Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118460 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tirza Roselina
"Osteoartritis adalah penyakit degeneratif oleh peradangan kronis pada sendi. Penelitian menunjukkan, daun babandotan memiliki efek antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek kuratif dari ekstrak etanol 70% daun babandotan pada parameter hematologi. Penelitian ini menggunakan 30 tikus putih jantan galur Sprague Dawley dan dibagi menjadi 6 kelompok yaitu kelompok normal, kelompok negatif, kelompok positif (glukosamin-kondroitin sulfat 540, g mg / 200 g BB) dan kelompok 3 variasi ekstrak (6,48 mg ; 12,9 mg; dan 25,9 mg) / 200 g BB. Semua kelompok diinduksi oleh 0,05 ml monosodium iodoasetat kecuali kelompok normal. bahan uji diberikan secara oral sekali sehari pada hari ke-29 sampai 49.
Parameter penelitian ini adalah nilai leukosit, limfosit, granulosit, eritrosit, hemoglobin, dan volume rata-rata eritrosit (MCV) yang dihitung pada hari ke-29 dan 50, TNF alfa pada hari ke-50, dan volume edema pada hari ke-0, 29, dan 50. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol 70% daun babandotan dengan 3 variasi dosis mampu mengurangi volume edema, nilai TNF-α, jumlah leukosit, limfosit, granulosit dan juga tidak signifikan mempengaruhi jumlah hemoglobin, eritrosit, MCV.

Osteoarthritis is a degenerative disease by chronic inflammation in joints. Research shown, babandotan leaf has anti-inflammatory effects. This study aimed to analyse curative effects of 70% ethanolic extract of the leaf of babandotan on hematology parameters. This study used 30 male white Sprague Dawley rats and divided into 6 groups they are normal group, negative group, positive group (glucosamine-chondroitin sulfate 540.g mg/ 200 g BW) and 3 doses variation of extract groups (6.48 mg, 12.9 mg, and 25.9 mg)/ 200 g BW. All groups were induced by 0.05 mL of monosodium iodoacetate except normal group. Test materials were given orally once daily on day 29 to 49.
The parameters of this study are level of leukocytes, lymphocytes, granulocytes,erythrocyte, hemoglobin, and mean corpular volume those counted on day 29th and 50th, TNF alpha on day 50th, edema volume on day 0, 29th, and 50th. Results showed 70% ethanolic extract of the leaf of babandotan with 3 doses variation have been able to decrease edema volume, TNF-α level, the number of leukocytes, lymphocytes, granulocytes and also did not significantly influence the number of haemoglobin, erythrocytes, mean cells volume of RBCs (MCV).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65140
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Nurazizah
"Osteoartritis (OA) merupakan sekumpulan nyeri kronik, yang terjadi karena kegagalan kartilago artikular dan diinduksi oleh faktor genetik, metabolik, biokimia dan biomedik. Pilihan terapi untuk OA masih terbatas, sehingga penelitian mengenai hal terebut terus dikembangkan. Penelitian ini bertujuan mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun babandotan (Ageratum conyzoides L.) terhadap kartilago artikular pada tikus model yang diinduksi natrium iodoasetat. Parameter yang digunakan adalah volume edema, tebal dan area kartilago serta jumlah proteoglikan. Tiga puluh ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley dibagi dalam 6 kelompok. Kelompok tersebut diinduksi 0,05 ml natrium iodoasetat (20mg/ml) padahari ke-1, kecuali kontrol normal yang diinduksi larutan salin. Bahan uji diberikan secara oral pada hari ke 29 sampai 49 pada kontrol positif (glukosamin dan kondroitin) dan tiga kelompok dosis bahan uji yaitu 40mg/200g bb, 80mg/200g bb, dan 160mg/200g bb. Volume edema diukur pada hari ke-0, 8, 15, 22, 29, 43,dan 50. Histopatologi kartilago dengan pewarnaan H&E dan Safranin O-fast green pada hari ke-50. Hasil penelitian menunjukan bahwa Dosis 2 dan Dosis 3 memiliki efek menurunkan volume edema, meningkatkan nilai tebal dan area kartilago artikular serta jumlah proteoglikan. Dosis 3 (160mg/200g bb) merupakan dosis terbaik. Hasil ini menunjukan bahwa daun babandotan dapat diteliti lebih lanjut sebagai pengobatan osteoartritis.

Osteoarthritis (OA) is a group of chronic painful, result from articular cartilage failure induced by genetic factor, metabolic, biochemical and biomedical factor. The choice for OA theraphy are limited, so the research about this have to be developed. The aim of this research is to analyze the anti-inflammatory effect and the effect of 70% ethanolic extract of the leaves of Ageratum conyzoides on articular cartilage in rat model induced by natrium iodoacetate. The parameters evaluated were the edema volume, articular cartilage area and thickness, and proteoglican content. Thirty male white Sprague Dawley rats were divided into 6 different groups. These groups were induced with 0.05ml natrium iodoacetate (20mg/ml) on day 1, except normal control induced by saline. Test materials were administered orally once daily on days 29 until 49 to positive group (glucosamine and chondroitin) and 3 doses groups 40mg/200g bw, 80mg/200g bw,dan 160mg/200g bw. Edema volume measurements of rat knee were performed on days 0, 8, 15, 22, 29, 43,and 50. Cartilage histopathology with H&E and Safranin O-fast green staining on days-50. The results showed that dose 2 and dose 3 ethanolic extract of the leaves of Ageratum conyzoides can decrease the edema volume, increase articular cartilage thickness, area, and proteoglycan level. Dose 3 (160mg/200g bw) is the best result. These result indicate that babandotan leaves can be further investigated as a treatment for osteoarthritis."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65637
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Arum Sari
"Osteoartritis merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan inflamasi kronik pada daerah persendian. Berdasarkan penelitian sebelumnya, rumput mutiara memiliki efek sebagai antiinflamasi dalam praktik pengobatan herbal, tetapi belum banyak data yang mendukung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek preventif dan kuratif ekstrak etanol 70% rumput mutiara terhadap sistem imun yang ditandai dengan penurunan jumlah sel darah putih, yaitu leukosit, limfosit, dan granulosit. Penelitian ini terbagi menjadi dua tahapan, yaitu pembuatan tikus model osteoartritis, kemudian pemberian ekstrak rumput mutiara secara preventif dan kuratif secara bersamaan. Pada perlakuan preventif dan kuratif, digunakan masing-masing 30 tikus putih jantan galur Sprague dawley dibagi menjadi 6 kelompok. Kelompok normal diberikan CMC 0,5%, kelompok negatif diberikan 0,025 mL natrium iodoasetat dalam salin 0,9%, kelompok positif diberi suspensi glukosamin kondroitin 520 mg/ 200 g bb untuk preventif, dan 780 mg/ 200 g bb. Kelompok dosis diberikan ekstrak etanol 70% rumput mutiara dengan variasi dosis berturut-turut 5,62 mg; 11,25 mg; dan 22,5 mg. Semua kelompok diinduksi 0,025 mL natrium iodoasetat kecuali kontrol normal. Bahan uji diberikan satu kali sehari secara oral pada hari ke-1 hingga 50 secara preventif, dan diberikan pada hari ke-29 hingga 50 secara kuratif. Pengukuran jumlah leukosit, limfosit dan granulosit dilakukan pada hari ke-14, 28 dan 49. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol 70% rumput mutiara secara preventif (dosis 2= 11,25 mg/ 200 g bb) dan kuratif (dosis 1= 5,62 mg/ 200 g bb) mampu menurunkan jumlah leukosit dan limfosit secara bermakna.

Osteoarthritis is a degenerative disease characterized by chronic inflammation in the joints. Based on previous research, pearl grass has anti-inflammatory effects in the practice of herbal medicine, but doesn?t have a lot of data to support. This study aimed to analyze the preventive and curative effects of the 70% ethanolic extract of pearl grass on the immune system characterized by decreasing number of leukocytes, lymphocytes and granulocytes. This study is divided into two stages, there are making rat model of osteoarthritis, and analyze the effect preventive and curative extract of pearl grass on the immune system. This study used 30 male white Sprague Dawley rats were divided into 6 groups. The normal group was given 0,5% CMC, the negative group was given 0,025 mL of monosodium iodoacetate in 0,9% saline, positive group was given suspension of glucosamine chondroitin 520 mg/200 g BW for preventive and 780 mg/200 g BW for curative. The dose variation was given 70% ethanolic extract of pearl grass with 3 dose variation 5,62 mg/ 200 g BW; 11,25 mg/ 200 g BW; and 22,5 mg/ 200 g BW. All groups were induced by 0,025 mL of monosodium iodoacetate except normal group. The test material is given orally once daily on days 1 to 50 in preventive , and given on days 29 to 50 are curative. Measurement of the number of leukocytes, lymphocytes and granulocytes counted on day 14, 28 and 49. The best results showed that the effect preventive (dose 2 = 11,25 mg / 200 g BW) and curative (dose 1 = 5,62 mg / 200 g BW) extract of pearl grass were able to decrease the number of leukocytes and lymphocytes significantly."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S59846
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Audina Putri
"Osteoarthritis merupakan penyakit kronis jangka panjang yang melibatkan penipisan kartilago pada persendian yang menyebabkan pergesekan tulang sehingga mengakibatkan kekakuan, nyeri, dan gangguan pada pergerakan tubuh. Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) telah terbukti secara empiris untuk mengobati inflamasi. Tanaman ini mengandung flavonoid yang telah dilaporkan sebagai antioksidan dan penangkal radikal bebas yang juga dapat menimbulkan efek antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek antiinflamasi dan pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk) terhadap perubahan proteoglikan pada sendi tikus jantan model osteoarthritis yang diinduksi natrium iodoasetat. Parameter tersebut ditinjau dari volume udem lutut tikus dengan pletismometer dan histopatologi kartilago dengan pewarnaan safranin-o dan fast green. Penelitian ini dilakukan pada 30 tikus jantan Sprague dawley, terbagi dalam 6 kelompok. Kelompok-kelompok tersebut diinduksi pada hari ke-1 dengan natrium iodoasetat secara intrartikular, kecuali kontrol normal yang diinduksi larutan salin. Bahan uji diberikan secara oral pada hari ke 29 sampai 50 pada kontrol positif (glukosamin dan kondroitin sulfat) dan tiga kelompok dosis (ekstrak etanol 70% rumput mutiara), yaitu 780; 5,625; 11,25; 22,5 mg/200 g BB. Pengukuran volume udem lutut tikus dilakukan pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28, 36, 43, 50. Histopatologi kartilago dilakukan pada hari ke-28 dan setelah perlakuan berakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga dosis memiliki efek antiinflamasi dan meningkatkan proteoglikan secara bermakna. Dosis II (11,25 mg/200 g BB) merupakan dosis terbaik. Hasil ini menunjukkan bahwa rumput mutiara dapat diteliti lebih lanjut sebagai pengobatan osteoarthritis.

Osteoarthritis is a chronic long term disease that involves degradation cartilage in joint causing bone friction and leading to stiffness, pain, and disruption in the movement of body. Pearl grass (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) is often used in inflammation therapy in herbal medicine. This plant contains flavonoid, a group of antioxidants and radical scavenging that have anti-inflammatory effect. This study is aimed to analyze the anti-inflammatory effect and the effect of 70% ethanolic extract of pearl grass (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) on proteoglycan changes in joint of osteoarthritis rats model induced by monosodium iodoacetate. The parameters evaluated were the edema volumetric measurements of rats’ knee using pletismometer and cartilage histopatology stained with safranin-o and fast green. This study used 30 male white Sprague dawley rats which were, divided into 6 groups. These groups were induced on day-1 with monosodium iodoacetate by intraarticular injection, except normal group were induced by saline solution. Test materials were administered orally once daily on days 29 through 50 to positive group (glucosamine and chondroitin sulfate) and 3 doses groups (70% ethanolic extract of pearl grass), with 780; 5,625; 11,25; 22,5 mg/200 g BW. Edema volumetric measurements of rats’ knee were performed on days-7, 14, 21, 28, 38, 43, 50. Cartilage histopatology were performed on days-28 and after treatment was ended. The results showed that the extract of pearl grass with some variations of given dose have anti-inflammatory effect and have been able to increase proteoglycan significantly. Dose II (11,25 mg/200 g BW) is the best result. Overall, these results indicate that pearl grass can be further investigated as a treatment for osteoarthtiris."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60129
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Permawati
"Di Indonesia, daun Babandotan (Ageratum conyzoides (L.) L.) (EAC) dan herba Rumput Mutiara (Oldenlandia corymbosa L.) (EOC) telah digunakan secara empiris turun-temurun untuk mengobati penyakit sendin dengan cara ditumbuk kemudian dioleskan. Kuersetin (KU) dan asam ursolat (AU) yang merupakan zat aktif di dalam ekstrak tersebut memiliki aktivitas antiinflamasi pada hewan model yang diinduksi osteoartritis. Di dalam penelitian ini, kombinasi ekstrak babandotan dan rumput mutiara serta kombinasi kuersetin dan asam ursolat diformulasikan dalam sistem pembawa nanoemulsi sehingga memiliki karakteristik fisik yang baik serta dapat menghambat proses inflamasi dan dapat digunakan sebagai obat osteoartritis. Sebanyak 50 (lima puluh) ekor tikus dibagi dalam 10 kelompok (n=5) yaitu: (1) kelompok kontrol normal (normal) (2) kelompok kontrol negatif (negatif) (3) kelompok kombinasi EAC-EOC (EAC-EOC) (4) kelompok EAC tunggal (EAC) (5) kelompok EOC tunggal (EOC) (6) kelompok kombinasi KU-AU (KU-AU) (7) kelompok KU tunggal (KU) (8) kelompok AU tunggal (9) kelompok kombinasi KU-AU non-nano (Emulgel KU-AU) (10) kelompok kontrol positif (positif). Pada hari ke-0, tikus diinduksi monoiodoasetat secara intraartikular 3,0mg/0.05 mL kecuali kelompok normal. Pemberian sediaan topikal sesuai dengan kelompok dosis dilakukan mulai hari ke-29. Dilakukan evaluasi terhadap volume udem (setiap 7 hari), analisis kadar sitokin serum dengan enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA) dan histopatologi serta imunohistokimia pada hari ke-57. Volume udem lutut tikus tidak berbeda bermakna dengan kelompok normal sejak hari ke-42. Penurunan kadar sitokin serum terjadi pada biomarker Protein S100A8, Interleukin-1β, inducible nitric oxide synthase (iNOS), matrix metalloproteinase-13 (MMP-13), a disintegrin and metalloproteinase thrombospondin-like motifs-5 (ADAMTS-5), Kolagen Tipe 2 dan Aggrecan Core Protein. Perbedaan bermakna semua kelompok perlakuan dengan kelompok negatif terjadi pada biomarker penanda proses inflamasi yaitu Protein S100A8, Interleukin-1ß dan iNOS (#P<0,05). Hasil evaluasi histopatologi dan imunohistokimia menunjukkan bahwa terjadi penghambatan degradasi proteoglikan. Sediaan nanoemulgel yang dikembangkan baik komposisi tunggal maupun kombinasi dapat memperbaiki kerusakan kartilago yang bermanfaat sebagai obat osteoartritis.

In Indonesia, babandotan leaves (ageratum conyzoides (L.) L.) (ACE) and pearl grass herbs (Oldenlandia corymbosa L.) (OCE) have been used empirically as topical preparation for traditional medicine in the treatment of joint disease. Their active compound namely quercetin (QU) and ursolic (UA) acid has appearance anti-inflammatory activity in osteoarthritis (OA) animal model. We investigated nanoemulgel of combination QU and UA as well as the combination ACE and OCE from nanoemulsion carrier systems as the new drug focused on plant-based natural products with a good physical characteristic that inhibit inflammatory process and applied in managing osteoarthritis (OA). Fifty animals were randomly designated to the 10 groups (n=5) as follows: (1) normal control group (Normal), (2) negative control groups (negative), (3) combination ACE-OCE, (4) single ACE, (5) single OCE, (6) combination QU-UA, (7) single QU, (8) single UA, (9) combination QU-UA non-nano formula (emulgel QU-UA), (10) positive control group (positive). Rats were receiving intraartikular monoiodoacetate injection 3.0mg/0.05 mL on day 0 exluding for normal control group. All groups were administered topical preparations allow to each dose group on day 29. We evaluated knee edema profile (every 7 days), serum cytokine level (on day 57) with enzyme-linked
immunoabsorbent assay (ELISA) and histopatological and immunhostochemistry evaluation. Since day 42, knee edema profile of all group treatment has been similar with normal control group (p>0.05). Serum cytokines level for some biomarkers, such as S100A8 Protein, Interleukin-1β, inducible nitric oxide synthase (iNOS), matrix metalloproteinase-13 (MMP-13), a disintegrin and metalloproteinase thrombospondin-like motifs-5 (ADAMTS-5), Collagen Type II and Aggrecan Core Protein were decrease. A significant difference compared with negative group showed for all groups treatment on measurement of inflammation process biomarker of S100A8 Protein, IL-1β, and iNOS (#P<0.05). Based on histological and immunohistochemistry evaluation showed that there was inhibition of proteoglycan degradation. The developed nanoemulgel ACE-OCE and QU-UA either combination or not has good physical characteristic and promising effect to enhance MIA induced cartilage damage as potential therapeutic agent for OA and encouraging to conduct further study as clinical trials. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T53404
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catherine
"

Osteoartritis adalah penyakit yang ditandai dengan degradasi tulang rawan artikular, pembentukan osteofit, remodeling tulang subkondral, dan peningkatan produksi sitokin proinflamasi. Secara in vitro kombinasi ekstrak lampeni (Ardisia humilis) dan temulawak (Curcuma zanthorrhiza) memiliki efek antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek antiinflamasi kombinasi ekstrak pada tikus osteoartritis yang diinduksi natrium iodoasetat. Tikus putih jantan Wistar yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 7 kelompok (n=4): kontrol normal dan negatif, keduanya diberi karboksimetil selulosa 0,5%; kontrol positif 1 diberi suspensi natrium diklofenak; kontrol positif 2 diberi suspensi glukosamin-kondroitin (34,2 mg/200gBB); kelompok ekstrak variasi 3 dosis yang diberi 48, 96, dan 192 mg/200gBB masing-masing pada hari 29 sampai 49. Semua kelompok diinduksi secara intraartikular dengan 0,05 mL sodium iodoacetate (1 mg/mL) pada hari ke-1, kecuali kontrol normal yang diinduksi dengan saline. Pengukuran volume edema lutut tikus dilakukan pada hari ke 0, 28 dan 49. Serum dikumpulkan pada hari ke 50 untuk mengevaluasi IL-1β, TNF-a dan MMP-9 dengan ELISA. Kombinasi ekstrak dosis 1, 2 dan 3 dapat menurunkan volume edema, kadar IL-1β, TNF-a dan MMP-9 secara signifikan dengan kontrol negatif. Dapat disimpulkan bahwa kombinasi ekstrak lampeni dan temulawak dapat memulihkan inflamasi (dose-dependent) dengan menghambat IL-1β, TNF-a dan MMP-9 pada proses inflamasi. 


In in vitro studies, extract combination lampeni (Ardisia humilis) and temulawak (Curcuma zanthorrhiza) had an anti-inflammatory effect. This study aims to analyze the anti-inflammatory effect of the combination lampeni and temulawak extract in sodium iodoacetate-induced osteoarthritis rats. White male Wistar rats used in this study were divided into 7 groups (n=4): normal control and negative control groups, both given 0.5% carboxymethyl cellulose; positive 1 control group given sodium diclofenac suspension; positive 2 control group was given glucosamine-chondroitin suspension (34,2 mg/200gB.W.); the 3 dose variation extract groups were given 48, 96, and 192 mg/200gB.W. respectively on day 29 until 49. Measurement of edema volume of rat knees was performed on day 0, 7, 14, 21, 28, 42, and 49. Serum was collected at day 50 to evaluate IL-1β, TNF-𝛼 and MMP-9 by ELISA. The extract combination lampeni and temulawak all dose could decrease the edema volume. Particularly, dose 3 (192 mg/200gB.W.) of extract combination lampeni and temulawak were able to significantly decrease IL-1β, TNF-a and MMP-9 levels from the negative control groups. In conclusion, extract combination lampeni and temulawak can recover inflammation (dose-dependent) by inhibiting IL-1β, TNF-a and MMP-9 in inflammation.

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Agustina Permatasari
"ABSTRAK
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak bandotan yang mengandung kuersetin memiliki efek sebagai inhibitor enzim MMP-9 dan inhibitor sitokin TNF- . Target pengobatan osteoartritis adalah ke dalam ruang sendi sinovial yang membutuhkan suatu sistem penghantaran obat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kemampuan gel nanopartikel kuersetin dan gel ekstrak bandotan dalam menghambat proses inflamasi dan degradasi proteoglikan pada tikus model osteoartritis. Hewan uji sebanyak 35 ekor dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan, yaitu kelompok SHAM kontrol normal , kontrol negatif, kontrol positif gel natrium diklofenak , dosis 1 0,84 mg/g gel , dosis 2 1,68 mg/g gel , dosis 3 3,36 mg/g gel , dan gel bandotan. Semua kelompok, kecuali SHAM, menjalani prosedur DMM. Setelah 28 hari, kemudian dilakukan pengolesan gel selama 42 hari. Parameter yang dianalisa adalah pengukuran volume udem, pengukuran kadar serum IL-1 , MMP-9, MMP-13, dan ADAMTS-5 serta pengukuran intensitas warna merah pada pengamatan histopatologi tulang lutut. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa gel nanopartikel kuersetin dosis 1, 2, dan 3 serta gel ekstrak bandotan mampu menurunkan volume udem, menurunkan kadar serum IL-1 , MMP-9, MMP-13, dan ADAMTS-5, serta meningkatkan intensitas warna merah pada pengamatan histopatologi. Kesimpulannya adalah gel nanopartikel kuersetin dan gel ekstrak bandotan mampu menghambat proses inflamasi dan degradasi proteoglikan pada tikus model osteoartritis.

ABSTRACT
Prior research has shown that bandotan extract containing quercetin has an effect as a MMP 9 enzyme inhibitor and TNF cytokine inhibitor. The target of osteoarthritis treatment is into the synovial joint that requiring a drug delivery system. Purpose of this study was to analyze the ability of quercetin nanoparticle gel and bandotan extract gel in inhibiting inflammatory process and proteoglycan degradation in osteoarthritis model rat. Total of 35 rats were divided into 7 groups that consist of SHAM normal control group, negative control, positive control sodium diclofenac gel , dose 1 0,84 mg g gel , dose 2 1,68 mg g gel and dose 3 3,36 mg g gel , and bandotan extract gel. All group perform DMM except sham group. After 28 days, gel was applied for 42 days. The parameter that has been analyzed were edema volume measurements, serum index of IL 1 , MMP 9, MMP 13, ADAMTS 5, measurement of color intensity on histopathological observations of knee joint. Result showed that quercetin and bandotan gel able to lower edema volume, serum concentration of IL 1 , MMP 9, MMP 13, ADAMTS 5, and increased color intensity on histopathological observations. In conclusion, quercetin loaded nanoparticle gel and bandotan gel were able to inhibit the inflammatory process and degradation of proteoglycans in osteoarthritis model rats."
2018
T49805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setia Wati Astri Arifin
"Latar Belakang: Osteoartritis (OA) lutut seringkali menyebabkan disabilitas akibat nyeri dan penurunan kemampuan fungsional berjalan. Low Level Laser Therapy (LLLT) dan High Intensity Laser Therapy (HILT) telah terbukti mampu menurunkan nyeri dan kemampuan fungsional pada OA lutut, namun hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan kedua modalitas tersebut.
Tujuan: Mengetahui perbedaan efek LLLT dan HILT terhadap derajat nyeri dan kemampuan fungsional pasien OA lutut.
Metode: Studi ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang melibatkan 61 subjek yang diacak ke dalam kelompok LLLT (n=31) dan HILT (n=30). Subjek adalah pasien OA lutut di Poliklinik Muskuloskeletal Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan VAS ≥ 4 dan mampu berjalan 15 meter. Terapi laser diberikan 3 kali seminggu selama 2 minggu. Derajat nyeri dinilai dengan VAS dan kemampuan fungsional dinilai dengan uji jalan 15 meter.
Hasil: Setelah 6 kali terapi, didapatkan penurunan VAS kelompok LLLT dan HILT sebesar 3 (2 – 4) dan 3 (2 – 5) serta peningkatan kecepatan berjalan sebesar 0,23
(0,02 – 1,24) meter/detik dan 0,22 (0,08 – 0,7) meter/detik) yang bermakna secara statistik (p<0,001) maupun secara klinis. Pada perbandingan antar kelompok didapatkan kelompok HILT mengalami penurunan VAS yang lebih cepat dan lebih besar dibanding kelompok LLLT (p<0.001), namun tidak didapatkan perbedaan perubahan kecepatan berjalan yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,655).
Simpulan: Pemberian HILT pada pasien OA lutut mampu menurunkan derajat nyeri dengan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan pemberian LLLT.

Background: Osteoarthritis (OA) of the knee causes disability due to pain and decreased functional ability to walk. The degree of pain will affect the functional ability to walk. Low Level Laser Therapy (LLLT) has been shown to reduce pain in knee OA, while High Intensity Laser Therapy (HILT) is able to reach deeper joint areas.
Aim: To compare the differences of LLLT and HILT on pain and functional capacity knee OA.
Methods: This is a double-blind randomized controlled trial with 61 subjects randomized into LLLT (n=31) and HILT (n=30) groups . Subject was knee OA patient with VAS ≥ 4 in Muskuloskeletal Polyclinic of Medical Rehabilitation RSUPN Cipto Mangunkusumo. Laser therapy was given 3 times per week for 2 weeks. Pain measured with VAS and functional capacity evaluated with 50-feet walk test.
Result: After 6 therapy sessions, both LLLT and HILT group showed reduced VAS score [LLLT = 3 (2 – 4), HILT = 3 (2 – 5)] and increased walking speed (LLLT =
0.23 (0.02 – 1.24) m/s, HILT = 0.22 (0.08 – 0.7) m/s) which was statistically (p<0.001) and clinically significant. HILT group had faster and greater VAS reduction compared to LLLT group (p<0.001), but there was no significant difference in walking speed between the two groups (p=0.655).
Conclusion: HILT and LLLT combined with exercise were effective in reducing pain and increasing functional capacity in knee OA patient after 6 sessions of treatment. Pain improvement was faster and greater in HILT group than LLLT group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Notario Haryanto Putro
"ABSTRAK
Osteoarthritis (OA) adalah kelainan sendi lutut degeneratif tersering. Artroplasti distraksi adalah sebuah alternatif tata laksana OA. Penelitian dilakukan pada 32 lutut kambing diinduksi secara mekanis menjadi OA dengan menisektomi lateral. Dalam penelitian 6 kambing mati. Arthroplasti distraksi dilaksanakan pada 10 lutut selama 4 minggu, dan 10 lutut kontralateral dibiarkan, kemudian diperiksa anatomi dan histopatologinya. Terdapat perburukan anatomis dan histopatologis pada lutut yang diberikan perlakuan. Perbandingan anatomis menggunakan staging ICRS berbeda bermakna (p <0,002) dan histopatologis menggunakan scoring OARSI berbeda bermakna (p<0,002). Arthroplasti distraksi masih memerlukan penelitian lebih lanjut pada hewan coba sebelum dapat diterapkan ke uji klinis kepada manusia.

ABSTRACT
Osteoarthritis (OA) is the most common knee degenerative disease. Distraction arthroplasty is a an alternatif for OA management. On this study 32 goat stiffle joints were mechanically induced to OA by lateral meniscectomy. During research 6 goats were deceased. Distraction arthroplasty was performed on 10 joints for 4 weeks, contralateral knees left untreated. Cartilage were anatomically and histopathologically examined. There was worsening on treated joints. The anatomical difference assessed using ICRS stage was significant (p<0,002) and the histopathological difference assessed using OARSI scoring was significant (p<0,002). Therefore distraction arthroplasty requires more animal research before human studies."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Isbagio
"Osteoartritis (OA) didefinisikan sebagai penyakit yang diakibatkan kejadian biologik dan mekanik yang menyebabkan gangguan keseimbangan antara proses degradasi dan sintesis dari kondrosit, matriks ekstraseluler tulang rawan sendi dan tulang subkondral, Penyakit OA bermanifestasi sebagai perubahan morfologik, biokimia, molekuler dan biomekanik dari sel dan matriks yang mengakibatkan perlunakan, fibrilasi, ulserasi, menipisnya tulang rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral, osteofit dan kista subkondral. Penyakit ini merupakan salah satu jenis penyakit reumatik yang paling sering ditemui di seluruh dunia. WHO memperkirakan 10 % dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun terserang penyakit ini. Di Indonesia OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak dijumpai. Di Poliklinik Subbagian Reumatologi FKUI/RSCM ditemukan pada 43.82% dari seluruh penderita baru penyakit reumatik yang berobat antara tahun 1991-1994. Etiopatogenesis osteoartritis pada umumnya dan osteoartritis lutut pada khususnya belum sepenuhnya diketahui. Telah diketahui bahwa tidak ada satupun etiologi tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi pada OA. Faktor risiko pada OA dapat dibedakan dalam faktor risiko kejadian awal (incident) dan faktor risiko progresivitas dan beratnya OA. Salah satu faktor risiko yang diduga berperan pada progresivitas OA lutut ialah densitas massa tulang (DMT). Penelitian epidemiologik longitudinal mendapatkan bahwa DMT tinggi berperan sebagai salah satu faktor initiasi kejadian OA lutut , tetapi tidak berhubungan dengan progresivitas. Sejumlah petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitornya yang berasal dari tulang rawan sendi telah ditemukan di berbagai penelitian pada hewan percobaan dan pada manusia penderita OA. Petanda molekuler tersebut antara lain YKL-40 (Petanda sintesis) dan Cartilage oligomeric protein (COMP, petanda destruksi), sedangkan enzim proteinase antara lain Matrix Metaloproteinase-3 (MMP-3, petanda katabolik) serta inhibitornya Tissue inhibitors of metaloproteinase-1 (TIMP-1, petanda anabolik), mengalami perubahan sejajar dengan progresivitas radiografik OA Iutut. Hingga saat ini suatu penelitian longitudinal yang mencari hubungan antara DMT dengan progresivitas OA lutut pada pasien yang telah menderita OA lutut dengan menggunakan parameter petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitomya belum pernah dilakukan. Penetapan Masalah Penelitian Menjadi suatu pertanyaan apakah pada pasien OA lutut setelah jangka waktu panjang akan terjadi progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi.,bagaimana kaitan antara DMT total yang rendah dalam jangka waktu panjang terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, dan bagaimana korelasi di antara kadar serum petanda molekuler/metabolik. Metodologi Penelitian Desain penelitian: Studi kohort dengan efek berskala numerik pada penderita OA lutut primer, derajat 2 dan 3 yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok DMT total normal dan kelompok DMT total osteopenia/osteoporosis untuk menilai pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi. Tempat dan waktu penelitian: Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Waktu penelitian ialah tahun 1997 (awal penelitian) sampai dengan tahun 2004 (akhir penelitian). Populasi dan sampel penelitian: Penderila OA lutut yang datang ke Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM Jakarta pada tahun 1997-1998 yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Hasil Penelitian Karateristik kasus Telah dilakukan evaluasi awal dan akhir pada 37 penderita OA lutut, yang terdiri dari 14 penderita kelompok osteopeni/osteoporosis dan 23 penderita kelompok normal. Analisis berbagai karateristik klinik yaitu umur, jenis kelamin, lama sakit, katagori berat badan, derajat OA lutut, nilai aktifitas harian, Indeks Lequesne pada awal penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok yang menunjukkan homogenitas kedua kelompok tersebut. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk lama penelitian di antara kedua kelompok. Pada seluruh kasus di akhir penelitian terdapat peningkatan nilai Indeks Lequesne dan penurunan nilai aktifitas harian yang bermakna (p<0.05) dibanding dengan awal penelitian. Tidak ada perbedaan bermakna perubahan tingkat sakit di antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) rerata kenaikan nilai Indeks Lequesne di antara katagori perubahan tingkat sakit. Hubungan karakieristik kasus dengan petanda metabolik Terdapat korelasi positif sedang bermakna (r=0.453, p<0.01) antara umur dengan log kadar YKL-40 serum awal penelitian, aorta korelasi positif sedang bermakna (r=0.368, pr0,05) antara umur dan kadar TIMP-1 serum awal penelilian.Tidak terdapat korelasi antara umur dengan COMP dan MMP-3 serum. Kadar TIMP serum awal penelitian lebih tinggi pada wanita (251.76 + 50.31 ng/mL) dan pria (225.79 + 20.26 ng/mL), Kadar MMP-3 serum awal penelitian lebih tinggi pada pria (25.94±12,18 ng/ml) dari wanita (17.81 + 10.64 ng/mL) dan ratio kadar MMP3/TIMP-1 awal penelitian lebih tinggi pada pria dari wanita, perbedaan tersebut bermakna (p<0,05). Tidak ada perbedaan bermakna kadar YKL-40 dan kadar COMP serum antara pria dan wanita. Tidak ada korelasi antara lama sakit dengan kadar YKL-40, COMP, TIMP-l .dan MMP-3 serum pada awal penelitian. Indeks Massa Tubuh (IMT) awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.411) dan bermakna (p < 0.05) dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Sedangkan petanda metabolik lainnya tidak mempunyai korelasi dengan IMT awal penelitian. Pada akhir penelitian tidak terdapat korelasi antara IMT akhir penelitian dengan salah satu petanda metabolik tulang rawan sendi yang diteliti . Tidak terdapat perbedaan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian, Kadar COMP serum awal penelitian, Kadar TIMP-l serum awal penelitian, Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian, dan Log Ratio MMP-3/111MP-1 awal penelitian di antara tingkat derajat OA lutut awal penelitian, Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r = 0.685) dan bermakna (p< 0,001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.512) dan bermakna (p<0.01), Kadar TIMP-1 serum awal penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0.573) dan bermakna (p<0.001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0,434) dan bermakna (p< 0,01). Kadar serum awal dan akhir penelitian petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 tidak berkorelasi dengan Indeks Lequesne awal dan akhir. Tidak terdapat hubungan antara Total nilai aktivitas harian awal penelitian dengan berbagai kadar petanda metabolik tulang rawan sendi awal penelitian, demikian pula pada akhir penelitian. Rerata kadar YKL-40 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (217.82 + 227,03 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (141.20 ± 119.03 ng/mL) tetapi tidak berbeda bermakna. Rerata kadar YKL-40 serum akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (345.44 + 334.41 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (156.55 ± 89.87 ng/mL), Log dari kadar YKL-40 serum ini berbeda bermakna (p < 0.05). Rerata kadar COMP serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10.10+2,74 U/L) lebih tinggi dari kelompok normal (10.85 ± 3.22 U/L) dan rerata kadar COMP akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10,08+2.13 U/L) lebih rendah dari kelompok normal (10,85 ± 3.22 U/L), tidak berbeda bermakna. Rerata kadar TIMP-I serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (258.66±64.17 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (235.15 + 25.46 ng/mL) dan rerata kadar T1MP-I akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (252.58+75.44 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (220.45+49.82 ng/mL), tidak berbeda bermakna. Rerata kadar MMP-3 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (21,62 + 12.40 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (19.38 + 11.25 ng/mL), rerata kadar MMP-3 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (56,04 + 68.55 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (25,59 + 10.16 ng/mL), tidak berbeda bermakna. Rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.0885 + 0.057 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0,0835 + 0.0505), rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.2329 + 0,2619 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0.1215 + 0.0537) , tidak berbeda bermakna. Hubungan antara perubahan tingkat sakit dengan nilai perubahan petanda metabalik pada seluruh kasus kelompok osteopenilporosis dan kelompok normal Pada evaluasi seluruh kasus terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara kategori perubahan tingkat sakit (p< 0.05), terdapat penurunan Rerata Nilai perubahan Kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan kategori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada evaluasi kelompok normal terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara katagori perubahan tingkat sakit (p<0.05), terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak terdapat perbedaan berrnakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat pula kecenderungan penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP antara katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk". Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar YKL-40 serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan Rerata Nilai perubahan Kadar YKL-40 antara katagori "tidak ada perubahan" dengan katagori "sangat memburuk", demikian pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal Pada evaluasi seluruh kasus, demikian pula untuk kelompok normal, rerata Sin nilai perubahan kadar MMP-3 serum di antara kategori perubahan tingkat sakit berbeda bermakna (p<0.05), dimana terdapat Kenaikan Rerata Nilai perubahan Kadar MMP-3 dari katagori "memburuk " dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna, sedangkan untuk kelompok osteopeni/porosis tidak berbeda bermakna. Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar TIMP-1 di antara kategori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan rerata nilai perubahan Kadar TIMP-l antara katagori "membaik" dengan katagori ?sangat memburuk", derntldan pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal. Perubaban kadar petanda metabolik matriks tulang rawan sendi antara awal dengan akhir penelitian. Pada seluruh kasus rerata kadar YK L-40 serum pada akhir penelitian ( 228.02 ± 237.48 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (170.19+169.38 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (345.44 + 344.41 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (217.82 + 227.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (146,55 + 89.87 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (141.20 + 119.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini tidak berbeda bermakna. Pada seluruh kasus rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (11.43 + 3,34 U/L) Iebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10,90 + 3.01 U/L) , tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (10,09 + 2,13 U/L) lebih rendah dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.10 ± 2.74 U/L), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Hasil pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak bermakna menunjukkan kebalikan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus yang justru terjadi kenaikan kadar COMP pada akhir penelitian dibanding awal penelitian. Pada kelompok normal rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (12.26 + 3.72 U/L) lebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.85 + 3.22 U/L), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05).Hasil pada kelompok normal menunjukkan kesamaan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus. Pada seluruh kasus rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (232.61 + 61.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TIMP-1 serum pada awal penelitian (244.05 + 44.91 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteo-peni/porosis rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (252.58 + 75.44 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (258.66 + 64.17 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna Pada kelompok normal rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (220.46 + 49.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (235.15 + 25.46 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada seluruh kasus rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian 37,11 + 44,55 ng/mL) lebih tinggi (dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (20.26 + 1158 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 awal dengan akhir penelitian berbeda berrnakna (p<0,01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (56.04 + 68.55 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (21.62 + 12.40 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p< 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (25.59 + 10.16 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (19.38 ± 11.25 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05) Pada seluruh kasus rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1636 + 0.1718) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-l serum pada awal penelitian (0.0854 + 0.0526), rerata Log ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p<0,001). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.233 + 0,262) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0.0885 ± 0.0577), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Pada kelompok normal rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1215 + 0.0537) lebih tinggi dari rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0,0835 ± 0,0505), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Hubungan antara Densitas Massa Tulang Total dengan Nilai Perubahan petanda metabolik matriks tulang rawan sendi. Rerata nilai perubahan dari kadar YKL-40 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 124.05 ± I74.06 ng/mL Iebih tinggi dari kelompok normal sebesar 15,35 ± 87.43 ng/mL, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05). Rerata nilai perubahan dari kadar COMP serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah - 0.91 ± 2.99 U/L Iebih rendah dari kelompok normal sebesar 1,41 + 3.20 U/L, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05) Rerata nilai perubahan dari kadar TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah -6.08 ± 66.18 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar -14.7044.44 ng/mL, perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Rerata nilai perubahan dari kadar MMP-3 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 34.47 + 62.90 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 6.21 + 14.28 ng/mL, rerata sinus nilai perubahan kadar MMP-3 antara keduanya berbeda bermakna (p<0.05). Rerata Nilai perubahan dari ratio MMP-3/TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 0.1443+0.2356 lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 0.0379 + 0.0678, perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Korelasi diantara petanda metabolik matriks tulang rawan sendi Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r=0.727) dan bermakna (p< 0.001) dengan Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian temyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.473) dan bermakna (p( 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada awal penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40, Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.545) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada akhir penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40. Kadar COMP serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.469) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar COMP serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian. Kadar TIMP-1 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.546) dan bermakna (p<0.001) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.528) dan bermakna (p<0.01) dengan Log Kadar MMP-3 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara Log kadar MMP-3 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar MMP-3 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian. Kesimpulan Terdapat kecenderungan makin berat perubahan tingkat sakit yang dialami penderita makin besar nilai kenaikan kadar YKL-40 serum (petanda sintesis) dan kadar MMP-3 serum (petanda katabolik) serta makin besar nilai penurunan kadar TEMP-1 serum (petanda anabolic).Terdapat pola yang unik dari nilai perubahan kadar COMP serum (petanda destruksi) pada berbagai kategori perubahan tingkat sakit. Pada kategori "tidak ada perubahan" dan kategori "memburuk" terjadi kenaikan nilai perubahan kadar COMP serum, sebaliknya pada kategori "sangat memburuk" terjadi penurunan nilai perubahan kadar COMP serum. Pada penderita OA lutut grade 2 dan 3, pada jangka waktu panjang kurang lebih 70 baton, terjadi peningkatan bermakna proses sintesis (dinilai dengan YKL-0), peningkatan proses destruksi (dinilai dengan COMP), peningkatan proses katabolik (dinilai dengan MMP-3) dan peningkatan aktiritas proses enzim katabolik (dinilai dengan ratio MMP-3JTIMP-1). Terdapat pula kecenderungan penurunan proses anabolik (dinilai dengan TIMP-1) walaupun tidak bermakna. Pada pasien OA lutut setelah jangka waktu yang panjang akan teijadi peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terbadap hipotesis pertama). Setelah jangka waktu panjang selama kurang lebih 70 bulan, penderita OA lutut grade 2 dan 3 yang pada awal penelitian mempunyai DMT total osteopeni/porosis, secara bermakna akan mengalami progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, yaitu proses sintesis (diwakili YLK-40), proses destruksi (diwakili COMP), proses katabolik (diwakili MMP-3). yang lebih besar dibanding dengan kelompok normal. Tidak terdapat perbedaan proses anabolik (diwakili TRAP-1) dan tidak terdapat perbedaan peningkatan aktivilas enzim katabolik (diwakili ratio MMP-31TIMP-1) di antara kedua kelompok. DMT total yang rendah jangka panjang pada penderita OA lutut bukan merupakan faktor protektif progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terhadap hipotesis kedua). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian, kadar COMP serum awal dengan akhir penelitian, kadar TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian, kadar MMP-3 serum awal dan akhir penelitian, ratio MMP-3/TTMP-1 awal dengan akhir penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal penelitian dengan kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum akhir penelitian dengan kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak terdapat korelasi bermakna di antara petanda metabolik lain dalam penelitian ini (jawaban terhadap hipotesis ketiga). Saran Untuk memastikan pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas OA lutut maka perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan ketebalan tulang rawan sendi awal terhadap ketebalan tulang rawan sendi akhir penelitian dengan menggunakan metode pemeriksaan MRI. Penelitian serupa dapat dilakukan dengan membandingkan DMT pada berbagai tempat (vertebra, panggul dan kaki) terhadap metabolisme tulang rawan sendi pada OA berbagai tempat pula (vertebra, pangggui dan kaki). Penelitian serupa dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi kadar petanda metabolik lainnya seperti hialuronan, frogmen kolagen dan yang lainnya, baik kadar dalam serum maupun kadar dalam cairan sendi. Dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa penderita OA lutut grade 2/3 yang juga menderita osteopeni/porosis setelah jangka waktu panjang mengalami peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi yang lebih berat, maka dianjurkan bagi para dokter untuk tanpa ragu rnelakukan penatalaksanaan untuk meningkatkan DMT pada penderita seperti tersebut dengan berbagai program dan modalitas yang telah diakui secara luas. Petanda metabolik matriks tulang rawan sendi YKL-40 dan COMP dapat dipertimbangkan untuk digunakan secara luas sebagai petanda progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi pada OA lutut, antara lain untuk menilai hasil pengobatan dengan menggunakan obat-obatan perubah perjalanan penyakit OA (Disease Modifying Osleoarthritis Drugs=DMOA.

Study On Long-term Effect Of Low Bone Mass Density On Progression Of Cartilage Matrix Destruction On Knee OsteoarthritisOsteoarthritis (OA) is result of both mechanical and biologic events that destabilize the normal coupling of degradation and synthesis of articular cartilage chondrocytes and extra cellular matrix, and subchondral bone. OA diseases are manifested by morphologic, biochemical, molecular and biomechanical changes of both cells and matrix, with lead to a softening, fibrillation, ulceration, loss of articular cartilage, sclerosis and eburnation of subchondral bone, osteophyte and subchondral cysts. Longitudinal epidemiologic study on knee OA revealed that higher I3MD was strong factor in initiating the development of knee OA, but did not correlated with disease progressivity. A number of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors derived from joint cartilage had been clarified in several publication studies on animal model and human with OA. Those molecular markers are YKL-40 (synthesis marker) and Cartilage Oligomeric Protein (COMP, destructive marker), meanwhile proteinases enzyme such as Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3, catabolic marker) and its inhibitor Tissue Inhibitors of Metalloproteinase-1 (T1MP-1, anabolic marker). These markers will changes in parallel with radiographic progression of knee OA. A longitudinal cohort study should be made to clarify the correlation between BMD and diseases progression using the parameter of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors on an established knee OA. Thirty-seven patients had been enrolled on this longitudinal study (±70 months), initial and final evaluation has been conducted. Those patients comprises of 14 patients in osteopenic/osteoporotic group and 23 patients with normal total BMD. The homogeneity of two groups is well maintained. There is a moderate positive significant correlation (r-0.453, p<0.01) between age and initial log of serum YKL-40, and the same results (r-0.368, p<0.05) between age and initial serum TIMP-l at the beginning of the study. At baseline of the study, the serum level of TIMP was higher in women (251.76±50.31 ng/ml) than men (225 ± 20.26 ng/ml), meanwhile the baseline serum MMP-3 was seen higher in men (25.94 ± 12.18 ng/ml) compared to women (17.81 ± 10.64 ng/ml), as well as the MMP3/TIMP-1 ratio was higher in men than women. All differences are statistically significant (p<0.05). A moderate positive significant correlation (r<0.44I, p<0.05) demonstrated between body mass index (BMI) and level of log YKL-40 at baseline of the study. Log level of YKL-40, at baseline of the study, demonstrated a strong positive correlation (r<1.685) and statistically significance difference (p<0.05) with initial Lequesne index. By the end of the study the correlation is moderately positive (1.512) and proven statistically significance difference (p<0.Ol). The baseline serum TIMP-l level is moderately positive significance correlation 0-0.573, p<0.00I) with Lequesne index, meanwhile the same results was shown by the end of study (r<573, p<0.001). The means of serum YKL-40 (by study ends) in osteopenic/osteoporosis group was also higher (345.44 ± 334.40 ng/ml) in comparison with the normal group (156.55 ± 89.87 ng/ml) and the lag of serum YKL-40 level was statistically significance difference (p<0.05) between the two groups. Both baseline and study ends value of COMP level between the two groups was not statistically significance differences. Evaluation of TIMP-l level at baseline and by the study end also showed no significance by statistic method_ A higher result of serum MMP-3 level is higher in osteopenic/osteoporosis group than a normal group at baseline and study ends. Both means value of MMP-3/TIMP-l ratio seems higher in osteopenic/osteoporosis group than the normal group, but not significant noted. An evaluation has been made for all of the cases for the changes of serum COMP level according to the severity of illnesses. The result shows a significance difference between the two parameters. There is a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. In the normal group, the evaluation demonstrated a significance difference between the means of serum COMP level and the severity of illnesses (p<0.05). There is also a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. Meanwhile, in the osteopenic/osteoporosis group revealed no significance difference between the mean values of serum COMP level and the severity of illnesses. In both groups, there was a tendency of increasing means value of serum YKL-40 level from the "unchanged" category to the "getting worst" category. The evaluation of serum MMP-3 level in both total group and normal group shows a statistically significance difference (pc0.05) while calculated with the severity of illnesses. This study demonstrated an increasing tendency of the serum TIMP-1 level in the total group by the severity of illnesses category (between "getting better" category to "getting worst" category, but not statistically significance difference. By divide onto two groups, the osteopenic/osteoporosis group and the normal group, the statistic shows the same result. The log means of YKL-40 level is statistically significance different (pr 0,01), In osteopenic/osteoporosis group the means value of serum YKL-40 level also showed a statistically significance different (pr0.05), but not in normal group. An evaluation of serum COMP level in all cases demonstrated that there was an increasing value between the baseline and by the end of study. The result in the osteopenic/osteoporosis group was in the contrary with the total group, The result in the normal group was in accordance with the total group analysis. There was no statistically significance difference, when the serum TIMP-1 level was calculated between the baseline and the end value, A significant different (pr 0,01) noted when the log mean serum MMP-3 level was calculated between the baseline and by the study end value. A less but significance difference (pr0.05) was also noted in the osteopeni/osteoporosis group from the evaluation of serum MMP-3 level. The same result demonstrated in the normal group with the same significance of pr0.05. By the study end, the ratio MMP-3 and TIMP-I was higher than the baseline and this result was significant on statistic calculation (p<0.001), The same result demonstrated in both osteopenic/osteoporosis group and the normal group. Meanwhile in the normal group, the baseline ratio of MMP-3/TIMP-l was 0,0835 ± 0.0505 and the study end ratio was higher than the baseline (0.1215 ± 0,0537). A means changes value of serum YKL-40 was higher in osteopenic/osteoporosis group (124,05 -F 174.06 ng/ml) compare to the normal group (15.35 ± 87.43 ng/ml) and this difference was statistically significant (pr0.05). The means changes in serum COMP level, also noted much higher in osteopenic/osteoporosis group compare to normal group. The result was statistically significant (pr0.05). Evaluations also have been made for the level of MMP-3 and the ratio of MMP-3ITIMP-I. In osteopenic/osteoporosis group, the means changes of serum MMP-3 level were higher (34,47 ± 62,90 ng/ml) than the normal group of 6.21 ± 14.28 ng/ml. Log serum YKL-40 level at baseline of the study have a strong positive significant correlation (r 0.727, pr0.00I) in comparison with the ends value of serum YKL-40. Log serum YKL-10 level by the study ends, was moderately positive correlation (r1545) and statistically significance (p<0.01) in comparison with the study ends serum TIMP-1 level. There was a statistical significant (p<0.0I) and moderate correlation (r 0.469) when the level of COMP has had been evaluated between baseline and the study ends value. A serum TIMP-l level at baseline was proven having a moderate correlation (r.546) and statistical significance (pr0.00I) with its value at the study ends. There was no correlation between the serum TIMP-I level al baseline and others metabolic markers, except for the serum YKL-40 level at baseline. A moderate positive correlation (r 0.528) and statistical significance (p<0.01) was demonstrated when log serum MMP-3 level at baseline was calculated to the study ends value. In knee OA, in the long period, there will be an increasing progressivity of joint cartilage matrix degradation. A lower total BMD value, in knee OA patients and the long period, do not a protective factor for progressivity of joint cartilage matrix degradation. There was no con-elation amongst others metabolic markers in this study. A further study to clarify the impact of total BMD to the progressivity of knee OA should be made by measuring the thickness of joint cartilage using MRI and by comparing BMD at different site and the metabolism of joint cartilage at different site. Others similar study could be performed by measuring others metabolic markers for synthesis and degradation such as hyaluronan, collagen fragment, etc in serum and or the synovial fluid, Concerning the results of this study that demonstrated that knee OA patients, grade 2 and 3 who had osteopenic/osteoporosis for a long time will have more progressive and severe joint cartilage matrix degradation; every doctor should ask for BMD measurement undoubtedly and manage such patients with know-n various effective and accepted modalities/program. A metabolic marker of joint cartilage matrix YKL-40 and COMP should be considered to be use widely as a progressive marker for joint cartilage matrix degradation in knee OA. The use of this marker will be much beneficial in evaluating the treatment using disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D782
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>