Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163654 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iman Fachruliansyah
"ABSTRAK
Pulau Enggano terletak paling selatan dari busur kepulauan sebelah pantai barat Sumatra. Penduduk aslinya, atau juga Suku Bangsa Enggano merupakan populasi yang terisolasi dan tidak diketahui sejarah asal usulnya serta tidak memiliki keterkaitan bahasa dan kebudayaan dengan populasi penutur bahasa Austronesia di Nusantara, khususnya di Sumatra. Kami menganalisis daerah kontrol DNA mitokondria (mtDNA) dari 29 individu Enggano dan membandingkannnya dengan populasi lainnya di Nusantara dan juga Daratan Asia Tenggara untuk melihat sejarah asal usul serta keterkaitannya dengan populasi penutur bahasa Austronesia. Kami menemukan bahwa pada populasi Enggano tidak ditemukan penanda genetik populasi penutur bahasa Austronesia. Akan tetapi, Suku Bangsa Enggano memiliki nenek moyang yang sama dengan populasi-populasi di wilayah Daratan Asia Tenggara yang diperkirakan berumur sekitar 30.000 tahun yang lalu.
Meskipun demikian, Suku Bangsa Enggano merupakan populasi yang bermigrasi pada masa pertengahan Holosen bersamaan ketika naiknya permukaan air laut di Paparan Sunda dan berdekatan dengan ekspansi populasi penutur bahasa Austronesia yang berasal dari Taiwan. Kami juga menemukan bahwa Suku Bangsa Enggano memiliki diversitas genetik dan pertumbuhan populasi yang rendah sebagai hasil konstribusi isolasi geografis.

ABSTRACT
Enggano Island located at the southern most of the west coast islands of Sumatra. The original inhabitants, which also known as the Engganese people, are one of the most isolated populations and their history of origin is unknown. They have no similar language and culture with Austronesian-speaking populations in the Island Southeast Asia, particularly Sumatra. We analyzed the mitochondrial DNA (mtDNA) control region from 29 individuals and compared the result with other populations in Mainland and Island Southeast Asia to observe their history of origin and relation to Austronesian-speaking populations.
However, we found that there was no Austronesian maternal genetic ancestry in Enggano. Instead, the Engganese has a common ancestor with Mainland Southeast Asia population ranging back to 30.000 years ago. However, the Enggano people are a relatively new population who migrated during the mid-Holocene as Sundaland was flooded and adjacent to the expansion of Austronesian-speaking populations originating from Taiwan. We also found that they have low population growth and genetic diversity as a result of geographical isolation.
"
2015
T45505
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Aman Bhakti
"[ABSTRAK
Latar belakang: Tinggi badan/ perawakan tubuh merupakan parameter penting tingkat kesejahteraan suatu populasi. Perawakan tubuh dipengaruhi oleh faktor genetik, endokrin dan lingkungan. Faktor lingkungan yang saat ini paling sering ditemukan adalah faktor nutrisi. Populasi pigmi adalah suatu populasi terisolasi yang seluruh anggotanya pendek dan ditemukan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, yaitu di Flores, Nusa Tenggara Timur yang disebut komunitas pigmi Rampasasa. Sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat menemukan penyebab perawakan pendek komunitas pigmi tersebut.
Tujuan: Mengetahui profil antropometri manusia pigmi Rampasasa dan mencari berbagai faktor (genetik, endokrin, dan nutrisi) yang berperan dalam perawakan pendek komunitas pigmi tersebut sehingga diharapkan dapat berkontribusi dalam tatalaksana perawakan pendek pada umumnya.
Metode: Penelitian merupakan studi deskriptif analitik yang dilakukan pada periode Desember 2011-April 2014. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk mengetahui profil genetik dan non genetik (endokrin dan nutrisi) yang berperan dalam perawakan pendek manusia pigmi Rampasasa. Dilakukan pengukuran antropometri pada subjek dan pengambilan sampel darah. Analisis statistik dilakukan dengan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan post hoc analysis. Analisis genetik dilakukan dengan mengirimkan isolasi DNA ke Laboratory for Diagnostic Genome Analysis (LDGA), Leiden, Belanda.
Hasil: Didapatkan data dari 58 subjek yang dikelompokkan menjadi pigmi murni (n=8), pigmi campuran (n=40), dan non pigmi (n=10). Seluruh subjek memiliki proposi tubuh yang normal. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk status nutrisi antara ketiga kelompok, yang dinyatakan dengan kadar kalsium (p=0,19), vitamin D (p=0,96), dan hemoglobin (p=0,147). Namun didapatkan perbedaan bermakna untuk kadar hormon IGF-1 antara ketiga kelompok (p=0,037), yang setelah dilakukan analisis posthoc menunjukkan perbedaan hanya pada kelompok non pigmi vs. pigmi murni (p=0,012). Kadar hormon IGFBP-3 tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara ketiga kelompok (p=0,772). Analisis DNA menggunakan SNP array mengidentifikasi 10 regio homozigot pada sampel pigmi yang tidak didapatkan pada kontrol.
Simpulan: Perawakan pendek manusia pigmi Rampasasa memiliki proporsi tubuh yang normal. Faktor nutrisi tidak berhubungan dengan perawakan pendek komunitas pigmi Rampasasa. Faktor hormonal tidak dapat menjelaskan perawakan pendek populasi tersebut. Temuan regio homozigot mengindikasikan pengaruh faktor genetik meskipun kandidat gen belum dapat diidentifikasi.;

ABSTRACT
Background: Height / stature of the body is an important parameter of one?s population wellbeing. Height is influenced by genetic, endocrine and environmental factors. Nutritional factor is one of the most common environmental factors found. Pygmy population is an isolated population whose all members have short stature. They are found in various parts of the world including Indonesia, namely Rampasasa pygmies community in Flores, East Nusa Tenggara. Up until this date, there are no studies about the etiology of Rampasasa pygmies short stature.
Objective: To learn about anthrophometric profiles in Rampasasa Pygmies and factors involved in the short stature of that pygmy community, as a contribution to the management of short stature in general, as well as to provide scientific asset about Rampasasa pygmies.
Keywords: calsium, genetic factors, height, IGFBP-3, IGF-I, nutrition, Rampasasa pygmies, short stature, vitamin D.
Methods: This research is a descriptive analytic study conducted from December 2011 to
April 2014. This study used a cross-sectional design to determine the genetic and non-
genetic profile (endocrine and nutrition) that play role in Rampasasa pygmies short
stature. Anthropometric measurements and blood sampling were performed. Statistical
analysis was performed by using ANOVA followed by post hoc analysis. Genetic
analysis is done by sending DNA isolation to Laboratory for Diagnostic Genome
Analysis (LDGA), Leiden, The Netherlands.
Results: Data obtained from 58 subjects were grouped into pure pygmies (n = 8), mixed
pygmy (n = 40), and non- pygmies (n = 10). All subjects had normal body proportions.
There were no significant difference in nutritional status between three groups, which is
expressed by calcium level (p = 0.19) , vitamin D (p = 0.96), and hemoglobin (p = 0.147).
Significant difference of IGF-1 hormone were found between the three groups (p =
0.037), which after posthoc analysis showed differences only between non-pygmies vs.
pure pygmies (p = 0.012). IGFBP-3 hormone level showed no significant difference
among the three groups (p = 0.772). We obtained evidence of homozygous regions in
DNA analysis using SNP arrays method, which are not found in control group.
Conclusion: Rampasasa pygmies have short stature with normal body proportion.
Nutritional factors are not associated with short stature of Rampasasa pygmy
communities. Hormonal factors can not explain the cause of the population short stature.
The discovery of homozygous regions indicates the role of genetic cause even though
there were no specific genes to be identified in this study.;Background: Height / stature of the body is an important parameter of one?s population wellbeing. Height is influenced by genetic, endocrine and environmental factors. Nutritional factor is one of the most common environmental factors found. Pygmy population is an isolated population whose all members have short stature. They are found in various parts of the world including Indonesia, namely Rampasasa pygmies community in Flores, East Nusa Tenggara. Up until this date, there are no studies about the etiology of Rampasasa pygmies short stature.
Objective: To learn about anthrophometric profiles in Rampasasa Pygmies and factors involved in the short stature of that pygmy community, as a contribution to the management of short stature in general, as well as to provide scientific asset about Rampasasa pygmies.
Keywords: calsium, genetic factors, height, IGFBP-3, IGF-I, nutrition, Rampasasa pygmies, short stature, vitamin D.
Methods: This research is a descriptive analytic study conducted from December 2011 to
April 2014. This study used a cross-sectional design to determine the genetic and non-
genetic profile (endocrine and nutrition) that play role in Rampasasa pygmies short
stature. Anthropometric measurements and blood sampling were performed. Statistical
analysis was performed by using ANOVA followed by post hoc analysis. Genetic
analysis is done by sending DNA isolation to Laboratory for Diagnostic Genome
Analysis (LDGA), Leiden, The Netherlands.
Results: Data obtained from 58 subjects were grouped into pure pygmies (n = 8), mixed
pygmy (n = 40), and non- pygmies (n = 10). All subjects had normal body proportions.
There were no significant difference in nutritional status between three groups, which is
expressed by calcium level (p = 0.19) , vitamin D (p = 0.96), and hemoglobin (p = 0.147).
Significant difference of IGF-1 hormone were found between the three groups (p =
0.037), which after posthoc analysis showed differences only between non-pygmies vs.
pure pygmies (p = 0.012). IGFBP-3 hormone level showed no significant difference
among the three groups (p = 0.772). We obtained evidence of homozygous regions in
DNA analysis using SNP arrays method, which are not found in control group.
Conclusion: Rampasasa pygmies have short stature with normal body proportion.
Nutritional factors are not associated with short stature of Rampasasa pygmy
communities. Hormonal factors can not explain the cause of the population short stature.
The discovery of homozygous regions indicates the role of genetic cause even though
there were no specific genes to be identified in this study., Background: Height / stature of the body is an important parameter of one’s population wellbeing. Height is influenced by genetic, endocrine and environmental factors. Nutritional factor is one of the most common environmental factors found. Pygmy population is an isolated population whose all members have short stature. They are found in various parts of the world including Indonesia, namely Rampasasa pygmies community in Flores, East Nusa Tenggara. Up until this date, there are no studies about the etiology of Rampasasa pygmies short stature.
Objective: To learn about anthrophometric profiles in Rampasasa Pygmies and factors involved in the short stature of that pygmy community, as a contribution to the management of short stature in general, as well as to provide scientific asset about Rampasasa pygmies.
Keywords: calsium, genetic factors, height, IGFBP-3, IGF-I, nutrition, Rampasasa pygmies, short stature, vitamin D.
Methods: This research is a descriptive analytic study conducted from December 2011 to
April 2014. This study used a cross-sectional design to determine the genetic and non-
genetic profile (endocrine and nutrition) that play role in Rampasasa pygmies short
stature. Anthropometric measurements and blood sampling were performed. Statistical
analysis was performed by using ANOVA followed by post hoc analysis. Genetic
analysis is done by sending DNA isolation to Laboratory for Diagnostic Genome
Analysis (LDGA), Leiden, The Netherlands.
Results: Data obtained from 58 subjects were grouped into pure pygmies (n = 8), mixed
pygmy (n = 40), and non- pygmies (n = 10). All subjects had normal body proportions.
There were no significant difference in nutritional status between three groups, which is
expressed by calcium level (p = 0.19) , vitamin D (p = 0.96), and hemoglobin (p = 0.147).
Significant difference of IGF-1 hormone were found between the three groups (p =
0.037), which after posthoc analysis showed differences only between non-pygmies vs.
pure pygmies (p = 0.012). IGFBP-3 hormone level showed no significant difference
among the three groups (p = 0.772). We obtained evidence of homozygous regions in
DNA analysis using SNP arrays method, which are not found in control group.
Conclusion: Rampasasa pygmies have short stature with normal body proportion.
Nutritional factors are not associated with short stature of Rampasasa pygmy
communities. Hormonal factors can not explain the cause of the population short stature.
The discovery of homozygous regions indicates the role of genetic cause even though
there were no specific genes to be identified in this study.]"
2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahwin Nikelas
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994
499.25 SYA m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ilyas Samando
"Penelitian ini membahas strategi adaptasi para pendatang yang tinggal di lingkungan baru dengan menegosiasikan identitasnya dengan penduduk asli. Para pendatang berusaha untuk diterima oleh penduduk asli agar dapat hidup dengan aman dan nyaman di daerah barunya. Untuk diterima menjadi bagian dari masyarakat Pulau Enggano, para pendatang diharuskan untuk masuk ke dalam Suku Kaamay. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode etnografi serta dalam pengumpulan data melakukan observasi partisipatif, wawancara dan studi literatur. Informan dalam penelitian ini ialah beberapa warga Pulau Enggano yang telah menetap disana serta tokoh masyarakat. Hasil penelitian ini ialah para pendatang yang menetap di Pulau Enggano mampu untuk beradaptasi dan membuat dirinya diterima oleh penduduk asli dengan cara masuk ke dalam Suku Kaamay. Suku Kaamay menjadi kendaraan pendatang agar mereka dapat bertahan hidup dan menegosiasikan identitas mereka agar menjadi bagian dari budaya masyarakat Pulau Enggano. Identitas ini membuat para pendatang secara langsung menjadi bagian dari masyarakat Enggano dengan hak dan kewajibannya dalam aturan adat. Sehingga dalam penelitian ini terlihat bahwa Suku Kaamay mempunyai peranan penting dalam proses negosiasi identitas antara pendatang dengan penduduk asli untuk menjaga hubungan agar dapat terjalin dengan baik.

The study discusses the adaptation strategies of immigrants living in new neighborhoods by negotiating their identities with natives. The migrants strive to be accepted by the natives in order to live safely and comfortably in their new area. To be accepted into the community of Enggano Island, migrants are required to enter the Kaamay Tribe. This research was conducted using ethnographic methods as well as in data collection conducting participatory observations, interviews and literature studies. Informants in this study are some residents of Enggano Island who have settled there as well as community leaders. The result of this study is that the migrants who settled on Enggano Island were able to adapt and make themselves accepted by the indigenous people by entering the Kaamay Tribe.The Kaamay tribe becomes a vehicle for migrants so that they can survive and negotiate their identity in order to become part of the culture of the Enggano Island community. This identity makes the migrants directly part of the Enggano community with their rights and obligations in customary rules. So in this study it is seen that the Kaamay tribe has an important role in the process of negotiating identity between immigrants and indigenous people to maintain relationships in order to be established properly.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwadi Eka Tjahjono
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mempelajari dan memahami tentang hubungan antara pranata sosial-ekonomi dengan kondisi kemiskinan dan pemiskinan masyarakat di desa Meok. Secara khusus penelitian ini mengkaji hubungan antara pola produksi, pola distribusi dan pola konsumsi dan kemiskinan serta pemiskinan masyarakat Desa Meok.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan teori, khususnya pada masalah-masalah antropologi pembangunan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kerangka pemikiran untuk memahami gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi dalam proses pembangunan, sehingga dapat dibuat suatu kebijakan atau keputusan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Konsep kemiskinan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai kondisi kerentanan dan ketidakmampuan yang dialami individu atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Sedang konsep pemiskinan dirumuskan sebagai proses yang menyebabkan individu atau masyarakat menjadi miskin atau bertambah miskin. Pranata sosial-ekonomi dalam penelitian ini dirumuskan sebagai sistem hubungan sosial yang mantap yang mengatur pola produksi, pola distribusi dan pola konsumsi dalam memenuhi keperluan (kebutuhan) pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.
Data penelitian ini dikumpulkan dengan metode pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tak berstruktur--berfokus, artinya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para informan tidak dengan struktur tertentu tetapi tetap terfokus kepada satuan-satuan gejala yang menjadi pokok kajian penelitian ini. Hasil wawancara ada yang. direkam ke dalam pita kaset, ada yang dicatat langsung dan ada pula yang dicatat kemudian, tergantung dari suasana dan individu yang diwawancarai.
Macam data yang dikumpulkan melalui pengamatan terlibat meliputi jenis mata pencarian, pengolahan komoditas, jenis peralatan dan cara penggunaannya, pendistribusiannya, pola konsumsinya dan kondisi lingkungan hidupnya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih realistis maka masalah-masalah tersebut dilacak pada tingkat pendapatan keluarga, tingkat pengeluaran rata-rata perbulan (pola konsumsinya), tingkat pendidikan dan kesehatan.
Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan infomasi mengenai pandangan-pandangan masyarakat Desa Meok yang mencakup norma-norma atau aturan-aturan yang tercermin pada pranata sosial-ekonominya, tentang pengalaman dan perasaannya yang berhubungan dengan keadaan kemiskinan dan pemiskinan.
Penelitian ini dilakukan di Desa Meok, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Pemilihan desa tersebut sebagai lokasi penelitian karena Desa Meok merupakan desa yang mayoritas penduduknya terdiri dari suku bangsa Enggano, dan kondisi masyarakatnya sebagian besar masih dalam keadaan miskin.
Hasil penelitian mengungkapkan batasan pengertian kemiskinan menurut masyarakat Desa Meok sebagai berikut: bahwa orang atau rumah tangga yang dikategorikan miskin mempunyai ciri-ciri rumahnya jelek, tidak punya uang, tidak punya apa-apa, tidak pernah pergi ke Bengkulu, pekerjaannya hanya sebagai anak buah (buruh). Dalam batasan tentang kemiskinan, tidak terdapat unsur pemilikan luas lahan, tingkat pendidikan dan kesehatan, hal ini disebabkan oleh kondisi dan situasi lokalitas mereka. Dengan demikian batasan mengenai kemiskinan dapat dirumuskan sebagai kondisi individu atau rumah tangga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya; mobilitasnya rendah dan kedudukan dalam struktur pekerjaan hanya sebagi buruh.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pola produksi yang belum mampu memberikan nilai tambah yang lebih maksimal terhadap sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Meok dalam menghadapi persaingan bebas dalam pola distribusi yang cenderung mengarah kepada sistem ekonomi pasar. Rendahnya produktivitas dan kecilnya nilai tambah serta kekalahan dalam transaksi menyebabkan tingkat pendapatan rumah tangga mereka dengan sendirinya menjadi sedikit. Dengan pendapatan yang sedikit tersebut akan menjadi hambatan atau kendala bagi mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Di samping tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya mereka juga tidak punya kesempatan untuk mengakumulasikan surplus dalam rangka investasi untuk pemilikan faktor produksi.
Sikap dan perilaku masyarakat golongan miskin dalam menghadapi gejala sosial di lingkungannya ditunjukkan (diungkapkan) melalui gejala kepasrahan yang menjurus pada fatalisme dalam kehidupan sehari-hari, dan partisipasi semu dalam memberikan respon terhadap pembangunan. Sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membiarkan kondisi kemiskinan tersebut melembaga di dalam lingkungan sosialnya. Ini dapat diamati dalam orientasi mereka terhadap masa depan, misalnya dalam perilaku menabung atau menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi belum tampak dalam kehidupan masyarakat miskin di Meok. Juga dalam proses penerusan (pewarisan) jenis pekerjaan yang dilakukan orangtuanya kepada anak-anaknya yang mulai meningkat remaja. Jika hal ini berlangsung secara berlanjut terus menerus dari orangtua ke anak-anaknya maka besar kemungkinannya kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di Desa Meok akan menjadi suatu gaya hidup atau way of life."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Alief Farid
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S31347
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Nurdin
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S31363
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1979
301 ETN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"The community structure of seagrass in Enggano Islands has been studies in August 2004. The aim of the study was to tonassess the seagrass community including species composition,density,and distribution pattern....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Oktavianthi
"Delesi 9-pasangan basa (pb) pada daerah intergen COII-tRNALys DNA mitokondria merupakan penanda genetik spesifik untuk populasi Asia. Delesi 9-pb pada populasi Pasifik sering ditemukan bersama tiga transisi basa pada Displacement loop (D-loop) yang disebut motif Polinesia. Penelitian dilakukan di Lembaga Biologi Molekular Eijkman dan bertujuan untuk mengetahui frekuensi delesi 9-pb pada 19 populasi dari Pulau Nias, Sumba, dan Flores. Melalui kombinasi data delesi 9-pb dan motif Polinesia diharapkan diperoleh informasi tentang migrasi populasi manusia di Kepulauan Indonesia. Metode yang digunakan adalah isolasi DNA genom, pengukuran konsentrasi DNA, amplifikasi DNA dengan polymerase chain reaction (PCR), elektroforesis pada gel agarosa 3% (b/v), dan sequencing. Frekuensi delesi 9-pb yang diperoleh pada populasi Nias 28,8%; populasi di Pulau Sumba 11,3--36,8%; dan populasi di Pulau Flores 6,3--25,9%. Motif Polinesia tidak terdapat pada populasi Nias, tetapi terdapat pada populasi di Pulau Sumba dan Flores. Varian leluhur motif Polinesia (varian Cac dan CaT) terdapat pada populasi di Pulau Nias, Sumba, dan Flores. Delesi 9-pb pada populasi Indonesia terdistribusi secara acak, sehingga tidak dapat digunakan dalam menjelaskan migrasi populasi manusia di Kepulauan Indonesia. Perlu dilakukan penelitian dengan penanda genetik lain, seperti analisis filogenetik menggunakan sekuens D-loop untuk memperoleh informasi mengenai proses migrasi populasi manusia di Kepulauan Indonesia."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
S31428
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>