Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206645 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahrul Islam
"Kromium adalah logam berat yang banyak digunakan dalam kegiatan industri. Penggunaan kromium pada industri pelapisan logam dapat berisiko terhadap kesehatan pekerja yang berasal dari pajanan kromium di udara lingkungan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar kromium dalam urin dengan kadar albumin dalam urin sebagai biomarker kerusakan ginjal. Penelitian ini dilakukan pada 33 pekerja terpajan dan 33 pekerja tidak terpajan dengan sedain cross sectional. Sampel urin diambil untuk menilai kadar kromium dan kadar albumin. Kadar kromium dalam urin diukur menggunakan metode metode Atomic Absorption Spectrometry (AAS) dengan teknik pembakaran (flame, FAAS) dan kadar albumin dalam urin di ukur dengan cara immunoturbidimetric assay. Nilai tengah (median) kadar kromium dalam urin pada pekerja terpajan sebesar 5 μg/L dan pada pekerja tidak terpajan juga sebesar 5 μg/L. Nilai tengah (median) kadar albumin dalam urin pada pekerja terpajan sebesar 2,5 mg/g kreatinin lebih tinggi dari kadar albumin pada pekerja tidak terpajan yaitu sebesar 1,5 mg/g kreatinin. Setiap kenaikan kadar kromium 1 μg/L terjadi kenaikan kadar albumin sebesar 3,82 mg/g kreatinin setelah dikontrol variabel riwayat diabetes, riwayat hipertensi, kebiasaan merokok, lama kerja, dan konsumsi alkohol. Hasil penelitian dapat disimpulkan ada pengaruh pajanan kromium dengan gangguan fungsi ginjal (p > 0,05).

Chromium is a heavy metal that is widely used in industrial activities. Use of chromium in the metal plating industry pose a risk to workers' health comes from exposure to chromium in the air working environment. This study aimed to analyze the relationship between chromium levels in urine levels of albumin in the urine as a biomarker of kidney damage. This study was conducted on 33 workers exposed and 33 unexposed workers with cross sectional sedain. Urine samples were taken to assess levels of chromium and albumin. Chromium levels in urine were measured using the method Atomic Absorption Spectrometry (AAS) with burning techniques (flame, FAAS) and albumin in urine is measured by means of immunoturbidimetric assay. A middle value (median) level of chromium in the urine of workers exposed at 5 g / L and the unexposed workers are also at 5 ug / L. A middle value (median) level of albumin in the urine in workers exposed at 2.5 mg / g creatinine higher than the levels of albumin in the unexposed workers is equal to 1.5 mg / g creatinine. Any increase in the chromium content of 1 ug / L occurred rising levels of 3,82 mg albumin / g creatinine after the controlled variable history of diabetes, history of hypertension, smoking habits, length of employment, and consumption of alcohol. The results of this study concluded there was an effect of chromium exposure with impaired renal function (p> 0.05).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrul Islam
"Kromium adalah logam berat yang banyak digunakan dalam kegiatan industri. Penggunaan kromium pada industri pelapisan logam dapat berisiko terhadap kesehatan pekerja yang berasal dari pajanan kromium di udara lingkungan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar kromium dalam urin dengan kadar albumin dalam urin sebagai biomarker kerusakan ginjal. Penelitian ini dilakukan pada 33 pekerja terpajan dan 33 pekerja tidak terpajan dengan sedain cross sectional. Sampel urin diambil untuk menilai kadar kromium dan kadar albumin. Kadar kromium dalam urin diukur menggunakan metode metode Atomic Absorption Spectrometry (AAS) dengan teknik pembakaran (flame, FAAS) dan kadar albumin dalam urin di ukur dengan cara immunoturbidimetric assay. Nilai tengah (median) kadar kromium dalam urin pada pekerja terpajan sebesar 5 μg/L dan pada pekerja tidak terpajan juga sebesar 5 μg/L. Nilai tengah (median) kadar albumin dalam urin pada pekerja terpajan sebesar 2,5 mg/g kreatinin lebih tinggi dari kadar albumin pada pekerja tidak terpajan yaitu sebesar 1,5 mg/g kreatinin. Setiap kenaikan kadar kromium 1 μg/L terjadi kenaikan kadar albumin sebesar 3,82 mg/g kreatinin setelah dikontrol variabel riwayat diabetes, riwayat hipertensi, kebiasaan merokok, lama kerja, dan konsumsi alkohol. Hasil penelitian dapat disimpulkan ada pengaruh pajanan kromium dengan gangguan fungsi ginjal (p > 0,05).

Chromium is a heavy metal that is widely used in industrial activities. Use of chromium in the metal plating industry pose a risk to workers' health comes from exposure to chromium in the air working environment. This study aimed to analyze the relationship between chromium levels in urine levels of albumin in the urine as a biomarker of kidney damage. This study was conducted on 33 workers exposed and 33 unexposed workers with cross sectional sedain. Urine samples were taken to assess levels of chromium and albumin. Chromium levels in urine were measured using the method Atomic Absorption Spectrometry (AAS) with burning techniques (flame, FAAS) and albumin in urine is measured by means of immunoturbidimetric assay. A middle value (median) level of chromium in the urine of workers exposed at 5 g/L and the unexposed workers are also at 5 ug/L. A middle value (median) level of albumin in the urine in workers exposed at 2.5 mg/g creatinine higher than the levels of albumin in the unexposed workers is equal to 1.5 mg/g creatinine. Any increase in the chromium content of 1 ug/L occurred rising levels of 3,82 mg albumin/g creatinine after the controlled variable history of diabetes, history of hypertension, smoking habits, length of employment, and consumption of alcohol. The results of this study concluded there was an effect of chromium exposure with impaired renal function (p> 0.05).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T53841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Wulandari
"Pajanan kronis benzena di lingkungan kerja selalu dihubungkan dengan gangguan hematologi. Hal ini dikarenakan sistem hematologi adalah jaringan target yang paling kritis terhadap pajanan benzena melalui rute inhalasi dan diketahui sebagai penyebab pansitopenia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar S-PMA urin dengan leukosit pada pekerja industri sepatu informal yang terpajan benzena. Penelitian menggunakan desain cross sectional di enam industri sepatu informal yang berada di kawasan Cibaduyut dengan jumlah sampel 64 pekerja. Sampel urin dan darah diambil pada masing-masing sampel untuk menilai kadar S-PMA urin dan jumlah leukosit. Kadar S-PMA urin diukur dengan menggunakan alat LC-MS/MS dan leukosit diukur menggunakan alat Automated Hematology Analyzer. Data karakteristik individu diperoleh melalui wawancara langsung. Konsentrasi benzena di udara menggunakan data sekunder dari penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar S-PMA dengan leukosit (p value: 0,048) dan kadar S-PMA urin dengan jenis pekerjaan (p value: 0,004). Sebanyak 31,3% pekerja memiliki kadar S-PMA urin melampaui BEI ACGIH (>25 μg/g kreatinin). Semakin tinggi konsentrasi benzena di udara ruang kerja, semakin banyak pekerja yang memiliki kadar S-PMA urin >25 μg/g kreatinin. Hasil uji regresi linear ganda menemukan bahwa ada kecenderungan asosiasi antara kadar S-PMA urin dengan leukosit, setelah dikontrol dengan variabel jenis pekerjaan, jam kerja per hari, dan kebiasaan berolahraga. Hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat asosiasi antara kadar S-PMA urin dengan penurunan jumlah leukosit.

Benzene high exposure in working is environment always connected to hematology disorders. This is caused by hematology system is the most critical target network toward benzene exposure through inhaling route. This study aims to analyze the relation between urinary and leukocytes S-PMA level of informal shoes industrial workers exposed to benzene. This study uses cross sectional design in six informal shoes industries which are located in Cibaduyut with the number of sample of 64 workers. Urinary and blood samples are collected on each sample to measure urinary S-PMA level and the number of leukocytes. Urinary SPMA level is measured using Automated Hematology Analyzer. Individual characteristic data are obtained through direct interview. To measure benzene concentration, secondary data of previous study is used. The result of the study indicates that there is significant correlation between S-PMA level with leukocytes (p value: 0.048) and urinary S-PMA level with the type of job (p value: 0.004). By 31.3% workers have urinary S-PMA level more than BEI ACGIH (>25 μg/g creatinine). The higher the benzene concentration of indoor air, the more workers have urinary S-PMA level > 25 μg/g creatinine. The result of double linear regression test finds that there is association tendency between urinary and leukocytes S-PMA level, after it is controlled by type of job, time of work per day, and exercising habit variables. It can be concluded that there is association between urinary S-PMA level and the number of leukocytes decrease.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45861
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilya Kuswandi
"Diabetes melitus (DM) merupakan ancaman serius bagi pembangunan kesehatan dan pertumbuhan ekonomi nasional serta merupakan penyebab penting timbulnya kecacatan dan kematian. Dari semua kasus DM, DM tipe 2 mencakup lebih dari 90% dari semua pasien diabetes. Nefropati diabetik dan retinopati diabetik merupakan komplikasi mikroangiopati pada DM tipe 2 yang paling ditakuti dan keduanya sering ditemukan bersamaan. Perkembangan lanjut dari keduanya menyebabkan gagal ginjal tahap akhir dan kebutaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar albumin urin dalam membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik.
Penelitian potong lintang ini terdiri dari 100 subyek yang terbagi atas kelompok retinopati diabetik 50 orang dan non retinopati diabetik 50 orang dari populasi DM tipe 2. Penderita didiagnosis DM tipe 2 oleh dokter Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Untuk retinopati diabetik dan non retinopati diabetik, diagnosis dilakukan dengan foto fundus pada pupil yang didilatasi oleh dokter Divisi Retina Departemen Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Pada kedua kelompok dicatat data karakteristik subyek dan dilakukan pemeriksaan kadar albumin urin.
Kadar albumin urin pada kelompok retinopati diabetik lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pada kelompok non retinopati diabetik (303,41±11,14 mg/g kreatinin vs 28,14±4,90 mg/g kreatinin, p <0,001). Nilai cut-off kadar albumin urin untuk membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik adalah 118 mg/g kreatinin dengan sensitivitas 72%, spesifisitas 78%, nilai duga positif 77%, nilai duga negatif 74%, rasio kemungkinan positif 3,27 dan rasio kemungkinan negatif 0,36.
Kami menyimpulkan pemeriksaan kadar albumin urin dapat dipakai untuk membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik.

Diabetes mellitus (DM) is a worldwide public health concern as they impose enormous medical, economic and social costs on both patient and the health care system. Together they contribute to serious morbidity and mortality. Type 2 DM affects more than 90% of all DM cases. Diabetic nephropathy and diabetic retinopathy are the two most dreaded complications of diabetes and frequently found together. Progression of both is the leading cause of end-stage renal disease and blindness. The aim of this study is to investigate albumin urine level in distinguishing diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy.
This cross-sectional study consisted of 100 respondents, in which 50 of them were categorized as diabetic retinopathy and 50 as non-diabetic retinopathy. The patients were diagnosed with type 2 DM by a doctor from Endocrinology Metabolic Division of Internal Medicine Department at Ciptomangunkusumo Hospital. Meanwhile diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy were diagnosed by ophthalmologist from Retina Division of Eye Medicine Department at Ciptomangunkusumo Hospital. Baseline characteristics of both groups were recorded and the albumin urine level was measured.
The albumin urine level in diabetic retinopathy group was significantly higher than that in the non-diabetic retinopathy group (303,41±11,14 mg/g kreatinin vs 28,14±4,90 mg/g kreatinin, p <0,001). The albumin urine level cut-off value used to distinguish diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy was 118 mg/g creatinine with sensitivity of 72%, specificity of 78%, positive predictive value of 77%, , negative predictive value of 74%, positive likelihood ratio of 3,27, and negative likelihood ratio of 0,36.
We conclude that albumin urine level test can be utilized to distinguish diabetic retinopathy from non-diabetic retinopathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rommi Rusfiandhi
"Latar Belakang: Penyemprot cat mobil adalah salah satu pekerjaan yang sering mengakibatkan pajanan logam berat di tempat kerja, salah satunya adalah kromium. Banyak efek kesehatan yang terkait dengan pajanan senyawa Cr VI . Melihat bahaya dan gangguan kesehatan akibat senyawa Cr VI serta pajanan yang ada dengan kebiasaan-kebiasaan para pekerja cat duco yang tidak memakai alat perlindungan diri dan merokok. Peneliti ingin meneliti korelasi lama pajanan dengan Cr VI darah serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar Cr VI darah.Metode: Desain penelitian menggunakan metode cross-sectional dengan total sampel sebesar 45 orang menggunakan data sekunder dari penelitian Prodia OHI tahun 2017. Usia, masa kerja, kadar Cr VI udara personal, lama pajanan, pajanan total, kebiasaaan merokok, kebiasaan konsumsi makanan laut makanan kaleng, sumber air minum, dan penggunaan APD adalah variabel-variabel yang diteliti.Hasil: Korelasi kadar kromium dalam darah dengan variabel-variabel yang diteliti tidak ada yang bermakna secara statistik. Korelasi kadar kromium dalam derah dengan usia p = 0,221 dan r = -0,186 , masa kerja p = 0,453 dan r = -0,115 , kadar Cr VI udara personal p = 861 dan r = 0,027 , lama pajanan p = 0,975 dan r = 0,005 , dan pajanan total p = 0,151 dan r = 0,218 . Hubungan kadar Cr VI darah dengan pajanan di luar pekerjaan juga tidak ada yang menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik. Hubungan kadar kromium darah dengan kebiasaan merokok p = 0,257 , konsumsi makanan laut p = 0,692 , konsumsi makanan kaleng p = 0,307 , dan sumber air minum p = 0,599 . Semua responden tidak menggunakan APD sehingga tidak dapat dianalisis.Kesimpulan: Tidak ada korelasi antara kadar Cr VI darah dengan lama pajanan. Karakteristik perkerjaan di sektor informal yang tidak menentu jumlahnya, variasinya sangat luas antar tiap responden, dan banyaknya faktor perancu lain yang sulit dikendalikan.

Background Car paint sprayers are one of the jobs that often lead to heavy metal exposure in the workplace, one of which is chromium. Many health effects are associated with exposure to Cr VI compounds. Looking the health hazards of Cr VI compounds and existing exposures with the habits of duco sprayers which smoking and never use any self protection equipment. Researchers wanted to examine the correlation between exposure duration with Cr VI blood levels as well as factors that affecting it.Method The study design used a cross sectional method with a total sample of 45 people using secondary data from Prodia OHI study in 2017. Age, working period, Cr VI personal air levels, exposure duration, total exposure, smoking habits, seafood canned food consumption habits, drinking water sources, and the use of PPE are the variables studied.Result Correlation of chromium blood levels with the studied variables was not significant. The correlation of chromium blood levels with age p 0,221 and r 0,186 , working period p 0,453 and r 0,115 , Cr VI personal air levels p 861 and r 0,027 , exposure duration p 0.975 and r 0.005 , and total exposure p 0.151 and r 0.218 . The association of Cr VI blood levels with non occupational exposure also did not show significant associations. The correlation of chromium blood levels with smoking habit p 0,257 , seafood consumption p 0,692 , consumption of canned food p 0,307 , and drinking water source p 0,599 . All respondents did not use PPE so it can not be analyzed.Conclusion There is no correlation between Cr VI blood levels with the exposure duration. The characteristics of work in the informal sector that are uncertain in number, the variation is very wide among each respondent, and many other confounding factors that are difficult to control."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Djunaedi
"Benzena merupakan bahan kimia yang masih diperlukan di berbagai industri, tetapi mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan pekerjanya walaupun proses terjadinya dalam jangka waktu lama, dapat berakibat fatal. Dampak ini dapat diperkecil dengan melakukan pemantauan lingkungan kerja terpajan benzena dan kesehatan pekerjanya secara teratur. Penelitian mengenai akibat pajanan benzena di lingkungan kerja masih sedikit dilakukan di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kelainan akibat pajanan benzena, yaitu hubungan antara kadar fenol urin dan kelainan darah di lingkungan kerja terpajan, hubungan antara lama keira di lingkungan kerja terpajan benzena dengan kadar fenol urin dan kelainan darah serta faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi. Penelitian ini dilakukan di suatu pabrik cat di Jakarta. Parameter yang dipakai pada penelitian ini adalah kadar fenol aria, parameter darah (hemoglobin, leukosit, trombosit, retikulosit, eritrosit, hernatokrit, MCV, MCH, MCHC, hitting jenis leukosit).
Penelitian ini menggunakan desain pendekatan kros seksional, menjaring data melalui waarancara terstruktur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan sampel urin dan darah terhadap 128 subjek penelitian yang terdiri dari 64 subjek penelitian di lingkungan kerja terpajan tinggi dan 64 subjek penelitian di lingkungan kerja terpajan rendah.
Kesimpulan dan saran: Kadar uap benzena di lingkungan kerja terpajan tinggi melebihi nilai ambang batas yang diperbolehkan (NAB 25 ppm). Peningkatan kadar fenol urin pada pekerja di lingkungan terpajan tinggi lebih besar dari lingkungan terpajan rendah (p = 0,003), serta meningkat dengan pertambahan lama kerja. Pemeriksaan darah menunjukkan kecenderungan penularan jumlah retikulosit pada pekerja di lingkungan kerja terpajan tinggi 17 x dibandingkan dengan lingkungan kerja terpajan rendah (p = 0,01, OR 16,89, CI = 1,71 - 166,73) dan terdapat hubungan antara rata-rata retikulosit dengan lama kerja. Juga terdapat hubungan bermakna antara peningkatan jumlah rata-rata leukosit (p = 0,055), peningkatan jumlah rata-rata basofil (mann Whitney p = 0,02) dan peningkatan jumlah tenaga kerja dengan limfosit atipik dengan pajanan benzena (OR = 7,19, CI = 3,39 - 15,24). Faktor risiko yang berpengaruh pada penelitian ini adalah umur di atas 40 tahun dan lama kerja.
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan agar pemantauan lingkungan terpajan benzena dilakukan secara teratur tiap 6 bulan dengan memperhatikan sistim produksi, ventilasi dan tata letak ruang. Perlu dilakukan pemeriksaan pekerja yang akan bekerja di lingkungan kerja terpajan benzena (pra kerja), yang sedang bekerja di lingkungan terpajan benzena (berkala dan khusus) yang terdiri atas pemeriksaan kadar fenol urin dan pemeriksaan laboratorium darah (hemoglobin, leukosit, trombosit dan retikulosit), serta diberikan penyuluhan tentang bahaya bekerja di lingkungan terpajan benzena, dan cara pemakaian masker yang baik dan tepat. Pemakaian metode kolorimetri untuk pemeriksaan kadar fenol urin. Pemeriksaan diperketat pada pekerja di atas 40 tahun dan kadar fenol urin di atas 40 mg/liter. Penatalaksanaan pajanan terhadap benzena perlu di standarisasikan.
Perlu dikembangkan kerjasama Departemen Tenaga Kerja, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian & Perdagangan dan lembaga pendidikan (Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pascasarjana Universitas Indonesia atau lembaga pendidikan terkait) dalarn menetapkan parameter yang lepat untuk digunakan dalam pemantauan lingkungan kerja terpajan benzena serta memantau dampak negatifnya.

Methods and Materials: Benzene is still required in many industries, but this chemical has negative impact towards workers' health, especially over long periods of exposure, it can be fatal. This hazard can be prevented by monitoring regularly, both exposure area and the workers' health. The study on this topic in Indonesia is still rare up to now.
The aims of this study are to search for benzene exposure disorders, the correlation between urine phenol level, and haematologic disorders, hazard, risk factors in the work place environment and time factor. This study was conducted at a paint factory in Jakarta. The parameters used in this study are phenol level in urine, haematologic examinations (haemoglobin, leucocyte, trombocyt, reticulocyt, erythrocyte, haematocrit, MCV. MCH, MCHC, differential count).
The design of this study was cross sectional. Data were collected by interview, physical examination; urine and blood examinations of 128 subjects consisting of 64 subjects in a high exposure area and 64 subjects in a low exposure area.
Results and Conclusion: Benzene vapor level in high exposure area is higher than the permissible threshold limit value (NAB 25 ppm). Phenol level in urine of workers in high exposure area are higher than workers in low exposure area (p = 0,003) and this increase coincided with the duration of work The results of haematological examination showed 17 x decreasing tendency of the reticulocyt count of workers in the higher exposure than workers in low exposure (p = 0,01, OR = 16,89, CI = 1,71 - 166,73) and this low reticulocyt count has significant correlations with the duration of work It also correlates significantly with increasing mean leucocyt count (p = 0,055), mean basophyl count (mann-whitney p = 0,02) and atypic lymphocyt count (OR = 7,19, CI = 3,39 - 15,24). The risk factors in this study include, more than 40 years old workers and long duration of exposure time.
Based on the results of this study, I suggest the establishment of a standard benzene exposure management and monitoring of benzene exposure area unit The monitoring should be carried out every 6 months regularly. Attention should be directed to the production system, room ventilation and workplace design. Pre-employment, and periodical examination of workers, especially for urine phenol level examination should be carried out, as well as haematologic examinations (hemoglobin, leucocyt, thrombocyt and reticulocyt). Communication, information, education on the danger of benzene exposure and the correct manner of mask usage should be the important task in this management.
This study was carried out by using colorimetric method for the examination of urine phenol. The examinations are restricted to more than 40 years old workers and more than 40 mg/liter phenol level in urine. A cooperation among Occupational Department, Health Department, Industry and Trade Department and other Institutions (Occupational Health & Safety, University of Indonesia or other relevant institutes) should draw up correct parameters and regulations for monitoring benzene vapor and hazards in work environments.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanus Johanes Charles Tangel
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik pada anak memerlukan perhatian khusus, terutama dalam pemasangan catheter double lumen (CDL) untuk hemodialisis. Studi tentang faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis bertujuan mengevaluasi hubungan antara parameter laboratorium, seperti kadar platelet dan albumin serum, dengan disfungsi kateter. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik.

Metode: Studi ini memiliki desain studi potong lintang yang dilakukan dengan menggunakan sampel data rekam medik dari pasien-pasien anak yang sudah menggunakan catheter double lumen (CDL) tunnel mulai bulan September hingga Oktober 2023.

Hasil: Sebanyak 59 pasien memenuhi kriteria pada penelitian ini yang sebagian besar memiliki jenis kelamin perempuan (50,8%) dan berusia >10 tahun (69,5%). Kadar platelet yang tinggi berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Kadar APTT tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,810). Kadar albumin serum yang rendah atau hipoalbuminemia berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.

Kesimpulan: Kadar albumin dan platelet berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.


Background: Chronic kidney disease in children requires special attention, particularly in the placement of double-lumen catheters (DLC) for hemodialysis. A study on the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease undergoing hemodialysis aimed to evaluate the relationship between laboratory parameters, such as platelet levels and serum albumin, and catheter dysfunction. This research is expected to enhance understanding of the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease.

Methods: This study employed a cross-sectional study design using medical record data samples from pediatric patients who had undergone double-lumen catheter (DLC) tunnel placement from September to October 2023.

Results: A total of 59 patients met the criteria for this study, the majority of whom were female (50.8%) and aged over 10 years (69.5%). High platelet levels were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). APTT levels did not have a significant association with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.810). Low serum albumin levels or hypoalbuminemia were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level.

Conclusion: Albumin levels and platelet are significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Innes Apriliani Dewi
"[ABSTRAK
Saat ini belum ada penanda biologis yang dapat digunakan untuk mendeteksi PGK sejak dini. Rasio albumin terhadap kreatinin urin (UACR) dan estimasi laju filtrasi ginjal (eLFG) digunakan sebagai penanda gangguan fungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara UACR dengan eLFG pada pasien DM tipe 2 dengan normoalbuminuria dan mikroalbuminuria. Sampel yang dianalisis adalah urin dan serum 90 orang pasien DM tipe 2 di Puskesmas Pasar Minggu yang dikumpulkan tahun lalu, dengan teknik total sampling. Kreatinin urin diukur dengan metode kinetic jaffe. Albumin urin diukur dengan metode bromkresol hijau. eLFG diperoleh dari nilai kreatinin serum. Hasil rerata UACR yang didapatkan (15,60±1,93). Hasil rerata eLFG Cockroft Gault (95,65±4,17), MDRD (89,71±3,65) dan CKD-EPI (87,00±2,62). Hasil hubungan antara UACR dengan eLFG rendah MDRD (p= 0,004,r= -0,422); Cockroft (p= 0,083,r= -0,261); CKD-EPI (p= 0,006,r= -0,404), sedangkan dengan LFG tinggi MDRD (p= 0,020, r= 0,346); Cockroft (p= <0,0-01, r= 0,540); CKD (p= 0,002, r= 0,449). Kesimpulan yang didapatkan yaitu hubungan bermakna antara UACR dengan eLFG rendah dan tinggi. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara UACR normoalbuminuria dan mikroalbumnuria dengan eLFG.

ABSTRACT
Diabetes mellitus type 2 is one of the causes complication of chronic kidney disease (CKD). Currently there are no biological markers that can be used to detect CKD early. Urinary albumin to creatinine ratio (UACR) and estimated kidney filtration rate (eLFG) is used as a marker of impaired kidney function. This study aimed to determine the relationship between UACR with eLFG in patient type 2 diabetes mellitus with normoalbuminuria and microalbuminuria. Samples were urine and serum of 90 patients with type 2 diabetes mellitus in Puskesmas Pasar Minggu which were collected last year, with total sampling technique. Urinary creatinine was measured by Jaffe kinetic method. Urine albumin was measured by the method bromkresol green. eLFG obtained from serum creatinine values. UACR results obtained (15.60 ± 1.93). Results eLFG Cockroft Gault (95.65 ± 4.17), MDRD (89.71 ± 3.65) and CKD-EPI (87.00 ± 2.62). Results relationship between UACR with low eLFG MDRD (p = 0.004, r = -0.422); Cockroft (p = 0.083, r = -0.261); CKD (p = 0.006, r = -0.404), while the high eLFG MDRD (p = 0.020, r = 0.346); Cockroft (p = <0.001, r = 0.540); CKD (p = 0.002, r = 0.449) so there is a significant relationship between UACR with low and high eLFG. There is no significant relationship between UACR normoalbuminuria and microalbuminuria with eLFG., Diabetes mellitus type 2 is one of the causes complication of chronic kidney disease (CKD). Currently there are no biological markers that can be used to detect CKD early. Urinary albumin to creatinine ratio (UACR) and estimated kidney filtration rate (eLFG) is used as a marker of impaired kidney function. This study aimed to determine the relationship between UACR with eLFG in patient type 2 diabetes mellitus with normoalbuminuria and microalbuminuria. Samples were urine and serum of 90 patients with type 2 diabetes mellitus in Puskesmas Pasar Minggu which were collected last year, with total sampling technique. Urinary creatinine was measured by Jaffe kinetic method. Urine albumin was measured by the method bromkresol green. eLFG obtained from serum creatinine values. UACR results obtained (15.60 ± 1.93). Results eLFG Cockroft Gault (95.65 ± 4.17), MDRD (89.71 ± 3.65) and CKD-EPI (87.00 ± 2.62). Results relationship between UACR with low eLFG MDRD (p = 0.004, r = -0.422); Cockroft (p = 0.083, r = -0.261); CKD (p = 0.006, r = -0.404), while the high eLFG MDRD (p = 0.020, r = 0.346); Cockroft (p = <0.001, r = 0.540); CKD (p = 0.002, r = 0.449) so there is a significant relationship between UACR with low and high eLFG. There is no significant relationship between UACR normoalbuminuria and microalbuminuria with eLFG.]"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S59515
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shafa Pratiwi
"Bisphenol A (BPA) merupakan senyawa kimia yang penggunaannya cukup luas, salah satunya dalam pembuatan plastik polikarbonat yang banyak digunakan untuk wadah makan dan minum. BPA diketahui dapat menginduksi stress oksidatif dalam tubuh melalui enzim sitokrom P450 dengan menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS). Keadaan stress oksidatif yang parah dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan, seperti risiko kanker dan penyakit degeneratif lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi senyawa 8-OHdG sebagai indikasi adanya kerusakan oksidatif DNA. Penelitian dilakukan secara in vitro berdasarkan reaksi Fenton-like dengan menginkubasi 2’-dG, Cu(II), Zn(II), H2O2, dan BPA, yang kemudian hasilnya dianalisis menggunakan HPLC. Pada studi, diamati pengaruh waktu inkubasi, suhu, dan pH reaksi. Hasil analisis menunjukkan adanya penurunan 8-OHdG pada waktu inkubasi yang lebih lama dan pH yang lebih basa, serta memberikan kenaikan 8-OHdG pada suhu inkubasi yang lebih tinggi. Selain itu, adapun studi biomonitoring yang dilakukan pada urin balita pengguna botol susu plastik sebagai gambaran adanya paparan BPA. Biomonitoring dilakukan dengan mengumpulkan tiga urin balita sebagai kontrol dan tiga urin balita sebagai sampel terindikasi BPA. Sebelum dianalisis menggunakan LC-MS/MS, sampel urin diberikan enrichment melalui metode solid phase extraction (SPE) dan LC-MS/MS dilakukan validasi. Hasil analisis urin tersebut menunjukkan bahwa kadar 8-OHdG terdeteksi lebih tinggi pada sampel urin balita pengguna botol plastik terindikasi BPA.

Bisphenol A (BPA) is a chemical compound that is widely used, such as in the manufacture of polycarbonate plastic which usually is used for food and drink containers. BPA is known to induce oxidative stress in the body through cytochrome P450 enzymes by producing reactive oxygen species (ROS). The state of severe oxidative stress will cause several health problems, such as the risk of cancer and other degenerative diseases. Therefore, this study aimed to detect 8-OHdG compounds as an indication of DNA oxidative damage. The study was conducted in vitro based on the Fenton-like reaction by incubating 2'-dG, Cu(II), Zn(II), H2O2, and BPA, then being analyzed with HPLC. This study also observed the effect of incubation time, temperature, and pH. The results of the analysis showed a decrease in 8-OHdG at a longer incubation time and a more alkaline pH, as well as an increase in 8-OHdG at a higher temperature. In addition, a biomonitoring study was also conducted on the urine of toddlers who used plastic milk bottles as a representation of BPA exposure. Biomonitoring was carried out by collecting three toddler urine as controls and three toddlers urine as samples indicated by BPA. Before being analyzed with LC-MS/MS, urine samples were given enrichment through the solid phase extraction (SPE) method and LC-MS/MS validation was performed. The results of the urine analysis showed that higher levels of 8-OHdG were detected in the urine samples of toddlers using plastic bottles indicated by BPA.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>