Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41708 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"This article talks about creating political participating spaces for people as one of the requirements of participative democracy. There are four reasons of why people's spaces of participate democracy are needed, i.e.: the government cannot fulfill all of the people's needs, the government needs the mechanism of checks and balances, the need of solidarity and gaps limiting, and the possibility of creating social justice. The two proposed-conceps of political participating spaces are invited space and popular space. Both of the concepts are theoretically different, yet could be overlapped in their application. At last, there are three challenges towards creating participative democracy in Indonesia, i.e.: opening the information channel, making practical guide to the enhancement of people's involvement and establishing the understanding of politics and power. "
JASOS 9:3 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
[Place of publication not identified]: BPS BAPPENAS UNDP, 2001
R 303.44 MEN
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Hatta, 1902-1980
Jakarta: Balai Pustaka, 2004
321.8 MOH d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Di Indonesia, kelompok-kelompok minoritas memiliki kesadaran politik yang cukup tinggi. Minoritas di Indonesia bagaimanapun juga telah turut mewujudkan Indonesia yang sangat demokratis dengan tingkatpartisipasi politik warga diatas tingkat partisipasi warga Amerika Serikat. Akan tetapi sebenarnya partisipasi politik minoritas di Indonesia menghadapi persoalan besar. Diskriminasi, isu non-muslim, isu aliran sesat dan isu non-pribumi senantiasa mewarnai ritual demokrasi di Indonesia. Sementara itu adnya kewajiban warga negara untuk memilih satu dari enam agama resmi negara menjadi sebuah bentuk diskriminasi terhadap agama-agama lain selain keenam agama tersebut. Artikel ini pada awal pembahasannya akan membahas konsep-konsep partisipasi dan representasi politik minoritas, persoalan integrasi kelompok minoritas ke dalam entitas domisili mereka dan hak-hak identitas kelompok minoritas yang harus diperjuangkan, dalam konteks politik minoritas dan politik identitas. Pada paruh kedua, artikel ini akan membahas politik minoritas kristen di Indonesiayang diteruskan dengan pembahasan mengenai politik identitas kelompok minoritas lainnya yang berada di Indonesia. Artikel ini ditulis untuk memperlihatkan bagaimana politik minoritas di Indonesia, partisipasi politik kelompok minoritas tertentu dalam politik Indonesia, hak dan kewajiban minoritas, serta pengaruh keberadaan kelompok minoritas terhadap kehidupan politik di Indonesia."
POL 4:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
"Tulisan ini menempatkan masalah moralitas publik dan pembelaan terhadap rakyat kecil dalam bingkai demokrasi sosial menurut teori Bung Hatta agar dijadikan sebagai haluan utama politik Negara. Selain itu juga akan dibicarakan mengenai masalah kelemahan mentalitas manusia Indonesia yang menjadi rintangan utama untuk tampil sebagai bangsa besar yang bermoral, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Di mata Bung Hatta, keadilan social yang belum terwujud itu berarti bahwa manusia belum merdeka sehingga cita-cita luhur kemerdekaan yang sejati masih jauh dari harapan. Tulisan ini mencoba mengurai keterkaitan antara cita-cita demokrasi sosial, moralitas publik, dan kewajiban membela rakyat kecil. Langkah ke depan adalah bagaimana agar cita-cita mulia dan besar dapat menjadi kenyataan sehingga keadilan menjadi tegak sempurna dan kemiskinan meninggalkan bangsa ini. "
MAARIF 9:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Umaruddin Masdar
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
321.8 UMA m (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syihabuddin
"Penelitian ini berfokus pada Dinamika HIPMI Pasca Orde Baru. Sebagai wadah belajar dan kaderisasi pengusaha muda yang telah berpengalaman dalam mencetak kader-kader pengusaha-politisi di Era Orde Baru melalui partai Golkar yang menjadi induk politiknya, HIPMI sedikit banyak terkena imbas dari reformasi 1998. Sistem politik berubah dan mengikis jaringan sentral HIPMI selama ini dibirokrasi, partai politik, dan militer. Karenanya, menghadapi liberalisasi ekonomi dan politik pasca Orde Baru, HIPMI dituntut oleh keadaan untuk melakukan transformasi diri.
Transformasi ini ditandai dengan indepensi HIPMI dihadapan partai politik manapun, meskipun secara tradisi dan jaringan masih cukup kuat mengandalkan jaringan lama yang tertanam kuat di partai Golkar. Transformasi selanjutnya adalah corak bisnis yang digeluti oleh para pengusaha muda yang, seiring dengan liberalisasi ekonomi pasca Orde Baru, tidak hanya bisa mengandalkan proyek dari pemerintah semata, meski sebagai pendatang baru dalam dunia bisnis, mengerjakan proyek pemerintah berbasis ABPN/APBN masih menjadi pintu masuk ke dunia bisnis yang lebih luas. Modal ekonomi, intelektualitas, dan jaringan menjadi kunci bagi pengautan kaderisasi di HIPMI pasca Orde Baru. Dan HIPMI pasca Orde Baru selalu menuntut dirinya untuk membibitkan kader-kader pengusaha muda yang mandiri di hadapan negara.
Berpijak pada teori ekonomi politik relasi bisnis dan kekuasaan, teori modal sosial, dan kelas menengah, amatan terhadap kelembagaan dan perilaku anggota HIPMI dilakukan dan dikemukakan bahwa meski orde Politik telah berubah, namun peran tradisional HIPMI dalam politik Indonesia tetap sama: selain menjadi unit kaderisasi pengusaha pemula, HIPMI juga memerankan diri sebagai wadah kaderisasi politik sekaligus. Hal ini bukan persoalan salah atau benar dalam melihat perilaku kelembagaan HIPMI. Namun transformasi kelembagaan HIPMI yang telah kian matang, dengan perubahan perilaku bisnis yang beranjak menjauh dari negara, masih diikuti oleh tuntutan kesejarahan HIPMI: selain menyiapkan diri menjadi pengusaha yang sukses, HIPMI juga dituntut untuk siap menjadi pemimpin-pemimpin bangsa melalui jalur politik.
Demokrasi Indonesia yang masih mencari bentuknya yang ideal juga menyajikan dilemma dalam hubungan bisnis dan politik. Partai-partai politik semakin pragmatis dalam rekrutmen politiknya karena menghadapi ongkos politik yang mahal. Bagi HIPMI ini adalah peluang sekaligus tantangan dalam perannya sebagai kelas menengah di Indonesia. Di satu sisi, idealitas pembangunan kelas menengah berbasis komunitas bisnis yang kuat dan mandiri di hadapan negara menjadi tanggung jawab mereka, namun di sisi lain, ongkos politik yang begitu mahal memberi tawaran yang begitu besar bagi kelompok pengusaha untuk masuk dan bermain di dalamnya. Kaderisasi politik yang ramah terhadap kalangan usahawan ini mengidap hampir semua partai politik dan seolah menjadi tren dalam pentas politik Indonesia, sehingga membuka ruang yang begitu besar bagi organisasi yang bermotto “pengusaha pejuang, pejuang pengusaha ini”

This research is mainly focused on the post-New Order dynamism of the Indonesian Young Entrepreneurs Association (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia/HIPMI). As an organization which has a long experience on educating young generations of businessman-politicians through its political patron, Golongan Karya (Golkar), HIPMI has been to some extent affected by the 1998 reform. The changing political system erodes HIPMI’s central networking in bureaucracy, political parties, and military. As a consequence, HIPMI must adjust by transforming itself in view of the post-New Order political and economic liberalization.
HIPMI’s independence from any political party, albeit its ongoing dependence on its old tradition and networking both of which are deeply rooted in Golkar, marks this transformation. Another transformation is manifested in HIPMI’s type of business which, in line with the post-New Order economic liberalization, no longer depends solely on the government’s projects. However, the national budget (APBN)-based government’s projects remain the main entrance for the business new-comers to explore broader business opportunities. Economic capital, intellectuality, and networking play important role in strengthening the regeneration process of the post-New Order HIPMI which always urges itself to produce new, young entrepreneurs who are independent of the government.
Using business-power relation theory of political economy, social capital theory, and middle class theory to analyze the institutional and behavioral aspects of HIPMI members, this theses argues that although the political order has changed, and some of HIPMI’s members’ business role and networking have accordingly changed, the traditional role of HIPMI in Indonesian politic remains unchanged. In addition to its role as a medium for regeneration of new entrepreneurs, HIPMI plays another role as a medium for political regeneration. This does not have anything to do with right or wrong in analyzing HIPMI’s institutional behavior. HIPMI’s maturing transformation marked by its increasing distance from the government remains connected to its historical call: producing successful entrepreneurs as well as political leaders.
Indonesian democracy which is still in search for its ideal format poses a dilemma on business-politic relations. Political parties become more pragmatic in their political recruitment due to expensive political costs. This is an opportunity as well as challenge for HIPMI in its role as an Indonesian middle class. On one hand, the responsibility of building the middle class based on a strong and independent business free of the government’s influence lays on their shoulder. On the other hand, the expensive political costs pave their way to enter into politic. This businessmen-friendly climate of political regeneration is present in all political parties and apparently becomes a trend in Indonesian political contestation, providing a vast arena for HIPMI whose motto is “heroic entrepreneurs, entrepreneurial hero.”
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>