Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94341 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vienna Rossimarina
"Latar belakang: Pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) mengalami penurunan fungsi paru akibat inflamasi perioperatif sehingga terjadi ketidakcocokan ventilasi/perfusi dan kelemahan otot pernapasan. Akibatnya saat beraktivitas, terjadi keterbatasan oksigen sehingga terjadi kelelahan otot lebih cepat dan kapasitas fungsional rendah. Latihan pernapasan diharapkan membantu memperbaiki kapasitas fungsional melalui perbaikan fungsi paru.
Tujuan: Membuktikan manfaat latihan pernapasan terhadap kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 Minutes walk test (6MWT) pada pasien pasca-BPAK yang menjalani rehabilitasi kardiovaskular fase II.
Metode: Uji klinis dengan merandomisasi subjek pada kelompok perlakuan yang mendapat adjuvan latihan pernapasan atau menjalani program rehabilitasi standard. Diukur kapasitas inspirasi dan 6MWT pada awal dan akhir rehabilitasi fase II.
Hasil: Dua puluh delapan subjek dirandomisasi menjadi 14 kelompok perlakuan dan 14 kelompok standard. Setelah menjalani program rehabilitasi, kelompok perlakuan dan standard mengalami peningkatan jarak 6MWT yang tidak berbeda bermakna (67 ± 62.9 meter VS. 53 ± 65.7 meter; p = 0.556 ) walau kelompok perlakuan mengalami peningkatan kapasitas inspirasi lebih baik daripada kelompok standard (1357 ± 691.4 mL VS 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Simpulan: Latihan pernapasan sebagai latihan adjuvan rehabilitasi kardiovaskular fase II pasca-BPAK tidak memperbaiki jarak 6MWT secara bermakna dibandingkan program rehabilitasi standard, hanya mempercepat perbaikan fungsi paru.

Background : Patients undergoing coronary artery bypass graft (CABG) surgery develop pulmonary dysfunction due to inflammation and respiratory muscle weakness, hence ventilation/perfusion mismatch occurs then leads to low functional capacity. Respiratory training has been identified to improve functional capacity by recovering pulmonary function faster.
Objectives : To study respiratory training benefit as adjuvant training in 2 phase of cardiovascular rehabilitation program after CABG for improving functional capacity measured by 6 minutes walk test/6MWT distance.
Methods : This single blind clinical trial randomized subjects into intervention group or standard group. Intervention group received respiratory training up to 60% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant to the standard program. Then MIV and 6MWT distance were evaluated.
Result : Twenty eight subjects participated, 14 subjects were in intervention group and others were in standard group. Six MWT distance improvement is not significantly different between groups (67 ± 62.9 VS. 53 ± 65.7 meters respectively; p = 0.556 ). However, intervention group experienced better MIV improvement compared to standard group (1357 ± 691.4 VS. 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Conclusion : Respiratory training as adjuvant training did not improve 6MWT distance among patients undergoing CABG surgery significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Fitrina Dewi
"Background:
Cardiac rehabilitation in patients with Coronary Artery Bypass Surgery (CABG) is an effective way in reducing mortality in patients with coronary heart disease (CHD). The presence of impaired cardiac autonomic function is increase the risk of arrhythmias and sudden death. Exercise training as one component of cardiac rehabilitation can improve autonomic function that can be measured indirectly with Heart Rate Recovery (HRR). The aim of this study is to assess the effect of the frequency of physical exercise on improved of HRR.
Metod:
The data used for this analysis include 100 patients who underwent second phase of cardiac rehabilitation after CABG at Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta between July and October 2013. Patients were categorized into group I (exercise 3 times a week) : 40 people and group II (5 times a week exercise) : 60 people. Heart rate recovery was measured with a 6 minute walk test (6MWT). Measurements were performed 2 times, in the early phase and the evaluation phase after 12 times. Increased HRR from both groups were analyzed by linear regression analysis.
Result :
In our study, age, gender, diabetes mellitus, psychological, smoking, coronary artery bypass surgery and the duration of aortic cross clamp did not affect the increase of HRR. Five times a week exercise training gives significant increase of HRR compare to 3 times a week exercise training after analyzed multivariate linear regression ( RR 2.9, 95% KI 1.53 to 4.40, p <0.001 ).
Conclusion:
Frequency of physical exercise 5 times a week give a better response to the increase in HRR than exercise 3 times a week.

Latar Belakang:
Rehabilitasi jantung pada pasien Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) merupakan tindakan efektif dalam menurunkan mortalitas pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Adanya gangguan fungsi otonom jantung dikatakan meningkatkan risiko aritmia dan kematian mendadak. Latihan fisik sebagai salah satu komponen rehabilitasi jantung dapat meningkatkan fungsi otonom yang dapat diukur secara tidak langsung dengan Heart Rate Recovery (HRR). Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh frekuensi latihan fisik terhadap peningkatan HRR.
Metode:
Sebanyak 100 pasien pasca BPAK yang melakukan rehabilitasi jantung fase II dipilih secara konsekutif sejak 1 Juli ? 15 Oktober 2013 di Pusat Jantung nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok I (3 kali latihan seminggu) sebanyak 40 orang dan kelompok II (5 kali latihan seminggu) sebanyak 60 orang. Heart rate recovery satu menit diukur dengan uji jalan 6 menit/6 minute walk test (6MWT). Pengukuran dilakukan 2 kali, pada fase awal dan fase evaluasi setelah 12 kali. Peningkatan HRR dari kedua kelompok dianalisa dengan analisa regresi linier.
Hasil:
Pada studi kami, usia, gender, diabetes melitus, psikologis, merokok, bedah pintas arteri koroner dan lamanya aortic cross clamp setelah dianalisa tidak mempengaruhi peningkatan HRR secara bermakna. Frekuensi latihan 5 kali seminggu memberikan peningkatan HRR yang bermakna secara statistik dibandingkan 3 kali seminggu setelah dianalisa dengan regresi linier multivariate (RR 2,9; 95 % IK 1,53-4,40, p<0,001)
Kesimpulan: Frekuensi latihan fisik 5 kali seminggu memberikan respon yang lebih baik terhadap peningkatan HRR dibandingkan latihan 5 kali seminggu."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Dwiputra
"Latar Belakang: Proprotein convertase subtilisin kexin-9 PCSK-9 merupakan protein yang menghancurkan reseptor low density lipoprotein LDL sehingga penurunan kadarnya dapat menurunkan kadar LDL. Sebagai bagian dari pencegahan sekunder, latihan resistensi direkomendasikan pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner BPAK.
Tujuan: Mengetahui efek tambahan latihan resistensi terhadap kadar PCSK-9 pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani rehabilitasi fase II.
Metode: Studi eksperimental randomisasi acak tersamar tunggal membagi 87 pasien pasca BPAK menjadi dua kelompok. Kelompok kontrol n=43 adalah pasien yang menjalani rehabilitasi fase II standar sementara kelompok intervensi n=44 adalah pasien yang menjalani rehabilitasi fase II ditambah dengan latihan resistensi tersupervisi. Kadar PCSK-9 diperiksa sebelum dan sesudah rehabilitasi fase II pada kedua kelompok.
Hasil: Setelah menyelesaikan rehabilitasi fase II, didapatkan perbedaan kadar PCSK-9 yang bermakna antara kelompok kontrol dan intervensi 377,1 SD 125 vs 316,6 111,1 ng/ml, ?= -60,5 ng/ml, 95 CI -7,5 -113,4, p=0.026. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kadar LDL p=0,07, kolesterol total p=0,99, high density lipoprotein HDL p=0,44, dan trigliserid p=0,56 antara kedua kelompok pada akhir rehabilitasi fase II.
Kesimpulan: Tambahan latihan resistensi dapat menurunkan kadar PCSK-9 secara bermakna pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani rehabilitasi fase II.

Background: Pro protein Convertase Subtilisin Kexin 9 PCSK 9 is a protein degrading low density lipoprotein LDL receptor that lower LDL. As secondary prevention, resistance training is recommended after coronary artery bypass surgery CABG as a complement to aerobic exercise.
Objective: To determine the effects of additional resistance training on PCSK 9 levels and lipid profile in post CABG patients who undergo phase II cardiac rehabilitation.
Methods: A single blinded randomized clinical trial of 87 post CABG patients was devided into two groups. The control group n 43 consisted of patients who received standard phase II cardiac rehabilitation while intervention group n 44 received standard program and supervised resistance training. PCSK 9 level and lipid profile examination were performed pre and post training.
Results: After completion of phase II cardiac rehabilitation, mean PCSK9 levels in intervention group decrease significantly compared to control group control vs intervention, 377,1 SD 125 vs 316,6 111,1 ng ml, 60,5 ng ml, 95 CI 7,5 113,4 , p 0.026 . Nonetheless, there are still no significant changes in terms of LDL level p 0,07 , total cholesterol p 0,99 , high density lipoprotein p 0,44 and triglyseride levels p 0,56 pre and post intervention between two groups.
Conclusion: The additional resistance training can reduce significantly PCSK 9 levels in patients after CABG surgery who underwent phase II cardiac rehabilitation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58904
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Suryaatmaja
"Latar Belakang : Hipertensi pulmoner (HP) merupakan faktor independen kematian, kematian kardiovaskular, dan gagal jantung pada pengamatan 4 tahun pasien pascabedah katup mitral. Masalah pasien pascabedah thoraks adalah menurunnya fisiologi dan mekanik paru yang menyebabkan gangguan ventilasi perfusi dan hypoxia induced pulmonary vasoconstriction sehingga perbaikan HP pascabedah menjadi lambat.
Tujuan Penelitian : Menilai efek latihan pernapasan sebagai adjuvan latihan fisik yang terstruktur terhadap penurunan tekanan sistolik arteri pulmoner (TSAP) pada pasien pascabedah katup mitral dengan hipertensi pulmoner.
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda dan prospektif. Kelompok perlakuan diberikan latihan pernapasan 50% volume inspirasi maksimal (VIM) sebagai adjuvan latihan fisik atau plasebo pada kelompok kontrol selama rehabilitasi fase 2. Sampel diambil secara konsekutif dari populasi terjangkau pascaoperasi katup mitral yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 43 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 21 orang kelompok perlakuan dan 22 orang kelompok kontrol. TSAP dinilai dengan ekokardiografi sebelum dan sesudah program latihan.
Hasil Penelitian : Didapatkan nilai TSAP sesudah latihan pada kelompok kontrol lebih rendah secara signifikan (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg;P<0.001) dan ∆TSAP kelompok perlakuan lebih besar secara signifikan (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg;P<0.001) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan : Terdapat penurunan TSAP yang lebih besar pada kelompok yang mendapatkan latihan pernapasan 50% VIM dibanding kelompok plasebo.

Background: Pulmonary hypertension is an independent factor for mortality, cardiovascular mortality, and heart failure in four years observation of patients underwent mitral valve operation. In patient with open chest surgery, lung physiology and mechanic function deteriorates. This leads to ventilation perfusion mismatch and hypoxia induced pulmonary vasoconstriction, causing problems in recovery post operatively.
Objectives: To study the effect of respiratory training as an adjuvant to structured physical exercise in the decrease of pulmonary artery systolic pressure in patient with pulmonary hypertension post mitral valve surgery.
Methods: a double blind randomized trial was done, dividing 2 groups of subjects. It company the effect of respiratory training of 50% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant intervention to the current phase 2 rehabilitation program in intervention group vs control group. Sample was taken consecutively in patient underwent mitral valve operation and fulfilled inclusion criteria. 43 subjects were divided in 2 groups. 21 patients were given respiratory training and 22 patients were in the placebo group. Systolic pulmonary artery pressure (sPAP) was measured by echocardiography before and after intervention was performed.
Result: sPAP and ∆sPAP in the intervention group were significantly lower compare to the placebo group; (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg; p<0.001) and (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg; p<0.001).
Conclusion: The decrease of sPAP was found to be significantly higher in the intervention group than placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachmi Ahmad Muslim
"Latar Belakang : Cedera reperfusi menyebabkan kerusakan dan kematian sel miokard dan memberikan kontribusi hingga 50% dari luas infark. Pengkondisian iskemia dari luar jantung (remote ischemic conditioning, RIC) dapat menjadi perlakuan non invasif, murah dan mudah untuk membatasi cedera reperfusi. Efek kardioprotektif yang didapatkan dari perlakuan ini antara lain penurunan luas infark dan peningkatan fungsi kontraktilitas ventrikel. 6 MWT merupakan salah satu penilaian luaran klinis dan NT pro BNP menjadi salah satu parameter dari penilaian fungsi miokard dari efek RIC. 6 MWT pada sejumlah studi telah menunjukkan hubungannya dengan luas infark. Dalam studi yang lain pemeriksan NT-pro BNP setelah IMA-EST berkorelasi dengan ukuran infark dan fungsi miokard setelah IMA.
Tujuan : Menilai efek perlakuan pengkondisian iskemia ekstremitas pada pasien IMA EST yang menjalani IKPP terhadap 6 MWT dan kadar NT-ProBNP.
Metode : Penelitian ini merupakan studi klinis acak tersamar dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Dilakukan perlakuan RIC pada kelompok studi sebelum tindakan IKPP. Pengukuran 6 MWT dan kadar NT-ProBNP dilakukan dalam masa perawatan pada kelompok studi dan kontrol.
Hasil : Terdapat 87 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 41 orang mendapat perlakuan RIC dan 46 orang sebagai kelompok kontrol. Didapatkan jarak 6 MWT lebih jauh pada kelompok studi dibandingkan dengan kelompok kontrol namun tidak bermakna secara statistik (316 (±46) vs 289 (±66) meter; p = 0.06). Didapatkan kadar NT-Pro BNP lebih rendah pada kelompok studi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang bermakna secara statistik (1073 (328-3974) vs 1514 (205-10696) pg/mL; p = 0.05).
Kesimpulan : Perlakuan RIC sebelum tindakan IKPP tidak meningkatkan kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 MWT namun dapat menurunkan kadar NT-ProBNP.

Background : Reperfusion injury has been recognized to cause cell damage and death. As consequence, it contributes about 50% of infarct size. Remote ischemic condiotioning (RIC) has been identified as a noninvasive, low-cost, and easy to performed method to prevent it, so cardioprotective effect such as reducing infarct size and ventricular contraction improvement could be achieved. Meanwhile, myocardial function can be clinically assessed by measuring 6 minutes walk test (6MWT) and serum NT-proBNP level. Many studies showed association and correlation among 6MWT, NT-proBNP, infarct size and myocardial function.
Objectives : To assess remote ischemic conditioning in ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PCI) to their 6 MWT distance and serum NT-proBNP level.
Methods : Eighty seven subjects were randomly assigned into 2 groups, those receiving RIC intervention (4 to 5 minutes cycles of cuff inflation/deflation on lower extremity) or control (uninflated cuff for 40 minutes) protocols prior to primary PCI. Prior to hospital discharge, all subjects underwent 6MWT and NT-proBNP evaluation.
Results : RIC improve 6MWT distance in intervention group, but it was not significantly different compared to control group (316 ±46 meters vs. 289 ± 66 meters). Serum NT-ProBNP level was also lower in RIC group compared to control group (1073 (328-3974) pg/mL vs. 1514 (205-10696) pg/mL ) and the difference was statistically significant.
Conclusion : RIC intervention prior to primary PCI improved functional capacity measured by 6MWT but not statistically significant compared to control group, however it improved serum NT-ProBNP significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Imasanti
"Latar belakang: Program rehabilitasi jantung pada pasien pasca bedah pintas arterikoroner BPAK dapat dilaksanakan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit,dimana hambatan utama pada program rehabilitasi di rumah sakit adalah jarak tempattinggal yang jauh. Mengingat kesulitan ini, untuk meningkatkan jangkauan pelayananprogram rehabilitasi jantung perlu dikembangkan ke arah program latihan mandiri dirumahdengan menggunakan pemantauan jarak jauh / telemonitor elektrokardiografi Tele-EKG .Pemantauan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap programlatihan mandiri dirumah.
Tujuan: Menilai efek pemantauan jarak jauh untuk meningkatkan kepatuhan pasien pascaBPAK yang menjalani program latihan mandiri.
Metode: Pasien BPAK yang masuk kriteria inklusi dirandomisasi dan dibagi dua kelompok dengan dan tanpa alat pemantauan jarak jauh . Dilakukan dua kali uji latih treadmilldengan metode bruce, yaitu setelah kedua kelompok menyelesaikan program rehabilitasifase II dirumah sakit sebagai baseline, dan setelah latihan dirumah selama 12 minggupasca-intervensi sebagai evaluasi akhir program. Selanjutnya dilakukan analisis statistikantara kedua kelompok untuk melihat pengaruh pemantauan jarak jauh terhadap kepatuhanprogram latihan mandiri.
Hasil penelitian: Sebanyak 44 pasien diikut sertakan pada penelitian ini. Dari hasilevaluasi, tidak didapatkan tingkat kepatuhan yang lebih baik antara kelompok intervensi n= 20 dan kontrol n = 24 95 vs 70,8 ; p = 0,054 , demikian pula peningkatan durasidan kapasitas aerobik uji latih [ 57,90 81,14 detik vs 21,67 61,22 detik; p = 0,099 , dan 0,77 1,19 METs vs 0,33 1,05 METs; p = 0,193 ].
Kesimpulan: Pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani program latihanmandiri dengan pemantauan jarak jauh tidak mempunyai kepatuhan yang lebih baikterhadap program latihan mandiri.

Background: Cardiac rehabilitation CR program in patient who had coronary artery bypass surgery CABG surgery could be institution based or home based, but there were many barriers for home based CR program that influence the patient's adherence to the program. As an effort to overcome the barrier of distance, confidence, and safe feeling, electrocardiography telemonitoring ECGTM could be used But there wes no data regarding the effect of the electrocardiography telemonitoring to the adherence to the home based CR program in Indonesia.
Aim: To assess the effect of electrocardiography telemonitoring to the adherence to homebased CR program for the patients who have had CABG surgery.
Methods: Patients after having CABG surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta who have finished phase II CR program were recruited consecutively and were radomized to the intervention group which used ECGTM and to the control group which did not use ECGTM for 3 months home based CR program. Home based exercise was based on the result of exercise stress testing using Bruce Protocol. Adherence was defined as compliance to the minimum of 3 sessions per week for 12 weeks CR program.
Results: A total of 44 patients completed the study, The adherence to the CR program of the intervention group n 20 and control group n 24 was not different 95 vs 70,8 p 0.054 , and neither was the exercise testing duration 57.9 81.1 vs 21.7 61.2 seconds, p 0.099 , and the improvement of functional capacity 0.77 1.2 vs 0.33 1.05 METS, p 0.193.
Conclusion: The aplication of electrocardiography telemonitoring did not increase the patients adherence to home based CR program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Putriheryanti
"Tesis ini disusun untuk mengetahui pengaruh pemberian edukasi terhadap kepatuhan pasien penyakit jantung koroner dalam menjalani rehabilitasi jantung fase II di rumah. Penelitian ini menggunakan desain kuasi-eksperimental. Sebanyak 46 subjek penelitian pasien penyakit jantung koroner (pasca infark miokard atau pasien yang telah menjalani PCI maupun CABG) yang mampu berjalan mandiri dan dinyatakan mampu menjalani latihan di rumah, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan masing-masing berjumlah 23 orang. Pada kelompok perlakuan diberikan edukasi mengenai rehabilitasi jantung fase II melalui penayangan video edukasi di rawat inap, pemberian pesan pengingat selama melakukan latihan di rumah, dan leaflet. Kelompok perlakuan melakukan latihan di rumah dengan frekuensi 3 kali/minggu selama 8 minggu.
Kelompok kontrol hanya mendapatkan edukasi melalui leaflet saat di rawat inap, dan tetap disarankan untuk melakukan latihan di rumah dengan frekuensi yang sama dengan kelompok perlakuan. Pemantauan latihan dan kepatuhan dilakukan dengan logbook. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian intervensi berupa edukasi memiliki pengaruh pada tingkat kepatuhan pasien penyakit jantung koroner dalam menjalani rehabilitasi jantung fase II di rumah, yang tergambar dari sesi latihan yang lebih tinggi pada kelompok intervensi (p=0.001). Angka kepatuhan (menjalani minimal 20 dari 24 sesi latihan) pada kelompok intervensi adalah sebesar 91%, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 30%, dengan proporsi kepatuhan berbeda bermakna (p=0.001, RR 3,000 (1,597 – 5,636)).

This thesis was aimed to know the impact of educational intervention to compliance of coronary artery disease patients in doing home-based cardiac rehabilitation phase II. The study design was quasi-experimental. A total of 46 coronary artery disease patients who were able to walk independently and suitable in doing home-based exercise were divided into 2 groups, each consisted of 23 subjects. Subjects in intervention group were given educational intervention through video, short-text reminder messaging while doing home exercise, and leaflet. They were stated to do home exercise for 3 times/week for 8 weeks.
Subjects in control group only get educational leaflet, and stated to do the same home exercise regimen. Monitoring of exercise and adherence was done through logbook. This study showed that educational intervention could improve compliance in home-based exercise. The intervention group showed higher number 24(5-24) of exercise sessions (p=0.001). The compliance rate (defined as attending minimum 20 out of 24 sessions) in intervention group was 91%, while in control group 30%, with statistically significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Adi Parmana
"Penyakit jantung koroner (PJK) menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan metabolik miokard dalam melakukan fungsi sirkulasi dan homeostasis. Baku emas terapi PJK adalah bedah pintas arteri koroner (BPAK). Prosedur BPAK dengan mesin pintas jantung paru (PJP) dapat mencetuskan cedera miokard tingkat selular sehingga memerlukan aplikasi proteksi miokard. Glutamin adalah asam amino conditionally essential yang berperan dalam proteksi miokard dengan membentuk energi selama periode iskemia, tetapi belum teruji penggunaannya pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah. Padahal, pasien fraksi ejeksi (EF) rendah lebih rentan terhadap cedera miokard, sehingga glutamin diharapkan dapat memberi proteksi. Penelitian menggunakan desain double blind randomized controlled trial di Instalasi Bedah Jantung Dewasa RSJPDHK Jakarta pada bulan Januari–Agustus 2021 dengan subjek penelitian 60 pasien sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Alokasi random subjek untuk memilih 30 pasien mendapatkan 500 mL glutamin 0,5 g/kg dalam NaCl 0,9% sebagai kelompok intervensi (glutamin), dan 30 pasien mendapatkan NaCl 0,9% sebanyak 500 mL sebagai kelompok kontrol selama 24 jam pertama. Pengukuran yang dilakukan meliputi kadar glutamin plasma, kadar α-KG, myocardial injury score, indeks apoptosis, ekspresi anti-kardiak troponin I, kadar troponin I, EF, indeks jantung dan kadar laktat. Dua subjek drop out sehingga analisis dilakukan terhadap 58 subjek. Efek proteksi miokard glutamin terlihat pada kadar troponin I, laktat plasma, dan myocardical injury score yang lebih rendah pada kelompok glutamin, serta ekspresi anti-kardiak troponin I jaringan apendiks atrium kanan jantung setelah mesin PJP dilepas lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tidak didapatkan perbedaan bermakna indeks apoptosis jaringan apendiks atrium kanan, fraksi ejeksi pasca-operasi, penggunaan vasoaktif dan inotropik pasca-operasi, durasi penggunaan ventilator dan durasi perawatan intensif pasca-operasi pada kedua kelompok. Simpulan: Pemberian preoperatif glutamin 0,5 g/kg secara intravena dalam 24 jam pertama memiliki efek proteksi miokard pada pasien BPAK elektif dengan EF rendah yang menggunakan mesin PJP.

Coronary heart disease (CHD) causes a myocardial metabolic supply and demand imbalance in performing circulatory and homeostatic functions. The gold standard treatment of CHD is coronary artery bypass graft (CABG). The CABG procedure with a cardiopulmonary bypass (CPB) machine can trigger myocardial injury at cellular level due to ischemia and reperfusion. Glutamine is a conditionally essential amino acid in the human body which has a role as myocardial protector through energy production during myocardial ischemia. However, its application has not been tested in low ejection fraction (EF) patients. Meanwhile, patients with low EF are more vulnerable to myocardial injury. Thus, glutamine administration was expected to provide myocardial protection. The study was a double-blind, randomized controlled trial design and was performed at the Adult Cardiac Surgery Installation of the National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta from January to August 2021 with a sample size of 60 patients meeting the inclusion and exclusion criteria. Subjects were randomly allocated into intervention (glutamine): 30 patients were administered a solution of glutamine 0.5 g/kg dissolved in 0.9% NaCl up to 500 mL in total volume and control group; 30 patients were administered 500 mL of 0.9% NaCl, both over a period of the first 24 hours. Parameters measured include plasma glutamine levels, α-KG levels, myocardial injury scores, apoptotic index, anti-cardiac troponin I expression, troponin I levels, EF, cardiac index and lactate levels. Two samples were dropped out; hence 58 patients were analyzed in this study. Myocardial protective effects of glutamine are observed in plasma troponin I, lactate levels, and myocardial injury score of right atrial appendage tissue, which were significantly lower in the glutamine group and higher anti-cardiac troponin I expression of right atrial appendage tissue in the glutamine group. Apoptotic index of right atrial appendage tissue, postoperative ejection fraction, postoperative use of vasoactive and inotropic, ventilator time, and duration of intensive care showed no significant differences in both groups. Conclusion: Preoperative administration of intravenous glutamine 0.5 g/kg in the first 24 hours has a cardioprotective effect in low EF patients underwent elective on-pump CABG."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas ndonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danaparamita Hapsari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas latihan aerobik rehabilitasi jantung fase dua berbasis rumah dibandingkan berbasis rumah sakit pada pasien penyakit jantung koroner pascaintervensi koroner perkutan. Jumlah subjek penelitian sebesar 32 subjek, dengan masing-masing 15 subjek pada tiap kelompok yang dapat dianalisis. Subjek rata-rata berusia 57,97±11,59 tahun dan didominasi oleh laki-laki (80%). Kedua kelompok menunjukkan peningkatan bermakna uji jalan enam menit setelah 6 minggu intervensi dibandingkan sebelum (berbasis rumah sakit 397±78-450±73 m; berbasis rumah 350±106-454±67 m) nilai p<0,05. Peningkatan uji jalan enam menit tidak berbeda bermakna secara statistik pada kelompok berbasis rumah sakit (62 m) dibandingkan kelompok berbasis rumah (61 m) nilai p>0,05. Kesimpulan penelitian ini adalah latihan aerobik rehabilitasi jantung fase dua selama 6 minggu secara signifikan meningkatkan jarak tempuh uji jalan enam menit dan peningkatan tidak berbeda bermakna berbasis rumah sakit dibandingkan berbasis rumah pada pasien pasien penyakit jantung koroner pascaintervensi koroner perkutan.

This study aims to determine the effectiveness of home-based phase II cardiac rehabilitation aerobic exercise compared to hospital-based in patients with coronary heart disease after percutaneous coronary intervention. Total subjects were 32 subjects, with 15 subjects in each group that could be analyzed. The average subject’s age was 57.97±11.59 years old and dominated by men (80%). Both groups showed a significant increase in the six-minute walk test after 6 weeks of intervention compared to baseline (hospital-based 397±78-450±73 m; home-based 350±106-454±67 m) with p value<0.05. The increase in the six-minute walk test was not statistically significantly different in the hospital-based group (62 m) compared to the home-based group (61 m) with p value>0.05. The conclusion of this study is Cardiac rehabilitation aerobic exercise in phase two for 6 weeks significantly increased the distance traveled on the six-minute walk test and the increase was not significantly different from hospital-based compared to home-based in patients with coronary heart disease after percutaneous coronary intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>