Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163044 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ignatia Yesie Primastuti
"Latar belakang. Graves? Disease (GD) merupakan penyakit autoimun yang paling banyak menyebabkan hipertiroidisme dan ditandai adanya autoantibodi terhadap reseptor hormon tiroid (TSHR). Sel dendritik (DC) berperan penting dalam menentukan jenis respon imun tubuh, berupa aktivasi atau toleransi, salah satunya dengan cara mensekresikan mediator yang dapat mempengaruhi kerja sel-sel lain. Vitamin D merupakan imunoregulator alami yang dalam kondisi normal dapat mempengaruhi DC untuk mensekresikan IDO dan IL-10 serta menekan sekresi IL-12 dari DC. Sekresi IDO dan IL-10 oleh DC dapat mencetuskan respon toleransi dengan meningkatkan aktivitas sel T regulatori (Treg) dalam mencegah dan/atau mengurangi produksi autoantibodi terhadap TSHR. Belum diketahui apakah pemberian vitamin D pada kondisi GD dapat meningkatkan sekresi IDO dan IL-10 serta menekan sekresi IL-12.
Tujuan. Melihat pengaruh kadar vitamin D terhadap fungsi DC dan sistem imun pasien GD dalam mensekresikan IL-12, IDO dan IL-10.
Metode. Sampel merupakan bahan biologis tersimpan yang berupa supernatan kultur DC dari monosit (kultur MDDC) dan serum dari pasien GD. Kultur MDDC dari pasien GD sebelum perlakuan, diberi pendedahan tanpa atau dengan 1,25(OH)2D3 100 nM, waktu inkubasi 7 hari, dengan penambahan lipopolisakarida (LPS) pada hari ke-5. Kultur MDDC dari pasien GD setelah perlakuan, diinkubasi tanpa 1,25(OH)2D3 selama 7 hari dengan pemberian LPS pada hari ke-5. Serum berasal dari pasien GD sebelum dan sesudah mendapatkan terapi standar PTU 100 mg 3 kali sehari dengan atau tanpa suplementasi 1α(OH)D3. Serum dan supernatan diuji dengan metode ELISA untuk mengukur kadar 25(OH)D3, IL-12, IDO dan IL-10, kemudian diuji secara statistik untuk melihat pola dari tiap parameter.
Hasil. Rerata kadar IL-12 lebih rendah secara signifikan pada kultur MDDC dengan pemberian vitamin D 100 nM. Rerata kadar IDO dan IL-10 cenderung tetap pada kultur MDDC dengan pemberian vitamin D 100 nM. Peningkatan kadar vitamin D dalam serum berkorelasi negatif dengan kadar IL-12 dan IDO, baik dalam supernatan kultur MDDC maupun dalam serum pasien GD. Pada kelompok pasien GD dengan peningkatan kadar vitamin D serum tinggi, respon sekresi IL-10 pada MDDC dan sistem imun pasien GD cenderung meningkat. Semakin tinggi rasio kadar IL-12/IL-10 pada supernatan kultur MDDC dan serum pasien GD, maka semakin tinggi juga kadar IDO yang disekresikan.
Simpulan. Pemberian vitamin D pada kultur MDDC dari pasien GD dapat menekan respon inflamasi MDDC dengan mengurangi sekresi kadar IL-12 dan mempertahankan kadar IDO dan IL-10. Peningkatan kadar vitamin D serum dapat menekan kadar IL-12 dan IDO, juga berpotensi meningkatkan kadar IL-10, baik pada keadaan in vitro maupun in vivo.

Background. Graves' disease (GD) is a type of autoimmune disease that causes hyperthyroidism. GD patients have excess autoantibodies specific for thyroid stimulating hormone receptors (TSHR). Dendritic cells (DCs) play an important role in determining the type of immune response, either activation or tolerance, by secreting mediator molecules that affect other cells. Vitamin D is a natural immunoregulator which in normal condition can affect IDO and IL-10 secretion by DC while suppresing IL-12 secretion by this cell. Secretion of IDO and IL-10 by DC can trigger tolerance by increasing regulatory T cells (Treg) activity in preventing and/or reducing the production of autoantibodies against TSHR. There is still no evidence whether administration of vitamin D at GD conditions can increase the secretion of IDO and IL-10 and suppress the secretion of IL-12.
Aim. To identify the effect of vitamin D in vitro and in vivo on IL-12, IDO and IL-10 secretion by DC and on the immune system of GD patients.
Method. Samples were stored biological liquid in the form of serum and monocyte derived dendritic cells (MDDC) culture supernatant from GD patients. MDDC cultures of pre-treatment GD patients were incubated for 7 days with or without 1,25(OH)2D3 100 nM, with an addition of LPS on day 5. MDDC cultures of post-treatment GD patients were incubated without 1,25(OH)2D3 for 7 days, with an addition of LPS on day 5. Serum were obtained from GD patients before and after standard therapy of 100mg PTU 3 times a day with or without 1α(OH)D3 supplementation. Levels of 25(OH)D3, IL-12, IDO and IL-10 in the serum and supernatant were measured by ELISA and the results were statistically analyzed to see the pattern of each parameter.
Results. The mean levels of IL-12 are significantly lower in MDDC culture with 100 nM vitamin D. The mean levels of IDO and IL-10 in MDDC cultures with 100 nM vitamin D are maintained at the same levels with MDDC without vitamin D. Increased levels of vitamin D in serum is negatively correlated with IL-12 and IDO levels, both in the MDDC supernatant and in the serum of GD patients. In the high-increment-serum-vitamin-D-level group of GD patients, IL-10 secretion in vitro and in vivo tends to increase. Higher ratio of IL-12/IL-10 levels affects an increase in IDO secretion, both in MDDC culture and in patient?s serum.
Conclusion. Vitamin D exposure in MDDC culture of GD patients can suppress the inflammatory response by reducing IL-12 secretion and maintaining IDO and IL-10 levels. Increased vitamin D serum level can suppress IL-12 and IDO levels and is also potential in increasing IL-10 level, both in vitro and in vivo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar belakang. Pada penyakit graves (GD), konsentrasi vitamin D berbanding terbalik dengan titer antibodi dan berbanding lurus dengan status remisi. Pembentukan autoantibodi diawali dari pajanan self antigen oleh sel dendritik (DC), sebagai antigen presenting cell (APC), ke sel T naif. Kemampuan DC sebagai APC ditentukan oleh tingkat kematangannya. Sel dendritik, APC utama pada GD, bersifat lebih aktif dalam respons imun dibandingkan dengan subjek sehat. Studi pada SLE, MS, dan penyakit crohn menunjukkan efek imunoregulator vitamin D terutama melalui hambatan pematangan DC sehingga fungsi imunogenitasnya berkurang.
Tujuan. Mengetahui efek 1,25-D3 in vitro dan 1α-D3 in vivo terhadap pematangan DC pasien GD
Metode. Pada periode Mei 2014 sampai dengan Maret 2015 dilakukan studi eksperimental dan klinis, masing-masing pada 12 dan 25 pasien GD fase hipertiroid. Pada studi eksperimental, dilakukan kultur monocyte derived dendritic cell (MDDC) pasien GD dengan atau tanpa intervensi 1,25-D3 in vitro pada tahap monosit dan maturasi distimulasi dengan lipopolysaccharide (LPS). Pada studi klinis, sebanyak 12 dan 13 pasien GD, masing-masing mendapatkan 1α-D3 dan plasebo selama 8 minggu, di samping mendapatkan terapi standar PTU 100 mg 3 kali sehari. Kultur MDDC dilakukan sebelum dan sesudah suplementasi dan dilakukan perbandingan pematangan DC sebelum dan sesudah suplementasi pada kedua kelompok. Pematangan DC dilihat dari ekspresi penanda DC (HLA-DR, CD80, CD40, CD83, CD14, dan CD206) dan rasio sitokin IL-12/IL-10 pada supernatan kultur.
Hasil. Pada studi in vitro, pascastimulasi LPS, DC yang dikultur dengan 1,25-D3 menunjukkan ekspresi HLA-DR, CD80, CD40, dan CD83 lebih rendah serta ekspresi CD14 dan CD206 yang lebih tinggi dibandingkan dengan DC yang dikultur dengan LPS saja. Pada DC yang dikultur dengan 1,25-D3, didapatkan rasio IL-12/IL-10 lebih rendah daripada DC tanpa 1,25-D3. Pada studi klinis, apabila dibandingkan antara ekspresi penanda DC serta rasio IL-12/IL-10 sebelum dan sesudah suplementasi 1α-D3 selama 8 minggu, belum didapatkan perbedaan yang bermakna pada ekspresi penanda DC dan rasio sitokin IL-12/IL-10.
Simpulan. Pemberian 1,25-D3 in vitro menghambat pematangan DC pasien GD, sedangkan efek pemberian 1α-D3 in vivo terhadap pematangan DC belum dapat ditunjukkan pada penelitian ini.

Background. In graves? disease (GD), vitamin D levels is inversely proportional to antibody titer and proportionally associated with remission status. The development of autoantibody is initiated by self-antigen exposure by dendritic cells (DC) as the antigen presenting cells (APC) to the naïve T cells. The ability of DC as APC is determined by its maturity level. Dendritic cells, the major APC in GD, have more active immune responses than those in healthy subjects. Studies on systemic lupus erythematosus (SLE), multiple sclerosis (MS) and crohn?s disease have demonstrated immunoregulator effects of vitamin D, mainly through inhibition of DC maturation, which may lead to lower immunogenic function.
Aim. To identify the effect of 1,25-D3 in vitro and 1α-D3 in vivo on DC maturation in patients with GD.
Method. Our study consisted of an experimental and a clinical study started from May 2014 until March 2015, which was conducted in 12 and 25 GD patients with thyrotoxicosis, respectively. In the experimental study, cultures of monocyte derived dendritic cell (MDDC) of GD patients were performed, with or without intervention of 1,25-D3 in vitro at monocytic phase and the maturation was stimulated by lipopolysaccharide (LPS). In the clinical study, there were 12 GD patients who received 1α-D3 supplementation and 13 GD patients who received placebo for 8 weeks, in addition to the standard treatment of PTU 100 mg three times a day. MDDC cultures and comparison of DC maturation were performed before and after the supplementation for both groups. DC maturation was evaluated based on the expression of DC markers (HLA-DR, CD80, CD40, CD83, CD14 and CD206) and the ratio of cytokines IL-12/IL-10 levels in the culture supernatants.
Results. In the in vitro study and following the LPS stimulation, DC cells cultured with 1,25-D3 showed lower expression of HLA-DR, CD80, CD40 and CD83 and higher expression of CD14 and CD206 compared to DC cultured with LPS alone. DC, which were cultured with 1,25-D3 had lower ratio of IL-12/IL-10 levels than those cultured without 1,25-D3. In the clinical study, when the expression of DC marker as well as the ratio of IL-12/IL-10 levels between before and after the 8-week supplementation of 1α-D3 were compared, we found no significant difference on the expression of DC markers and the ratio of IL-12/IL10.
Conclusion. In vitro 1,25-D3 supplementation inhibits DC maturation in patients with GD; while the effects of in vivo 1α-D3 treatment on DC maturation have not been clearly demonstrated in the present study yet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Nurul Rachman
"Vitamin D memiliki efek mempertahankan fungsi endovaskular dan mengatur aktivitas inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Lemak viseral, disebutkan sebagai prediktor risiko yang baik untuk penyakit vaskular karena berperan aktif secara metabolik serta bersifat meningkatkan pengeluaran sitokin proinflamasi Kedua hal ini berpengaruh dalam peningkatan risiko kejadian stroke akut. Sampai saat ini penelitian yang membahas korelasi antara kedua faktor tersebut masih inkosisten. Studi potong lintang dilakukan pada subyek berusia >18 tahun dengan stroke akut yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Pengukuran kadar lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis bedridden multifrekuensi. Penilaian kadar serum vitamin D (25 (OH)D) menggunakan metode chemiluminescent immunoassay. Terdapat total 73 subyek penelitian, sebanyak 55 subyek (75,3%) dengan insufisiensi dan 15 subyek (20,5%) mengalami defisiensi vitamin D, dengan nilai rerata di 17,08±7,85 ng/mL. Sejumlah 78,1% subyek memiliki kadar lemak viseral yang tinggi. Terdapat korelasi negatif (r= -0,271) yang signifikan (p <0,021) antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada stroke akut. Dilakukan analisis multivariat lanjutan, didapatkan kadar lemak viseral dan jenis pakaian (pakaian tertutup) menjadi faktor paling signifikan dalam menilai kadar vitamin D serum.Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar lemak viseral dengan kadar vitamin D 25 (OH) pada pasien stroke akut.

Vitamin D has effects in maintaining endovascular function and regulating inflammatory activity in the vascular wall. Visceral fat is said to be a good risk predictor for vascular disease because it plays a metabolically active role and increases the release of pro-inflammatory cytokines, both of which are influential in increasing the risk of acute stroke events. Studies that discuss the correlation between these two factors are still inconsistent.  A cross-sectional study was conducted on subjects aged >18 years with acute stroke who underwent treatment at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and University of Indonesia Hospital. Measurement of visceral fat levels using bioelectrical impedance analysis bedridden multifrequency. Assessment of serum vitamin D (25(OH)D) levels using chemiluminescent immunoassay method.  In a total of 73 subjects, 55 (75.3%) subjects had vitamin D insufficiency and 15 (20,5%) subject had deficiency, with mean values at 17.08±7.85 ng/mL. A total of 78.1% of subjects had high visceral fat levels. There was a significant (p<0.021) negative correlation (r= -0.271) between visceral fat and serum vitamin D levels in acute stroke. In a further multivariate analysis, visceral fat content and type of clothing (concealing clothing) was found to be the most significant factor in assessing serum vitamin D levels. There is a significant correlation between visceral fat levels and 25 (OH) vitamin D levels in acute stroke patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Eva Roria
"Preeklamsia dibagi menjadi preeklamsia awitan dini (PEAD) jika terjadi pada usia kehamilan < 34 minggu dan preeklamsia awitan lanjut (PEAL) pada kehamilan > 34 minggu. Intoleransi imun diduga menyebabkan penolakan imun terhadap fetus di plasenta. Dendritic cell 10 (DC-10) dan sel T regulator CD4+CD25+FoxP3 (Treg) di desidua berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang tolerogenik selama kehamilan. Namun, peran spesifik dalam patomekanisme PEAD dan PEAL serta faktor-faktor nutrisi yang berperan dalam regulasi DC-10 dan Treg, yaitu seng, vitamin A, dan vitamin D belum diteliti secara jelas. Penelitian ini bertujuan untuk memahami patomekanisme penolakan imun pada preeklamsia melalui jumlah DC-10 dan sel Treg desidua serta hubungannya dengan vitamin A, vitamin D, dan seng.
Desain penelitian ini adalah studi potong lintang komparatif antara kehamilan dengan PEAD, PEAL, dan NT antara Oktober 2019 dan Desember 2021. Subjek penelitian direkrut dari RSUP Fatmawati (Jakarta), RSUPN Cipto Mangunkusumo (Jakarta), dan RSUD Karawang (Jawa Barat). Kriteria penerimaan adalah semua ibu hamil 20–40 minggu yang menjalani persalinan dengan seksio sesaria dan setuju untuk dilibatkan dalam penelitian. Kriteria penolakan meliputi pasien dengan penyulit obstetrik, plasenta previa, memiliki riwayat penyakit kronik, hipertensi sebelum kehamilan 20 minggu, terdiagnosis COVID-19, demam dan leukosit >15.000 /mL pada saat pemeriksaan dan kematian janin dalam rahim. Spesimen desidua diperoleh dengan kuretase tajam setelah seksio sesaria. Jumlah DC-10 dan sel Treg dihitung dengan flow cytometry. Konsentrasi faktor nutrisi diperiksa dengan metode ICP-MS dan LC-MS. Perbandingan median dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, sedangkan koefisien korelasi diperoleh dengan uji korelasi Spearman. Subjek penelitian adalah 14 ibu hamil untuk setiap kelompok (total 42 kasus). Jumlah DC-10 lebih rendah secara bermakna pada PEAD dibandingkan NT (p < 0,001) dan lebih rendah secara bermakna pada PEAL dibandingkan NT (p = 0,015). Sebaliknya, sel Treg FoxP3+CD25+ lebih tinggi secara bermakna pada PEAD dibandingkan NT (p = 0,015). Tidak terdapat korelasi antara faktor nutrisi dan jumlah faktor tolerogenik pada kelompok preeklamsia (PE). Namun, terdapat korelasi sedang antara konsentrasi seng desidua dan DC-10 di kelompok NT (r = 0,656; p = 0,011) dan korelasi kuat antara konsentrasi retinol desidua dan DC-10 juga di kelompok NT (r = 0,746; p = 0,002). Korelasi sedang didapatkan antara konsentrasi vitamin D dan jumlah sel Treg FoxP3+CD25+ di kelompok NT (r = 0,590; p = 0,026). Disimpulkan bahwa jumlah DC-10 pada PEAD lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan NT, sedangkan jumlah sel Treg pada PEAD secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan NT. Konsentrasi faktor nutrisi desidua tidak berkorelasi dengan jumlah DC-10 atau Treg desidua pada preeklamsia (PEAD dan PEAL). Namun, pada kelompok NT terdapat korelasi positif antara seng dan DC-10, retinol dan DC-10, serta vitamin D dan jumlah sel Treg desidua.

Preeclampsia is categorized as early-onset preeclampsia (EOPE) at < 34 week of gestation and late-onset preeclampsia (LOPE) at > 34 week of gestation. Immune intolerance is thought to be the underlying cause of immune rejection to the fetus in the placenta. Decidual dendritic cell-10 (DC-10) and T regulator cell CD4+CD25+FoxP3 (Treg) play important role to create a tolerogenic environment during pregnancy. However, the specific role in the pathomechanism of EOPE or LOPE and nutritional factors that play role in the regulation of DC-10 and Treg, i.e. zinc, vitamin A, and vitamin D have not been widely studied. This study was aimed to know the pathomechanism of immune rejection in preeclampsia through the number of decidual DC-10 and Treg cell and their correlations with vitamin A, vitamin D, and zinc.
The study design was cross-sectional comparative among EOPE, LOPE, and NT pregnancies between October 2019 and December 2021. Study subjects were recruited from Fatmawati General Hospital (Jakarta), Cipto Mangukusumo National General Hospital (Jakarta), and Karawang Regional Public Hospital (West Java). Inclusion criteria were all pregnant women between 20–40 weeks of gestation who underwent cesarean delivery and gave their written consent to be included in the study. Exclusion critera were patients with obstetric complications, placenta previa, history of chronic disease, hypertension before 20 weeks of gestation, was diagnosed with COVID-19, fever and leukocyte count of >15.000 /mL at the time of examination and presence of intrauterine fetal death. Decidual specimens were obtained by curettage after the cesarian section. The number of DC-10 and Treg cells were counted using flow cytometry. Concentrations of nutritional factors were assayed using ICP-MS and LC-MS method. Median comparison among groups was analyzed using Kruskal-Wallis test, while correlation coefficient was obtained by using the Spearman correlation test. Study subjects were 14 pregnant women for each group (42 cases in total). The DC-10 was significantly lower in EOPE compared to NT (p < 0.001) and significantly lower in LOPE compared to NT (p = 0.015). On the other hand, Treg FoxP3+CD25+ cells were significantly higher in EOPE compare to NT (p = 0.015). No correlation between nutritional factors and the number of tolerogenic factors in the preeclampsia group. However, there was a moderate correlation between decidual zinc concentration and DC-10 in the NT group (r = 0.656; p = 0.011) and a strong correlation between decidual retinol concentration and DC-10 also in NT group (r = 0.746; p= 0.002). A moderate correlation was found between vitamin D concentration and Treg FoxP3+CD25+ cells in the NT group (r = 0.590; p = 0.026). To conclude, the number of DC-10 in EOPE is lower than NT pregnancy, whereas the number of Treg cells in EOPE is higher than NT pregnancy. Concentrations of dedicual nutritional factors do not correlate with the number of decidual DC-10 or Treg cells in preeclampsia (EOPE and LOPE). However, in NT group, there is positive correlation between decidual zinc and DC-10, retinol and DC-10, and vitamin D and Treg cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremiah Suryatenggara
"Publikasi terakhir menunjukkan bahwa AFP menyebabkan disfungsi sel dendritik asal monosit MDDC sebagai antigen presenting cell APC . Disfungsi ini memiliki ciri seperti berkurangnya ekspresi beberapa molekul permukaan sel dan sitokin yang berperan penting dalam fungsi sebuah sel dendritik mature mDC . AFP juga, dalam peranannya sebagai faktor sel tumor, meningkatkan toleransi terhadap sel tumor dengan cara menginduksi fungsi regulatori dari sistem imun. Tujuan studi ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi tentang efek AFP terhadap DC dalam aktivasi respon imun antitumor dan induksi toleransi imun terhadap tumor. Metode: Sel monosit dikultur dalam medium yang mengandung GM-CSF dan IL-4 dan diinkubasi selama 6 hari agar berdiferensiasi menjadi DC immature imDC . AFP ditambahkan pada kelompok perlakuan di awal kultur. Di hari ke-6, dilakukan pengamatan kontak induksi antara LPS dan imDC dengan LPS binding assay menggunakan flow cytometry. DC mature mDC kemudian diperoleh dengan cara penambahan lipopolysaccharide LPS ke kultur dan inkubasi selama 48 jam. Di hari ke-8 dilakukan pengamatan molekul permukaan DC berdasarkan analisa ekspresi HLA-DR, CD11c, CD40, CD83, CD80, dan CD86 menggunakan flow cytometry. Di hari yang sama, juga dilakukan kuantifikasi sitokin TGF-? pada medium kultur dengan metode ELISA. Sel dendritik selanjutnya dikulturkan bersama dengan PBMC autolog dalam kultur MLR selama 5 hari. Di hari ke-13, proliferasi sel T naive CD4 yang diinduksi oleh DC diamati berdasarkan dilusi Carboxyfluorescein succinimidyl ester CFSE menggunakan flow cytometry. Hasil: Penambahan AFP pada awal kultur MDDC menurunkan jumlah kontak induksi antara LPS dan imDC, menurunkan ekspresi molekul fungsional HLA-DR, CD40, CD80, CD86, dan CD83 pada permukaan mDC, meningkatkan kuantitas sekresi sitokin TGF-? oleh DC, dan menurunkan jumlah proliferasi total sel T CD4 naive yang diinduksi oleh DC. Kesimpulan: AFP mempengaruhi karakteristik dan fungsi kerja DC melalui berbagai cara pada tahap yang berbeda-beda, yang secara garis besarnya menurunkan respon imun tipe efektor dan meningkatkan respon imun tipe regulator. Hal ini diyakini mengakibatkan toleransi terhadap antigen, yang bersifat mendukung survivabilitas sel tumor pada kasus HCC dengan kadar AFP tinggi.

Recent publications showed that AFP causes the dysfunction of monocyte derived dendritic cell MDDC as in its role as antigen presenting cell APC . This dysfunction is characterized by the lack of expression of several stimulator molecules and cytokines that play important roles in the function of mature dendritic cells mDC . AFP also, in its role as a tumor factor, promotes tolerance towards tumor cells by inducing regulatory functions of the immune system. The purpose of this study is to obtain a clearer picture regarding effects of AFP in the stimulation of antitumor immune response and the induction of immune tolerance towards tumor. Methods Monocytes was cultured in medium contains GM CSF 800 ng ml and IL 4 1000 ng ml and incubated for six days to generate immature DC imDC . AFP was added into the treatment group at the beginning of the culture. On the 6th day, induction contact between LPS and imDC was observed with LPS binding assay by flow cytometry. Mature DC mDC was generated by addition of lipopolysaccharide LPS into the culture and incubation for another 48 hours. On the 8th day, DC surface markers was observed based on the expression of HLA DR, CD11c, CD40, CD83, CD80, and CD86 by flow cytometry. On the same day, cytokine TGF in the medium was also quantified by ELISA method. Dendritic cells are then combined with autologous PBMC in MLR culture for 5 days. On the 13th day, the proliferation of DC induced naive CD4 T cells was observed based on CFSE dilution by flow cytometry. Results Addition of AFP in early MDDC culture decreases the induction contact between LPS and imDC, decreases the expressions of functional molecules HLADR, CD40, CD80, CD86, and CD83 on mDC surface, increases the quantity of cytokine TGF secretion by DC, and decreases the total proliferation of DC induced naive CD4 T cells. Conclusion AFP alters characteristics and functions of DC through various ways and within different phases, which decreases the effector immune responses and increases the regulatory immune response in overall. This allegedly leads to tolerance towards antigens and is supportive towards the survivability of tumor cells in cases of HCC patients showing high level of AFP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desak Gede Budi Krisnamurti
"Latar belakang: Prediabetes didefinisikan sebagai keadaan hiperglikemia dengan kadar glukosa di atas normal dan dapat berkembang menjadi keadaan diabetes. Beberapa studi membuktikan keadaan defisiensi vitamin D berhubungan dengan keadaan resistensi insulin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek modulasi suplementasi vitamin D terhadap mekanisme molekular pada kondisi resistensi insulin melaluli regulasi persinyalan jalur inflamasi dan mikrobiota usus pada tikus prediabetes.
Metode: Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019-2021 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Medica Satwa Laboratory Bogor. Eksperimen dilakukan pada tikus Wistar jantan berumur 4 minggu. Tikus akan dibagi secara acak, yaitu tikus yang menerima diet normal dan diet tinggi lemak dan tinggi glukosa (DTL-G)yang dikombinasi dengan dosis rendah injeksi streptozotocin 30 mg/kgBB intraperitoneal pada minggu ketiga. Setelah itu dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan dosis 2 gram/kgBB pada tikus. Jika telah terjadi resistensi insulin (model tikus prediabetes) maka tikus prediabetes dibagi dalam tiga kelompok secara acak yaitu: (1) kelompok yang tidak diberi terapi, (2) kelompok yang diterapi vitamin D3 dosis 100 IU/kg/hari, (3) kelompok yang diterapi vitamin D3 dosis 1000 IU/kgBB/hari bersamaan dengan induksi DTL-G 12 minggu. Setelah itu akan dilakukan pengukuran kadar glukosa darah puasa (GDP), kadar glukosa darah 2 jam pasca-bebas glukosa, nilai HOMA-IR, kadar Glycated albumin, profil hematologi, kadar 25(OH)D3,pengamatan histopatologi pankreas, kadar TNF-alpha, IL-6, IL-10, NF-κB, TLR2, TLR4, PPARg, IRS1, dan komposisi mikrobiota usus.
Hasil: Pada tikus prediabetes terjadi peningkatan nilai glukosa darah puasa, kadar glukosa darah 2 jam pasca-bebas glukosa, nilai HOMA-IR, kadar Glycated albumin, serta perubahan profil hematologi. Pemberian vitamin D 1000 IU mampu menurunkan nilai GDP, TTGO, Glycated albumin, HOMA-IR, serta mampu mengurangi degenerasi pada pulau Langerhans. Vitamin D 1000 IU mampu meningkatan sitokin anti-inflamasi IL-10, menurunkan ekspresi TLR2 dan TLR4, mengembalikan ekspresi IRS seperti kelompok normal, serta dapat meningkatkan keragaman mikrobiota. Suplementasi vitamin D berkorelasi dengan kadar PPARg, IRS1, TLR2, TLR4, dan sel beta pankreas.
Kesimpulan: Pemberian vitamin D 1000 IU bersamaan dengan DTL-G pada tikus prediabetes dapat memberikan perbaikan kondisi resistensi insulin, meningkatkan sitokin anti-inflamasi, mengembalikan nilai ekspresi PPARg, meningkatkan ekspresi protein IRS1 kembali seperti kelompok normal, serta meningkatkan keragaman mikrobiota yang berkorelasi dengan regulasi persinyalan sitokin inflamasi.

Introduction: Prediabetes is defined as a state of intermediate hyperglycemia and can lead to type 2 diabetes. Several studies have shown that vitamin D deficiency is associated with insulin resistance. This study aimed to analyze the modulating effect of vitamin D supplementation on the molecular mechanisms of insulin resistance through signaling regulation pathways of inflammation and gut microbiota in prediabetic rats.
Methods: The study was conducted during 2019-2021 at the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia and Medica Satwa Laboratory Bogor. The experiments was conducted on male Wistar rats of 4 weeks. Rats were divided randomly into control and a high-fat and high-glucose (HFD-G) diet combined with 30 mg/kg intraperitoneal injection of streptozotocin in the third week. Oral glucose tolerance test (OGTT) was performed at 2 grams/kgBW gluocose. If insulin resistance has occurred (prediabetic rat model) then rats were randomly divided into three groups, namely: (1) the group that was not given therapy, (2) the group with vitamin D3 at a dose of 100 IU/kgBW/day, (3) the group with vitamin D3 at a dose of 1000 IU/kgBW/day together with HFD-G in 12 weeks. Fasting blood glucose (FBG) levels, OGTT, HOMA-IR, Glycated albumin levels, hematological profiles, 25(OH)D3 levels, pancreatic histopathological observations, TNF-alpha, IL-6, IL-10, NF-B, TLR2, TLR4, PPARg, IRS1, and gut microbiota composition was evaluated.
Results: In prediabetic rats there was an increase in FBG, OGTT, HOMA-IR, Glycated albumin levels, and changes in hematological profiles. The administration of vitamin D 1000 IU could reduce the levels of FBG, OGTT, Glycated albumin, HOMA-IR, and could reduce degeneration of the islets of Langerhans. Vitamin D 1000 IU increased the anti-inflammatory cytokine IL-10, decreased the expression of TLR2 and TLR4, increased IRS1 expression like the normal group, and increased the diversity of gut microbiota. Vitamin D supplementation correlated with levels of PPARg, IRS1, TLR2, TLR4, and pancreatic beta cells.
Conclusion: Vitamin D 1000 IU vitamin D together with HFD-G in prediabetic rat could reduce insulin resistance, increased anti-inflammatory cytokines, increased PPARg expression level, increased IRS1 protein expression, and increased diversity of gut microbiota which correlates with signaling regulation of Inflammatory Pathways.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Bachti Setyarini
"Kadar vitamin D darah diketahui berhubungan dengan perbaikan disregulasi imunitas dengan menekan badai sitokin, sehingga mencegah perburukan klinis pasien COVID-19. Namun, uji klinis terkait efek suplementasi vitamin D terhadap pasien COVID-19 masih belum konsisten. Tujuan penelitian ini adalah menggabungkan secara sistematis temuan terkait suplementasi vitamin D terhadap derajat keparahan dan mortalitas pasien COVID-
19. Penelusuran literatur dilakukan di pangkalan data Pubmed, Cochrane, Science Direct, ProQuest, MedXriv, WileyOnline Library, dan Scopus pada 27 September 2020. Studi yang menilai efek suplementasi vitamin D terhadap derajat keparahan dan mortalitas pasien COVID-19, tanpa adanya restriksi desain studi, diinklusi dalam penelitian ini. Penilaian kualitas studi dilakukan oleh tiga panelis. Empat studi dengan kualitas rendah hingga sedang diikutsertakan dalam penelitian. Seluruh studi melaporkan risiko mortalitas, dan tiga di antaranya yang melaporkan derajat keparahan. Dua dari tiga studi ini sepakat bahwa pasien dengan suplementasi vitamin D mengalami risiko keparahan penyakit yang signifikan lebih rendah dibandingkan dengan tanpa suplementasi. Satu studi lainnya menemukan tidak adanya perbedaan bermakna, meskipun proporsi terjadinya COVID-19 derajat berat lebih tinggi ditemukan pada kelompok tanpa suplementasi. Berkaitan dengan mortalitas, tiga dari empat studi melaporkan suplementasi vitamin D merupakan faktor protektif dari risiko mortalitas pasien COVID-19. Satu studi lainnya, dengan validitas yang rendah dan risiko bias yang tinggi, melaporkan bahwa pasien dengan suplementasi vitamin D lebih banyak mengalami kematian dibandingkan dengan pasien tanpa suplementasi. Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan derajat keparahan dan risiko mortalitas antara pasien COVID-19 yang mendapatkan suplementasi vitamin D dengan tanpa suplementasi vitamin D. Suplementasi vitamin D menjadi faktor protektif terjadinya keparahan kondisi dan mortalitas pasien COVID-19.

Vitamin D levels are known to be associated with improved immunity dysregulation by suppressing cytokine storms to prevent clinical worsening of COVID-19 patients. However, clinical trials regarding the effects of vitamin D supplementation on COVID-19 patients are still inconsistent. This study aimed to systematically analyze the vitamin D supplementation’s effect on the severity and mortality risk of COVID-19 patients. A literature search was conducted in Pubmed, Cochrane, Science Direct, ProQuest, MedXriv, WileyOnline Library, and Scopus on 27 September 2020. Studies assessing the effect of vitamin D supplementation on the severity and mortality of COVID-19 patients were included without any study design restrictions. Three authors carried out the study quality assessment. Four studies of low to moderate quality were included in the study. All studies reported a risk of mortality, and three of them reported the degree of severity. Two of the three studies agreed that patients with vitamin D supplementation had a significantly lower risk of disease severity than those without supplementation. One other study found no significant difference, although a higher proportion of severe COVID-19 was recorded in the group without supplementation. Three of the four studies reported vitamin D supplementation as a protective factor for mortality in COVID-19 patients. With low validity and a high risk of bias, one of the studies reported that a group of vitamin D supplements had a higher death rate than the group without supplementation. Researchers concluded that there were differences in the degree of severity and risk of mortality between COVID-19 patients given vitamin D supplementation and COVID-19 patients without vitamin D supplementation. Vitamin D supplementation was a protective factor in the severity and mortality risk of COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuhana Fitra
"Latar Belakang. Th17 merupakan sel T efektor proinflamasi yang berperan pada proses autoimunitas. Pada pasien Graves yang sulit remisi terdapat peningkatan Th17. Sebagai imunomodulator, vitamin D dapat menekan sitokin inflamasi yang diproduksi oleh sel dendritik, termasuk IL-23. IL-23 berperan pada diferensiasi, ekspansi dan survival Th17. Alphacalcidol bersinergi dengan tionamid dalam menghambat sintesis hormon tiroid. Belum diketahui apakah pemberian alphacalcidol juga memberikan efek imunomodulator pada penyakit Graves, terutama supresi Th17 yang dinilai dari konsentrasi IL-23 serum.
Tujuan. Mengetahui efek alphacalcidol terhadap konsentrasi IL-23 pada pasien Graves.
Metode. Studi ini merupakan cabang dari studi induk mengenai efek alphacalcidol terhadap pematangan sel dendritik. Studi induk merupakan uji klinis tersamar ganda yang diikuti oleh pasien Graves hipertiroid yang terbagi menjadi 12 subjek pada kelompok perlakuan dan 13 subjek pada kelompok plasebo. Kelompok perlakuan mendapatkan alphacalcidol 1,5 µg per hari dan tionamid, sedangkan kelompok plasebo mendapatkan tionamid dan plasebo. Serum pada studi induk disimpan pada suhu -80oC. Pada penelitian ini IL-23 diperiksa pada serum kedua kelompok baik sebelum maupun sesudah suplementasi alphacalcidol.
Hasil. Konsentrasi IL-23 serum pada kelompok perlakuan adalah 12,322 pg/mL sedangkan pada kelompok plasebo adalah 12,380 pg/mL.
Simpulan. Tidak terdapat perbedaan bermakna (p >0.05) konsentrasi IL-23 serum antara kelompok yang mendapatkan alphacalcidol 1,5 µg per hari dengan kelompok plasebo.

Backgroud. Th17 is a pro-inflammatory T cells effector which has a significant role in autoimmunity. Increasing proportions of Th17 cells found in intractable Graves` disease patients. As immunomodulator, vitamin D able to suppress inflammatory cytokine produced by dendritic cell, including IL-23. IL-23 has a significant role in differentiation, expansion and survival of Th17. Alphacalcidol and tionamid has a synergic effect in inhibiting thyroid hormone synthesis. There is no evidence weather alphacalcidol has immunomodulatory effect in Graves` disease, especially in suppressing Th17 which is evaluate by IL-23 concentration.
Aim. To evaluate effect of alphacalcidol to IL-23 concentration in Graves` disease
Method. The parent study used randomized clinical trial desain. In present study 25 Graves` hyperthyroid patients, divided to 12 subjects in intervention group and 13 subjects in placebo. Alphacalcidol 1,5 µg a day and tionamid given to patients in intervention group, meanwhile subjects in placebo group only got tionamid. Serum sample from parent study stored in -80oC. In present study evaluation of IL-23 performed in both groups before and after alphacalcidol supplementation.
Results. Serum concentration of IL-23 is 12,322 pg/mL in intervention group, and 12,380 pg/mL in placebo group.
Conclusion. There is no significance differences (p > 0.05) of serum concentration of IL-23 between patients receiving alphacalcidol and placebo."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisya Sita Marcha
"Latar belakang: Sekitar 50% pasien penyakit Graves mengalami kekambuhan setelah obat antitiroid diberhentikan. Padahal penyakit Graves yang kambuh umumnya bersifat lebih berat, sehingga membutuhkan terapi yang lebih agresif. Dengan demikian penting untuk mengetahui faktor untuk memprediksi kekambuhan penyakit Graves. Faktor risiko kekambuhan penyakit Graves di antaranya adalah usia, tanda klinis, faktor lingkungan, serta faktor genetik. Gen SCGB3A2 merupakan salah satu gen yang berkaitan dengan penyakit Graves. Genotip AA dan GA, serta alel A gen SCGB3A2 rs1368408 diketahui merupakan faktor risiko timbulnya penyakit Graves. Namun, gen SCGB3A2 rs1368408 belum diketahui asosiasinya dengan kekambuhan penyakit Graves.
Tujuan: Mengetahui hubungan polimorfisme gen SCGB3A2 rs1368408 dengan kekambuhan penyakit Graves.
Metode: Desain penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan total 77 sampel. Sampel yang digunakan adalah DNA yang telah diisolasi dari pasien yang telah menjalani terapi obat antitiroid selama ≥12 bulan. Sampel dipilih dengan metode consecutive sampling. Data yang diambil yaitu genotip dan alotip gen SCGB3A2 rs1368408 melalui teknik tetra-primer ARMS-PCR. Sampel dikelompokkan sesuai dengan kekambuhannya dan dilihat frekuensi genotip dan alotip dari masing-masing kelompok. Data juga dianalisis dengan uji chi-square atau uji Fisher untuk melihat asosiasi genotip dan alotip gen SCGB3A2 rs1368408 dengan kekambuhan penyakit Graves.
Hasil: Frekuensi genotip pada keseluruhan sampel pasien penyakit Graves didapatkan 98,7% GG dan 1,3% GA. Pada kelompok kambuh didapatkan genotip 97,8% GG dan 2,2% GA, serta alotip 98,9% alel G dan 1,1% alel A. Sedangkan pada kelompok tidak kambuh 100% memiliki genotip GG, sehingga didapatkan frekuensi alotip 100% alel G. Dari analisis menggunakan uji Fisher, tidak didapatkan perbedaan signifikan antara genotip gen SCGB3A2 rs 1368408 dan kekambuhan penyakit Graves (p=1.000). Analisis uji Fisher pada alotip gen SCGB3A2 rs1368408 juga menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan dengan kekambuhan penyakit Graves (p=1.000).
Simpulan: Tidak terdapat asosiasi genotip atau alotip gen SCGB3A2 rs1368408 dengan kekambuhan penyakit Graves.

Background: Approximately 50% of Graves’ disease patients experience a relapse after discontinuation of antithyroid drugs. Relapsed Graves’ disease patients are generally more severe and require more aggressive therapy. Thus, it is important to know the factors that can predict the relapse of Graves’ disease. Age, clinical signs, environment, and genetic are some of the risk factors for Graves’ disease relapse. SCGB3A2 gene is one of the genes associated with Graves’ disease. Genotype GA and AA, as well as alelle A of SCGB3A2 gene rs1368408 are known to be risk factors for Graves’ disease. However, the association between SCGB3A2 gene rs1368408 and relape of Graves’ disease is not yet known.
Objective: To determine the correlation between the polymorphism of SCGB3A2 gene rs1368408 and Graves' disease relapse.
Methods: Study design of this study was cross-sectional with a total of 77 samples. The sample used in this study was DNA that had been isolated from patients who have received antithyroid drug treatment for ≥12 months. Samples were selected through consecutive sampling method. The data taken were genotypes and allotypes of SCGB3A2 gene rs1368408 using tetra-primer ARMS-PCR technique. Samples were grouped according to the incidence of relapse. The genotype and allotype frequency of each group was observed. Data were also analyzed using chi-square test or Fisher’s exact test to determine the association of genotype and allotype of SCGB3A2 gene rs1368408 with Graves’ disease relapse.
Results: The genotype frequency in the entire sample of patients with Graves’ disease was found to be 98.7% GG and 1.3% GA. In the relapse group, the genotype observed was 97.8% GG and 2.2% GA whereas the allotype frequency in this group was 98.9% G allele and 1.1% A allele. All samples in non-relapse group had GG genotype (100%), thus the allotype frequency was 100% G allele. Analysis using Fisher’s exact test showed no significant difference between genotype of SCGB3A2 gene rs1368408 and Graves’ disease relapse (p=1.000). Fisher's exact analysis of SCGB3A2 gene rs1368408 allotype also found no significant difference with Graves' disease recurrence (p=1.000).
Conclusions: There was no association between genotype or allotype of SCGB3A2 gene rs1368408 and Graves' disease relapse.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Handoko
"Tujuan: Penelitian ini membandingkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada serum maternal, darah tali pusat dan jaringan plasenta pada ibu hamil normal dan preeklamsia. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 pasien yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Tangerang. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji parametrik, yaitu uji-t berpasangan bila sebaran data normal atau uji non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney bila sebaran data tidak normal Hasil: Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 serum maternal kelompok preeklamsia sebesar 16.30 6.20-49.00 ng/mL sedangkan pada sampel kelompok tidak preeklamsia, sebesar 13.50 4.80 ndash; 29.20 ng/mL di mana didapatkan nilai p = 0,459, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia sebesar 11.80 3.50 ndash; 38.60 ng/mL sedangkan kelompok tidak preeklamsia sebesar 11.70 1.00 ndash; 28.80 ng/m, di mana didapatkan nilai p = 0.964, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 49.00 22.00 ndash; 411.00 ng/mL. sedangkan kelompok tidak preeklamsia, sebesar 43.40 11.80 ndash; 153.00 ng/mL, di mana didapatkan nilai p 0.354 dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 serum kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.80 6.20 ndash; 41.90 ng/mL sedangkan kelompok preeklamsia awitan lanjut sebesar 18.00 7.00 ndash; 49.00 ng/mL dengan nilai p = 0,133, di mana tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.65 3.50 ndash; 38.60 ng/mL. sedangkan pada kelompok preeklamsia awitan lanjut, sebesar 12.65 6.40 ndash; 33.20 ng/mL. di mana didapatkan nilai p = 0.377 dengan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 79.00 36.00 ndash; 411.00 ng/g. sedangkan pada kelompok tidak preeklamsia sebesar 40.00 22.00 ndash; 171.00 ng/g. di mana didapatkan nilai p 0.006, dengan didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum, tali pusat dan jaringan maternal pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum dan tali pusat pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada plasenta wanita preeklamsia dan tidak preeklamsiaKata kunci: 25- OH -vitamin D3, preeklamsia, serum, tali pusat, jaringan plasenta

Abstract Objective: This study is designed for comparing 25- OH -vitamin D3 levels in maternal serum, cord blood and placental tissue in non preeclampsia and preeclampsia pregnant women.Methods: This study is a cross sectional study with the number of samples of 86 patients who deliver in Cipto Mangunkusumo Hospital and Tangerang District Hospital. After that the data is presented in the table and analyzed by parametric test, ie paired t-test when the distribution of normal data or non parametric test, ie Mann-Whitney test when the data distribution is not normal..Results: The serum maternal 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 16.30 6.20-49.00 ng / mL while in the non-preeclamptic sample group, 13.50 4.80 - 29.20 ng / mL were obtained p = 0.459, with no statistically significant difference . The umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 11.80 3.50 - 38.60 ng / mL while the preeclampsia group was 11.70 1.00 - 28.80 ng / m, where p = 0.964 was obtained, with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissue in the preeclampsia group by 49.00 22.00 - 411.00 ng / mL. while the group did not preeclampsia, amounting to 43.40 11.80 - 153.00 ng / mL, where p value of 0.354 was obtained with no statistically significant difference Earning serum 25- OH -vitamin D3 serum pre-eclampsia group onset was 10.80 6.20 - 41.90 ng / mL whereas the onset of pre-eclampsia group was 18.00 7.00 - 49.00 ng / mL with p value = 0.133, where no statistically significant difference was obtained. The results of the umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of early onset preeclampsia group were 10.65 3.50 - 38.60 ng / mL. whereas in the onset of pre-eclampsia group, it was 12.65 6.40 - 33.20 ng / mL. where obtained p value = 0.377 with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels in placental tissue preeclampsia group of 79.00 36.00 - 411.00 ng / g. while in the pre-eclampsia group was 40.00 22.00 - 171.00 ng / g. where obtained p value of 0.006, with statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissueConclusion: There was no statistically significant difference in mean serum 25- OH -vitamin D3 levels in serum, cord blood and maternal tissue in women with preeclampsia and not preeclampsia. There was no statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels in serum and umbilical blood in pre-eclampsia and non-preeclampsia women. There were statistically significant differences in mean 25- OH -vitamin D3 levels in female placenta preeclampsia and not preeclampsia Keywords: 25- OH -vitamin D3, preeclampsia, serum, umbilical cord, placental tissue "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>