Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177151 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akbar Setia Wibawa
"Kedekatan emosional merupakan salah satu dimensi interpersonal yang banyak digunakan untuk menjelaskan kualitas hubungan antara cucu dan kakek-nenek (Creasey & Koblewski, 1991). Kedekatan emosional didefinisikan sebagai tingkat emosi positif yang meliputi cinta, kasih sayang, kedekatan, kebersamaan, keadilan, kepercayaan, penerimaan, dan rasa hormat terhadap anggota keluarga dan timbal baliknya dari emosi tersebut (Bengston & Schrader, 1982).
Kualitas hubungan dengan kakek-nenek dapat berpengaruh di berbagai bidang kehidupan remaja, salah satunya adalah identitas diri. Salah satu jenis identitas yang berkembang saat remaja adalah identitas moral. Identitas moral adalah tingkat perbedaan individu dalam merefleksikan nilai-nilai moral sebagai inti dari karakteristik dirinya (Blasi, 1984).
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan identitas moral pada mahasiswa. Sebanyak 333 mahasiswa terlibat dalam penelitian ini. Affectual Solidarity Scale digunakan untuk mengukur kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan Moral Identity Questionnaire (MIQ) digunakan untuk mengukur identitas moral.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan identitas moral pada mahasiswa (r = .126, p < .05). Hal tersebut menunjukkan pentingnya hubungan antara kakek-nenek dengan cucu terhadap pembentukan identitas moral.

Emotional closeness is one of the interpersonal dimension that is widely used to describe the quality of the relationship between grandchildren and grandparents (Creasey & Koblewski, 1991). Emotional closeness defined as the degree of positive emotions toward family members and the degree of reciprocity of these positive emotions (Bengston & Schrader, 1982).
The quality of the relationship with the grandparents can affect adolescences in various areas of life, one of which is the identity. One type of identity that develops during adolescence is a moral identity. Moral identity is an individual difference reflecting the degree to which being moral is a central or defining characteristic of a person?s sense of self (Blasi, 1984).
This research aims to investigate the relationship between emotional closeness with grandparents and moral identity in late adolescents. A total of 333 late adolescence involved in this research. Affecctual Solidarity Scale is used to measure the emotional closeness with grandparents and Moral Identity Questionnaire (MIQ) is used to measure the moral identity.
The results showed that there is a significant relationship between emotional closeness with grandparents and moral identity in college students (r = .126, p < .05). It shows the importance of the relationship between grandparents and grandchildren on the moral identity formation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S62682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Citra Ningrum
"Terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa emosi moral dan identitas moral memiliki hubungan dengan tindakan moral. Keduanya dianggap memiliki hubungan yang positif dengan tindakan moral. Peran komplementer yang dipegang keduanya dalam membentuk individu yang bertindak sesuai dengan moral memicu asumsi adanya hubungan yang positif antara identitas moral dan guilt. Untuk membuktikan asumsi tersebut penelitian ini dilaksanakan dengan sampel 590 mahasiswa. Identitas moral diukur dengan menggunakan Moral Identity Questionnaire dan emosi moral diukur dengan Test of Self-Conscious Affect. Perhitungan dengan menggunakan pearson correlation menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara identitas moral dan emosi moral, khususnya guilt ( r = 0,502, p < 0,05).

Moral identity and moral emotion are often observed in respect to moral action. Both of them are considered as correlated to moral action to degree which each of them complements motivation to display morally relevant behavior. As they have identical role to moral action, I suggest there is a positive correlation between moral identity and moral emotion. This study aim to see the correlation between moral identity and moral emotion of N = 590 college students. I distributed online and offline questionnaires of Moral Identity Questionnaire to assess moral identity and Test of Self-Conscious Affect to assess moral emotion. In summary, these findings suggest that college students who experienced guilt are more likely to have an importance of being moral and to act accordingly (r = 0,502, p<0,05).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ishaq Mahmudil Hakim
"Kecurangan merupakan fenomena negatif yang terjadi di berbagai konteks. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan apakah kecurangan dapat dipengaruhi oleh moral disengagement dan pengaruh tersebut dapat dimoderasi oleh identitas moral. Sebanyak 213 orang mahasiswa dari 7 universitas di Indonesia mengikuti penelitian ini. Peneliti mengukur kecurangan dengan Tugas Matriks Angka yang pernah digunakan oleh banyak peneliti-peneliti lain.
Moral disengagement diukur menggunakan adaptasi dari Moral Disengagement Scale yang dirancang oleh Detert, Treviño, dan Sweitzer (2008). Identitas moral diukur dengan hasil adaptasi dari Moral Identity Questionnaire yang dikembangkan Black dan Reynolds (2016).
Penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan moral disengagement terhadap kecurangan (odds ratio = 1,111; n = 213; p > 0,05; two-tailed). Lebih lanjut, identitas moral tidak memoderasi pengaruh moral disengagement terhadap kecurangan (odds ratio = -1,140; p > 0,05; two-tailed). Elaborasi dari hasil penelitian ini dibahas di dalam diskusi.

Dishonest behavior is a negative phenomenon that occurs in various contexts. This study aims to find out whether dishonest behavior can be influenced by moral disengagement and whether that influence can be moderated by moral identity. 213 students from 7 universities in Indonesia participated in this study. Dishonest behavior was measured by the Number Matrix Task that had been used by many other researchers.
Moral disengagement was measured using adaptations from the Moral Disengagement Scale designed by Detert, Treviño, and Sweitzer (2008). Moral identity was measured by the adaptated Moral Identity Questionnaire developed by Black and Reynolds (2016).
This study found no significant effect of moral disengagement on dishonest behavior (odds ratio = 1.111; n = 213; p> 0.05; two-tailed). Furthermore, moral identity did not moderate the effect of moral disengagement on dishonest behavior (odds ratio = -1,140; p> 0.05; two-tailed). The elaboration of these results was discussed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanief Rachmanu Kautsar
"ABSTRAK
Shame dan Identitas moral berperan memotivasi perilaku moral individu. Sebagai bagian dari identitas diri, identitas moral diduga dipengaruhi oleh shame, tetapi belum ada penelitian yang membuktikan hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa hubungan antara shame dan identitas moral. Variabel shame diukur dengan alat ukur Test of self-Conscious Affect-3 dari Tangney & Dearing, tahun 2002, yang telah diadaptasi ke konteks budaya Indonesia, sedangkan variabel identitas moral diukur dengan alat ukur Moral Identity Questionnaire dari Black & Reynolds tahun 2016, yang juga telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Partisipan penelitian merupakan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, berjumlah 520 orang partisipan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara shame dan identitas moral, (r=0,149; p<0,01). Penelaahan lebih lanjut terkait hasil tersebut kemudian dilakukan.

ABSTRAK
Individual moral behavior is motivated by shame and moral identity. As a part of self-identity, moral identity is assumed to be influenced by shame, but there is no research proving the assumption. This study aims to evaluate the relation between shame and moral identity. Test of Self-Conscious Affect-3 from Tangney & Dearing (2002) used to measure shame and Moral Identity Questionnaire from Black & Reynolds (2016) used to measure moral identity has been adapted to Bahasa Indonesia. The participants of the study were 520 students from different regions in Indonesia. The result showed small but significant relation between shame and moral identity (r=0,149; p<0,01). Further implications were discussed.
"
2016
S63699
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Krisna Murti
"Fraud merupakan fenomena yang sangat merugikan banyak pihak. Penelitian sebelumnya telah menemukan hubungan antara keterikatan orangtua-anak dan perselingkuhan. Akan tetapi, sebagai faktor eksternal, keterikatan orang tua-anak tidak cukup menjelaskan mengapa ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Identitas moral karena posisinya sebagai faktor internal diduga berperan dalam memediasi hubungan kedua variabel tersebut. Penelitian ini memiliki dua tujuan, (1) apakah keterikatan orang tua-anak mempengaruhi identitas moral dan (2) apakah identitas moral memediasi pengaruh keterikatan orang tua-anak terhadap kecurangan. Penelitian yang dilakukan pada 213 siswa di Jabodetabek ini menunjukkan pengaruh keterikatan orang tua-anak terhadap identitas moral. Namun, tidak ditemukan adanya peran mediasi yang signifikan dari identitas moral dalam pengaruh keterikatan orangtua-anak terhadap perselingkuhan. Diskusi dan saran akan dibahas.

Fraud is a phenomenon that is very detrimental to many parties. Previous research has found a link between parent-child attachment and infidelity. However, as an external factor, parent-child attachment does not adequately explain why there is a relationship between the two variables. Moral identity due to its position as an internal factor is thought to play a role in mediating the relationship between the two variables. This study has two objectives, (1) whether parent-child attachment affects moral identity and (2) whether moral identity mediates the effect of parent-child attachment on cheating. This study, which was conducted on 213 students in Jabodetabek, shows the effect of parent-child attachment on moral identity. However, it was not found that there was a significant mediating role of moral identity in the influence of parent-child attachment to infidelity. Discussions and suggestions will be discussed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dyah Rachmawati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara identitas moral dan emosi moral (emosi malu dan emosi bersalah). Emosi malu adalah perasaan negatif yang muncul saat kegagalan seseorang terekspos oleh publik sedangkan emosi bersalah adalah emosi negatif individu yang terasosiasi dengan perasaan personal karena telah melakukan kesalahan atau berperilaku buruk yang melanggar hati nuraninya (Cohen, dkk, 2011). Identitas moral adalah konsep diri seseorang yang memotivasi munculnya perilaku moral yang terdiri dari seperangkat sifat moral (Aquino & Reed II, 2002).
Penelitian dilakukan pada 1.353 mahasiswa (1.034 perempuan, 301 laki-laki; M = 20,15 tahun, SD = 1,50 tahun) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Identitas moral diukur menggunakan Moral Identity Scale (Aquino & Reed II, 2002) sedangkan emosi malu dan emosi bersalah diukur menggunakan Guilt and Shame Proneness (Cohen, dkk, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas moral memiliki korelasi prediktif positif yang signifikan terhadap emosi malu (β=0,167, p<0.01) dan emosi bersalah (β= 0,336, p<0,01). Dengan kata lain, identitas moral terbukti dapat berkontribusi sebagai prediktor dari emosi malu dan emosi bersalah. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk membuktikan hubungan sebab-akibat pada variabel yang diteliti.

This study examined the relationship between moral identity and moral emotion (shame and guilt) in Indonesia. Shame is the negative feeling that arises when one?s failures and shortcomings are put on public display, while guilt is associated with a private sense of having done something wrong or having behaved in a way that violated one?s conscience (Cohen, et al, 2011). Moral identity is a self-conception organized around a set of moral trait (Aquino & Reed II, 2002).
The study was conducted on 1.335 students (1.034 females, 301 males; M = 20,15 years old, SD = 1,50 years old) in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi. Moral identity is measured with Moral Identity Scale (Aquino & Reed II, 2002) whereas shame and guilt are measured with Guilt and Shame Proneness (Cohen, et al, 2011).
The result shows that moral identity has positive predictive correlation with shame (β= 0,167, p<0.01) and guilt (β= 0,336, p<0.01). In other words, moral identity has proven to be one of shame and guilt?s predictor. Future research is needed to provide evidence of the causal link in the observed variables.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64287
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzakia Permata Hati
"Born Confused adalah novel India Amerika yang merepresentasikan bagaimana kalangan dewasa muda India Amerika generasi kedua yang menghadapi masalah identitas. Dengan menggunakan analisis tekstual yang berfokus pada konflik internal dan eksternal dalam novel tersebut, penulis berpendapat bahwa meskipun orang tua dan teman berperan penting dalam pembentukan identitas, tokoh utama dalam novel ini adalah pelaku yang secara aktif membentuk identitasnya sendiri. Kerangka kerja yang digunakan untuk menganalisis isu tersebut adalah teori identitas hibrid Homi K. Bhabha.
Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap penelitian sebelumnya mengenai identitas hibrid pada novel dewasa muda yang menunjukkan identitas yang kompleks dan tidak statis dan juga membahas kalangan dewasa muda sebagai pelaku yang menegosiasi identitas gandanya sebagai bagian dari proses menuju kedewasaan.

Born Confused is an Indian American novel which represents how second generation Indian American young adult face an identity problem. Through textual analysis focusing on internal and external conflicts in the novel, I argue that although family and peers have roles in constructing a person's identity, the main character is an active agent who shapes her own identity. The framework that is used to analyze the issue is Homi K. Bhabha's hybrid identity.
This study contributes to previous research on hybrid identity in young adult novel showing the identity which is not static and complex. It also discusses young adults as agents who negotiate their dual identity as part of their process of growing up."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina
"[ABSTRAK
Artikel ini mencoba untuk menganalisis hubungan antara perjalanan dan pembentukan identitas, khususnya bagaimana perjalanan berkontribusi dalam pembentukan identitas Elizabeth Gilbert di dalam novel Eat, Pray, Love. Elizabeth Gilbert mengalami krisis identitas yang parah setelah ia bercerai dengan suaminya. Ia tidak lagi tahu apa tujuan hidupnya dan selalu dihantui oleh kemuraman dan kesepian untuk bertahun-tahun lamanya. Di tengah keputus-asaannya, ia akhirnya memutuskan untuk bepergian selama setahun ke Italia, India, dan Indonesia. Interaksinya dengan berbagai macam orang dari negara yang berbeda telah membawa dampak positif pada perkembangan identitasnya. Ia telah berubah menjadi pribadi yang lebih utuh yang memiliki tujuan hidup yang jelas. Artikel ini menyimpulkan bahwa perjalanan memberikan kontribusi yang signifikan dalam membantu pembentukan identitas seseorang melalui perubahan lingkungan dan interaksi dengan beragam nilai yang berasal dari masyarakat yang berbeda-beda. ABSTRACT This article attempts to examine the relation between travel and identity formation, especially in how travel contributes in the formation of Elizabeth Gilbert?s identity in the novel Eat, Pray, Love. After going through a divorce, Elizabeth Gilbert went to a major identity crisis. She did not know the purpose of her life and was always being haunted by depression and loneliness for years. In the midst of her despair, she then decided to go on a journey to Italy, India, and Indonesia for one year. Her interactions with different peoples from diverse societies in various countries have brought positive impacts to her identity. She has changed into a more intact person with a clear purpose of her life. This article concludes that travel gives significant contributions in aiding the formation of one?s identity through changes of environment and interactions with various values in different societies. , This article attempts to examine the relation between travel and identity formation, especially in how travel contributes in the formation of Elizabeth Gilbert’s identity in the novel Eat, Pray, Love. After going through a divorce, Elizabeth Gilbert went to a major identity crisis. She did not know the purpose of her life and was always being haunted by depression and loneliness for years. In the midst of her despair, she then decided to go on a journey to Italy, India, and Indonesia for one year. Her interactions with different peoples from diverse societies in various countries have brought positive impacts to her identity. She has changed into a more intact person with a clear purpose of her life. This article concludes that travel gives significant contributions in aiding the formation of one’s identity through changes of environment and interactions with various values in different societies. ]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
M. Amien Rahman Mahendra
"Dinamika kehidupan masyarakat Dusun Poncol telah lama berkait erat dengan Arak Jowo yang telah menjadi identitas dan komoditas. Proses konstruksi identitas Arak Jowo di Dusun Poncol yang berlangsung dalam waktu lama tidak hanya melibatkan pemasak Arak Jowo sebagai produsen tetapi juga masyarakat Dusun Poncol dan masyarakat lain di sekitar Kabupaten Ngawi. masyarakat Dusun Poncol dan masyarakat lain terjadi dalam praktik konsumsi dan jual beli Arak Jowo yang diproduksi oleh pemasak Arak Jowo di Dusun Poncol. Namun, pemasak Arak Jowo sebagai bagian masyarakat Dusun Poncol ini terpaksa harus kehilangan pekerjaannya karena terbitnya Perda nomor 10 tahun 2012 Kabupaten Ngawi dan implementasinya dengan bentuk penertiban gabungan yang berlangsung pada tahun 2018. Pasca penertiban berlangsung, pemasak Arak Jowo merasa bimbang karena keahlian utama yang mereka kuasai dilarang untuk dilakukan lagi berdasarkan peraturan hukum formal yang berlaku. Pasca penertiban, pemasak Arak Jowo mengalami dilema dalam memahami identitas sosial mereka dan cara memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga mereka. Penertiban juga meninggalkan trauma dan bagi ketakutan pemasak Arak Jowo Dusun Poncol terlebih tentang kekacauan terhadap orang luar. Kondisi liminal memaksa pemasak Arak Jowo merasakan kondisi yang serba sulit baik untuk tetap melakukan aktivitas produksi Arak Jowo maupun meninggalkan aktivitas tersebut dan memulai aktivitas baru pengganti Arak Jowo.

The dynamics of the life of the Dusun Poncol people has long been closely related to Arak Jowo which has become an identity and a commodity. The process of constructing the identity of Arak Jowo in Dusun Poncol which took a long time did not only involve the cooks of Arak Jowo as producers but also the people of Dusun Poncol and other communities around Ngawi Regency. The people of Dusun Poncol and other communities are involved in the practice of consuming and buying and selling Arak Jowo produced by Arak Jowo cooks in Dusun Poncol. However, the cooks of Arak Jowo, as part of the Dusun Poncol community, were forced to lose their jobs due to the issuance of Regional Regulation number 10 of 2012 of Ngawi Regency and its implementation in a combined form of control which took place in 2018. After the control took place, the cooks of Arak Jowo felt confused because the main expertise they mastery is prohibited from being carried out again based on the applicable formal legal regulations. After the control, the cooks of Arak Jowo experienced a dilemma in understanding their social identity and how to meet their family's economic needs. The control also left trauma and fear for the cooks of Arak Jowo Dusun Poncol especially about chaos towards outsiders. This liminal condition forced the cooks of Arak Jowo to experience difficult conditions both to continue to carry out Arak Jowo production activities and to leave these activities and start new activities to replace Arak Jowo."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudwina Indira Deannisa
"Permasalahan pembentukan identitas yang dialami oleh imigran merupakan fenomena yang masih marak terjadi terutama pada imigran yang datang ke Jerman. Salah satu penyebabnya adalah karena pertentangan budaya antara budaya asal dan budaya Jerman. Dilematika pertentangan budaya ini menjadi tantangan bagi para imigran yang ingin berintegrasi dan hidup harmonis bersama masyarakat Jerman. Penelitian ini akan meneliti isu tersebut melalui buku audio Der unglaubliche Lauf der Fatima Brahimi (2017) oleh penulis buku anak-anak Jürgen Banscherus. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teori Identitas Budaya dan Diaspora oleh Stuart Hall dan teori Status Identitas oleh James Marcia. Penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga Fatima dan tokoh Jakob memberikan pengaruh besar yang menjadi faktor dilematika pembentukan identitas baru tokoh Fatima sebagai remaja muslim moderat Aljazair-Jerman. Keluarga Fatima menjadi hambatan proses integrasi Fatima sementara Jakob menjadi faktor akselerasi yang mendorong Fatima mengadopsi budaya Jerman dengan cepat.

The problem of identity formation experienced by immigrants is a phenomenon that still arise, especially among immigrants who come to Germany. One of the reasons is due to cultural conflicts between the culture of origin and German culture. This dilemmatic cultural conflict is a challenge for immigrants who want to integrate and live in harmony with German society. This research will examine this issue through the audiobook Der unglaubliche Lauf der Fatima Brahimi (2017) by children's book author Jürgen Bancsherus. This research uses descriptive qualitative methods with the theory of Cultural Identity and Diaspora by Stuart Hall and the theory of Identity Status by James Marcia. This study shows that Fatima's family and Jakob have a major influence that becomes a dilemma factor in the formation of Fatima's new identity as a moderate Algerian-German Muslim teenager. Fatima's family became a barrier to Fatima's integration process while Jakob became an accelerating factor that encouraged Fatima to acquire German culture quickly."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>