Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107580 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferry Irawan
"Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah terjadinya krisis keuangan, perhatian pemerintah di berbagai negara terhadap financial instability semakin besar. Perhatian tersebut antara lain karena semakin disadari arti penting dan peran strategis sektor perbankan pada umumnya dan sistem keuangan pada khususnya dalam suatu perekonomian, dan terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan financial instability selama 30 tahun baik di negara berkembang maupun negara maju. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Swedia dan Finlandia, telah mengalami krisis keuangan atau resesi yang biasanya diiringi dengan menurunnya harga aset-aset dan berbagai permasalahan di sektor perbankannya. Hal ini telah diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Borio, Kennedy dan Prowse (1994), Bank for International Settlements (1998) dan IMF (2000).
Dalam World Economic Outlook tahun 1998, IMF memberikan gambaran tentang biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian sebagai akibat krisis keuangan. Pada saat terjadi krisis mata uang, secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi kembali ke trendnya dalam jangka waktu sekitar I-1,5 tahun, dan kumulatif output lost untuk setiap krisis sekitar 4,25%. Untuk krisis mata uang yang parah output lost-nya bahkan mencapai sekitar 8.25%. Sementara Krisis Perbankan, relatif membutuhkan waktu recovery yang lebih Iama dan output lost yang lebih banyak dibandingkan currency crisis: secara rata- rata membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk pertumbuhan output kembali ke trendnya, dan ourpur loss yang terjadi bisa mencapai sekitar 1 l,5%.
Apa yang diuraikan di atas sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam menganalisis berbagai pemasalahan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada saat terjadi krisis keuangan menghantam pada tahun 1997. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama krisis ekonomi, penulis melihat dua fenomena yang menarik untuk diteliti, yang berkaitan tentang keterkaitan antara upaya untuk mencapai stabilitas harga dengan stabilitas sistem keuangan.
Fenomena pertama, upaya pemerintah untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dengan memberikan batuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas telah mendorong meningkatnya laju inflasi. Dengan kata lain upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan telah mengorbankan stabilitas harga.
Fenomena kedua, upaya bank Sentral dalam mengendalikan inflasi telah menyebabkan terjadinya fenomena credit crunch di Indonesia. Dengan kata lain, upaya untuk mencapai stabilitas harga telah menyebabkan stabilitas sistem keuangan menjadi terganggu.
Diskusi tentang bagaimana keterkaitan antara kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas harga serta dampaknya pada stabilitas sistem keuangan sebenarnya sudah terjadi antara pengambil kebijakan dengan ekonom dan antar ekonom sendiri, misalnya Svensson (1996), Taylor (1996), Bean (1998) dan Goodfriend (2001) juga Bernanke dan Gertler(1999).
Sehubungan dengan uraian di atas, tulisan ini mencoba meneliti beberapa pertanyaan yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Pertama, pengaruh shock pada tingkat suku bunga, dalarn upaya untuk mencapai stabilitas harga, pada peningkatan financial instability Indonesia. Kedua, pengaruh shock yang berasal dari pertumbuhan kredit, saat terjadi ganguan stabilitas harga, pada peningkatan financial instability Indonesia. Ketiga, pengaruh shock pada harga pada peningkatan financial instability Indonesia. Keempat, meneliti konsistensi antar stabilitas harga sebagai suatu sasaran akhir kebijakan moneter dengan upaya untuk menghindari financial instability. Kelima, meneliti meneliti apakah terdapat pengaruh yang asymmetric pada hubungan antara tingkat suku bunga, harga dan kredit dengan financial instability.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dibangun model VAR yang biasa dipergunakan dalam analisis kebijakan moneter secara quatitatif dengan memasukkan variabel yang mengukur financial instability. Berdasarkan model tersebut di dapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: Shock positif yang berasal dari suku bunga, kredit dan harga memberikan pengaruh pada meningkatnya financial instability Indonesia. Peningkatan suku bunga sebagai instrumen yang dipergunakan untuk mengendalikan harga merupakan komponen terbesar yang menjadi sumber peningkatan financial instability. Price stability dan financial stability merupakan dua hal yang dapat sekaligus dicapai sebagai sasaran dalam pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Kenaikan yang berasal dari variabel harga, tingkat suku bunga dan kredit memberikan magnitude yang relatif lebih besar pada peningkatan derajat financial instability dibandingkan dengan penurunan ketiga variabel tersebut terhadap penurunan derajat financial instability. Atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang asymmetric pada hubungan antara tingkat suku bunga, harga dan kredit dengan financial instability."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
D668
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Bank Indonesia, 2014
332 FSR
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Az-Zahra Djatnika
"Negara-negara yang bergantung dengan komoditas atau negara dengan export komoditasnya lebih dari 60% total export, terdiri dari lebih dari setengah negara-negara di dunia (102 dari 189) dan dua per tiga negara-negara berkembang adalah negara yang bergnatung dengan komoditas. Fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah adanya efek dari penurunan harga komoditas, terhadap stabilutas finansial untuk negaranegara bergantung terhadap komoditas dan negara-negara exportir komoditas. Penelitian ini menggunakan dua sampel dari negara berkembang exportir komoditas dan negaranegara bergantung terhadap komoditas dari periode 2010-2018. Menggunakan model fixed-effects, penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan harga komoditas memiliki efek negatif terhadap indikator stabilitas finansial untuk kedua kategori negara. Penurunan harga komoditas memiliki efek negatif secara umum untuk neraca sistem finansial negara eksportir komoditas. Efek negatif ini menunjukkan seberapa besar kerentanan negara yang menjadi exportir komoditas dan yang bergantung terhadap komoditas terhadap penurunan harga komoditas. Berdasarkan hasil penelitian ini, bisa direkomendasikan untuk negara-negara fokus untuk menyangga kapital dan meningkatkan kualitas aset dari insititusi finansial karena kedua komponen tersebut dapat meredam efek kehilangan dari penurunan harga komoditas.

Commodity dependent countries, defined as countries of which commodities account for more than 60% of their total merchandise exports, made up more than half of the countries in the world (102 of 189). And two-thirds of developing countries worldwide are also dependent on commodities. This study, therefore, aims to determine whether commodity price downswing (a negative price shock) has an impact on the financial stability of the countries. This research uses two samples of emerging and developing countries and commodity dependence countries for 2010-2018 and employed a fixed-effects model in assessing the impact. The findings of this study indicate that negative commodity price shock has a negative effect on the financial stability composite index indicator for both sets of countries. Negative price shock negatively affects the financial system' balance sheet for commodity-exporting countries in general and has a significant negative effect on the financial stability indicator index. This adverse effect shows the extent of vulnerability for commodity-dependent countries and commodity-exporting countries to a commodity price downturn Based on the results, it is recommended that countries should focus on capital buffer and asset quality of financial institutions since those two components dampen the effect of loss after a commodity price downturn."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ristiana Dewi Febriana
"Perkembangan pesat teknologi memicu munculnya berbagai upaya inovasi pada sektor keuangan khususnya perkembangan layanan keuangan secara digital. Penelitian empiris ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh perkembangan teknologi finansial melalui digitalisasi layanan terhadap stabilitas bank menggunakan balanced panel 37 Bank Umum Konvensional di Indonesia periode 2017 hingga 2021. Estimasi dengan menggunakan model fixed effect menemukan hasil bahwa layanan keuangan secara digital cenderung meningkatkan stabilitas bank. Inovasi teknologi yang dimanfaatkan bank tidak bersifat disruptif karena memberikan reaksi positif terhadap kinerja dan stabilitas bank. Oleh karena itu, hasil ini menunjukkan hubungan komplementaritas antara perkembangan teknologi finansial dan industri perbankan.

The rapid development of technology has triggered the emergence of various innovation efforts in the financial sector, especially the development of digital financial services. This empirical study aims to investigate the effect of financial technology developments through digitizing services on bank stability using a balanced panel of 37 Conventional Commercial Banks in Indonesia for the period 2017 to 2021. The estimation using the fixed effect model finds that digital financial services tend to increase bank stability. Technological innovations used by banks are not disruptive because they provide a positive reaction to bank performance and stability. Therefore, these results indicate a complementary relationship between the development of financial technology and the banking industry."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Sintya Defa
"Tesis ini membahas kebijakan European Financial Stability Facility EFSF yang dikeluarkan pada tahun 2010 oleh Uni Eropa berdasarkan kesepakatan negara-negara anggota Zona Euro bersama European Central Bank ECB dan International Monetary Fund IMF dalam merespon krisis ekonomi yang terjadi di Yunani, Irlandia dan Portugal pada masa Krisis Ekonomi Zona Euro. Kebijakan EFSF yang dibahas pada tesis ini adalah hal-hal yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan EFSF. Hal-hal yang melatarbelakangi tersebut didasarkan kepada kerangka pemikiran neoliberal institusional. Berdasarkan kerangka pemikiran neoliberal institusional, tesis ini menetapkan kelemahan institusional oleh Uni Eropa, European Monetary Union EMU, dan ECB yang tidak memiliki regulasi dan sistem pengelolaan krisis ekonomi telah membuat negara-negara anggota Zona Euro mencari solusi dengan meratifikasi kebijakan EFSF dengan melibatkan IMF sebagai solusi krisis ekonomi yang terjadi di tahun 2010. Tesis ini juga melihat bagaimana implikasi EFSF bagi perekonomian negara-negara Zona Euro yang mengalami krisis, melihat sejauh mana harapan negara anggota Zona Euro dapat direalisasikan.

ABSTRACTThis thesis discusses about the European Financial Stability Facility EFSF policy established in 2010 by the European Union under the agreement of Eurozone member states together with the European Central Bank ECB and the International Monetary Fund IMF as the response of economic crisis in Greece, Ireland and Portugal during the Eurozone Economic Crisis. The EFSF policy discussed in this thesis is the underlying issue of EFSF policy. The underlying things are based on neoliberal institution framework. Based on neoliberal institution framework, this thesis conclude the institutional weaknesses by the European Union, the European Monetary Union EMU, and the ECB which has no regulation and economic crisis management system has made the Eurozone member states seek the solution by ratifying the EFSF policy by involving the IMF as a solution to the economic crisis that occurred in 2010. This thesis also looks at how the EFSF implications for the economy of Eurozone member states in crisis to see how far the expectations can be realized."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Since the financial crisis of 2008-09, central bankers around the world have been forced to abandon conventional monetary policy tools in favour of unconventional policies such as quantitative easing, forward guidance, lowering the interest rate paid on bank reserves into negative territory, and pushing up prices of government bonds. Having faced a crisis in its banking sector nearly a decade earlier, Japan was a pioneer in the use of many of these tools.
Unconventional Monetary Policy and Financial Stability critically assesses the measures used by Japan and examines what they have meant for the theory and practice of economic policy. The book shows how in practice unconventional monetary policy has worked through its impact on the financial markets. The text aims to generate an understanding of why such measures were introduced and how the Japanese system has subsequently changed regarding aspects such as governance and corporate balance sheets. It provides a comprehensive study of developments in Japanese money markets with the intent to understand the impact of policy on the debt structures that appear to have caused Japan’s deflation. The topics covered range from central bank communication and policymaking to international financial markets and bank balance sheets.
This text is of great interest to students and scholars of banking, international finance, financial markets, political economy, and the Japanese economy."
London: Routledge, 2020
e20534483
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Ulya Amanina
"Pendahuluan: Perdarahan intraoperatif menjadi penyebab utama terjadi henti jantung di ruang operasi. Perdarahan dapat ditangani dengan pemberian transfusi. Pemberian transfusi berisiko menyebabkan infeksi dan reaksi alergi sehingga tidak semua pasien dengan perdarahan diberikan transfusi. Jumlah transfusi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kadar Hb praoperasi, jumlah perdarahan, gangguan hemodinamik serta perkiraan allowable blood loss. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis terdapat hubungan antara faktor-faktor tersebut terhadap jumlah transfusi pada pasien perdarahan intraoperatif Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan desain potong-lintang. Data diperoleh dari 84 rekam medis pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Data yang dianalisa adalah kadar Hb praoperasi, jumlah perdarahan, gangguan hemodinamik, perkiraan allowable blood loss dan jumlah transfusi intraoperatif. Uji yang dilakukan adalah uji bivariat pada masing-masing faktor dengan uji korelasi Pearson, Spearman dan uji komparatif Mann Whitney menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20. Hasil: Didapatkan bahwa jumlah perdarahan (p=0,000) mempengaruhi jumlah transfusi. Pada kelompok dengan gangguan hemodinamik didapatkan perbedaan jumlah transfusi dibandingkan dengan kelompok tanpa gangguan hemodinamik (p=0,009). Hb praoperasi dan perkiraan allowable blood loss tidak mempengaruhi jumlah transfusi (p=0,794, p=0,250). Kesimpulan: Jumlah perdarahan berhubungan dengan jumlah transfusi. Nilai Hb praoperasi dan perkiraan allowable blood loss tidak berhubungan dengan jumlah transfusi intraoperatif.

Introduction: Intraoperative haemorrhage is the leading cause of cardiac arrest in surgery. Transfusion can be given to replace intraoperative blood loss. Transfusion can trigger infection and allergy reactions. Hence it must be given cautiously. Blood transfusion volume can be related to many factors, ie, preoperative hemoglobin value, blood loss volume, the presence or absence of hemodynamic instability, and allowable blood loss value. This study aimed to know the relationship between those factors and the blood transfusion volume. Method: This was an observational analytic study with a cross-sectional design that included 84 patients who had received an intraoperative blood transfusion in Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta. Preoperative hemoglobin, blood loss volume, estimated allowable blood loss, hemodynamic instability, and intraoperative blood transfusion volume data were obtained from medical records and analyzed. Bivariate test (Pearson, Spearman correlation test, and the Mann Whitney comparative test, was performed using SPSS ver. 20.0. Results: Blood loss volume (p=0,000) was significantly associated with the blood transfusion volume. Blood transfusion volume was significantly different in patients with hemodynamic instability than patients with stable hemodynamic (p=0.009). Preoperative hemoglobin level and estimated allowable blood loss value were not significantly associated with blood transfusion volume (p=0.794 and p=0.250, respectively). Conclusion: Blood loss volume was significantly related to blood transfusion volume. Preoperative hemoglobin level and estimated allowable blood loss were not significantly associated with blood transfusion volume."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvian Cendy Yustian
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inklusi keuangan terhadap stabilitas bank. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 170 bank di Asia yang terdaftar di bursa saham dari tahun 2009 hingga tahun 2017, yakni Arab Saudi, Tiongkok, Filipina, India, Indonesia, Jepang, Yordania, Korea Selatan, Lebanon, Malaysia, Mesir, Pakistan, Qatar, Singapura, Thailand, Uzbekistan, dan Vietnam. Dalam penelitian ini ditemukan pengaruh positif yang signifikan antara inklusi keuangan dengan stabilitas bank yang ada di kawasan Asia. Hal ini mengindikasikan akses terhadap layanan institusi keuangan yang baik atau mudahnya akses terhadap layanan institusi keuangan dapat memberikan kemampuan bank untuk dapat mendiversifikasi dana dari nasabah dan meningkatkan keuntungan yang berjumlah besar yang diterima oleh suatu bank yang mengarahkan kepada stabilitas bank.

The purpose of this research to investigate the impact of financial inclusion to bank stability. The sample that used in this research consist of 170 banks in Asia which was listed in the stock exchange in the time period of 2009 to 2017, such as Saudi Arabia, China, Philippines, India, Indonesia, Japan, Jordan, South Korea, Lebanon, Malaysia, Egypt, Pakistan, Qatar, Singapore, Thailand, Uzbekistan, and Vietnam. This research found positive impact and significant result of financial inclusion to bank stability in Asia. This finding implies that the good one of access to financial institution services or access to financial institution services easily that can make an ability of bank to diversify fund of customer and increase higher profit that leads to bank stability."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Iari Vehuliza
"Kemunculan krisis Eurozone di tahun 2010 merupakan salah satu kejadian besar yang mewarnai tahun 2010. Sebagai bentuk dari integrasi ekonomi dan moneter regional di kawasan Eropa yang selama ini menjadi kawasan percontohan bagi region lainnya terutama ASEAN, kini Eurozone mengalami tantangan yaitu terjadinya instabilitas finansial akibat terjadinya krisis utang Yunani di tahun 2009 dan diikuti krisis di empat negara lainnya pada tahun 2010, hingga kelima negara ini disingkat dengan PIIGS: Portugal, Ireland, Italy, Greece, dan Spain. Di balik krisis ini, ECB sebagai bank sentral merupakan institusi yang memegang tanggung jawab atas stabilitas finansial di kawasan Eurozone melalui common monetary policy, sehingga kemunculan krisis ini mengindikasikan kebijakan moneter ECB telah gagal dalam menjaga stabilitas finansial di kawasan Eurozone. Kegagalan tersebut disebabkan oleh ECB sebagai bank sentral merupakan rezim yang tidak signifikan sehingga mempengaruhi kebijakan moneter yang dikeluarkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi ECB sebagai rezim tersebut adalah interest, political power, norms/principles, usage/custom, dan knowledge.

The emergence of Eurozone crisis in 2010 is one of the major events that characterized the year of 2010. As a form of economic and monetary integration in Europe region which has been the pilot region for another region especially ASEAN, the Eurozone is now facing challenge of financial instability due to that these countries are now abbreviated by PIIGS: Portugal, Ireland, Italy, Spain, and Greece. Behind this crisis, ECB as central bank of the Eurozone has been the institution that held the responsibility in maintaining the financial stability in the Eurozone through common monetary policy. Thus, this indicates that the maintaining the financial stability of Eurozone. That failure was caused by ECB as a central bank has been being insignificant regime and affecting monetary policy as the output. The factors that affect ECB as a regime are interest, political power, norms/principles, usage/custom, and knowledge."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Quinta Allaya Emirsyah
"Konsep stabilitas finansial sebagai barang publik global merupakan salah satu kajian yang mulai mendapatkan perhatian dalam dunia akademis sejak terjadinya berbagai permasalahan finansial lintas batas pada akhir abad ke-20. Memastikan ketersediaan dari barang publik tersebut sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengurangi dampak buruk dari guncangan finansial, dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Namun, meskipun topik ini sangat menarik untuk dieksplorasi, pembahasannya masih terfragmentasi dalam berbagai disiplin yang berbeda dan belum banyak dikaji melalui sudut pandang Ilmu Hubungan Internasional. Dengan demikian, tinjauan kepustakaan ini berusaha untuk memetakan ragam argumentasi terkait stabilitas finansial sebagai barang publik global dalam hubungan internasional dari 23 literatur yang berbeda. Melalui metode taksonomi, pembahasan dalam tinjauan kepustakaan ini dikategorisasikan menjadi tiga tema besar mengenai konseptualisasi, keterlibatan aktor, serta praktik kebijakan terkait stabilitas finansial. Berdasarkan pemetaan literatur yang telah dilakukan, penulis menemukan bahwa: (1) meskipun hampir semua akademisi yang literaturnya dibahas dalam kajian ini sepakat bahwa stabilitas finansial harus didefinisikan sebagai barang publik global, beberapa di antaranya menganggap bahwa pendekatan barang publik regional akan memastikan penyediaannya yang lebih efektif; serta (2) institusi internasional, terutama IMF, memiliki peran kunci dalam menjaga stabilitas dari sistem finansial internasional yang saling terkait, meski praktik kebijakannya seringkali dinilai kurang inklusif. Adapun celah penelitian yang penulis identifikasi berkaitan dengan kajian mengenai stabilitas finansial sebagai barang publik global yang harus diperluas, termasuk dalam melihat dinamika kekuasaan dari aktor-aktor internasional yang terlibat di dalam prosesnya. Maka, tinjauan kepustakaan ini menekankan perlunya penelitian lanjutan dan dialog kebijakan untuk memperkuat kerja sama serta tata kelola dalam penyediaan stabilitas finansial sebagai barang publik, baik dalam konteks global maupun regional.

The concept of financial stability as a global public good is one of the studies that has begun to receive attention in the academic world since various cross-border financial problems arise at the end of the 20th century. Ensuring the availability of these public goods is essential to promote sustainable economic growth, reduce the adverse effects of financial shocks, and improve social welfare. However, although this topic is fascinating to explore, the discussion is still fragmented in various academic disciplines and has not been widely studied from the perspective of International Relations. Thus, this literature review elaborates on different arguments regarding financial stability as a global public good in international relations from 23 academic sources. Using the taxonomic method, the discussion in this literature review is categorized into three major themes regarding contextualization, involvement of actors, and policy practices related to financial stability. Based on the review that has been done, this author finds that: (1) although almost all academics whose literature is discussed in this study agree that financial stability should be considered a global public good, some of them consider that a regional public goods approach will ensure its more effective provision; and (2) international institutions, especially the IMF, have a crucial role in maintaining the stability of the interrelated international financial system, even though their policy practices are often considered to be less inclusive. This author reflects that research about financial stability as a global public good must be expanded, especially to observe the dynamics of international actors involved. Further research and policy dialogues are needed to strengthen cooperation and governance in providing financial stability as a public good within the global and regional contexts."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>