area jaringan lemak visceral dengan nilai terbesar yaitu sebesar 1238.89 dengan tebal slice sebesar 5 mm. Sedangkan ketebalan 10 mm diperoleh volume sebesar 1072.91 Sementara untuk hasil kalkulasi volume area jaringan lemak visceral terkecil sebesar 107.57 pada ketebalan 5 mm. Sedangkan ketebalan 10 mm diperoleh volume sebesar 47.43 . Evaluasi pada proses segmentasi dilakukan menggunakan metode SSIM dengan mengahasilkan nilai rata-rata SSIM untuk keseluruhan data sebesar 0.843 pada data latih dan 0.838 pada data uji. Dari hasil penelitian ini, sistem CAD berhasil dikembangkan untuk membantu dalam proses mengestimasi volume area jaringan lemak visceral. Namun, tingkat keakurasian antara kalkulasi volume lemak visceral menggunakan sistem CAD dan software CT-scan belum dapat diperoleh dengan baik.

The most precise examination in determining the volume of abdominal fat tissue is using a CT-scan modality. However, because each slice image has a different shape and location of visceral fat, it is not easy to determine the volume. So that, Computer Aided Diagnosis (CAD) can be used as a solution to assist experts in reading images and analyzing fat areas, especially visceral fat areas on abdominal images more accurate. In this study, a CAD system was developed using the Thresholding segmentation method, feature extraction based on Gray Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) for the identification of abdominal fat. Next, in the classification process, the visceral fat area is separated from the subcutaneous fat area using Multilayer Perceptron (MLP). This study processed data from 665 abdominal CT-scan images from 38 patients obtained from Persahabatan Hospital. The data is divided into 70% images as training data and 30% images as test data. The results of the CAD system performance are represented as the level of accuracy with a value of 98.73% for training data and 95.58% for test data. In addition, information was also obtained that the calculation of the volume of visceral fat tissue areas with the largest value of 1238.89 with a slice thickness of 5 mm. While the thickness of 10 mm obtained a volume of 1072.91 Calculation of the volume of the volume area of ​​the smallest visceral fat tissue of 107.57 at 5 mm thickness. While the thickness of 10 mm obtained a volume of 47.43 . Evaluation of the segmentation process was carried out using the SSIM method by producing an average SSIM value for the entire data of 0.843 in the training data and 0.838 in the test data. From the results of this study, a CAD system was successfully developed to assist in the process of estimating the volume of visceral fat tissue area. However, the level of accuracy between the calculation of visceral fat volume using CAD systems and CT-scan software has not been obtained properly.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marwazi
"Computed Tomography (CT) merupakan modalitas sinar-X untuk membuat citra organ dalam tiga dimensi. Akuisisi citra dilakukan dengan perputaran tabung sinar-X yang disertai gerakan meja, sehingga tabung mengelilingi pasien dalam bentuk spiral. Gerakan meja pasien persatu rotasi gantry dibagi lebar kolimator pada isocenter dikenal dengan pitch, yang berpengaruh pada kualitas citra maupun dosis radiasi pada pasien. Telah diobservasi profil ditribusi dosis sepanjang sumbu-Z fantom simulasi toraks in house berbentuk silinder elips dengan ukuran 28 cm × 21 cm dan panjang 22 cm. Fantom terbuat dari bahan PMMA dengan Hounsfield Unit (123,10 ± 3,96 HU) dilengkapi dengan objek simulasi paru dari gabus patah (-790,60 ± 15,55 HU), dan tulang belakang dari material teflon dengan (918,60 ± 7,35) balok dan silinder untuk tempat film gafchromic ukuran 1 cm x 25 cm. Posisi film ditandai dengan 1-9 dengan koordinat berturut turut (0, 0), (5, 0), (10, 0), (-5, 0), (-10, 0), (0, 4), (0, 8), (0,-4), (0,-8). Citra fantom diakuisisi dengan kondisi eksposi 120 kV,100 mAs dan pitch 0,8, 1,0, dan 1,5. Dosis minimum terjadi pada awal dan akhir scan untuk seluruh profil dan nilai pitch, dosis rata-rata material paru (2, 3, 4, dan 5) dalam rentang (2,49-2,90) mGy untuk pitch 0,8 dan (2,36-2,88) mGy untuk pitch 1,0, serta (2,33-2,74) mGy untuk pitch 1,5, relatif lebih rendah disbanding dengan pada jaringan lunak dan tulang. Dosis maksimum selalu terjadi di pertengahan sumbu-Z. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan pitch 0,8 dan 1,0 tidak memberikan perbedaan dosis yang signifikan dan menurunkan dosis rata-rata pada pitch 1,5. Selain itu dosis maksimum tidak selalu terjadi di pertengahan sumb-z dikarenakan oleh material isotropis.

Computed Tomography (CT) is an X-ray modality for scanning organ in three dimensional images. Image acquisition is performed by rotating X-ray tube that match with table movements, there by the tube can cover patient body in a spiral scan. Patient table movements by gantry rotation divided by the width of the collimator on the isocenter is known as a pitch, which affects the image quality and radiation dose in the patient. A dose distribution profile has been observed along the z-axis of the in-house thorax phantom simulation in an elliptical cylinder form with the size of 28 cm x 21 cm and 22 cm length. Phantom is made from PMMA with Hounsfield Unit (123.10 ± 3.96 HU) was equipped with a lungs simulation object using a cork (-790.60 ± 15.55 HU), a spine using Teflon material (918.6 ± 7.35 HU), and 9 bar and a cylinder to place 1 cm x 25 cm gafchromic films. The position of the film was marked with point position 1-9 for the series of coordinates (0,0), (5, 0), (10, 0), (-5, 0), (-10, 0), (0, 4), (0, 8), (0,-4), (0, -8) cm. The phantom images was performed with an exposure condition by 120 kV, 100 mAs and pitch variations (0.8, 1.0 and 1.5). The minimum dose occured at the beginning and end of the scan for all profiles and pitch values. The average dose of lung material (2, 3, 4, and 5) in the range (2.49-2.90) mGy for pitch 0.8, (2.36-2.88) mGy for pitch 1.0 and (2.33-2.74) mGy for pitch 1.5. The dose in lung was relatively lower compared to the dose in soft tissue and bone. The maximum dose always occur in the middle of the z-axis. It can be concluded that the use of pitch 0.8 and 1.0 did not provide a significant dose difference and reduced the average dose on pitch 1.5. Moreover, the maximum dose does not always occur in the middle of the z-axis due to an isotropic material."
Depok: Universitas Indonesia, 2020
T55322
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>