Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194095 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Prakoso Adji
"Latar belakang: Prosedur laringoskopi dan intubasi merupakan prosedur di bidang anestesi yang sering dilakukan namun merupakan prosedur yang mencetuskan rangsang nyeri yang hebat. Tekanan darah dan laju nadi dapat meningkat karena rangsang simpatis. Respon kardiovaskular tersebut dapat berbahaya pada pasien yang rentan, terutama yang memiliki masalah gangguan jantung ataupun serebrovaskular. Salah satu metode untuk mengurangi hal tersebut adalah penggunaan anestesi, termasuk dengan lidokain. Peningkatan kadar plasma lidokain yang diberikan dengan intravena dapat menimbulkan berbagai efek samping. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek lidokain yang diberikan secara inhalasi.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sebanyak 24 pasien diberikan inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dan 25 subjek diberikan inhalasi NaCl 0.9% sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Paramater kardiovaskular yang diteliti yakni perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, mean arterial pressure (MAP) dan laju nadi yang dinilai secara serial.
Hasil. Pada menit pertama pasca intubasi, MAP dan laju nadi pada kelompok NaCl lebih tinggi, dengan perbedaan MAP sebesar 15,5 mmHg(9,2-21,7 95%IK; p<0,001) dan laju nadi sebesar 9,5 denyut/menit (4,8-14,2 95% IK; p<0,001). Pada menit ke-3 pasca intubasi, perbedaan MAP dan laju nadi kedua kelompok yakni 16,6 mmHg (9,6-23,6 95%IK; p <0,001) dan 11,2 denyut/menit (5,2-17,2 95%IK ; p<0,001 ). Pada menit ke-5 pasca intubasi, tetap terdapat perbedaan bermakna variabel MAP dan laju nadi kedua kelompok, yakni 16,7 mmHg (11,3-22,2 95%IK; p<0,001) dan 10,0 denyut/menit (3,5-16,5 95%IK; p=0,03).
Simpulan. Inhalasi lidokain mampu menekan respon peningkatan tekanan darah dan laju nadi akibat rangsang nyeri dan stimulasi simpatis akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.

Background. Laryngoscopy and intubation are routine anaesthesiological procedures which stimulate great amount of pain. Blood pressure and heart rate can be increased by symphatetic stimulation. Laryngoscopy and intubation procedure is a procedure in the field of anesthesia is often done however is a procedure which sparked great pain stimuli. Blood pressure and pulse rate can be increased by stimulation of the sympathetic. The cardiovascular response can be harmful in patients who are vulnerable, especially those who have cardiac or cerebrovascular problems. One method to reduce these was the use of anesthetics, including lidocaine. Increased plasma levels of lidocaine given intravenously can cause various side effects. This study aimed to assess the effects of lidocain inhalation.
Methods. Method. This study was a randomized, double-blind clinical trial on patients at the Surgical Center Installation Cipto Mangunkusumo. A total of 24 patients were given inhaled lidocaine 1.5 mg / kg and 25 subjects were given inhaled NaCl 0.9% before laryngoscopy and intubation. Cardiovascular parameters being investigated were changes in systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP) and heart rate in a serial manner.
Results. In the first minute after intubation, MAP and heart rate were higher in NaCl group. The difference in MAP was 15.5 mmHg (95% CI 9.2 - 21.7; p <0.001) while heart rate was 9.5 beats / min (95% CI 4.8 - 14.2; p <0.001). In the 3rd minute after intubation, MAP and heart rate kept different in both groups: 16.6 mmHg (95% CI 9.6 - 23.6; p <0.001) and 11.2 beats / minute (5.2 - 17, 2, 95% CI; p <0.001), respectively. In the 5th minute after intubation, MAP and heart rate remained different between two groups: 16.7 mmHg (95% CI 11.3 - 22.2; p <0.001) and 10.0 beats / min (3.5 - 16.5, 95% CI; p = 0.03), respectively.
Conclusions. Lidocain inhalation was able to suppress the increased of blood pressure and heart rate due to pain stimuli and sympathetic stimulation after laryngoscopy and intubation."
Depok: Universitas Indonesia, [;2016, 2016]
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur’aini Alamanda
"Latar Belakang : Intubasi endotrakeal dan laringoskopi direk merupakan standar baku mas dalam tatalaksana jalan nafas baik pada keadaan emergency ataupun tidak. Peningkatan tanggapan kardiovaskular karena rangsangan simpatis merupakan komplikasi tersering saat intubasi. Tanggapan kardiovaskular ini dapat berbahaya bagi pasien-pasien yang berisiko, terutama yang memiliki masalah gangguan jantung dan serebrovaskular. Metode pemilihan bilah merupakan salah satu teknik non farmakologi yang digunakan untuk mengurangi tanggapan kardiovaskular yang timbul akibat intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tanggapan kardiovaskular dan kemudahan intubasi antara laringoskop McCoy dan Macintosh.
Metode : Uji klinis acak tersamar tunggal, dengan 78 pasien yang akan menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu McCoy dan Macintosh. Kriteria inklusi adalah 18-65 tahun dengan status fisik ASA 1 dan ASA 2 tanpa penyulit jalan nafas. Midazolam 0,05mg/kgBB dan fentanyl 2mcg/kgBB diberikan 2 sebagai agen koinduksi. Induksi anestesia menggunakan propofol 2mg/kgBB, dilanjutkan dengan pemberian rocuronium 0,6mg/kgBB setelah dipastikan hilangnya refleks bulu mata. Tanggapan kardiovaskular yang diukur (tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi). Intubasi dikatakan mudah bila dilakukan dalam waktu kuang dari 10 menit dan tidak lebih dari 3 kali percobaan.
Hasil : Pada menit pertama pasca intubasi, tekanan darah sistolik, diastolik, dan lau denyut nadi kelompok McCoy lebih tinggi dibandingkan Macintosh, dengan perbedaan tekanan sistolik -2,38 (-9,93-5,16), tekanan diastolik -1,07(-7,313-5,15 95%IK), laju denyut nadi 2,79(-2,69 – 8,28). Pada menit ke-3 pasca intubasi, tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi kelompok McCoy tetap lebih tinggi dibandingkan dengan Macintosh, dengan perbedaan tekanan sistolik -1,23 (-8,51-6,05), tekanan diastolik -0,97(-6,69-4,75), tekanan arteri rerata -0,65(-6,27-4,97), dan laju denyut nadi 0,89(-3,99-5,78).
Kesimpulan : Intubasi dengan laringoskop McCoy tidak mampu menekan tanggapan kardiovaskular yang timbul akibat rangsang nyeri dan stimulasi simpatis.

Background : Endotracheal intubation with direct laryngoscopy is the gold standard of airway management. Increasing cardiovascular response due to sympathetic stimulation is the most common complication during intubation. This cardiovascular response can be dangerous for patients at risk, especially those who have cardiac and cerebrovascular disorders. The blade selection method is a non pharmacological technique that can be employed to reduce cardiovascular response of intubation. This study aims to compare the cardiovascular response and intubation ease between McCoy and Macintosh laryngoscopy.
Method : This is a single blind randomized clinical study on 78 adult patients undergoing endotracheal intubation for elective general anesthesia. Subjects are divided into 2 groups: McCoy and Macintosh. The inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1 and ASA 2 without airway difficulty. All patients received the same anesthesia regiment of midazolam 0,05mg/kg, fentanyl 2mcg/kg, propofol 2mg/kg, and rocuronium 0,6mg/kg. After loss of eyelash reflex, laryngoscopy was performed Cardiovascular response measured includes systolic pressure, diastolic pressure, mean arterial pressure, and heart rate. Intubation is considered to be easy if it is done in less than 10 minutes and not more than 3 trials.
Results: In the first minute after intubation, systolic, diastolic blood pressure, and heart rate in McCoy group were higher than Macintosh group, with a difference in systolic pressure of -2.38 (-9.93-5.16) mmHg, diastolic pressure -1.07 (-7.313-5.15 95% CI) mmHg, pulse rate 2.79 (-2.69-8.28) beats per minute. In the 3rd minute after intubation, systolic pressure, diastolic pressure, mean arterial pressure, and heart rate of McCoy group remained higher compared to the Macintosh, with a difference of systolic pressure -1.23 (-8.51-6.05) mmHg, pressure diastolic -0.97 (-6.69-4.75) mmHg, mean arterial pressure -0.65 9-6.27-4.97) mmHg, and pulse rate 0.89 (-3.99-5.78) beats per minute
Conclusion : Intubation with McCoy’s laryngoscope was unable to suppress cardiovascular response arising from pain and sympathetic stimulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Darmawan
"Latar belakang: Laringoskopi dan intubasi endotrakeal adalah prosedur untuk memfasilitasi pengelolaan jalan nafas dan ventilasi pada anestesi umum. Prosedur ini dapat menyebabkan perubahan variabel hemodinamik akibat respon saraf simpatis. Fentanyl merupakan agonis opioid dengan onset cepat dan durasi pendek yang dapat menekan respon saraf simpatis. Oxycodone menjadi agonis opioid kuat dengan potensi mirip morfin dan onset mirip fentanyl. Laporan penggunaan oxycodone dalam menekan tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada pasien yang menjalani anestesi umum di Indonesia sampai saat ini belum banyak dilaporkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak tersamar ganda pada 64 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum menggunakan pipa endotrakeal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi blok; Grup A 32 pasien dan grup B 32 pasien. Sebelum induksi anestesi, Grup A diberikan fentanyl 2 µg/kg dan Grup B diberikan oxycodone 0,2 mg/kg. Penilaian hemodinamik menggunakan variabel sistolik, diastolik, MAP, dan denyut jantung pada saat sebelum diberikan premedikasi, sesaat sesudah diberikan premedikasi, dan setelah dilakukan laringoskopi dan intubasi. Variabel hemodinamik ini dicatat dan dianalisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan.
Hasil: Pada variabel denyut jantung menunjukkan perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dengan nilai P < 0,05. Pada variabel sistolik, diastolik dan MAP menunjukkan tidak ada perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dimana nilai P > 0,05.
Simpulan: Terdapat perbedaan efektivitas oxycodone dibandingkan fentanyl dalam mengurangi tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada anestesi umum berupa denyut jantung, namun tidak dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan MAP.

Background: Laryngoscopy and endotracheal intubation are procedures to facilitate the management of airway and ventilation in general anesthesia. These procedures can cause changes in the hemodynamic variables due to the sympathetic nerve response. Fentanyl is an opioid agonist with rapid onset and short duration that can suppress sympathetic nerve responses. Oxycodone becomes a strong opioid agonist with morphine-like potential and fentanyl-like onset. Reports of the use of oxycodone in suppressing the hemodynamic response due to laryngoscopy and intubation in patients undergoing general anesthesia in Indonesia have not been reported so far.
Method: This study used a double blind randomized clinical trial method in 64 patients who underwent surgery under general anesthesia using endotracheal tubes. Patients were divided into two groups with block randomization; Group A 32 patients and group B 32 patients. Before induction of anesthesia, Group A was given fentanyl 2 µg/kg and Group B was given oxycodone 0.2 mg/kg. Hemodynamic assessment uses the systolic, diastolic, MAP, and heart rate variables before premedication, shortly after premedication, and after laryngoscopy and intubation. These hemodynamic variables were recorded and analyzed using an unpaired T test.
Results: The heart rate variable showed a significant difference between fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P < 0.05. In the systolic, diastolic and MAP variables showed no significant difference between the fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P > 0.05.
Conclusion: There is a difference in the effectiveness of oxycodone compared to fentanyl in reducing hemodynamic responses due to laryngoscopy and intubation under general anesthesia in the form of heart rate, but not in terms of systolic blood pressure, diastolic blood pressure and MAP."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2019
T58833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini
"Luka Bakar merupakan suatu kondisi dimana terjadi kerusakan integritas kulit yang dapat menimbulkan nyeri pada pasien. Perawatan luka yang dilakukan dapat menyebabkan nyeri ringan sampai berat. Dampak dari nyeri adalah pelepasan adrenalin yang berdampak pada peningkatan tekanan darah. Metode : menggunakan Quasi-experimental dengan Cross Over Design. Analisa data yang digunakan untuk data numerik skala nyeri pada kelompok kontrol dan intervensi menggunakan uji T berpasangan, sedangkan untuk tekanan darah pada responden yang tidak mendapatkan terapi musik dan yang mendapatkan terapi musik saat perawatan luka menggunakan uji Chi Square. Hasil : secara statistik terdapat perbedaan tingkat skala nyeri yang diberikan terapi musik saat perawatan luka dengan nyeri saat perawatan luka tanpa musik dengan (p=0,001), sedangkan untuk tekanan darah tidak ada pengaruh yang signifikan (p=0,057) . Simpulan : terapi musik dapat digunakan sebagai terapi penunjang saat dilakukan perawatan luka bakar.

Burns is a condition where the skin has damage and cause pain in patients. Wound care can cause unpleasant or painful feelings of pain intensity from mild to severe. The impact of pain is the release of adrenaline which can result in increased blood pressure. Methods: This study used a quasi-experimental with cross over design. Pain scale using the Numeric Pain Scale measuring tool, whereas blood pressure using spignomanometer. To compare the pain scale before being given music therapy and after given music therapy using paired t test analysis, for blood pressure using Chi square analysis. Results: Musical therapy gave a significant effect related to patient’s pain scale during wound care (p=0.001), while it has insignificant effect on blood pressure (p = 0,057). Conclusions: Musical therapy could be use as an adjuvant therapy when wound care is applied on burn patient."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T41942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Nabilah Johan
"Sistem kardiovaskular pada lansia mengalami perubahan secara fisiologis selama proses penuaan. Namun, gaya hidup lansia yang kurang sehat menjadi faktor pendukung terjadinya peningkatan tekanan darah secara progresif, yang dapat mengarah pada masalah hipertensi. Seorang lansia kelolaan dalam penulisan ini memiliki gaya hidup merokok dan stres, serta tidak patuh pada program pengobatan yang membuat tekanan darahnya mengalami fluktuasi. Sehingga masalah keperawatan utama yang ditegakan adalah risiko ketidakstabilan tekanan darah dan rencana asuhan keperawatan yang dipilih yaitu manajemen hipertensi melalui modifikasi gaya hidup. Intervensi unggulan cucumber infused water dan terapi slow deep breathing yang merupakan bagian dari modifikasi gaya hidup dilakukan pada pasien. Cucumber infused water melalui perendaman 12 potong mentimun dalam 200 ml air selama 12 jam dan terapi slow deep breathing dengan 6 napas per menit selama 15 menit yang dilakukan selama 12 hari memberikan hasil adanya penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik terjadi sebesar 4,17 mmHg dan 0,42 mmHg setelah penerapan intervensi cucumber infused water serta sebesar 4,67 mmHg dan 2,75 mmHg setelah penerapan intervensi slow deep breathing. Oleh karena adanya efek penurunan pada tekanan darah lansia tersebut, membuat intervensi ini dapat dilakukan secara berkala sesuai indikasi.

The cardiovascular system in elderly undergoes physiological changes during the aging process. However, the unhealthy lifestyle in elderly is a contributing factor to the progressive increase in blood pressure, which can lead to hypertension problems. An elderly managed in this paper has a smoking and stressful lifestyle, and doesn’t comply with a treatment program that makes his blood pressure fluctuate. So that the main nursing problem that is enforced is the risk of blood pressure instability and the chosen nursing care plan is hypertension management through lifestyle modification. The superior intervention of cucumber infused water and slow deep breathing therapy which is part of lifestyle modification is carried out on the patient. Cucumber infused water through soaking 12 pieces of cucumber in 200 ml of water for 12 hours and slow deep breathing therapy with 6 breaths per minute for 15 minutes for 12 days gave the results of lowering blood pressure. The decrease in systolic and diastolic blood pressure occurred by 4.17 mmHg and 0.42 mmHg after the implementation of the cucumber infused water intervention and 4.67 mmHg and 2.75 mmHg after the implementation of the slow deep breathing intervention. Because of the decreasing effect on the elderly's blood pressure, this intervention can be carried out periodically according to indications."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Levina Azarine T.
"Latar Belakang. Tekanan darah tinggi merupakan ancaman terhadap kesehatan pada masyarakat termasuk usia produktif khususnya pekerja. Berdasarkan status pekerjaan utama, sebanyak 65% proporsi penduduk DKI Jakarta merupakan karyawan ataupun buruh. Gaya hidup sedenter berkontribusi terhadap kesehatan secara umum dan meliputi berbagai lapisan masyarakat termasuk pekerja. Individu yang sedenter maupun memiliki tingkat kebugaran yang rendah meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan seperti hipertensi. Aktivitas fisik dan kebugaran cukup berhubungan, dengan demikian penilaian tingkat kebugaran dapat menggambarkan profil kesehatan yang salah satunya diukur dengan tekanan darah. Peregangan merupakan aktivitas fisik yang memperbaiki fleksibilitas dan berpotensi memiliki hubungan dengan tekanan darah karena adanya perbaikan kekakuan pembuluh darah pada individu yang melakukan peregangan secara teratur. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari corporate wellness program. Subjek yang berusia 19-59 tahun, memiliki kelengkapan data fleksibilitas dan tekanan darah, serta tidak mengkonsumsi obat yang mempengaruhi tekanan darah. Pasien yang tidak memiliki data yang lengkap di eksklusi. Hasil. Didapatkan 54% subjek berjenis kelamin laki-laki dengan nilai tengah usia subjek 36 tahun. Sebanyak 85,5% subjek memiliki tekanan darah yang normal dengan 78,3% memiliki fleksibilitas yang cukup. Secara statistik tidak didapatkan hubungan antara jenis kelamin dan tekanan darah, juga tidak didapatkan hubungan antara fleksibilitas dan tekanan darah. Kesimpulan. Faktor usia berhubungan dengan tekanan darah, sedangkan jenis kelamin dan fleksibilitas tidak memiliki hubungan terhadap tekanan darah.

Background. High blood pressure is a threat to human health, including to people at productive age, especially workers. Based on the main occupation status, 65% population of DKI Jakarta are employees or laborers. Sedentary lifestyle contributes to general health including workers. Sedentary individuals or those who have low fitness levels increase the risk of health problems such as hypertension. Physical activity and fitness are quite related, thus the assessment of fitness level can describe a health profile, one of which is measured by blood pressure. Stretching is a physical activity that improves flexibility and has the potential to be associated with blood pressure due to the improvement in stiffness of blood vessels in individuals who stretch regularly. Method. This research is a cross-sectional study using secondary data from the corporate wellness program. Subjects aged 19-59 years, have complete flexibility and blood pressure data, do not take specific medication that affect blood pressure. Uncomplete data were excluded. Results. It was found that 54% of the subjects were male. The mean age of the subjects were 36 years. As many as 85,5% of subjects had normal blood pressure with 78,3% having sufficient flexibility. There was no statistical relationship between sex and blood pressure, nor was there a relationship between flexibility and blood pressure. Conclusion. The age was a related factor to blood pressure, while gender and flexibility had no relationship to blood pressure."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Reza
"ABSTRAK
Latar belakang. Cedera inhalasi dapat terjadi saluran napas atas hingga bawah. Sebagai prediktor diagnosis cedera inhalasi di instalasi gawat darurat IGD masih terbatas pada temuan klinis adanya edema laring pada saluran napas atas. Bronkoskopi sebagai baku emas diagnostik cedera inhalasi belum dapat dilakukan di IGD. Penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antara temuan klinis edema laring dengan temuan bronkoskopi pada pasien luka bakar dengan cedera inhalasi.Metode. Studi potong lintang retrospektif pada 18 subjek. Di IGD dilakukan laringoskopi untuk menilai adanya edema laring. Hanya subjek yang dilakukan pemasangan selang endotrakeal dan dilakukan bronkoskopi dimasukkan sebagai kriteria inklusi, sedangkan derajat cedera inhalasi dibagi menurut kriteria Chou yang diamati melalui bronkoskopi.Hasil. Subjek terbanyak pria yaitu 16 subjek. Usia berkisar antara 19-56 tahun. Luas luka bakar berkisar antara 5-95 . Dari 14 subjek didapatkan adanya edema laring. Dari 14 subjek yang didapatkan edema laring, 13 subjek terdapat cedera inhalasi. Hubungan antara temuan klinis edema laring dengan adanya cedera inhalasi yang diamati melalui bronkoskopi memiliki nilai sensitivitas 76,4 , spesifitas 0 .Kesimpulan. Adanya edema laring berhubungan dengan cedera inhalasi pada saluran napas bawah meski secara statistik belum signifikan serta belum mampu menunjukkan akurasi derajat cedera inhalasi.

ABSTRACT
Background. Inhalation injury may occur from the upper until the lower respiratory tract. In the ER, diagnose of inhalation injury only suspected from the presence of laryngeal edema based on laryngoscopy. Bronchoscopy as a gold standard diagnostic of inhalation injury could not been done in the ER. This study was conducted to determine the association between clinical findings of laryngeal edema and bronchoscopic findings in burns which is suspected inhalation injury.Objectives. This study was conducted to determine the association between clinical findings of laryngeal edema and bronchoscopic findings in burns which is suspected inhalation injury.Materials and Methods. A retrospective cross sectional study was conducted in 18 subjects. In the ER laryngoscopy was performed to assess the presence of laryngeal edema. Only subjects which is intubated and bronchoscopy were included as inclusion. The degree of inhalation injury was divided according to the Chou criteria which is observed through bronchoscopy.Results. Subjects most are men 16 subjects. Age ranges from 19 56 years. Burns range between 5 95 . 14 subjects presences larygeal edema. Of the 14 subjects who had laryngeal edema, 13 subjects had inhalation injury. The association between laryngeal edema in the presence of inhaled injury observed through bronchoscopy has a sensitivity value of 76.4 , a specificity of 0 .Conclusions. In this study The presence of laryngeal edema associated with inhalation injury in the lower airway although not statistically significant and has not been able to show the accuracy of the degree of inhalation injury. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Christin Natalia
"Hipertensi adalah penyakit degeneratif yang salah satu faktor penyebabnya adalah penuaan. Penuaan dapat dipicu oleh stres oksidatif, yang mana merupakan ketidakseimbangan antara antioksidan dan RONS (reactive oxygen-nitrogen species). Antioksidan di dalam tubuh ada banyak, salah satunya adalah enzim katalase. Enzim katalase berperan dalam mengubah hidrogen peroksida menjadi air. Sebelumnya, belum diketahui hubungan antara enzim katalase dengan penyakit degeneratif, dalam hal ini adalah hipertensi. Sampel yang digunakan berjumlah 94 sampel. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross-sectional. Data yang dibutuhkan adalah tekanan darah dan aktivitas enzim katalase eritrosit. Aktivitas enzim katalase didapatkan dari lisat eritrosit sampel dengan bantuan spektrofotometer yang mana perhitungan absorbansinya dilakukan pada panjang gelombang 210 nm. Keseluruhan data kemudian dianalisis korelasinya menggunakan Uji Korelasi Pearson karena distribusi keseluruhan data normal. Uji T-test juga dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok sampel hipertensi dan normotensi. Tidak ada korelasi antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik dan diastolik populasi lansia secara keseluruhan (p>0,05). Akan tetapi, ditemukan korelasi lemah pada hubungan antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik kelompok populasi normotensi, juga antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah diastolik kelompok populasi hipertensi (p<0,05). Hasil uji T-test menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok hipertensi dan normotensi (p>0,05). Aktivitas enzim katalase eritrosit berkorelasi lemah dengan tekanan darah sistolik pada kelompok populasi lansia dengan normotensi, juga dengan tekanan darah diastolik pada kelompok populasi lansia dengan hipertensi.

Hypertension is a degenerative disease which one of the causes being aging. Aging can be triggered by oxidative stress, which is an imbalance between antioxidants and RONS (reactive oxygen-nitrogen species). There are many antioxidants in the body, one of which is the enzyme catalase. Catalase enzyme plays a role in converting hydrogen peroxide into water. Previously, there was no known relationship between the catalase enzyme and degenerative diseases, in this case hypertension. The sample used is 94 samples. The research was carried out using a cross-sectional method. The data needed are blood pressure and erythrocyte catalase enzyme activity. The activity of the catalase enzyme was obtained from the sample erythrocyte lysate with the help of a spectrophotometer where the absorbance calculation was carried out at a wavelength of 210 nm. The entire data was then analyzed for correlation using the Pearson Correlation Test because the overall data distribution was normal. T-test was also performed to see whether or not there was a difference between the mean values of the catalase enzyme activity data for the hypertensive and normotensive groups. There was no correlation between catalase enzyme activity and systolic and diastolic blood pressure in the elderly population as a whole (p>0.05). However, a weak correlation was found in the relationship between catalase enzyme activity and systolic blood pressure in the normotensive population group, as well as between catalase enzyme activity and diastolic blood pressure in the hypertensive population group (p<0.05). The results of the T-test showed that there was no significant difference between the mean values of the catalase enzyme activity data in the hypertension and normotensive groups (p>0.05). The activity of the erythrocyte catalase enzyme was weakly correlated with systolic blood pressure in the normotensive elderly population group, as well as with diastolic blood pressure in the elderly population group with hypertension."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardja Priatna
"Tekanan darah bervariasi secara diurnal. Studi terdahulu telah menunjukkan, bahwa ada hubungan antara tekanan darah khususnya tekanan darah sistolik dengan hipertrofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi dengan koefisien korelasi yang bervariasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui apakah pada subyek normotensi, tekanan darah diukur secara ambutatorik 24 jam sudah mempengaruhi indeks massa ventrikel kiri. Untuk mengetahui koretasi antara tekanan darah baik secara kasual maupun ambulatorik 24 jam dengan indeks massa ventrikel kiri pada subyek normotensi, telah dilakukan penelitian di RSJHK terhadap 42 karyawan bidang administrasi RSJHK. Semua subyek termasuk normotensi pada pengukuran kasual. Tiga di antaranya dieksklusi karena kelainan katup, dan gangguan pada pemeriksaan ambulatorik 24 jam sehinggga tidak memenuhi syarat untuk dianalisis. Subyek penelitian semuanya laki-Iaki, berumur 37,81 ± 4,65 tahun. Penelitian dilakukan dalam periode Nopember 1997 sampai dengan Juli 1998. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif.

Blood pressure varies diurnally. Previous studies have shown that there is a relationship between blood pressure, especially systolic blood pressure, and left ventricular hypertrophy in hypertensive patients with varying correlation coefficients. This study aims to find out whether in normotensis subjects, blood pressure measured ambutatorically at 24 hours has affected the left ventricular mass index. To determine the correlation between blood pressure both casually and ambulatory 24 hours with the left ventricular mass index in normotensis subjects, a study has been conducted at RSJHK on 42 employees in the field of administration of RSJHK. All subjects included normotensis to casual measurements. Three of them were excluded due to valve abnormalities, and interference with the 24-hour ambulatory examination so they were not eligible for analysis. The research subjects were all male, aged 37.81 ± 4.65 years. The research was conducted in the period from November 1997 to July 1998. Data collection is carried out prospectively "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Halim
"Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara masukan Ca, kadar ion Ca serum dengan tekanan darah primigravida dengan usia kehamilan 24, 32 dan 36 minggu dalam rangka poncegahan terjadinya Preeklampsia.
Tempat : Poliklinik Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan FKUI Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Bersalin Budi Kemuliaan.
Bahan dan Cara: Penelitian dilakukan pada wanita primigravida dengan usia kehamilan 24 minggu yang memenuhi kriteria. Mula-mula dikumpulkan data-data mengenai sosiodemografi dan pamoriksaan masukan Kalori, Protein, Ca, kadar ion Ca serum dan tekanan darah, kemudian pada usia kehamilan 28 minggu diperiksa tekanan darah, usia kehamilan 32 minggu masukan Kalori, Protein, Ca dan tekanan darah, akhirnya pada usia kehamilan 36 minggu diperiksa masukan Kalori, Protein, Ca, kadar ion Ca serum dan tekanan darah. Data karakteristik disajikan secara deskriptif, sedangkan analisis dilakukan dengan uji statistik t dan x2.
Hasil: Dari 86 subyek penelitian yang diteliti, rata-rata masukan Ca nya pada usia kehamilan 24, 32 dan 36 minggu lebih rendah dari AKO, masing-masing 63%,76% dan 63%, rata-rata kadar ion Ca serumnya pada usia kehamilan 24 dan 36 minggu, dalam batas normal, masing-masing 1,06 dan 1,05 mmol/l, 7 orang (8,1%) menderita Preeklampsia. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara Preeklampsia dengan variabel yang diteliti yaitu umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, status gizi, masukan Ca dan kadar ion Ca serum.
Kesimpulan: Masukan Ca dan kadar ion Ca serum tidak ada hubungan bermakna dengan terjadinya Preeklampsia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>