Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124780 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lee, Han Seung
"Bantuan luar negeri merupakan topik penting dalam kajian pembangunan maupun ilmu hubungan internasional. Hingga saat ini, sebagian besar penelitian mengenai bantuan luar negeri berfokus pada motif dari negara donor, hubungan antara negara pemberi dan penerima, dan efektivitas bantuan sendiri. Tidak banyak penelitian dilakukan untuk membandingkan kebijakan ODA negara dengan negara lain padahal kebijakan ODA setiap negara memiliki ciri khas yang menonjol. Khususnya, ketiga negara di Asia Timur yakni Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan mempunyai karakteristik masing-masing dalam kebijakan ODA mereka.
Dalam ulasan literatur ini, kebijakan ODA Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan akan dibandingkan. Proses membandingkannya dapat dibagi menjadi dua bagian secara garis besar. Pertama, secara kronologis, sejarah perkembangan kebijakan ODA dari ketiga negara akan diperkenalkan. Kedua, melalui taxonomy karakteristik kebijakan ODA masing-masing akan dijelaskan.
Ulasan literatur ini memiliki signifikansi pada realita maupun akademis. Dengan membandingkan pola-pola kebijakan ODA dari ketiga negara Asia Timur, para stakeholder kebijakan ODA di negara lain dapat memahami ODA secara lebih mendalam. Selain itu, ulasan literatur ini juga dapat berkontribusi pada dunia akademis karena hampir tidak ada penelitian yang membandingkan kebijkan ODA Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan.

Foreign aid is an important topic in study of International Relation. However, majority of the study tend to focus on motives of donor countries, relations between donors and recipients, and efectivities of aid. In other words, not many studies have been done for comparing Official Development Assistance (ODA) of donor countries eventhough every donors has their own characteristics in the ODA policies. Likewise, China, Japan, and Republic of Korea have their own characteristics in their ODA policies.
This literature review will compare the characteristics of the three countries. The comparing process will be conducted in two ways. Firstly, the historical development of Chinese, Japanese, and Korean ODA policies will be studied in chronological method. Secondly, each countries' ODA policies characteristics will be explained through taxonomy.
This literature review has academic and practical significance. Academically, this literature review has significance as almost no studies have been conducted for comparing China, Japan, Republic of Korea's ODA policies. Practically, this literature review also has significance as stakeholders of ODA policies can understande deeply regarding East Asian's ODA policies characteristics.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agnita Handayani
"Tesis ini membahas mengenai Kebijakan Bantuan Luar Negeri Jepang terhadap Cina: Studi Kasus Official Development Assistance (ODA) Jepang ke Cina. Dalam hal ini penulis ingin melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi distribusi ODA ke Cina. Pembahasan permasalahan tesis ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis dan dengan menggunakan konsep Holsti mengenai pengaruh lingkungan internal dan eksternal terhadap implementasi kebijakan luar negeri. Konsep Alan Rix dalam mendefinisikan ODA juga digunakan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dua faktor yang mempengaruhi dalalam perumusan ODA Jepang ke Cina: faktor internal dan faktor eksternal. Investasi dan perdagangan mejadi indikator bahwa faktor kepentingan ekonomi dan kepentingan politik merupakan faktor internal yang berkontribusi dalam perumusan kebijakan ODA Jepang ke Cina. Untuk faktor kepentingan politik perbaikan citra, kontrol atas Cina, dan stabilitas Asia Timur merupakan faktor yang mempengaruhi perumusan ODA Jepang ke Cina. Sementara itu Amerika Serikat dan Korea Utara turut menjadi pertimbangan Jepang dalam merumuskan kebijakan ODA ke Cina.

This study focused on The Japan?s Foreign Aid Policy towards China: A Case Study of Official Development Assistance (ODA) Japan to China. This study was aimed at revealing the factors underlying the distribution of ODA towards China. This study used descriptive approach and Holti?s concept of internal and external environmental influences in forming of foreign policy. This study also used the concept of ODA by Alan Rix.
The results showed that two factors influence the formulation of Japan's ODA toward China: internal factors and external factors. Economic and political interests are the internal factors that contribute in formulating Foreign Policy. Investment and trade are the indicators of economic interests Japan to China. While positive image, controlling China, and East Asia stability are the factors that influence the formulation of Japan's ODA towards China. Thus the United States and North Korea also played important role in formulating Japan's ODA policy toward China.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28926
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ansellia Aufari Chaerunissa
"Korea Selatan merupakan negara yang berhasil mengubah dirinya dari negara penerima ODA menjadi salah satu negara donor terkemuka pada abad 21, khususnya setelah bergabung dengan OECD DAC pada tahun 2010. Dalam berbagai literatur yang membahas mengenai ODA Korea Selatan, negara ini lebih banyak dijuluki dengan istilah donor baru atau emerging donor, dan dianggap belum memiliki sejarah donor yang panjang. Namun sebenarnya karir Korea Selatan sebagai negara donor ODA telah dimulai sejak tahun 1963. Dari dimulainya kegiatan donor Korea Selatan hingga sekarang menjadi anggota OECD DAC, tentu terjadi berbagai perkembangan dalam ODA Korea Selatan. Kajian literatur ini membahas mengenai dinamika perkembangan ODA Korea Selatan yang dilihat dari berbagai literatur mengenai hal tersebut. Berdasarkan metode kronologis, penulisan tinjauan literatur ini terbagi dalam 3 periode yaitu 1963-1986. 1987-2009, dan 2010-sekarang. Berdasarkan literatur-literatur yang menjelaskan ketiga periode tersebut, perkembangan ODA Korea Selatan dapat dilihat dari perkembangan model, motif, dan politik domestik ODA. Dari perkembangan model ODA Korea Selatan dapat terlihat bahwa terjadi perubahan besar dalam model ODA dari periode 1963-1986 ke periode 1987-2009, namun tidak terjadi perubahan signifikan dari periode 1987-2009 ke periode 2010-sekarang. Kemudian, dari perkembangan motif ODA Korea Selatan selama tiga periode, dapat terlihat bahwa motif politik dan ekonomi terus menjadi pendorong utama ODA. Selain itu pada periode 1987-2009 dan 2010-sekarang, motif kemanusiaan juga menjadi faktor yang mendorong pemberian ODA Korea Selatan. Dan terakhir, dari perkembangan politik domestik ODA Korea Selatan, dapat dilihat bahwa fragmentasi sistem yang dikarakterisasikan dengan tarik menarik kepentingan antara dua kementerian utama yang berkaitan dengan ODA, dan dukungan publik menjadi isu yang dominan. Penulis menemukan beberapa kesenjangan literatur yaitu, tidak munculnya pembahasan mengenai Majelis Nasional Korea Selatan, ODA Korea Selatan di kawasan selain Asia dan Afrika, dan perbandingan model ODA Korea Selatan dengan negara donor baru lainnya selama tiga periode perkembangan ODA.

South Korea is a country that successfully turned itself from an ODA recipient to one of the most prominent donor country in 21" century, especially after its accession to OECD DAC in 2010. Various writings that discusses South Korean ODA mainly named this country as a new or emerging donor. They also consider South Korea as having short donorship history. South Korea's donorship already began in 1963. From the beginning of its donor activity until today as an OECD DAC member, there have been various developments in South Korean ODA. This literature review discusses the dynamics of the development of South Korean ODA from various literatures. Using chronological method, this literature review is divided into 3 periods, 1963-1986, 1987-2009, and 2010 now. Based on literatures discussing about the development of South Korean ODA in those three periods, the development of the ODA can be seen through the development of its model, motivation, and domestic politics. The development of the South Korean ODA model sees the significant changes from period 1963-1986 to 1987-2009, but no significant change visible from period 1987-2009 to 2010-now. The development of the South Korean ODA motivation shows that during those three periods political and economic motivations are the main drivers of the ODA. During 1987-2009 and 2010-now periods, humanitarian motivations also drives the ODA disbursement. And finally, the development of the South Korean ODA domestic politics sees the system fragmentation characterize by competing interest from two main ODA-related ministries and public support as the dominant issues in the discussion. Based on the literature reviews, this paper has identifies some research gap such as the absence of discussions about National Assembly, South Korean ODA in regions besides Asia and Africa, and the comparison between South Korean ODA model with other emerging donors during those three periods of development."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Indah Mardyanti
"China dan Jepang adalah dua negara yang memiliki sejarah panjang hubungan rivalitas yang tinggi. Meskipun Jepang adalah rival China, China tetap menerima Official Development Assistance (ODA) dari Jepang. Jumlah ODA Jepang yang disalurkan ke China tidak lah sedikit. Jepang bahkan selalu menjadi salah satu donor utama di China. Hampir 60% ODA yang diterima China adalah dari Jepang. Dengan menggunakan metodologi kualitatif, penelitian ini mengidentifikasi bahwa China memiliki kepentingan ekonomi dan politik yang mempengaruhi keputusannya untuk tetap menerima ODA dari Jepang di tengah-tengah peningkatan hubungan rivalitas China dan Jepang di periode 2001-2007. Adapun kepentingan ekonomi China adalah mempertahankan nilai perdagangan dan investasi China dengan Jepang. Sementara itu, kepentingan politik China sendiri terbagi menjadi dua: politik domestik yang berkaitan dengan legitimasi Partai Komunis China dan politik internasional yang berhubungan dengan kepentingan China dalam mempertahankan citra dirinya sebagai negara berkembang.

China and Japan are two countries which posses long standing historical rivalry relations among each other. Despite the high tension between them, until 2007 China still accepts Japan`s Official Development Assistance (ODA). The amount of Japanese ODA disbursement to China is significantly large. Nearly 60% of cumulative total of ODA that China has received are from Japan. Through the use of qualitative method, this research identified that China has economic and political interests which influence China`s decision in accepting Japanese ODA. China`s economic interests towards Japan`s ODA lie in increasing trade with Japan and also securing Japanese investment in China. Moreover, China has domestic and international political interests as well. In domestic political dimension, China`s interest towards Japan`s ODA is to stabilize and strengthen China`s Communist Party`s legitimation as the one only party that rules China. Then, in international politics dimension, China wants to be seen as a peaceful developing country by accepting Japan`s ODA while China-Japan relations itself is full of hostility."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S44897
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Adninta
"Kuil Yasukuni merupakan kuil Shinto yang terletak di Tokyo. Dalam Perang Dunia II, dipercaya bahwa kuil Yasukuni memiliki peran penting dalam membangun moral baik kaum militer, maupun sipil. Kuil ini juga dipercaya sebagai simbol pengabdian kepada Kaisar. Berkaitan dengan perannya sebagai simbol pengabdian pada kaisar, kuil ini dianggap kontroversial karena dipercaya sebagi representasi ideologi Shinto Negara (Kokka Shinto). Mengunjungi dan berziarah di kuil Yasukuni dianggap melegitimasi sejarah militer Jepang karena di kuil Yasukuni disemayamkan 14 penjahat perang kelas A. Melegitimasi sejarah dan mangabaikan kejahatan yang pernah militer Jepang lakukan adalah aksi merevisi sejarah atau historical revisionism. Kunjungan Perdana Menteri ke kuil Yasukuni selalu menuai kritikan dan kecaman dari negara lain, terutama Cina dan Korea, dua negara yang pernah diokupasi oleh Jepang. Meskipun kuil ini memiliki banyak kontroversi, beberapa Perdana Menteri Jepang tetap mengunjungi kuil ini, termasuk Shinzo Abe yang memang dikenal memiliki pandangan revisionis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan Abe mengunjungi Yasukuni dan mengungkapkan implikasi yang diterima oleh Jepang karena sikap revisionis Abe. Teori Historical Revisionism digunakan untuk mengungkapkan sikap-sikap politik Abe. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif anailtis yang menggunakan prosedur studi pustaka. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa Abe memiliki stabilitas politik yang baik dan pemikiran revisionis sehingga dia mengunjungi kuil tersebut. Faktor kunjungan Abe ke Yasukuni menyebabkan ruang diplomatik Jepang dengan Cina dan Korea menjadi terbatas sepanjang tahun 2014.

Yasukuni Shrine is a Shinto shrine located in Tokyo. In World War II, it was believed that Yasukuni shrine had an important role in building morale both military and civilian. This shrine is also believed as a symbol of devotion to the Emperor. Regarding its role as a symbol of devotion to the emperor, this shrine is considered controversial because it is believed as a representation of Shinto State ideology (Kokka Shinto). Visiting the shrine is considered glorifying Japanese military history  because in Yasukuni shrine there’s 14 class A war criminals enshrined. Legitimizing history and ignoring the crimes that the Japanese military had committed was an act of revising history or historical revisionism. The Prime Minister's visit to Yasukuni shrine has always drawn criticism from other countries, especially China and South Korea, the two countries that have been occupied by Japan. Although this shrine has a lot of controversy, some Japanese Prime Ministers still visit this shrine, including Shinzo Abe who is known as a revisionist. This research aims to find out the reason Abe visited Yasukuni and revealed the implications received by Japan because of Abe's revisionist attitude. Historical Revisionism theory is used to express Abe's political attitudes. This research is an analytical descriptive study that uses a literature study procedure. Through this research it was found that Abe had good political stability and revisionist thoughts so he visited the shrine. The factor of Abe's visit to Yasukuni caused Japan's diplomatic space with China and Korea to be limited throughout 2014.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Depari, Astrella Pamela Nadia S.
"Tinjauan literatur ini membahas diskusi keterlibatan aktor negara dan nonnegara dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan bantuan pembangunan Jepang pasca Piagam ODA 1992 secara khusus pada dinamika dominasi negara. Penelusuran literatur ini dilakukan menggunakan metode kronologis berdasarkan patok historis dirilisnya Piagam ODA dan revisinya yaitu; 1 1992-2002 , 2 2003-2014, dan 3 2015-2018. Ada tiga indikator utama yang digunakan dalam menelusuri literatur yaitu motif, aktor, dan kritik dan rekomendasi. Penelusuran literatur ini menemukan adanya ragam variasi aktor yang muncul dalam pembahasan kebijakan bantuan pembangunan Jepang pada setiap periodenya. Pada periode pertama dapat terlihat terjadi pergeseran fokus pembahasan yang tadinya didominasi oleh pembahasan kementerian terutama MITI kemudian bergeser dengan dominasi pembahasan MOFA. Selanjutnya pada periode kedua dan ketiga, pembahasan tidak lagi berfokus pada kementerian namun pada Shinzo Abe. Tinjauan literatur ini menyimpulkan bahwa dominasi negara terus hadir di setiap periode namun melalui variasi representasi aktor negara yang berbeda seiring dengan pergeseran motif dan diversifikasi aktor nonnegara. Tinjauan ini mengidentifikasi adanya kesenjangan dalam kajian kebijakan bantuan pembangunan Jepang secara umum dan pembahasan keterlibatan aktor secara khusus. Hasil tinjauan literatur ini mendorong penelitian lanjutan yang menggunakan pendekatan idiosyncratic analisis yang berfokus pada leader dan pembahasan bantuan pembangunan Jepang di kawasan Oceania, Eropa Timur dan Tengah, serta Timur Tengah.

This literature review discusses the discussion of the involvement of state and non-state actors in the process of formulating and implementing Japan's development aid policy post the 1992 ODA Charter specifically on the dynamics of state domination. This literature review was conducted using chronological framework based on historical point of ODA Charter release and its revision, consist of (1) 1992-2002, (2) 2003-2014, and (3) 2015-2018. There are three main indicators used in tracing the literature namely motives, actors, and critics and recommendations. This literature finds a wide variety of actors who appear in the discussion of Japan's development assistance policy at each period. In the first period there is a shift in focus of discussion that was dominated by ministry discussions, especially MITI which then shifted with the dominance of the discussion of MOFA. In the second and third periods, the discussion was no longer focused on the ministry but on Shinzo Abe. This literature review concludes that state dominance continues to be present in every period but through variations in different country actors' representations along with the motive and diversification of non-state actors. This review identifies gaps in the assessment of Japan's development assistance policy in general and the discussion of actors' involvement in particular. The results of this literature review encourage advanced research using an idiosyncratic approach leaders-focused analysis and discussion of Japanese development assistance in the Oceania, Eastern and Central Europe, and the Middle East."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kim Hyun Joong
"ABSTRAK
Tiongkok mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat sejak melakukan reformasi ekonomi pada bulan Desember 1978. Menanggapi peningkatan pesat Tiongkok, Korea Selatan telah secara aktif berusaha untuk memperluas hubungan perdagangan,sosial, dan politik dengan Tiongkok sejak normalisasi hubungan diplomatik kedua negara tersebut pada tahun 1992. Namun, terlepas dari interaksi ekonomi di antara kedua negara yang terus tumbuh, Korea Selatan memandang Tiongkok sebagai sumber permasalahan, terutama terkait dengan isu-isu sejarah, perdagangan, dan militer. Penulisan kajian literatur ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika hubungan antara Korea Selatan dan Tiongkok. Sebagai akibat, hubungan antara Korea Selatan dan Tiongkok dipengaruhi oleh persengketaan sejarah Koguryo, hubungan perdagangan, dan hubungan militer. Persengketaan sejarah Koguryo adalah persengketaan yang terjadi antara Korea Selatan dan Tiongkok terhadap sejarah Koguryo yang merupakan salah satu kerajaan kuno Korea yang meliputi sebagian besar Korea Utara dan sebagian besar wilayah timur laut Tiongkok pada saat ini, khususnya Manchuria. Hubungan perdagangan antara Korea Selatan dan Tiongkok dipengaruhi persengketaan perdagangan dan upaya untuk memulihkan hubungan seperti perjanjian perdagangan bebas FTA . Hubungan militer antara Korea Selatan dan Tiongkok dipengaruhi persengketaan militer dan upaya untuk normalisasi hubungan seperti kunjungan Menteri Pertahanan Korea Selatan ke Tiongkok pada tahun 2011. Dengan demikian, hubungan antara Korea Selatan dan Tiongkok dipengaruhi oleh persengketaan sejarah Koguryo, hubungan perdagangan, dan hubungan militer. Pemahaman terhadap situasi hubungan antara Korea Selatan dan Tiongkok yang dibahas dari tulisan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah atau aktor lainnya dalam membangun hubungan kedua negara tersebut baik secara perdagangan, militer maupun sosial budaya.

ABSTRACT
China has achieved rapid economic growth since its economic reforms in December 1978. In response to China's rapid rise, South Korea has been actively seeking to expand trade, social, and military ties with China since the normalization of the two countries' diplomatic relations in 1992. However, despite their growing economic interactions, South Korea views China as the source of the problem, especially with regard to historical, trade, and military issues. This literature review aims to explain the dynamics of the relationship between South Korea and China. It found that their relations are influenced by historical dispute of Koguryo, trade relations and military relations. Historical dispute of Koguryo is a dispute between South Korea and China over the history of Koguryo, which is one of the ancient Korean empires that covers most of North Korea and most of the northeastern China today, in particular Manchuria. Trade relations between South Korea and China are influenced by trade disputes and efforts to recover trade relations such as the Free Trade Agreement (FTA). Military relations between South Korea and China are influenced by military disputes and efforts to normalize relations such as the visit of South Korean Minister of National Defense to China in 2011. In conclusion, the China-South Korea relationship is mainly influenced by the historical dispute of Koguryo, trade relations, and military relations. The understanding of the relationship between South Korea and China discussed on this paper has the potential to be a reference for the government or other actors in building relations between the two, both in trade, military and socialcultural fields."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khilda Varrardeliawati Herlambang
"ABSTRAK
Dinamika hubungan Korea Selatan dan Jepang selama ini mengalami fluktuasi. Meskipun terdapat banyak faktor yang mendorong kerja sama seperti ancaman bersama, aliansi dan interdependensi ekonomi, namun hubungan Korea Selatan dan Jepang hingga saat ini tetap diwarnai konflik yang disebabkan oleh isu historis. Melalui kajian literatur dengan kronologi waktu, penulis menganalisis faktor pendorong baik kerja sama maupun konflik serta pola yang terjadi dalam hubungan Korea Selatan dan Jepang dalam rentang waktu 1965-2015. Kajian literatur ini terbagi menjadi tiga periode yaitu Periode Normalisasi 1965-2000 , Periode Kemerosostan 2001-2007 , dan Periode Relatif Stabil 2008-2015 . Berdasarkan hasil analisis kajian literatur, TKA ini berargumen bahwa interdependensi ekonomi merupakan faktor pendorong utama kerja sama dan isu historis merupakan faktor pendorong utama konflik. Penemuan ini diharapkan dapat membantu akademisi dan pembuat kebijakan memahami pola kerja sama dan konflik dalam hubungan Korea Selatan dan Jepang serta dijadikan rujukan untuk perbaikan hubungan kedua negara di masa depan.

ABSTRACT
The relations between South Korea and Japan has been fluctuating throughout the years. Although there are many factors that support cooperation such as common threats, alliances, and economic interdependence, the relations between South Korea and Japan until now are still marked by conflict caused by historical issues. Through a literature review with chronological mapping, this writing aims to analyze the factors driving both cooperation and conflict and the patterns that occurred in relations between South Korea and Japan in the period 1965 2015. This literature review is divided into three periods, Normalisation Period 1965 2000 , Downfall Period 2001 2007 , and Relatively Stable Period 2008 2015 . Based on the literature review, this final thesis argues that economic interdependence is a key driver of cooperation and historical issues are the key driver of conflict. The present findings might be useful for academics and policymakers to understand the pattern of cooperation and conflict in relations between South Korea and Japan and to serve as a reference for improving relations between the two countries in the future."
2017
TA-Pdf;
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Khairunnisa
"Hungaria merupakan salah satu negara donor yang melibatkan CSO dalam praktik bantuan luar negeri. Hal tersebut tercermin dari peningkatan alokasi ODA untuk CSO dari yang semula 3% menjadi 28% di tahun 2019. Sebagai negara donor yang relatif baru, peningkatan persentase dipandang unik karena tiga hal (1) persentase tersebut jauh berada di atas negara anggota OECD lainnya yang hanya di kisaran 10-20%, (2) alokasi ODA berasal dari ODA bilateral yang sarat akan kepentingan donor, dan (3) Mayoritas CSO yang terlibat merupakan CSO berbasis di Hungaria, sementara sepuluh tahun terakhir terdapat tensi antara pemerintah Hungaria dengan CSO domestik. Skripsi ini membahas faktor-faktor domestik serta interaksinya dengan faktor eksternal yang membentuk kemitraan pemerintah Hungaria dengan Civil Society Organisations (CSO) dalam konteks Official Development Assistance (ODA) tahun 2017-2019. Penelitian dilakukan untuk menjelaskan signifikansi aktor CSO dalam bantuan luar negeri dengan mengetahui motif dan pertimbangan yang melandasi penyaluran ODA melibatkan CSO. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Penulis menyimpulkan bahwa peningkatan kemitraan antara pemerintah Hungaria dengan CSO domestik dalam bantuan luar negeri hasil dari terfragmentasinya mekanisme pencegahan migrasi global Uni Eropa yang kemudian mendorong pemerintah Hungaria untuk mengimplementasikan kebijakannya sendiri melalui mekanisme ODA untuk CSO. Berawal dari sana kemudian karakter politik domestik yang tersentralisasi dengan ide/gagasan pembentuk berdasarkan ancaman kaeamanan nasional dan solidaritas kristiani menjadi faktor domestik dominan yang membentuk kebijakan ODA untuk CSO.

Hungary is one of the donor countries that mostly involve CSOs in the practice of foreign aid. This is reflected in the increase in ODA for CSOs from 3% to 28% in 2019. As a relatively new donor country, the increase in the percentage can be seen as unique because (1) the percentage is far above other OECD member countries which only in the range of 10%-20%, (2) it's part of bilateral ODA which is commonly tends to serve donor interests, and (3) The majority of it is Hungarian-based CSOs, while in the last ten years there has been tension between the Hungarian government and domestic CSOs. This thesis discusses domestic factors and their interactions with external factors that form the partnership between the Hungarian government and Civil Society Organizations (CSOs) in the context of Official Development Assistance (ODA) 2017-2019. The study was conducted to explain the significance of CSO actors in foreign aid by knowing the motives and considerations underlying the distribution of ODA involving CSOs. This is qualitative research with a descriptive design. The author concludes that the increased partnership between the Hungarian government and domestic CSOs in foreign aid is the result of the fragmentation of the European Union's global migration prevention mechanism which then encourages the Hungarian government to implement its policies through the ODA mechanism for CSOs. Therefore, centralized domestic politics with ideas based on national security threats and Christian solidarity becomes the dominant domestic factor that shapes ODA policies for CSOs."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Mossadeq Bahri
"Bantuan Luar Negeri Untuk Pembangunan, atau lebih dikenal dengan nama ODA (Overseas Development Assistance), merupakan salah satu tiang penyangga terpenting dari kebijakan luar negeri Jepang. Melalui bantuan yang diberikannya, Jepang tidak saja mendapat keuntungan secara politik, ekonomi, militer dan budaya, tapi juga mampu mempertahankan laju dan kestabilan ekonominya. Oleh karena itu, maka kebijakan untuk terus menyalurkan bantuan luar negerinya ke negara-negara dunia ketiga akan tetap dipertahankan Jepang.

This Paper examines at a general level the utility of Japanese Official Development Assistance (ODA) program, where it is dispatched to, and its consequences to the recipient countries. In this paper special attention is given to Japanese ODA to Indonesia. In this paper I argue that the Japanese government has pursued, and still does pursue, aid relations with its neighbour seeking foremost political and economic benefit for Japan. Benefits for other are a secondary concern."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>