Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14680 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Radiotherapy has impact in oral health especially on the secretion capacity of the salivary glands. Another impact is the increase of Candida albicans colony. Objectives: To evaluate salivary flow rate in relation with Candida albicans colony in head and neck cancer patients during and after radiotherapy. Methods: Twenty-four head and neck cancer patients in Dharmais Cancer hospital, Jakarta who were undergoing radiotherapy or had undergone radiotherapy and 24 match healthy volunteers were included in the study. Clinical observation carried out by collecting unstimulated salivary flow rate and followed by culture of Candida in Saboraud agar medium. Data were analyzed statically by Chi-square. Results: Nasopharynx cancer was the most frequent type of head and neck cancers (87.5%) followed by tongue cancer (12.5%) and found in 41-50 years old patients and 51-60 years old patients, respectively with male predilection compare to female (17:7). Approximately 87.5% of subjects showed decreased salivary flow rate (0-1.5mL/10min) and 12.5% showed a normal salivary flow rate (1.01-1.50mL/10min) during and after radiotherapy. However, 91.7% of cancer patients has increased in C.albicans colony during and after radiotherapy compared to control (p=0.00). Conclusion: This study showed that radiotherapy induced hyposalivation and might increase the C.albicans colony."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Pendahuluan: Profil Kesehatan Mulut dan Saliva pada Pasien Geriatri di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pasien geriatri meningkat sejalan dengan peningkatan populasi Lansia. Permasalahan kesehatan umum dan gigi-mulut akan mempengaruhi kualitas hidup mereka. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesehatan gigi dan mulut secara menyeluruh pada pasien geriatri di poliklinik geriatri di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Bahan dan Cara: penelitian ini adalah studi deskriptif. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan data demografik. Pemeriksaan klinis intreoral dilakukan berdasarkan standar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Hasil: Jumlah sampel adalah 75 pasien geriatri dengan usia 60-86 tahun. Rata-rata skor DMF-T adalah 4.68±2.89, OHI-S 2.79±1.10, PBI 0.78±0.59. Rata-rata skor unstimulated salivary pH 6.62±0.54 dan stimulated buffer capacity saliva 7.46±2.83. Ratarata laju aliran saliva adalah 0,24 mL/menit dan hiposalivasi ditemukan pada 39 orang. 93 variasi normal dan 117 lesi
patologis ditemukan pada studi ini. Kesimpulan: Ditemukannya status kesehatan gigi dan mulut yang rendah pada sampel penelitian ini menunjukkan adanya kemungkinan penyebabnya adalah rendahnya laju alur saliva, pH saliva, dan kemampuan buffer saliva. Pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut secara sistematik dan rutin pada Lansia merupakan hal yang penting dan seyogyanya dilakukan secara holistik dengan kolaborasi antara dokter dan dokter gigi.

Introduction: Population of geriatric patients would increase in line with that of elderly population. Health problems related to this group of people would have impact on general and oral health maintenance aiming for good quality of life. Objectives: This study aimed to determine the profile of oral health, saliva, and oral mucosa on geriatric patients at Geriatric Policlinic in Cipto Mangunkusumo Hospital. Materials and Methods: This research was a descriptive crosssectional
study, which data was taken using questionnaire containing basic demographical information and oral clinical examination using standard form used by Faculty of Dentistry Universitas Indonesia. Results: The study included 75 geriatric patients, ranging from 60 to 86 of age. The mean of DMF-T score of 69 geriatric patients was 4.68 ±2.893, OHI-S 2.790 ±1.102, PBI 0.779±0.585. The mean of unstimulated salivary pH score was 6.618 ± 0.54 and stimulated
buffer capacity of saliva was 7.46±2.827. Mean of salivary flow rate is 0.24mL/min and 39 people had hiposalivation. 93 normal variations and 117 pathological oral lesion was found. Conclusion: This study showed that poor oral health status and pathological oral lesion found in this study elderly population could be caused from poor salivary flow, pH saliva, and buffer capacity of saliva. Systematic oral examination of the elderly is of considerable importance and ought
be carried out regularly by a dentist in collaboration with the physician; making holistic management of the elderly properly performed."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ganesha Asturini
"Latar Belakang: Remaja adalah salah satu kelompok populasi yang paling terpengaruh dalam tiga beban malnutrisi di Indonesia. Berbagai penelitian telah membuktikan hubungan antara status nutrisi dengan kesehatan gigi mulut. Penelitian dalam kariologi belakangan ini banyak mengeksplorasi bakteri Veillonella terkait interaksinya dengan Streptococcus dalam pembentukan biofilm. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dan status kesehatan gigi mulut, laju alir saliva dan kuantifikasi relatif bakteri Veillonella parvula dalam saliva. Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang analitik, dengan subyek 49 anak laki-laki dan 52 perempuan direkrut dari sebuah Pesantren SMP di Depok, Jawa Barat untuk dilakukan pemeriksaan gigi mulut, status antropometri berat badan, tinggi badan dan IMT serta pengambilan saliva tanpa stimulasi untuk perhitungan laju alir saliva. Kuantifikasi bakteri relatif dilakukan dengan metode RT-PCR untuk mengidentifikasi bakteri V parvula. Hasil: Terdapat korelasi positif lemah antara IMT dan kuantifikasi relatif bakteri V parvula (r= 0.2, p=0.04), namun tidak ditemukan korelasi bermakna antara IMT dan indeks plak serta IMT dan laju alir saliva tanpa stimulasi. Kesimpulan: Terdapat korelasi lemah bermakna antara IMT dan kuantifikasi relatif V parvula, sementara itu terdapat korelasi lemah dan tidak bermakna antara IMT dan indeks plak maupun IMT dan laju alir saliva. Penelitian berikutnya perlu mengeksplorasi hubungan IMT dengan berbagai parameter status kesehatan gigi mulut dengan mempertimbangkan berbagai faktor risiko perancu dan mengidentifikasi spesies-spesies Veillonella lainnya.

Background: Until recently, the triple burden of malnutrition remains a major health issue in Indonesia and adolescents are one of the most affected population. Oral cavity is the main gate of the digestive system and studies have shown the association between nutritional status and oral health. Objectives: This study aimed to analyze the correlation between body mass index and oral health status, unstimulated salivary flow rate and relative quantification of Veillonella parvula in saliva. Method: In a cross-sectional study design, 49 male and 52 female students aged 12-14 year-old were recruited from an Islamic Boarding School in Depok, West Java and clinically examined for the Greene and Vermillion’s debris index. The unstimulated salivary flow rate was determined (ml/min). Anthropometric examinations were carried out for body weight, body height and body mass index per age according to the standards from Ministry of Health Regulations. Real-time polymerase chain reaction was used to quantify the presence of Veillonella parvula. Results: There is a significant correlation between BMI and relative expression of salivary Veillonella parvula (r= 0.2, p=0.04), however no correlations were found between BMI and OH status, and BMI and unstimulated salivary flow rate. Conclusion: This study demonstrated that there is no linear relationship between BMI and salivary flow rate and/or OH status, however a weak but significant correlation was found between BMI and salivary V parvula. Further studies are needed to investigate relationships between BMI and other nutrition parameters with oral health indicators in the adolescent populations, while considering other Veillonella species."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan
dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan
30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511 (p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.

Unstimulated Salivary Flow Rate Corresponds with Severity of Xerostomia: Evaluation using Xerostomia Questionnaire and Groningen RadiotherapyInduced Xerostomia Questionnaire.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan
dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan
30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511
(p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan
dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan
30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511
(p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan
dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan
30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511 (p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien."
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Faculty of Dentistry, Undergraduate Program;Journal of Dentistry Indonesia;Journal of Dentistry Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cytha Nilam Chairani
"Latar Belakang: Kanker kepala dan leher (KKL) termasuk kanker yang paling umum, menempati urutan keenam secara global. Kanker rongga mulut termasuk dalam entitas KKL, yaitu sekitar 75% kasus. Salah satu modalitas terapi onkologi, yaitu radioterapi (RT) dapat menyebabkan efek samping di oral, contohnya seperti berkurangnya fungsi mengunyah dan menelan, serta penurunan nafsu makan yang kemudian berkaitan dengan penurunan berat badan kritis. Penurunan berat badan kritis (PBBK) didefinisikan sebagai penurunan berat badan yang tidak disengaja sebesar 5% pada 1 bulan atau 10% pada 6 bulan sejak dimulainya RT. Tujuan: Mengetahui faktor yang berhubungan dengan PBBK pada pasien RT kepala dan leher di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Metode Penelitian: Analisis observasional retrospektif dengan menggunakan data sekunder (rekam medis) dari 125 pasien kanker mulut di Rumah Sakit Kanker Dharmais periode 2018-2022. Hasil: Rata-rata usia pasien adalah 50,2±14,5 tahun terdiri dari laki-laki sebanyak 68 orang (54,4%) dan perempuan sebanyak 57 orang (45,6%). Pasien yang mengalami PBBK pada satu bulan sejak RT selesai sebanyak 69 orang (72,6%). Analisis bivariat untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap PBBK menunjukkan hanya variabel xerostomia selama RT yang signifikan (p = 0,006). Kesimpulan: Xerostomia selama RT merupakan faktor yang berpengaruh terhadap PBBK. Kolaborasi multidisipliner tim onkologi diperlukan untuk mencegah PBBK, termasuk dokter gigi untuk memantau komplikasi oral selama RT.

Introduction: Head and neck cancer (HNC) is the sixth most common cancer worldwide. 75% of HNCs are oral cancer. Radiotherapy (RT) is generally an oncology therapy that can develop side effects associated with oral complications due to RT. These complications can interfere with chewing and swallowing, which subsequently cause a decrease in appetite. Furthermore, patients may experience critical weight loss (CWL) defined as involuntary weight loss of 5% at one month or 10% at six months from the start of RT. Objective: To investigate the factor which correlates with CWL in head and neck RT patients treated in Dharmais Cancer Hospital. Methods: A retrospective observational analysis using secondary data (medical records) of 125 oral cancer patients at Dharmais Cancer Hospital in 2018-2022. Results: The mean age of patients was 50,2±14,5 years, with 68 (54,4%) male and 57 (45,6%) female. Sixty-nine patients (72,6%) developed CWL one month after RT, and the only significant factor in CWL was xerostomia during RT (p = 0,006). Conclusion: Xerostomia during RT is an influencing factor of CWL. Multidisciplinary collaboration of the oncology team is needed to prevent CWL, including the dentist to monitor oral complications during RT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amiroh
"Latar Belakang :Pesantren merupakan institusi pendidikan di Indonesia yang menjalankan sistem tempat tinggal asrama. Kondisi status kesehatan gigi mulut di beberapa pesantren masih menunjukkan hasil sedang hingga rendah, padahal terdapat lebih dari empat juta remaja yang menempuh pendidikan di pesantren. Upaya meningkatkan kesehatan gigi mulut adalah melaksanakan program promosi kesehatan mulut berbasis sekolah, dan program ini dapat disusun dengan sebelumnya melakukan identifikasi perilaku kebersihan gigi mulut.Tujuan : Menganalisis hubungan antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan indeks plak, laju alir saliva, dan kuantifikasi bakteri Veillonella Parvula dalam saliva di komunitas pesantren populasi anak usia 12 – 14 tahun. Metode: Penelitian dilakukan pada 101 siswa Ibnu Hajar Boarding School. Pengisian kuesioner indeks OHB untuk menilai perilaku kebersihan gigi mulut. Pengambilan sampel saliva tanpa stimulasi dan diukur lajur alir, dilanjutkan pemeriksaan indeks plak. Sampel saliva dibawa ke laboratorium untuk mengetahui kuantifikasi bakteri Veillonella parvula melalui metode RT-PCR. Hasil: Koefisien korelasi antara OHB dengan Indeks plak adalah r = 0.127 p-value = 0.204. Koefisien korelasi antara OHB dengan laju alir saliva adalah r = -0.211, p-value = 0.034. Koefisien korelasi antara OHB dengan Ct Veillonella parvula adalah r = -0.156 , p-value = 0.119. Kesimpulan: Terdapat hubungan berbanding terbalik dan bermakna antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan laju alir saliva, dan hubungan tidak bermakna antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan indeks plak dan kuantifikasi bakteri Veillonella parvula.

Background: Boarding schools in Indonesia operate as residential educational institutions. The oral health status in some boarding schools still indicates moderate to low results, despite more than four million adolescents pursuing education in these institutions. Efforts to improve oral health include implementing a school-based oral health promotion program, which can be designed after identifying oral hygiene behaviors. To date, there has been no study examining the relationship between oral hygiene behaviors and plaque index, saliva flow rate, and quantification of Veillonella Parvula. Objective: To analyze the relationship between oral hygiene behaviors and plaque index, saliva flow rate, and quantification of Veillonella Parvula in a population of 12- to 14-year-old students in a boarding school. Method: The OHB index questionnaire was used to assess oral hygiene behaviors. Unstimulated saliva samples were collected and saliva flow rate measured, followed by plaque index examination. Saliva samples were taken to the laboratory to determine the quantification of Veillonella Parvula bacteria using RT-PCR. Results: The correlation coefficient between OHB and the plaque index was r = 0.127, p-value = 0.204. The correlation coefficient between OHB and saliva flow rate was r = -0.211, p-value = 0.034. The correlation coefficient between OHB and Ct Veillonella Parvula was r = -0.156, p-value = 0.119. Conclusion: There was an inverse and significant relationship between oral hygiene behavior and salivary rate, and a non-significant relationship between oral hygiene behavior and plaque index and quantification of Veillonella parvula bacteria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulandari Arumrahayu
"Tujuan: Tujuan dari penelitian ini digunakan untuk menentukkan validitas dan reliabilitas kuesioner C-OIDP pada anak SMP dengan rentang usia 12-15 tahun di Wilayah DKI Jakarta.
Metode: Versi Bahasa dari C-OIDP dibentuk sesuai dengan pedoman proses adaptasi cross-cultural. Penelitian dilakukan pada 502 anak usia 12 - 15 tahun dari enam SMP Negeri di Jakarta yang dipilih secara acak. Tes psikometrik mencakup konsistensi internal, reliabilitas test-retest, validitas diskriminan, dan validitas konvergen.
Hasil: mean usia subyek penelitian adalah 13.3 tahun (SD ± 0.9) dan 54% subyek penelitian merupakan perempuan. Mean C-OIDP dari peserta adalah 3.49, (SD ±5.61). Konsistensi internal dan reliabilitas test-retest C-OIDP dengan nilai Chronbach’s alpha 0.72 dan intra-class correlation coefficient (ICC) 0.61. anak-anak dengan decay aktif, PUFA positif, rongga mulut tidak bersih, atau gingivitis memiliki skor C-OIDP yang lebih rendah secara signifikan (P ≤ 0.001). Dua per tiga (64.9%) dari sampel memiliki paling sedikit satu dampak oral yang berpengaruh pada performa keseharian.
Kesimpulan: C-OIDP versi Bahasa Indonesia berhasil dibuat untuk digunakan sebagai instrumen OHRQoL pada anak-anak usia 12-15 di Indonesia.

Obejctives: The aim of this study is to assess validity and reliability an Indonesian Version of C-OIDP in among 12-15 years old high-school-children in Jakarta.
Method: The Indonesian version of C-OIDP was developed according to the guidelines for the cross-cultural adaptation process. The Indonesian version was tested for reliability and validity on random sample of 502, 12–15 years old school children in Jakarta. Psychometric analysis of the Indonesian Child-OIDP involved construct validity tests as well as internal and test-retest reliability.
Result: Mean age of the participants was 13.3, (SD± 0.9) and 46% of the student are males, 54% are females. Crohnbach’s alpha value was 0.72. In terms of test-retest reliability, the intraclass correlation coefficient (ICC) was 0.61. Two-third (64.9%) of the sample had oral impact affecting one or more performances in the past 3 months. The mean of C-OIDP score was 3.49 (SD±5.61). The construct validity was confirmed by C-OIDP scores being significantly associated with oral health condition.The Spearman’s correlation coefficients significant (all p<0.001).
Conclusion: This study indicates that the Indonesian Child-OIDP index is a valid and reliable measure to be used as an OHRQoL index among 12–15 years old children in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Information on salivary characteristics of young subjects with different body composition is scarce. Thus, the aim of this pilot study was to assess salivary characteristics of normal-weight, overweight and obese children. This is a basic research design in which 68 children (5-12 years) were recruited and anthropometric measurements consisted of body mass index (BMI = Kg/m2), body perimeters (waist/arm circumferences) and subcutaneous fat tissue (triceps/subscapular thicknesses). Stimulated (SS) and unstimulated morning saliva (US) were collected to determine flow rate, pH and triglycerides, urea, alpha-amylase, total protein, phosphate and calcium concentrations. Data were analyzed using normality tests, t test/Wilcoxon, one-way ANOVA/Kruskal-Wallis and Pearson’s/Spearman’s correlation tests, where appropriate. Results: Age, household income, parents’ education, saliva flow and pH did not differ among groups. Waist circumference and subscapular skinfold differed significantly between normal-weight and obese groups; only waist circumference showed significant correlation with BMI in all groups. pH increased significantly from US to SS in all groups; but flow rate increased from US to SS only in normal-weight and overweight groups. Total protein, amylase, urea, phosphate, triglyceride and calcium concentrations did not differ among groups. However, urea, phosphate and calcium concentrations differed significantly between US and SS in the normal-weight and overweight groups, with the lowest values for SS. In the overweight group, total protein also differed between saliva samples and obese group showed no difference in biochemical parameters between US and SS. Finally, some salivary characteristics may vary among normal-weight, overweight and obese children; thus, future studies in a larger sample are needed to fully understand salivary secretion and composition of these subjects."
ODO 102:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Nabila Jafna
"Latar Belakang: Nitric oxide (NO) memiliki fungsi antibakterial dan peran dalam proses inflamasi. Penyakit gigi dan mulut berkaitan erat dengan kebersihan rongga mulut yang dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, termasuk kebiasaan merokok. Konsentrasi NO pada saliva dapat menjadi biomarker kesehatan rongga mulut dan sistemik. Namun, kaitannya dengan kebiasaan merokok dan kebersihan rongga mulut masih perlu dikaji lebih lanjut. Tujuan: Mengetahui korelasi antara status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan derajat keasaman (pH) saliva dengan konsentrasi nitric oxide (NO) pada perokok dewasa. Metode: Sampel yang diteliti merupakan saliva tidak terstimulasi pada 10 subjek perokok dewasa dan 8 subjek non perokok dewasa. Status kebersihan rongga mulut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kategori baik dan kategori sedang. Konsentrasi nitric oxide diukur menggunakan Griess assay di laboratorium. Analisis dilakukan dengan uji statistik Independent T-tes, Mann-Whitney U, korelasi Pearson, dan korelasi Spearman Hasil: Konsentrasi nitric oxide pada perokok dewasa lebih tinggi dibandingkan konsentrasi nitric oxide pada non perokok dewasa dengan perbedaan yang signifikan (p < 0,05). Korelasi antara status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dengan konsentrasi nitric oxide adalah positif sedang dengan hubungan yang tidak bermakna (r = 0,346, p > 0,05). Korelasi antara derajat keasaman (pH) saliva dengan konsentrasi nitric oxide adalah positif sedang dengan hubungan yang tidak bermakna (r = 0,285, p > 0,05). Kesimpulan: Konsentrasi nitric oxide tidak berkorelasi dengan status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan derajat keasaman (pH) saliva sehingga tidak dapat dijadikan sebagai biomarker status kebersihan rongga mulut.

Background: Nitric oxide has antibacterial functions and a role in inflammatory response. Oral diseases are closely related to oral hygiene which can be influenced by various factors, including smoking habits. NO concentration in saliva can be a biomarker of oral and systemic health. However, its relationship with smoking habits and oral hygiene still needs to be studied further. Objectives: To determine the correlation between oral hygiene status (OHI-S) and the degree of acidity (pH) of saliva with the concentration of nitric oxide (NO) in adult smokers. Methods: The samples studied were unstimulated saliva from 10 adult smokers and 8 adult non-smokers. Oral hygiene status is divided into two groups, the good category and the fair category. Nitric oxide concentration was measured using Griess assay in the laboratory. Analysis was carried out using the Independent T-test, Mann-Whitney U, Pearson correlation, and Spearman correlation statistical tests. Results: Nitric oxide concentrations in adult smokers were higher than nitric oxide concentrations in adult non-smokers with a significant difference (p < 0.05). The correlation between oral hygiene status (OHI-S) and nitric oxide concentration was moderately positive with no significant relationship (r = 0.346, p > 0.05). The correlation between the degree of acidity (pH) of saliva and the concentration of nitric oxide was moderately positive with no significant relationship (r = 0.285, p > 0.05). Conclusion: Nitric oxide concentration does not correlate with oral hygiene status (OHI-S) and degree of acidity (pH) of the saliva, thus it cannot be used as a biomarker for oral hygiene status"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Hanifah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Berdasarkan Riskesdas tahun 2013 proporsi anak kelompok usia 1-4 tahun yang memiliki permasalahan gigi dan mulut gigi yaitu 10,4% dan proporsi anak kelompok usia 5-9 tahun yang memiliki permasalahan gigi dan mulut gigi yaitu 28.9%. Penyakit yang paling sering terjadi adalah karies gigi. Oleh karena itu, diperlukan pencegahan terhadap faktor risiko karies gigi. Tujuan : Mengetahui perubahan pH plak, pH saliva, dan kapasitas buffer saliva sebelum dan sesudah berkumur susu pada murid tk al-quran wattalim cipinang besar utara. Metode: Desain studi adalah eksperimental. Subjek penelitian adalah  37 murid TK  yang dipilih melalui metode purposive sampling. 37 murid TK dibagi menjadi dua
kelompok, kelompok perlakuan 1 berkumur susu dan menyikat gigi setiap hari di sekolah sebanyak 20 murid, sedangkan
kelompok perlakuan 2 menyikat gigi setiap hari di sekolah sebanyak 17 murid. Seluruh guru diberikan edukasi mengenai cara memelihara kesehatan gigi dan mulut anak kemudian mengajarkannya kepada murid. Status kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut murid dinilai menggunakan indeks dmf-t, pH plak, pH saliva, dan kapasitas buffer. Evaluasi pemeriksaan dilakukan sesudah 21 hari untuk menilai  pH plak, pH saliva, dan kapasitas buffer Hasil : Terdapat peningkatan pH plak secara bermakna (p=0.001), peningkatan pH saliva secara bermakna (p=0.033), peningkatan kapasitas buffer secara bermakna (p=0.004). Kesimpulan : Adanya perubahan pH plak, pH saliva, dan kapasitas buffer saliva sesudah  berkumur susu yaitu
peningkatan yang bermakna pH plak, pH saliva, dan kapasitas buffer."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>