Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98543 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herlizar Rachman
"Memorandum of Understanding Helsinki pada tahun 2005 merupakan capaian terbaik sebuah negara dalam menyelesaikan konflik asimetris secara damai. Perundingan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan pihak GAM menjadi titik paling menarik selama proses ini karena tidak banyak aktor negara yang berinisiatif untuk menyelesaikan sebuah konflik asimetris dengan menggunakan cara-cara yang non- koersif. Oleh karena itu, penelitian ini mengajukan pertanyaan mengapa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla membuka mediasi dengan pihak GAM dalam proses resolusi konflik Aceh tahun 2004-2005?
Dengan menggunakan teori rekonsiliasi, penelitian ini menemukan bahwa cara non-koersif yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia pada proses resolusi konflik Aceh tahun 2004-2005 bertujuan untuk memanfaatkan momentum kemunduran GAM, membentuk citra positif di dunia internasional, serta rekonstruksi pasca-bencana. Temuan tersebut merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan dengan metode process tracing yang memelajari percabangan-percabangan sejarah dari genealogi konflik Aceh dalam periode waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2005.

The 2005's Memorandum of Understanding of Helsinki was known as a state?s best response to asymmetric conflict using peaceful way. The negotiations between the Government of Indonesia and the Aceh Free Movement, or GAM, had become the core of the process since the rarity of such occassion in which a state solving an asymmetric conflict using non-coercive ways. Thus, this research asks why the Yudhoyono and Kalla administration opens a mediation with the Aceh Free Movement during the Aceh conflict resolution process in 2004-2005?
Using reconciliation theory, this research finds that the Government of Indonesia?s choice in using non-coercive ways is due to maximizing the moment of the setback of the Aceh Free Movement, creating positive image among international community, and the post-disaster reconstruction. Those findings are the result of a process tracing method in which this research study the genealogy of the conflict of Aceh and its disjunctures of events during 2004-2005.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S63511
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aunur Rofiq, 1959-
Malang: UIN-Malang Press, 2012
297.56 AUN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Wadi
"Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kesimpulan umum tentang kemungkinan entitas politik di wilayah tak berpemerintahan membentuk otoritas alternatif, melalui studi kasus kelompok Ahrar Syam dalam perang Suriah selama 2011-2016. Untuk mendapatkan kesimpulan yang akurat, pesan-pesan Ahrar Syam dianalisis dengan teori citra dan teori identitas sosial. Temuan menunjukkan bahwa Ahrar Syam adalah metamorfosis gerakan Salafi Jihadi yang terbuka terhadap kelompok luar dan strategi moderat untuk membentuk negara Islam di Suriah. Ahrar Syam tidak menerima negosiasi apa pun yang melibatkan rezim Suriah, sehingga beberapa upaya penyelesaian konflik menemui jalan buntu. Implikasi temuan ini, perang Suriah akan cenderung berlanjut dan solusi apa pun yang dipaksakan dari luar tidak akan mencerminkan realitas di dalam wilayah Suriah dan berakhir dengan kegagalan berulang.

This study aims to find a conclusion about the possibility of political entities in the ungoverned territories forming an alternative authority, through case studies of Ahrar Sham group in Syria's war during the 2011-2016 war. To get an accurate conclusion, the messages of Ahrar Sham analyzed by image theory and social identity theory. The findings indicate that the Ahrar Sham is the metamorphosis of Salafi Jihadi movement that opens itself to the outside groups and implement a moderate strategy to establish Islamic state in Syria. Ahrar Sham does not accept any negotiations involving the Syrian regime, so some efforts to resolve the conflict ended in a stalemate. Implications of these findings, Syria's war would be likely to continue and any solution imposed from outside may not reflect the realities inside Syria and ended up with repeated failure.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alo Liliweri
Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS), 2005
384 Lil p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"This research is aimed to know the social prejudice and social identity factors of aggresive behavior in the sosal conflict between the people of Bearland and palmeriam,East Jakarta"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Secara umum, luas areal dan kepadatan penduduk kota menjelaskan bahwa kota adalah tempat dimana semua manusia dengan karakteristik masingg-masing hidup bersama dan bersosialisasi. Perbedaan ini menimbulkan tekanan tersendiri yang dapat berperan sebagai pemicu terjadinya konflik. Tingkat heterogenitas, faktor ekonomi, sosial dan budaya kerap menjadi faktor pemicu terjadinya konflik sosial di DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan konflik yang terjadi dalam struktur kota serta faktor yang menjadi penentu terjadinya konflik dalam masing-masing zona struktur kota
Dengan menggunakan analisis faktor, dapat diketahui faktor penentu konflik dalam tiap zona struktur kota DKI Jakarta. Selanjutnya analisis keruangan digunakan untuk mengetahui perbedaan masing-masing zona berdasarkan faktor penentu konflik pada tiap zona tersebut.
Konflik perkotaan dapat terjadi dalam ruang kota yang berbeda dengan penyebab yang berbeda pula. Untuk mengetahui perbedaan konflik dalam tiap ruang kota, maka DKI Jakarta dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu: zona inti kota, zona peralihan (transisi), dan zona pinggiran. Zona inti kota terdapat di bagian tengah, meliputi Kecamatan Kebayoran Baru, Setia Budi, Tanah Abang dan Senen. Zona peralihan berada di bagian selatan dan utara zona inti kota, meliputi Kecamatan Kebayoran Lama, Mampang Prapatan, Pancoran, Kramat Jati, Jatinegara, Menteng, Cempaka Putih, Kemayoran, Sawah Besar, Gambir, Kebon Jeruk, Grogol Petamburan, Tambora, Taman Sari, dan Tanjung Priok. Di luar kedua wilayah itu dikelompokkan sebagai zona pinggiran kota.
Berdasarkan zona struktur kota tersebut, diketahui bahwa konflik yang terjadi di DKI Jakarta terjadi di dalam zona struktur kota yang berbeda dengan faktor penentu yang berbeda pula. Dengan analisis faktor dan analisis keruangan didapatkan bahwa faktor penentu konflik di zona inti kota dan zona peralihan adalah faktor fasilitas, sedangkan faktor eksternal adalah faktor penentu konflik di zona pinggiran"
Universitas Indonesia, 2006
S33898
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Musa
"Penelitian tentang konflik dan kegiatan Kepolisian dengan pemecahan masalah di terminal Kalideres ini menempatkan gejala tersebut dalam konteks tingkah laku kekerasan kolektif yang dapat mengarah pada corak etno religion localism apabila penanganannya tidak dapat dikelola dengan baik sebab masyarakat di sekitar terminal bus Kalideres terdiri dani masyarakat majemuk. Dengan demikian, unsur yang menjadi unit analisis adalah kolektifitas dan pemecahan masalah yang beriorientasi pada situasi menang-menang atau win-win solution, sehingga potensi konflik atau konflik yang terjadi tidak menjadi besar dan tidak menimbulkan dampak negatif yang dapat meresahkan masyarakat.
Metodologi penelitian yang dipergunakan adalah metodologi kualitatif dengan cara pengamatan terlibat dan wawancara dengan pedoman serta kajian dokumen. Peneliti mengamati faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dan kekerasan antar-kelompok yang terjadi selama tahun 2004-2005. Disain penelitian adalah studi kasus. Pengumpulan data mempergunakan teknik pengamatan dan wawancara. Penanggulangan kelemahan penelitian dilakukan dengan memperbanyak sumber data metalui berbagai media dan keterlibatan langsung peneliti dalam pencaharian data.
Hasil penelitian menunjukkan adanya faktor mendasar yang menyebabkan terjadinya konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok. Faktor tersebut berupa pendorong struktural, yaitu terdapatnya persaingan, ketidakadilan, perbedaan budaya antarkelompok yang menimbulkan ketegangan. Hal ini disebarluaskan kepada anggota kelompok hingga terjadi upaya mobilisasi kolektif, yang dipicu oleh suatu peristiwa dan intervensi aparat pengendali sosial format yang tidak maksimal sehingga terjadi kejahatan kekerasan kolektif.
Penyelesaian permasalahan konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok dilakukan melalui pertama, faktor persaingan dilakukan upaya menciptakan goal bersama yang menyangkut kepentingan bersama (superordinate goal) dan mencairkan polarisasi antara dua kutub yang berkonflik. Kedua, faktor ketidak-adilan dilakukan melalui upaya pendekatan negosiasi, membangkitkan kepercayaan (trust) dan arbitrasi. Ketiga, faktor perbedaan budaya melalui pendekatan mediasi dan dialog blending atau mengurangi perbedaan yang ada, mencari persamaan, dan berangkat dari persamaan untuk mengurangi perbedaan dengan bersama-sama berangkat menuju titik tengah. Penyelesaian konflik dengan cara-cara di atas, untuk 'sementara waktu' dapat mencairkan situasi yang sempat memanas dan meredakan konflik dan kekerasan antar-kelompok.
Kesimpulan peneliti adalah proses terjadinya konflik dan kejahatan kekerasan antar-kelompok di terminal bus Kalideres, pada dasarnya sesuai dengan teori tingkah laku kolektif dari Smelser dan budaya kelas bawah (lower class culture)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perang suku atau lebih tepat disebut pertikaian antar suku merupakan salah satu bentuk konflik yang lazim terjadi dalam kehidupan di Papua, setidaknnyasampai tahun 1987....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Melisa Arisanty
"ABSTRAK
Keberhasilan Proses Perdamaian salah satunya ditentukan oleh adanya ego
representatif yang memposisikan dirinya sebagai celah struktur yang menjadi
jembatan komunikasi antar pihak-pihak berkonflik. Ego tersebut memainkan
peranannya dalam jaringan komunikasi yang simetris vertikal dan lintas saluran
dalam proses perdamaian dengan menggunakan komunikasi persuasi. Pada
konteks perdamaian ini, seorang ego tidak boleh mempertahankan posisinya
sebagai celah struktur agar perdamaian dapat berhasil. Dengan begitu, penelitian
ini dapat memberikan masukan mengenai konsep structural non-hole dalam
jaringan komunikasi perdamaian yang dapat mengkritisi teori celah struktur
Ronald Burt.

ABSTRACT
One of the success of Peacekeeping Process is determined by a representative ego
which positions itself as a structural hole which becomes communication bridge
between the conflicting parties. Such ego plays its role in vertical and cross
channel simetric of communication network by using persuasive communication.
Further on this peacekeeping context, ego which positions structural hole may not
maintain its position as a structural hole to reach the success of Peacekeeping.
Thus this research can provide conceptual inputs about structural non-hole in
peacekeeping communication network which can critizise the structural hole of
Ronald Burt."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumual, Jolanda Maureen Hendriyete
"Konflik di Aceh adalah konflik yang paling lama dan paling buruk terjadi dalam sejarah Indonesia, lebih dari 20 tahun. Konflik di Aceh secara singkat disebabkan karena masalah distribusi dan identitas, yang berhubungan dengan faktor struktural, politik, ekonomi/sosial dan budaya. Efek utama dari konflik di Aceh adalah rakyat sipil menjadi korban konflik, muncul gerakan-gerakan pemberontakan serta separatis di Aceh, dan penggunaan cara represif melalui kekuatan militer oleh pemerintah, terutama pada masa pemerintahan otoriter Orde Baru.
Ketika konflik sudah menahun, proses memulai dialog tidaklah mudah untuk dilakukan. Bahkan ketika pemerintah Orde Baru tumbang, para pemimpin GAM tidak bisa melepaskan diri dari prasangka buruk, walaupun ada keinginan dari pemerintahan Gus Dur selanjutnya, pada awal Mei 1999 untuk melakukan cara dialog, sebagai usaha menyelesaikan konflik di Aceh. Konflik di Aceh bersifat sangat politis, sensitif, dan telah menimbulkan ketidakpercayaan (lack of trust) antara kedua belah pihak. Dengan alasan ini, tampak jelas bahwa tidaklah mudah bagi pemerintah RI dan GAM, untuk tiba-tiba duduk bersama di meja perundingan, tanpa mediasi pihak ketiga. Inilah kemudian yang menyebabkan pemerintah RI dan GAM memilih untuk menghadirkan pihak ketiga.
Organisasi yang kemudian masuk sebagai pihak ketiga adalah Henry Dunant Centre yang akan menjadi fasilitator pertemuan-pertemuan dan negosiasi-negosiasi antara pemerintah RI dan GAM, serta menjadi mediator yang akan membantu pemerintah RI dan GAM mencari solusi-solusi penyelesaian konflik di Aceh.
Secara prinsip, proses-proses yang dilakukan oleh HDC adalah dalam menjalankan perannya adalah fact finding to dialogue, dialogue to Humanitarian Pause, establishment of Joint Council and Joint Committees/Monitoring Teams, Pause to renewed of Pause followed byMoratorium on Violence, Commander to Commander Meetings, Attempted Peace Zones, Dialogue for Peace (hope for Democratic Consultations and wider consultative processes for the GOI and GAM).
Walaupun pada akhirnya HDC harus meninggalkan Indonesia (Aceh) dengan dijalankannya Martial Law di Aceh pada tahun 2003, namun sebagai pihak ke-3 dalam upaya resolusi konflik di Aceh, HDC telah memberikan masukan positif bagi negara ini dengan mengawali suatu pertemuan perundingan secara damai antara pemerintah Indonesia dan GAM."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>