Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150821 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arum Diah Purwoningrum
"ABSTRACT
Penelitian ini membahas tentang keputusan yang dibuat oleh U.S. Supreme Court dalam menyelesaikan kasus sengketa pemilihan presiden tahun 2000. Untuk dapat menjelaskan hal tersebut, penelitian ini menggunakan konsep judicial activism, konsep Mahkamah Agung sebagai pembuat kebijakan nasional, enam gagasan politik dan Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat, dan konsep Federal Supreme Court berdasarkan The Federal Papers. Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan bahwa para hakim di U.S. Supreme Court dapat membuat keputusan politis karena peran mereka sebagai salah satu bagian dari cabang kekuasaan politik di pemerintahan. Dengan menggunakan fungsi politik mereka yang konstitusional, U.S. Supreme Court mencegah pelanggaran konstitusi dengan mengakhiri sengketa kasus pemilu Bush v. Gore. Penelitian ini menunjukan bahwa U.S. Supreme Court menggunakan fungsi politik mereka pada sengketa pemilihan presiden tahun 2000 guna mempertahankan peran mereka untuk memastikan bahwa Konstitusi tidak dilanggar dalam cara apapun, dan agar kasus tersebut tidak mencapai ranah Kongres. Fakta bahwa Bush v. Gore tidak memiliki preseden sebagai rujukan untuk penyelesaian kasus, membuat U.S. Supreme Court memiliki alasan untuk membuat keputusan politis dengan menggunakan judicial activism. Keputusan tersebut diambil guna membuat hukum dan preseden baru dari kasus Bush v. Gore, dan menjadikannya sebagai landmark case.

ABSTRACT
This research analyses the ruling decision that of the U.S. Supreme Court on settling the Presidential / General Election dispute in the year 2000. This research analyses the issues of judicial activism, Supreme Court as a national policy maker, six notions of political, and the Federal Supreme Court concept according to the Federal Papers. This reseach argues that the justices of U.S. Supreme Court could make such political decision because their role as a part of political branch of the government. By using its constitutional political function, the Supreme Court prevents a violation of the constitution by putting an end to the Bush v. Gore dispute. This research shows that the U.S. Supreme Court had to exercise their political function on presidential election dispute by the year 2000 in order to maintain their role to make sure that the Constitution is not being violated in any way, and to avoid this case from reaching the Congress. The fact that Bush v. Gore does not have a precedent to refer to, makes the U.S. Supreme Court had their reason to make a political decision by using judicial activism. The action was taken in order to make a new law and new precedent so that the Bush v. Gore can be deemed as a landmark case."
2016
S63767
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napang, Marthen
"Pemilihan umum tahun 2000 di Amerika Serikat telah terlaksana. Tetapi terdapat beberapa masalah yang menjadi pokok bahasan dalam tesis ini, yaitu: mengapa partisipasi para pemilih dalam pemilihan presiden di Amerika relatif terbatas hanya sekitar 50% - 55 % dari suara pemilih, mengapa partai yang memenangkan kursi presiden tidak menjamin partai tersebut mempertahankan kemenangan sebelumnya di Kongres: DPR (The House of Representative) dan Senat, Mengapa Presiden terpilih Amerika dengan dukungan a plurality (Majority electoral college) belum tentu merebut dukungan a majority (popular votes) atau mengapa kandidat yang memperoleh dukungan populer votes tidak terpilih sebagai presiden Amerika, dan apakah makna penyelesaian sengketa politik hasil pemilihan presiden 2000 di Mahkamah Agung Negara Bagian Florida dan Mahkamah Agung Federal Amerika (U.S. Supreme Court) ? Pembahasan dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif yang didukung pendekatan kuantitatif, dengan mengandalkan kesahihan informasi dan data kepustakaan.
Pemilihan dilakukan sebagai perwujudan dari sistem demokrasi konstitusional yang dianut Amerika Serikat. Sistem demokrasi konstitusional memberi pengertian bahwa kebebasan, perwakilan, dan pembatasan kekuasaan pemerintah bersandar pada demokrasi dan konstitusi. Demokrasi menggambarkan pemerintahan yang dibentuk adalah pemerintahan berdasarkan aturan mayoritas (majority rule). Sedang konstitusi menyatakan pembatasan pada kekuasaan demokrasi, dalam batasan bahwa suara mayoritas yang memerintah tidak akan meluas menindas minoritas. Dalam demokrasi partisipasi politik merupakan suatu cara seseorang menyatakan, menentukan, atau mengungkapkan kemampuan dirinya menciptakan nilai-nilai kemanusiaannya dalam sebuah pemilihan. Pemilihan diselenggarakan secara teratur dan berkelanjutan dengan aturan-aturan: winner takes all, the single-member district system, the plurality and majority rule, the Electoral College.
Dalam pemilihan umum tahun 2000, dilakukan pemilihan presiden yang diikuti oleh kandidat Presiden George W.Bush dari Partai Republik dan Al Gore dari Demokrat yang memperebutkan 538 suara elektoral, dengan partisipasi 105.326.325 rakyat pemilih. Juga diadakan pemilihan 435 anggota DPR (the House of Representative) yang diikuti oleh 835 kandidat , dan 34 Senator yang diikuti oleh 75 kandidat.
Ternyata kubu Al Gore mengklaim hasil penghitungan suara para pemilih di Florida, yang saat itu juga merupakan negara bagian yang paling terakhir merampungkan penghitungan suara. Sehingga terjadi persengketaan di Pengadilan. Setelah melalui beberapa tahap persidangan termasuk oleh Mahkamah Agung Florida, akhirnya Mahkamah Agung Federal memutuskan sengketa hasil penghitungan suara ini, dan George W. Bush dinyatakan terpilih sebagai Presiden Amerika ke-43.

Al Gore V. George W. Bush in U.S. President Campaign 2000: Conflict of General Election Result in FloridaThe 2000 General Election in United State has been held. But there were some problem that became the main topic in this thesis, i.e. : why the participation of voters in president election in United State relatively limited only range for 50%-55% of voters, why the party who was winning the president chair were not guaranteeing that party to maintain its former victory in Congress; The House of Representative and Senate, Why the selected American President with the support of plurality (Majority electoral) was still not certain to gain majority support (popular votes), or why did the candidates who had gain popular votes support was not selected as the American President, and what is the mean of resolution for politic conflict of the 2000 general election result at the Supreme Court of Florida State and at the U. S. Supreme Court? The discussion was held based on qualitative approach, by counting on the legality of information and literature data.
Election was held as manifestation of the constitutional democracy system, which was believed in United States. It provides a comprehension that the government's freedom, representative, and authority limitation was lie on democracy and constitution. Democracy described the formed government as government based on majority rule. Whereas, the constitution stated that in limitation of democracy power, the governing majority vote will not expand and oppress the minority. Democracy of politic participation is a certain method to state, determine, or express his ability about creating his humanity values i n one election. United State organized the election regularly and continuously by rules of: winner takes all, the single-member district system, the plurality and majority rule the Electoral College.
On the general election in the 2000 years, the president election were participated by the candidate of Republican Party, President George W. Bush and Al gore of the Democrats Party, which was struggling for 538 Electoral Votes. Also, the election of 435 House of Representative members, which were participated by 835 candidates, and 34 Senators which was participated by 7 5 candidates. It turned out t hat t he Al Gore entrenchment claimed the vote enumeration of the electors in Florida, which in that time was also the last state in completing its vote enumeration. Then there were accusations in the court. After passing several stages of court session including by the Florida Supreme Court, and finally the Federal Supreme Court decide that in this dispute of vote enumeration result, George W. Bush was declared as the 43nd American President."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 12257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Daraini
"ABSTRAK
Penulisan ini membahas mengenai permasalahan syarat dan tanggung jawab maskapai pesawat udara terhadap penyediaan makanan yang menimbulkan kerugian di pesawat udara Indonesia dan Amerika Serikat serta perlindungan hukum terhadap korban perbuatan melawan hukum di pesawat udara Indonesia dan Amerika Serikat. Tujuan penulisan ini menjelaskan syarat dan tanggung jawab maskapai pesawat udara atas perbuatan melawan hukum dalam penyediaan makanan yang menimbulkan kerugian di pesawat udara Indonesia dan Amerika Serikat dan menjelaskan perlindungan hukum terhadap korban perbuatan melawan hukum di pesawat udara Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik analitis data dengan pendekatan kualitatif. Data yang dibutuhkan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil dari penelitian diketahui bahwa dasar pertanggung jawaban perbuatan melawan hukum pada putusan Indonesia dilandasi dengan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata dan Konvensi Warsawa 1929, sedangkan putusan Amerika Serikat dilandasi pada Konvensi Warsawa 1929 saja.

ABSTRACT
This thesis discusses the issue terms and responsibilities of tort by the airlines in the provision of food that damage on an airplane Indonesia and the United States as well legal protection to the victims of tort on an airplane Indonesia and the United States. The purpose of this thesis describes the terms and responsibilities of tort by the airlines in the provision of food that damage on an airplane Indonesia and the United States as well legal protection to the victims of tort on an airplane Indonesia and the United States. This study is data analytical technique with a qualitative approach. The data that is required is secondary data that consist of primary, secondary and tertiary sources of law. The results of the study that the basis of tort liability in Indonesia based on the decision of Article 1367 paragraph (3) of the Civil Code and the Warsaw Convention of 1929, while the United States is based on a Warsaw Convention of 1929."
2016
S65646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Adhitya
"ABSTRAK Penyelesaian sengketa saat ini, dapat diselesaikan dengan melalui jalur peradilan maupun di luar peradilan. Undang-undang No.8 Tahun 1999 membentuk suatu Lembaga dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). (BPSK) mempunyai tugas dan wewenang yang pada intinya adalah Berbagai penyelesain dapat dilihat di UUPK yaitu Penyelesaian dengan jalan litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 48 UUPK. Putusan yang dihasilkan BPSK dengan arbitrase ini akan memberikan suatu pertentangan dari sudut masing-masing pihak, dalam putusan yang dihasilkan ada pihak yang merasa dirugikan dan ada juga pihak yang merasa diuntungkan akibat putusan Arbitrase ini. Putusan Arbitrase yang dikeluarkan BPSK ini menimbulkan suatu pertanyaan, bagaimana kekuatan dan keabsahaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini, dan bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Putusan BPSK dan Pengadilan Negeri dibawahnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian berbentuk penelitian yuridis-normatif, sedangkan metode analisis data yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif dan menggunakan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara. Hasil dari penelitian ini memberikan saran kepada BPSK untuk mengadopsi ketentuan Arbitrase yang berlaku di Indonesia, sehingga BPSK hadir sebagai pilihan penyelesain sengketa diluar pengadilan dapat berjalan maksimal.

ABSTRACT Current dispute resolution, can be resolved through judicial channels or outside the court. Law No. 8 of 1999 established the Consumer Legal Protection Agency, the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK). (BPSK) has the duties and authority in essence is a variety of resolutions can be seen in UUPK namely Settlement by way of litigation can be seen in the provisions of Article 48 UUPK. The decisions produced by BPSK with this arbitration will provide contradictions from the point of view of each party, in the resulting decision there are parties who are disadvantaged and there are also parties that are profitable in this Arbitration award. The Arbitration Award issued by BPSK raises questions, about the strength and validity of the Decision of the Consumer Dispute Settlement Agency, and how to process the law from the Supreme Court Decision that returns the BPSK Decision and the District Court below. This study uses a research method consisting of juridical-normative research, while the data analysis method used by the author is a qualitative method and using a data converter tool used in this study is the study of documents or library materials and interviews. The results of this study provide advice to BPSK to implement the provisions of Arbitration that apply in Indonesia, so BPSK is present as a resolution option."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Surya Purnama
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan wacana eksepsionalisme Amerika dalam kampanye Donald J. Trump pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Untuk mengungkap penggunaan wacana eksepsionalisme Amerika dalam kampanye Trump, penelitian ini mengkaji transkrip pidato penerimaan pencalonan presiden oleh Trump pada Konvensi Nasional Partai Republik. Metodologi kualitatif dilakukan pada penelitian ini dengan menggunakan pendekatan wacana sejarah Discourse-Historical Approach yang dikemukakan oleh Reisigl dan Wodak 2009. Selain itu, konsep komunikasi politik berupa pembingkaian emosi dari Castells 2009 juga digunakan untuk memperluas kajian penelitian ini. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa Trump mengeksploitasi narasi identitas masyarakat Amerika Serikat dengan menggunakan wacana eksepsionalisme Amerika. Selain itu, Trump juga mengeksploitasi rasa amarah dalam menggunakan wacana eksepsionalisme Amerika.

The thesis examines the role of American exceptionalism in Donald J. Trump's campaign in the 2016 U.S presidential election. To analyze his use of American exceptionalism, the study focuses on the speech he delivered when he accepted a presidential nomination at the Republican National Convention. The study uses a qualitative method by employing Reisigl and Wodak rsquo s 2009 Discourse Historical Approach and a political communication concept of emotional framing by Castells 2009. The results show that Trump exploited the narrative identity of American citizens by using American exceptionalism. Moreover, he also exploited anger to amplify the notion of American exceptionalism in his campaign."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reina
"Kepastian hukum dalam upaya penyelesaian sengketa merupakan faktor terpenting dalam terciptanya perlindungan konsumen. Awal pergerakan perlindungan konsumen di dunia salah satunya berkaitan dengan adanya revolusi industri yang mengubah kedudukan konsumen dan pelaku usaha, perkembangan industrialisasi dan globalisasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang dalam menyelesaikan penyelesaian sengketa dilakukan dengan sengketa alternatif. Permasalahan dalam penelitian ini dimulai dari bagaimana perbandingan proses penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia dan bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen melalui penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia dilaksanakan untuk memperoleh kepastian hukum bagi konsumen di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal yang menggunakan pendekatan komparatif. Hasil dalam penelitian ini adalah Perbandingan penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia, dalam hal penyelesaian sengketa melalui sengketa alternatif, baik di amerika dan di Indonesia tidak ditemukan perbedaan yang mendasar yang mengkhususkan terhadap konflik antara konsumen dan pelaku usaha. Di Indonesia khususnya penyelesaian sengketa konsumen melalui alternatif dilaksanakan oleh BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan diberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen berskala kecil dan bersifat sederhana. Secara kelembagaan BPSK dibentuk berdasarkan adopsi dari model small claim tribunal, seperti yang ada di Amerika Serikat namun pada akhirnya pembentukan BPSK didesain dengan memadukan kedua model small claim tribunal diadaptasikan dengan model pengadilan dan model penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution-ADR) yang menggunakan ciri khas penyelesaian sengketa alternatif khas Indonesia. Namun pada pelaksanaannya keputusan BPSK belum dapat mewujudkan kepastian hukum pada Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Putusan Majelis bersifat final dan mengikat”, yakni dengan menambahkan ketentuan bahwa Putusan BPSK wajib memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan lain sebagainya

Legal certainty regarding dispute resolution is the most important factor in the creation of consumer protection. One of the early movements of consumer protection in the world was related to the industrial revolution which changed the position of consumers and business actors, the development of industrialization and globalization that occurred in the United States and Europe which in resolving dispute resolution carried out with alternative dispute. The problem in this research starts with how the consumer dispute resolution process in the United States and Indonesia compares and how the consumer dispute resolution process in Indonesia is implemented to obtain legal certainty for consumers in Indonesia. The research method used in this research is doctrinal research that uses a comparative approach. The results in this study are a comparison of consumer dispute resolution in the United States and in Indonesia, in terms of dispute resolution through the courts, both in America and Indonesia there are no fundamental differences that specialize in conflicts between consumers and business actors. In Indonesia, especially through alternative consumer dispute resolution implemented by BPSK as an alternative dispute resolution institution outside the court, it is given judicial authority to resolve small-scale and simple consumer disputes. Institutionally BPSK was formed based on the adoption of the small claim tribunal model, as in the United States but in the end the formation of BPSK was designed by combining the two small claim tribunal models adapted to the court model and the alternative dispute resolution (ADR) model which uses typical Indonesian alternative dispute resolution characteristics specifically in relation to the law assurance, Article 54, paragraph (3) of Law on Consumer Protection that reads “The decision of Assembly shall be final and binding”, and adding the provision that the decision of BPSK shall contain the heading “For the sake of Justice under the One Almighty God”, and others."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Setyo Budi
"Berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik membawa perubahan paradigma beracara khususnya di Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk menyelesaikan sengketa informasi publik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanahkan pembentukan Komisi Informasi. Dalam tradisi hukum acara peradilan tata usaha negara komisi seperti ini seringkali disebut peradilan semu atau (quasi rechtspraak). Namun demikian tidak dengan Komisi Informasi, Komisi ini merupakan lembaga profesional yang mengevaluasi bagaimana seharusnya keterbukaan informasi itu diselenggarakan dalam suatu negara hukum. Pihak-pihak bersengketa di Komisi Informasi, yaitu Badan Publik dan Pengguna Informasi Publik, dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila badan publiknya adalah Badan Publik Negara. Jika dalam tradisi peradilan tata usaha negara pejabat tata usaha negara senantiasa berkedudukan tergugat, maka dalam penyelesian sengketa informasi pubik di pengadilan, tradisi itu tidak berlaku lagi. Masing-masing dapat bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat sesuai dengan kepentingan masing-masing. Komisi Informasi yang putusannya menjadi acuan untuk dinilai tidak termasuk sebagai pihak yang bersengketa. Terkait dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 160/G/2011/PTUN- JKT, dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara berwenang secara absolut untuk menyelesaiakan sengketa informasi publik. Namun demikian terdapat keterlanjuran proses peradilan yaitu mendudukan Komisi Informasi sebagai tergugat sehingga memungkinkan untuk dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

The enactment of the Law Number 14 of 2008 on Public Information Disclosure, has brought a paradigm shift on the proceeding of courts, especially the State Administrative Court. In order to settle public information disputes, the Law Number 14 of 2008 on Public Information Disclosure mandated the establishment of the Information Commission. This commission is usually called quasi judicial body (quasi rechtspraak) in the State Administrative Court's Procedural Law, but not with this Commission. The Information Commission is a professional body which evaluates how the Public Information Disclosure should be held in a state law. If the Parties initially disputed in the Information Commission, i.e. the Public Body and the public information user, do not accept the verdict of the Information Commission, they may file lawsuit to the State Administrative Court as long as the public body is a statepublic body. If in the State Administrative Court's Procedural Law the state administrative officials always serves as a defendant, then in the settlement of public information dispute in court, the tradition does no longer apply. Each one can act as a Plaintiff or Defendant depending on their own interests. The Information Commission, which decision becomes a reference for assessment, is not considered as a disputing party. In relations to the Jakarta State Administrative Court Decision Number 160/G/2011/PTUN- JKT, it can be concluded that the State Administrative Courts has an absolute competentie to settle the public information disputes. However, there is an error in in the judicial process which put the Information Commission as defendant which allows cassation to be filed to the Supreme Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said Rendy Stasya Rasyip
"Sebelum diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997, wakaf di Indonesia belum tercatat dengan baik, sehingga mudah terjadi penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya dua bentuk perwakafan (wakaf keluarga dan wakaf umum) dan tidak ada keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan itu. sehingga seolah-olah sudah menjadi milik ahli waris atau pengurus (Nazhir).
Dalam tesis ini dianalisis kasus tentang seseorang telah mewakafkan tanah untuk makam keluarga. Namun akhirnya peruntukannya menjadi pemakaman umum. Kasus ini menarik untuk dikaji karena wakaf tersebut tidak didaftarkan dan menimbulkan sengketa, ahli waris menganggap tanah tersebut bukanlah tanah wakaf. Pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis dari penelitian ini adalah bagaimanakah pembuktian tanah wakaf menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dengan tipe penelitian deskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis tidak setuju dengan pendapat Hakim Kasasi yang menganggap bahwa tanah tersebut bukan tanah wakaf dengan pertimbangan tidak adanya saksi-saksi yang mendengar ikrar wakaf. Menurut penulis, pembuktian tanah wakaf dapat dilakukan dengan Saksi-saksi Testimonium De Auditu, yang walaupun tidak dapat digunakan sebagai saksi langsung, tetapi sebagai persangkaan adalah dibenarkan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.308 K/Sip/1959 tanggal 11 Nopember 1959.

Prior to the enactment of Government Regulation No. 28 of 1997, waqf in Indonesia has not been well documented, so it was easy to deviating the nature and purpose of the waqf itself, primarily because of the presence of two forms of waqf (family waqf and general waqf) and there is no requirement for the registration of objects that has become waqf. so as if it belonged to the heirs or the caretaker (Nazhir).
In this thesis has analyzed the case of a person donating the land for a family tomb. But eventually the designation became public cemetery. This case is interesting to study because it is not registered waqf and cause disputes, the heirs assume that land is not a waqf land. The principal issues raised by the authors of this study is how to prove the land of waqf according to legislation No. 41 of 2004 about Waqf. The research method used is a normative juridical research, with the type of descriptive analytical study.
Based on the results of the study, author do not agree with the opinion of Supreme Court Judges who consider that the land is not of waqf land with consideration absence of witnesses who heard the pledge of waqf. According to the author, evidence of waqf land can be done with witnesses Testimonium De auditu, which although can not be used as a direct witness, but as a presupposition is justified, as affirmed in the Supreme Court jurisprudence 308 K / Sip / 1959 dated November 11, 1959.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meigy Citra Oetomo,author
"Meningkatnya kebutuhan akan tanah dengan lahan yang terbatas serta nilai ekonomis tanah yang tinggi menimbulkan permasalahan dan persengketaan diantara kalangan sehingga dibutuhkan suatu kepastian hukum di bidang pertanahan. Dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur bahwa untuk menjamin kepastian hukum bagi tiap masyarakat maka diadakan kegiatan pendaftaran tanah yang menghasilkan sertipikat sebagai alat bukti yang kuat. Dalam penyelesaian sengketa tanah di Indonesia diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki pemahaman mengenai pertanahan serta hukum yang digunakan, salah satunya yaitu Hukum Adat yang menjadi dasar dari Hukum Tanah Nasional, agar dapat menciptakan suatu kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak yang berkepentingan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang.
Permasalahan timbul berkaitan dengan pembuktian dalam hal pemegang sertipikat hak atas tanah yang beritikad baik diharuskan mengganti rugi atas tanah yang digugat oleh pihak lain yang tidak memiliki alak hak atas tanah tersebut. Hal ini yang akan dibahas oleh Penulis dalam tesis ini dengan melakukan pendekatan atas penyelesaian sengketa lahan Cemara Rindang di Balikpapan Timur. Dalam Kasus sengketa Cemara Rindang di Balikpapan, ahli waris mengklaim bahwa tanah sengketa merupakan pemberian dari Sultan Kutai Kertanegara pada tahun 1917. Gugatan diajukan kepada Pemerintah Kota Balikpapan dan masyarakat penghuni ruko Kompleks Cemara Rindang. Dalam sengketa tersebut dimenangkan oleh ahli waris, Pemerintah Kota Balikpapan dan Penghuni Ruko dihukum untuk mengembalikan tanah dalam keadaan kosong atau membayar ganti rugi.

The growing demand for land with limited area and high economic value of the land raises issues and controversies among many people, so that it takes a legal certainty in the land sector. In Article 19 paragraph (1) of Act Number 5 of 1960 on Basic Agrarian Regulation arrange that to ensure legal certainty for individuals then Government should organize a land registration activities that generate certificates as a strong evidence. In the settlement of land disputes in Indonesia, law enforcement officers who have an understanding of the land and the laws that are used is required, one of which is the common law, as the basis of National Agrarian Law, in order to create legal certainty and protection for any concerned parties, as mandated in the Law.
Issues arising in relation with the evidentiary, in the case of the holders of land rights certificates with good faith required to indemnify the land being sued by another party who does not have the land title. It is to be covered by the author in this thesis by approaching the settlement of land disputes of Cemara Rindang in East Balikpapan. In case of Cemara Rindang dispute in East Balikpapan, the heirs claim that the disputed land was a gift from the Sultan of Kutai Kertanegara in 1917. The lawsuit filed to the Government of Balikpapan and Cemara Rindang Complex shophouse residents.This dispute was actually won by the heirs, and as a result, Balikpapan City Government and the shophouse residents was sentenced to restore the land in an empty condition or to pay compensation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinta Artema Vania
"Dalam pelaksanaan tindakan medis, seringkali terjadi sengketa. Hal tersebut dipicu oleh adanya ketidaksesuaian antara hasil dari tindakan medis yang diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dengan apa yang diharapkan oleh penerima pelayanan kesehatan. Sengketa medis dapat diselesaikan melalui lembaga profesi dan lembaga non profesi. Dalam penyelesaian sengketa medis yang diproses oleh lembaga profesi, akan dilakukan pemeriksaan terkait adanya dugaan pelanggaran etik atau disiplin profesi dokter dengan mengacu pada standar profesi kedokteran dan kode etik kedokteran. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh dokter yang memiliki profesi yang sama dalam bidang spesialisasi kedokteran tertentu yang mana terhimpun dalam Perhimpunan Dokter Spesialis. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dan deskriptif, Peneliti menganalisis kedudukan dan peranan Perhimpunan Dokter Spesialis dalam Proses Penyelesaian Sengketa Medis berdasarkan Putusan MA No. 1815 K/Pdt/2021. Tidak ada peraturan yang secara rigid mengatur terkait tugas Perhimpunan Dokter Spesialis, karena hal tersebut bersifat otonomi dari perhimpunan itu sendiri Adapun tugas dan wewenang Perhimpunan Dokter Spesialis (PDSp) diatur dalam anggaran dasar IDI. Dalam anggaran dasar tersebut dinyatakan bahwa Perhimpunan Dokter Spesialis memiliki peran dalam memeriksa pengaduan terkait adanya pelanggaran dalam praktik kedokteran. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis dilakukan berdasarkan standar keprofesian dan sesuai dengan bidang/disiplin spesialisasi masing-masing.

Disagreements frequently arise during the execution of the medical intervention. It was brought on by a contradiction between the results of the medical assistance provided by the medical provider and what the health service recipient expected. Institutions, both professional and non-professional, can be used to resolve medical disagreements. In resolving medical disputes that professional institutions handle, an assessment involving suspected violations of ethics or professional discipline will be carried out about medical professional standards and the medical code of ethics. Doctors who practice the same medical speciality and are members of the Specialist Doctors Association conduct the examination. Researchers examined the position and function of the Specialist Doctors Association in the Medical Dispute Resolution Process based on Supreme Court Decision No. 1815 K/Pdt/2021 using juridical-normative and descriptive research methodologies. The Specialist Doctors Association's responsibilities are independent of the association itself. Hence there are no laws that strictly regulate them. The IDI articles of association set forth the responsibilities and powers of the Specialist Doctors Association (PDSp). According to the articles of association, the Association of Specialists is charged with investigating accusations of malpractice in the practice of medicine. The Specialist Doctors Association's examinations are conducted following their particular specialist disciplines or disciplines and professional standards."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>