Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104500 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Some kinds of institutions as products of legal enforcement institution are not only to cause their organization enjoy a benefit, but also to the contrary the Code of Law of Criminal Procedure, the legal basis of criminal justice process. These matters cause a problem of legal syncronization to appear either vertically or horizontally. the result of legal study proved that some laws and other lower regulations regulated the same matters in casation aganits free verdict ( free from legal prosecution). The legal consequencies were unsyncronization of law and legal uncertainty)"
343 JPIH 21 (1999)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Choky R. Ramadhan
Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
364 CHO d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rafa Tabina Bakhiatushsholihat
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan Judicial Pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian doktrinal yang menggunakan tipologi Funtional Comparative Legal dengan fokus Perbandingan Substantif yang berfokus pada perbandingan isi atau substansi dari norma-norma hukum yang ada dari berbagai negara dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan penerapan dari judicial pardon dari berbagai negara yang mengatur mengenai judicial pardon, antara lain Belanda, Yunani, Portugal, Uzbekistan, Perancis, Greenland, dan Somalia, untuk menyusun rekomendasi rencana pembaharuan hukum. Pada skripsi ini, pembahasan akan dibagi menjadi tiga. Pertama, pembahasan mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diberikan judicial pardon dengan mengalisis hukum positif di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang mengatur mengenai judicial pardon dalam hukum positifnya. Kedua, pembahasan mengenai penerapan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan menganalisis peraturan hukum pidana formil dan praktiknya dalam peradilan di Indonesia serta melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang menerapkan judicial pardon. Ketiga, menganalisis pengaturan dan penerapan judicial pardon yang tepat apabila hendak diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penelitian ini mengemukakan bahwa kualifikasi tindak pidana terhadap pemberian judicial pardon diperlukan yang meliputi ringannya perbuatan mengacu pada ketentuan tindak pidana ringan atau dampak dari perbuatannya ringan, keadaan pribadi yang mengacu pada umur dan riwayat hidup pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana dan setelahnya mengacu pada dampak tindak pidana terhadap korban dan terdakwa serta upaya pemulihannya. Lebih lanjut, perlu diatur mengenai mekanisme penjatuhan judicial pardon dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang meliputi bentuk putusan terhadap pemberian judicial pardon yang diatur sebagai putusan khusus dan upaya hukum terhadap putusan judicial pardon berupa upaya hukum kasasi.

This thesis discusses the regulation and application of Judicial Pardon in the criminal justice system in Indonesia with the legal basis of Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code (Criminal Code 2023). The research method used in writing this thesis is doctrinal research that uses Functional Comparative Legal typology with a focus on Substantive Comparison which focuses on comparing the content or substance of existing legal norms from various countries by comparing the regulation, mechanism, and application of judicial pardon from various countries that regulate judicial pardon, including the Netherlands, Greece, Portugal, Uzbekistan, France, Greenland, and Somalia, to develop recommendations for legal reform plans. In this thesis, the discussion will be divided into three. First, a discussion of the qualifications of criminal offenses that can be granted judicial pardon by analyzing positive law in Indonesia and making comparisons with several countries that regulate judicial pardon in their positive laws. Second, it discusses the application of judicial pardon in the criminal justice system in Indonesia by analyzing formal criminal law regulations and practices in the Indonesian judiciary as well as making comparisons with several countries that apply judicial pardon. Third, to analyze the appropriate regulation and application of judicial pardon in Indonesia's criminal justice system. This research argues that the qualifications of criminal offenses for the granting of judicial pardon are needed, which include the seriousness of the act referring to the provisions of minor crimes or the impact of minor acts, personal circumstances referring to the age and life history of the offender, and the circumstances at the time of the crime and afterwards referring to the impact of criminal acts on victims and defendants as well as efforts to recover. Furthermore, it is necessary to regulate the mechanism of judicial pardon in the Criminal Procedure Code (KUHAP) which includes the form of verdict on the granting of judicial pardon which is regulated as a special verdict and legal remedies against judicial pardon decisions in the form of cassation legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khusnus Sabani
"Tesis ini menganalisis bagaimana pelaksanaan diversi di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri, bagaimana parameter untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan diversi oleh Petugas dan bagaimana model yang dapat dipakai untuk menjamin pelaksanaan Diversi. Tesis ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Diversi merupakan proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dapat dilaksanakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam praktiknya tidak semua tindak pidana dapat dilaksanakan dengan diversi. Faktor yang mendorong terwujudnya proses diversi diantaranya adanya persetujuan dan kesediaan pihak korban dan pihak pelaku untuk menyelesaikan perkara melalui diversi serta adanya kesepakatan perdamaian antara pihak korban dan pihak pelaku dalam penyelesaian perkara dengan musyawarah diversi. Parameter untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan diversi oleh Petugas di antaranya adanya kesepakatan diversi, tidak mengulangi pidana dan keberhasilan reintegrasi sosial. Model yang dapat dipakai untuk menjamin pelaksanaan diversi yaitu model Conference / Family Group Conference yang melibatkan instrumen masyarakat.

This thesis analyzes how the implementation of diversion at the level of investigation, prosecution, and examination of juvenile cases in the District Court, what are the parameters for measuring the successful implementation of diversion by Officers and what models can be used to ensure the implementation of Diversion. This thesis was prepared using doctrinal research methods. Diversion is the process of transferring the settlement of juvenile cases from the criminal justice process to a process outside criminal justice. Diversion can be implemented at the level of investigation, prosecution and examination of children’s cases in the District Court based on a restorative justice approach as mandated by Law No. 11 of 2012 concerning the Child Criminal Justice System. In practice, not all criminal offenses can be implemented with diversion. Factors that encourage the realization of the diversion process include the agreement and willingness of the victim and the perpetrator to resolve the case through diversion and the existence of a peace agreement between the victim and the perpetrator in resolving the case with a diversion deliberation. Parameters to measure the successful implementation of diversion by officers include the existence of a diversion agreement, not repeating the crime and the success of social reintegration. The model that can be used to ensure the implementation of diversion is the Conference / Family Group Conference model which involves community instruments."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Benito Harleandra
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang analisis penerbitan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dalam penyelesaian perkara pidana melalui diversi di Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan (Polres Metro Jaksel) ditinjau dari ketentuan Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif yang bersumber dari data primer dan sekunder dengan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara wawancara informan primer, observasi dan telaahan dokumen. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, Penerbitan SP3 sebagai surat ketetapan penghentian penyidikan dalam UUSPPA menjadi lembaga yang digunakan oleh penyidik Polrestro Jaksel untuk menghentikan penyidikan tindak pidana melalui proses diversi. Namun demikian penerbitan SP3 sebagai bentuk penyelesaian perkara AKH melalui diversi tetap merujuk pada ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yang menjadi lembaga penghentian penyidikan yang dilatarbelakangi secara limitatif dalam ketentuan pasal tersebut. Kedua, Dampak yang dapat terjadi apabila pelaksanaan diversi dinyatakan selesai dengan diterbitkannya SP3 yang merujuk pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP sebagai surat ketetapan penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 PP Diversi maka memberikan ruang untuk dibuka kembali penyidikan atas perkara tersebut sehingga AKH tidak memperoleh kepastian hukum dalam penyelesaian perkaranya. Sejatinya, penerbitan SP3 pada penyelesaian perkara AKH dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perkara AKH telah selesai diperiksa dan diadili (memiliki kekuatan hukum tetap) serta telah dilaksanakan hukumannya sehingga tidak dapat dituntut kembali (nebis in idem) pada masa mendatang.

This thesis is the result of research on the analysis of the issuance of Letters of Termination of Investigation (SP3) in the settlement of criminal cases through diversion at the South Jakarta Metro Police (Polres Metro Jaksel) in terms of the provisions of Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code. This research was conducted using a descriptive-qualitative method, which was sourced from primary and secondary data. The data collection method was carried out by interviewing primary informants, observing and reviewing documents. The results of the study show, first, the issuance of SP3 as a decree on termination of investigations in UUSPPA is an institution used by South Jakarta Police investigators to stop criminal investigations through the diversion process. However, the issuance of SP3 as a form of settlement of AKH cases through diversion still refers to the provisions of Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code, which is an institution for ending investigations with a limited background in the provisions of that article. Second, the impact that can occur if the implementation of diversion is declared complete with the issuance of SP3 which refers to Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code as a decision letter to stop the investigation of criminal acts as mandated in Article 24 PP Diversion, thus providing space for the investigation of the case to be reopened so that AKH do not obtain legal certainty in the settlement of the case. In fact, the issuance of SP3 in the settlement of the AKH case is intended to state that the AKH case has been examined and tried (has permanent legal force) and the sentence has been carried out so that it cannot be prosecuted again (nebis in idem) in the future."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soebjakto
Jakarta: IND-HILL-CO, 1991
345 SOE t (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Mafia peradilan merupakan cap buruk yang melekat pada budaya kerja aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, penasehat hukum , serta petugas permasyarakatan) yang mengesampingkan tata cara penegakan hukum secara benar serta melakukan perbuatan-perbuatan yang memperjualbelikan keadilan. Walaupun belum merupakan jaringan terorganisasi dan dan memiliki aturan-aturan yang mengikat pelaku mafia sebagai sebuah organisasi kejahatan telah nyata terlihat. Apabila tidak ditanggulangi secara serius, maka mafia peradilan akan menjadi organisasi kejahatan yang menguasai lembaga peradilan yang bertugas memerangi kejahatan."
JMHUMY 7:2 (2000)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawarman
"Latar belakang permasalahan dari penulisan tesis ini adalah dalam proses penyidikan masih ditemukan adanya berbagai bentuk pengabaian atau bahkan pelanggaran dari hak-hak tersangka , yang dilakukan oleh petugas pemeriksa ataupenyidik Polri. Di dalam penulisan tesis ini, penulis menggambarkan mengenai bagaimana penerapan hak-hak tersangka dalarn proses penyidikan suatu perkara
kejahatan dengan kekerasan oleh petugas penyidik atau pemeriksa terhadap tersangka yang diperiksanya, di Polsek Metro Cakung, termasuk bentuk-bentuk pengabaian dan pelanggarannya, serta untuk memberikan manfaat dan kegunaan bagi kepentingan ilnu pengetahuan dan ilmu kepolisian, khususnya yang berkaitan dengan kajian tentang hak tersangka dalam proses penyidikan. Untuk mengkaji hal tersebut maka dalam melakukan pemhahasan
menggunakan 5 pernyataan proposisional dari teori petukaran modern (exchange theory) yang dikemukakan oleh George C. Humans, yaitu proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu-agresi. Kegiatan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus, sedangkan teknik peugumpulan data dengan menggunakan metode pengamatan terlibat, pengamatan dan wawancara. Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka berkaitan dengan penerapan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan di Polsek Metro Cakung dapat dibagi menjadi 2 hal , yaitu yang berkaitan dengan penerapan hak tersangka dalam proses pemeriksaan, dan yang berkenaan dengan penerapan hak tersangka dalam
hal penahanan. Dalam hal penerapan hak tersangka pada proses pemeriksaan, ternyata belum dilaksanakan sepenuhnya oleh petugas pemeriksa atau penyidik,
bahkan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersangka. Sedangkan untuk penerapan hak tersangka dalam penahanan, sudah diterapkan walaupun tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>