Ditemukan 216603 dokumen yang sesuai dengan query
Kevin Richard Christian
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan pertanggungjawaban perdata terhadap pencemaran lingkungan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Permasalahannya adalah proses pengolahan sampah di TPA memiliki sifat berbahaya dan beresiko tinggi dalam mengakibatkan pencemaran lingkungan, sehingga ketika terjadi pencemaran lingkungan, maka akan mengakibatkan adanya konsekuensi hukum yang salah satunya dalam bentuk pertanggungjawaban perdata. Amerika Serikat memiliki konsep pelaksanaan pertanggungjawaban perdata yang baik terhadap pencemaran lingkungan akibat pengolahan sampah di TPA, begitu pula dengan Uni Eropa. Keduanya memiliki peraturan khusus tersendiri yang mengatur mengenai pertanggungjawaban terhadap pencemaran lingkungan yang sedikit berbeda dengan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis-normatif menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu membenahi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sampah agar penerapan pertanggungjawaban perdata dalam menegakan hukum lingkungan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
This thesis discusses a regulation of civil liability for environmental damage in waste disposal facilities in Indonesia, European Union, and United States of America. The issue is that waste which is disposed to disposal facilities has dangerous characteristic even that waste is not a hazardous waste, therefore the waste treatment in waste disposal facilities has great risk to cause environmental damage which results to use civil liability concept. United States of America has better civil liability concept than any other countries, especially Indonesia, and so does European Union. Both America and European Union has its own civil liability regulation concerning the environmental liability regarding environmental damage, while Indonesia has Law No. 32 of 2009 provisions on Envrionmental Protection and Management and Law No. 18 of 2008 provisions on Waste Management. This research is a normative legal research using secondary data. The result of this thesis shows that Indonesia still has to amend solid waste management regulations in order to implement civil liability concept as it should be in order to enforce environmental liability better."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65710
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Janice Fitri Piekarsa
"Di Indonesia, istilah yang bersifat deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek yang dilindungi oleh hukum merek di Indonesia. Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak merek yang bersifat deskriptif berhasil didaftarkan. Hal ini menimbulkan ketidakselarasan antara hukum tertulis dan prakteknya. Larangan untuk mendaftarkan istilah deskriptif sebagai merek ini memiliki alasannya tersendiri. Istilah deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena adanya kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat apabila istilah umum yang bersifat deskriptif dimiliki secara eksklusif oleh satu pihak. Sebagai akibat dari banyaknya merek deskriptif yang berhasil didaftarkan di Indonesia, dibutuhkan ketentuan yang dapat mengatur pendaftaran merek deskriptif agar tetap dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam skripsi ini, Penulis akan menganalisa ketentuan di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang mengatur terkait merek deskriptif yang dapat didaftarkan karena telah memiliki daya pembeda yang kuat. Analisis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengaturan di Indonesia.
In Indonesia, descriptive terms cannot be registered as a trademark protected by Indonesian trademark law. However, in reality, many descriptive terms have been successfully registered as a trademark. This creates a discrepancy between written law and its practice. This prohibition to register descriptive terms as trademarks has its own reasons. Descriptive terms cannot be registered as trademarks because of the possibility of unfair business competition if general descriptive terms are owned exclusively by one party. As a result of the large number of descriptive marks that have been successfully registered in Indonesia, provisions are needed to regulate the registration of descriptive marks to minimize the potential of unfair business competition occuring. In this thesis, the author will analyze the provisions in the United States and the European Union that regulate the registration of descriptive trademarks based on their distinguishing power. This analysis is expected to provide input for regulation in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Raya Adhani
"Syarat sahnya suatu perjanjian yang berlaku di Indonesia diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga, segala perjanjian yang dibuat di antara para pihak baru dinyatakan sah apabila telah memenuhi semua syarat yang tertera dalam Pasal tersebut. Namun demikian, dapat diketahui bahwa terdapat banyak jenis-jenis perjanjian yang terdapat dalam praktiknya, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diatur mengenai perjanjian yang dilarang yaitu salah satunya perjanjian penetapan harga. Di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha seringkali menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang diduga telah melakukan perjanjian penetapan harga. Dalam hal ini, perjanjian penetapan harga dibuktikan berdasarkan sebuah konsep yaitu concerted action atau yang dikenal sebagai tindakan yang dilakukan secara bersama oleh para pelaku usaha. Namun demikian, Undang-Undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud dengan concerted action itu sendiri, sehingga menimbulkan kerancuan dalam praktiknya. Penulisan skripsi ini mencoba untuk melakukan analisa tentang concerted action, apakah concerted action dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah berdasarkan hukum Indonesia? Tidak hanya di Indonesia, concerted action juga diatur dan digunakan di Uni Eropa berdasarkan Treaty on The Functioning of The European Union dan Amerika Serikat berdasarkan Sherman Act. Sehingga, dalam penulisan ini juga akan dilakukan perbandingan dasar hukum serta penerapan concerted action dalam beberapa studi putusan antara Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
The validity of agreement that applies in Indonesia is regulated in Article 1320 Indonesian Civil Code. Therefore, every agreement made between parties is only valid if it fulfils the requirements based on such Article. However, there are many kinds of agreements that occur in real life. Based on Law Number 5 of 1999 on Prohibition of Monopoly and Unfair Competition, it regulates prohibited agreements one of which is price fixing agreement. In Indonesia, The Business Competition Supervisory Commission often sanctioned business actors who allegedly have conducted price fixing agreement. In this case, price fixing agreement is proofed based on the concept of concerted action or known as actions that are done by business actors in a similar manner. However, Indonesian Law does not specifically regulate or define what concerted action is, this cause ambiguity. This writing will analyze on the concerted action, whether or not concerted action can be classified as valid agreement based on Indonesian Law? Not only in Indonesia, concerted action is also regulated and used in European Union based on Treaty on The Functioning of The European Union and United States of America based on Sherman Act. Therefore, this writing will also compare the legal basis and the implementation of concerted action based on court decision between Indonesia, European Union, and United States of America."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mayadita Fathia Waluyo
"Doktrin Likelihood of Confusion sebagai doktrin yang terkandung dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement telah menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menentukan suatu pelanggaran merek. Namun demikian, Doktrin Likelihood of Confusion saat ini belum dianut oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meski begitu, beberapa Majelis Hakim dalam menyelesaikan sengketa merek di Indonesia telah berusaha memberikan pertimbangan terkait Likelihood of Confusion seperti Pada Putusan Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst antara pemilik merek “FORMULA STRONG” melawan pemilik merek “PEPSODENT STRONG 12 JAM” serta pada Putusan Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. antara merek “PUMA” melawan merek “PUMADA”. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis terkait penerapan Doktrin Likelihood of Confusion dalam penyelesaian sengketa merek di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Majelis Hakim dalam menerapkan Doktrin Likelihood of Confusion di Indonesia masih bersandar kembali dengan hanya menitikberatkan pada ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara kedua merek. Padahal, adanya kesamaan antara kedua merek tidak serta merta menimbulkan kebingungan bagi konsumen, yang berujung pada kerugian bagi pemilik merek. Kedua merek juga tetap dapat dibedakan satu sama lain, dan fungsi utama merek sebagai daya pembeda masih terpenuhi. Oleh karenanya, Indonesia diharapkan dapat memperhatikan syarat Likelihood of Confusion dalam penentuan pelanggaran merek dengan cara merumuskannya ke dalam Undang-Undang ataupun menyatukan pemahaman penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum guna mewujudkan keadilan dalam perlindungan hak atas merek.
The doctrine of Likelihood of Confusion as a doctrine contained in Article 16 (1) of the TRIPs Agreement has become the basis for consideration by the Panel of Judges in several countries such as the United States and the European Union in determining a trademark infringement. However, the Likelihood of Confusion doctrine is currently not adopted by Indonesia in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Even so, several Panel of Judges in resolving trademark disputes in Indonesia have tried to provide considerations related to Likelihood of Confusion such as in Decision Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst between the owner of the trademark of "FORMULA STRONG" against owner of the trademark of "PEPSODENT STRONG 12 HOURS" as well as in Decision Number 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. between the trademark “PUMA” against the trademark “PUMADA”. For this reason, this study will analyze the application of the Likelihood of Confusion Doctrine in the trademark disputes resolution in Indonesia, and compare it with the regulation and implementation in the United States and the European Union. This research was conducted using a juridical-normative method with data obtained through a literature study. The conclusion that can be drawn is that the Panel of Judges in implementing the Likelihood of Confusion Doctrine in Indonesia still relies on and by only focusing on whether or not there are similarities in substance or in its entirety between the two trademarks. In fact, the similarities between the two trademarks do not necessarily cause consumers confusion, which leads to the trademark owner’s loss. The two trademarks can also still be distinguished from one another, and the main function of the trademark to distinguish goods and/or services is still fulfilled. Therefore, Indonesia is expected to be able to pay attention to the terms of Likelihood of Confusion in determining trademark infringement by formulating it into the law or uniting the understanding of law enforcer in providing legal considerations in order to realize justice in the protection of trademark rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Azzahra Saffanisa Sudiardiputri
"Slogan merupakan kalimat yang terdiri dari susunan kata yang menarik dan biasa digunakan untuk mempromosikan suatu merek. Slogan pada dasarnya dapat dilindungi sebagai merek. Pengertian merek slogan belum diatur secara spesifik dalam hukum merek Indonesia, tetapi berdasarkan definisi merek yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Merek slogan dapat dikategorikan sebagai jenis merek yang termasuk dalam lingkup merek kata. Penelitian ini membahas terkait perlindungan slogan sebagai merek di Indonesia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji terkait perlindungan merek slogan serta threshold daya pembeda dalam merek slogan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Merujuk pada hal tersebut, penulis akan mengaitkan antara pokok permasalahan dengan peraturan serta doktrin terkait. Kemudian, metode komparatif dengan pembahasan perbandingan antara negara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah mengeluarkan mengatur mengenai merek slogan secara rinci. Penulisan ini akan memuat analisis terkait pengaturan terkait merek slogan yang dapat diaplikasikan di Indonesia. Dengan ini harapannya bagi hukum merek Indonesia untuk mengeluarkan peraturan terkait merek slogan dengan mempertimbangkan efektivitas dan evaluasi dari beberapa negara dan analisa yuridis yang telah dipaparkan.
Slogan is a sentence consisting of interesting wording and is commonly used to promote a brand. Essentially, slogans can be protected as trademarks. The definition of a slogan mark has not been specifically regulated in Indonesian trademark law, but based on the definition of a mark in Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, a slogan mark can be categorized as one sort of trademark that falls within the realm of word mark. This study investigated the trademark protection of slogans in Indonesia, the United States, and the European Union. The aim of this study is to investigate the protection of slogan marks and the distinctiveness threshold of slogan mark in Indonesia, the United States, and Europe. This research is normatively legal and employs qualitative analytical techniques. In reference to this, the author will connect the topic to relevant rules and doctrines. Then, the comparative technique with a comparative discussion between the United States and the European Union enacted slogan mark laws in detail. This paper will analyze legislation governing slogan mark that can be used in Indonesia. Consequently, it is desired that the Indonesian trademark law issue restrictions relating to slogan mark, taking into account the effectiveness and evaluation of many countries and the offered legal analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Melisa Kristian
"ldquo Penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa rdquo; merupakan suatu unsur dan/atau persyaratan yang terkandung dalam beberapa ketentuan yang diatur oleh UU No. 20 Tahun 2016. Namun, undang-undang tersebut tidak secara tegas menyatakan apa yang dikualifikasikan sebagai ldquo;penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa rdquo;. Ketiadaan kualifikasi menyebabkan timbulnya polemik pada tataran praktis, seperti dalam penyelesaian gugatan penghapusan merek terdaftar atas dasar non-use di ranah peradilan. Unsur dan/atau persyaratan ini diatur dan dilihat secara berbeda-beda di tiap negara. Amerika Serikat mengkualifikasikan dengan jelas, bahkan memberikan peran yang besar bagi unsur penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa, yang diistilahkan sebagai use in commerce, dalam peraturan perundang-undangan mengenai merek. Seperti Indonesia, di Uni Eropa ketentuan genuine use yang dimaksudkan sebagai penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa tidak dikualifikasikan dan hanya dijadikan unsur atau persyaratan dalam beberapa ketentuan hukum. Skripsi ini membandingkan pengaturan hukum penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa beserta penerapannya di tingkat pengadilan di Indonesia dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Temuan-temuan dari perbandingan tersebut menunjukkan bagaimana ketentuan penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa, use in commerce, dan genuine use dikualifikasikan dan diatur sebagai unsur dan/atau persyaratan dalam peraturan perundang-undangan di negara dan/atau komunitas yang bersangkutan. Selain itu, temuan juga berupa kriteria-kriteria yang diperoleh berdasarkan putusan-putusan pengadilan. Perbandingan tersebut dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif.
ldquo Use of trademark in good and or service commerces rdquo is an element and or requirement in provisions regulated by Law No. 20 of 2016. However, the law does not expressly state what qualifies as ldquo use of trademark in good and or service commerces rdquo . The absence of qualifications leads to a few problems in practice, such as in the settlement of registered mark deletion on the grounds of non use cases. This element and or requirement is regulated and seen differently in every country. The United States of America regulates the element and or requirement expressly, in fact, the country gives a significant role to the element and or requirement, known as the term ldquo use in commerce rdquo , in the laws on trademark. Similar to Indonesia, European Union does not expressly regulate what qualifies as the element and or requirement ndash known as ldquo genuine use rdquo , it is only stipulated as an element and or requirement in a few provisions. This thesis compares the rules on the use of trademark in commerce as well as the implementation in court decisions in Indonesia with The United States of America and European Union. The findings obtained from the comparison show how use of trademark in good and or service commerces, use in commerce, and genuine use are qualified and regulated as an element and or requirement in respective country community. The normative legal research method was used in order to obtain the comparisons between the regulations and court decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
I Gusti Ayu Andini Vidyalestari
"Perkembangan perekonomian dunia, khususnya dalam bagian pemasaran suatu produk, menyebabkan adanya perluasan terhadap tanda-tanda yang diakui sebagai merek. Alasan ini juga yang menyebabkan Indonesia melalui perundang-undangan terbarunya, mengakui beberapa merek non-tradisional, termasuk pengakuan tanda suara sebagai merek. Pengakuan suara sebagai merek dalam definisi merek sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, menyebabkan Indonesia juga harus melalui pendaftaran terhadap merek suara sebagai salah satu bentuk perlindungan merek. Walaupun demikian, sistem pendaftaran merek suara di Indonesia saat ini yang mensyaratkan pemohon untuk melampirkan representasi grafis dalam label merek, dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mempersulit para pemohon dalam mendaftarkan merek suaranya. Padahal, jika dibandingkan dengan ketentuan yang di Uni Eropa dan Amerika Serikat, ketentuan representasi telah tidak lagi diberlakukan dengan alasan ketidakpastian hukum dan fleksibilitas pendaftaran merek. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan studi perbandingan, penulis melalui tulisan ini menganalisis mengenai ketentuan label merek yang didalamnya memuat persyaratan representasi grafis terhadap proses pendaftaran merek suara di Indonesia. Tulisan ini membandingkan pengaturan representasi grafis dalam pendaftaran merek yang tertuang dalam Pasal 4 UU UU No 20 Tahun 2016 dan Pasal 3 Permenkumham No 67 Tahun 2016 dengan penghapusan pengaturan representasi grafis di Uni Eropa dan ketiadaan kewajiban representasi di Amerika Serikat. Dari perbandingan tersebut, rekomendasi yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia seharusnya menghapus pengaturan representasi grafis dan menggunakan representasi yang lebih praktis seperti hanya dengan rekaman suara.
Developments in the world economy, especially in the marketing department of a product, have led to an expansion of signs that are recognized trademarks. This reason also causes Indonesia, through its latest legislation, to recognize several non-traditional trademarks, including the recognition of sound marks as trademarks. Recognition of sound marks according to the provisions of Article 1 point 1 of Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, causes Indonesia to also go through the registration of sound marks as a form of trademark protection. However, the current system for registering sound marks in Indonesia, which requires applicants to attach a graphical representation on the label merek, is considered to be causing legal uncertainty and making it difficult for applicants to register their voice marks. In fact, when compared to the provisions in the European Union and the United States, the terms of graphical representation are no longer enforced for reasons of legal uncertainty and flexibility in trademark registration. By using normative juridical research methods and comparative studies, the author through this paper analyzes the provisions on label merek which contain graphical representation requirements for the process of registering sound marks in Indonesia. This paper compares the regulation of graphical representation in trademark registration that contained in Article 4 of Law No. 20 of 2016 and Article 3 of Permenkumham No. 67 of 2016 with the elimination of graphic representation arrangements in the European Union and the absence of representation obligations in the United States. From this comparison, the recommendation that can be drawn is that Indonesia should eliminate the arrangement of graphical representations and use more practical representations, such as the use of sound recordings alone."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Citra Ratnaningtyas
"Seiring dengan berkembang pesatnya perekonomian global, Merger menjadi hal yang sangat umum dilakukan dalam kegiatan bisnis. Transaksi Merger menjadi sangat populer bagi para pelaku usaha yang ingin berlomba mengembangkan usahanya serta berupaya memenangkan persaingan. Agar dalam transaksi Merger ini tidak menimbulkan ketentuan-ketentuan yang dilarang dalam Undang-Undang Persaingan Usaha, maka diatur mengenai ketentuan pemberitahuan Merger dan Batasan Nilai Merger sebagai kriteria suatu transaksi Merger harus diberitahu kepada Komisi. Dalam membahas mengenai kontrol Merger khususnya mengenai sistem notifikasi Merger terdapat perbedaan pengaturan di Indonesia dan jurisdiksi lain seperti di Singapura, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah yuridis normatif dan dapat disimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini menggunakan sistem notifikasi post-Merger sedangkan pada jurisdiksi lain umumnya sudah menerapkan sistem notifikasi pre-Merger yang dianggap lebih efektif dalam hal pencegahan pelanggaran Undang-Undang Persaingan Usaha. Serta ketentuan Batasan Nilai (threshold) di Indonesia yang didasarkan atas nilai aset atau nilai penjualan serta belum memisahkan ketentuan bagi Merger lokal dan Merger asing.
Along with the global economic growth, Merger has become a very common thing to do in business activities. Merger transaction becomes very popular for a company who want to compete to develop their business and try to win the competition. In order for the merger transaction does not infringe the prohibited rules in the Competition Act, there are rules for a Merger parties to notified their transaction that has reach the jurisdition threshold to the Commission. In discussing the merger control in particular regarding the merger notification system there are different regulations in Indonesia and other jurisdiction such as in Singapore, the United States and the European Union. In this study, the main issues are answered through the normative analysis method, and it can be concluded that Indonesia currently use the post-merger notification system, while other jurisdiction generally has implemented a pre-merger notification system that are considered more effective in preventing infringement of the Competition Act. And also about the threshold regulations in Indonesia that based on the value of the asset or the value of sales (turnover) and not separate the threshold merger regulation for local Merger and foreign Merger."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66573
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dini Sintya Rahmadany
"Waralaba merupakan hak untuk melakukan kegiatan usaha menjual suatu produk atau jasa. Di Indonesia waralaba dilaksanakan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Pengaturan mengenai waralaba di Indonesia belum terlalu lengkap dan memadai jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat mengatur mengenai waralaba dari peraturan tingkat federal sampai dengan peraturan tingkat negara bagian, sedangkan di Indonesia hanya diatur mulai dari tingkat Peraturan Pemerintah. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai perbandingan peraturan perjanjian waralaba di Indonesia dan Amerika Serikat, serta kewajiban pendaftaran di Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan perbandingan dan peraturan perundang-undangan.
Franchising is the rights to conduct a business in selling product or service. In Indonesia, franchising was held by a Franchise Agreement between Franchisor and Franchisee. Franchise regulations in Indonesia is not complete and adequate when compared to the United States. The United States rules the franchising from federal level to the state level regulations, while in Indonesia is only from the level of government regulation. In this research will discuss the comparison about of franchise agreements regulations between Indonesia and the United States of America, also comparison about the registration of franchise agreements between Indonesia and the United States of America. This research use the normative juridical research by using comparative approach based on methods of comparative law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61878
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Astrella Maryadi Putri
"Tindakan anti persaingan usaha seringkali menimbulkan kerugian bagi beberapa pihak, seperti konsumen atau pesaing usaha. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya hak atas ganti kerugian. Namun, di Indonesia belum banyak pihak yang menyadari bahwa dalam hukum persaingan usaha terdapat mekanisme private enforcement untuk memperoleh ganti rugi, serta belum ada ketentuan yang mendorong penggunaan private enforcement. Hal tersebut sangat disayangkan karena di Amerika Serikat mekanisme private enforcement menjadi alat untuk perolehan ganti rugi yang paling populer dengan berbagai keuntungan serta kemudahan yang ditawarkan. Di sisi lain, Uni Eropa yang juga memberlakukan ketentuan perihal private enforcement ditemukan banyak kendala dan hambatan dalam penerapannya, sehingga penggunaan public enforcement tetap menjadi pemain utama dalam penerapan hukum persaingan usaha. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif terhadap penerapan mekanisme private enforcement dalam hukum penegakan usaha di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ketentuan serta penerapan di Amerika Serikat akan dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penerapan private enforcement di Indonesia.
Several antitrust infringements will harm several parties, for example consumers or competitors. It will consequently give the rights to get compensation. However, only a few people who aware of this rights and also there is no supportive regulations for individual to do these private actions. This is unfortunate because United States of America USA has private enforcement mechanism, which is really popular in order to obtain competitions. USA also gives many advantages and convenience through this mechanism. On the other hand, European Union EU has also imposed the provision on private enforcement. In comparison of implementation in USA and EU, EU has several obstacles. Therefore, public enforcement still takes major parts in enforce EU antitrust law. This research is a normative and legal research with the using of qualitative analysis of regulations and applications of private enforcement in both jurisdictions. In the end, it will be references in the application of private enforcement in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library