Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67014 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ohorella, Usman Barus
"ABSTRAK
Nyeri merupakan masalah umum pasca operasi CABG. Salah satu Metode
nonfarmakologi yang digunakan untuk mengurangi nyeri pasca operasi CABG
ialah terapi murattal Al-Qur?an. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
pengaruh terapi murattal Al-Qur?an terhadap respon fisiologis nyeri (skor nyeri,
frekuensi nadi dan napas pasien pasca operasi CABG. Penelitian True Experiment
dengan pendekatan pretest posttest control group design, dan sampel dipilih
secara probability sampling, dengan metode Block Random Sampling dan Open
Trial (uji samar terbuka) dengan jumlah sampel 30 orang pasien (konrol dan
intervensi) pasca operasi CABG (n1=n2=15). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari terapi murattal Al-Qur?an
terhadap respon nyeri fisiologi setelah terapi antara kelompok kontrol dan
kelompok intervensi (skor nyeri (p <0,001), frekuensi nadi (p <0,001) dan
frekuensi napas (p <0,001). Terapi murattal Al-Qur?an memberikan pengaruh
terhadap respon fisiologis nyeri, sehingga dapat direkomendasikan sebagai
standar operasional prosedur dalam manajemen nyeri pasien di ruang
perawatan jantung.

ABSTRACT
Pain is one of a common problem after CABG surgery. One of
nonpharmacological therapy which can be applied to relieve pain after CABG
surgery is murattal Qur?an therapy. This study aims was to identify the effect of
murattal Qur'an to the physiological response of pain (pain score, heart rate, and
respiratory rate) of patients after CABG surgery. This study used True
Experimental design with pretest and posttest control group. Probability sampling
with allocation Block Random Sampling and Open trial were used involving 30
patients after CABG surgery include intervention and control group (n1=n2=15).
The result indicate a significant influence of murattal Qur?an therapy on
physiological pain response after treatment between the control group and the
intervention group (pain score (p <0.001), heart rate (p <0.001) and respiratory
rate (p <0.001). The murattal Qur'an therapy gives an effect on physiological
response of pain in patients post CABG surgery. It?s recommended for the
hospital management team to make a policy in using murattal Qur?an therapy as
a standard operational procedure on pain relieve for patient in cardiac care
room."
2016
T45917
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Birry Karim
"Latar Belakang: Human immuno deficiency virus/ Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV/AIDS merupakan masalah global yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kasus HIV/AIDS dengan adanya kejadian aterosklerosis sebagai pemicu terjadinya kasus Penyakit Jantung Koroner PJK . Pemberian Antiretroviral ARV tersebut juga berisiko untuk kejadian PJK melalui mekanisme dislipidemia, lipodistrofi, resistensi insulin dan gangguan hati, yang juga bisa menyebabkan penebalan tunika intima media.Tujuan: Mendapatkan korelasi perubahan kadar CD 4, kadar viral load dan Indeks Massa Tubuh terhadap perubahan ketebalan tunika intima media arteri karotis pada pasien HIV yang mendapat ARV lini pertama selama 12 bulanMetode: Penelitian ini merupakan studi uji korelasi terhadap 54 pasien HIV yang menggunakan data sekunder penelitian JACCANDO PROJECT. Data yang digunakan adalah data USG doppler arteri karotis, hasil CD 4, hasil viral load dan hasil Indeks Massa Tubuh IMT .Hasil: Median CD 4 sebelum pemberian ARV ialah 68 sel/ l, sedangkan median CD 4 sesudah pemberian ARV 286,5 sel/ l. Median kadar viral load sebelum ARV sebesar 1.79 log10 copy/ml, sedangkan median viral load sesudah ARV yaitu 0 log10 copy/ml. Median IMT sebelum ARV 19.6, sedangkan median sesudah 12 bulan ARV 19.72. Rerata tunika intima media arteri karotis kiri sebelum dan sesudah pemberian ARV selama 12 bulan ialah 0.58 dan 0.63 dengan p-value 0.031. Korelasi perubahan kadar CD 4 dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis kanan r= 0.08, p=0,58 , dan kiri r= 0.01, p=0,965 . Korelasi perubahan kadar viral load dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis kanan r= 0.09, p=0,54 dan arteri karotis kiri r= 0.06, p=0,66 . Korelasi perubahan kadar IMT dengan perubahan ketebalan tunika intima kanan r= - 0.11, p=0,37 dan kiri r= -0.18, p=0,19 .Simpulan: Ketebalan tunika intima mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah pengobatan antiretroviral, namun tidak didapatkan korelasi antara kadar CD4, Viral load dan indeks massa tubuh dengan ketebalan tunika intima arteri karotis.

Background Human immuno deficiency virus Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV AIDS is currently a global issue related with coronary artery disease. The effects of antiretroviral ARV is accompanied with some negative features such as dyslipidemia, lipodystrophy, insulin resistance and liver dysfunction which all contribute to increasing tunima intima thickness.Objective To acquire correlation between level of CD4, viral load, and Body Mass Index BMI with changes in tunica intima of carotid artery thickness in HIV patients receiving first line ARV for 12 monthsMethods This study is a correlation study involving 54 HIV patients using secondary data from the JACCANDO PROJECT research data such as Doppler ultrasound of the carotid artery, CD4 values, viral load as well as BMI.Results Median CD before antiretroviral treatment was 68 cells l, median CD 4 after ARV 286.5 cell l. The median viral load rate before ARV was 1.79 log10 copy ml, while median viral load after ARV was 0 log10 copy ml. The median BMI before ARV was 19.6, while median after 12 months of ARV was 19.72. The mean of the left artery carotid artery intima media before and after ARV administration for 12 months was 0.58 and 0.63 with p value 0.031. Correlation of changes in CD4 levels with the thickness of tunica intima medium of right carotid artery r 0.08, p 0,58 , and left r 0.01, p 0,965 . Correlation of changes in viral load levels with the tunica thickness of the right carotid artery medium r 0.09, p 0,54 and left carotid artery r 0.06, p 0.66 . Correlation of changes in BMI levels with changes in thickness of the right tunica intima r 0.11, p 0.37 and left carotid artery r 0.18, p 0.19 .Conclusion The thickness of intima tunica increased after antiretroviral treatment, but no correlation found between CD4, viral load and BMI level with the thickness of the intima tunica carotid artery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Prasetya
"Tindakan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (CAD) dengan berbagai variasi letak sumbatan di pembuluh darah koroner sesuai kondisi klinis pasien. Sebagian besar studi menunjukan prevalensi masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG berkisar antara 67,5% hingga 84,2%. Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 13% hingga 30% pasien yang menjalani CABG. Kondisi DM tersebut bersama faktor-faktor lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pasien untuk kembali bekerja yang menjalani tindakan CABG. Pasien DM dapat mengalami masa pemulihan yang berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas 12 bulan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Evidence-Based Case Report (EBCR) ini bertujuan mendapatkan bukti ilmiah dalam memperkirakan masa kembali bekerja pasien DM pasca tindakan CABG dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode EBCR yang diterapkan berupa pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, dan Embase menggunakan kata kunci sesuai pertanyaan klinis terkait DM, CABG, dan kembali bekerja. Selanjutnya dilakukan skrining berdasarkan judul dan abstrak, kriteria inklusi dan eksklusi. Studi yang terjaring selanjutnya dilakukan telaah kritis menggunakan pedoman Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (Oxford CEBM) untuk menilai validitas, relevansi, dan aplikabilitasnya dalam menjawab pertanyaan klinis pada kasus yang disajikan. Studi Davoodi dkk dengan level of evidence (LOE) tingkat 4 menunjukkan pengaruh signifikan DM terhadap kembali bekerja (p=0,034 dan hazard ratio 2,041 (Confidence Interval/CI 1,056-3,946) dimana pasien DM memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk tidak kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM namun memiliki presisi studi yang kurang baik. Pada studi Butt dkk, dengan LOE tingkat 3 menunjukkan pasien DM memiliki kemungkinan 16% lebih rendah untuk kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM (OR=0,84 (CI 0,70-1,01). Sedangkan pada studi Hallberg dkk dengan LOE tingkat 3, menunjukan kondisi tanpa DM bersama usia muda, status masih bekerja pra-operasi dan kerusakan miokardium peri-operatif menjadi prediktor penting yang mempengaruhi kembali bekerja setelah CABG (likelihood ratio/LR pasien tanpa DM sebesar 1,08, T1DM sebesar 0,50, dan T2DM sebesar 0,31). Kesimpulannya pengaruh DM dapat dikaitkan dengan meningkatkan risiko penundaan masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG. Namun demikian, tidak ditemukan bukti kuat yang konsisten dalam menunjukan pengaruh langsung DM dalam 3 studi yang dilakukan telaah kritis. Masa kembali bekerja pasca tindakan CABG turut dipengaruhi faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin pria, penghasilan, tingkat pendidikan, kondisi komorbid lain seperti gagal jantung, strok, atrial fibrilasi, dll, maupun adanya komplikasi perioperatif.

Coronary artery bypass grafting (CABG) is performed on patients with coronary artery disease (CAD) with varying degrees and locations of coronary artery blockages, depending on the patient’s clinical condition. Most studies report that the prevalence of returning to work within one year post-CABG ranges from 67.5% to 84.2%. Diabetes mellitus (DM) is found in 13% to 30% of patients undergoing CABG. DM, along with other factors, negatively impacts the ability of patients to return to work post-CABG. Diabetic patients may experience prolonged recovery periods, preventing them from resuming work within 12 months, which could lead to job termination. This Evidence- Based Case Report (EBCR) aims to provide scientific evidence for estimating the return- to-work period for diabetic patients post-CABG and identifying influencing factors. The EBCR methodology involved a systematic literature search through PubMed, Scopus, and Embase using keywords related to DM, CABG, and return-to-work outcomes. Articles were screened based on titles, abstracts, inclusion and exclusion criteria, followed by critical appraisal using the Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (OCEBM) guidelines to assess validity, relevance, and applicability. The study by Davoodi et al. with Level of Evidence (LOE) 4 demonstrated a significant impact of DM on delayed return-to-work (p=0.034; Hazard Ratio [HR]=2.041; Confidence Interval [CI] 1.056–3.946), indicating that diabetic patients have twice the risk of not returning to work compared to non-diabetic patients, though precision was limited due to a wide CI. Butt et al.'s study with LOE 3 showed that diabetic patients were 16% less likely to return to work compared to non-diabetic patients (Odds Ratio [OR]=0.84; CI 0.70–1.01), but this result was not statistically significant as the CI included 1. Hallberg et al.'s study with LOE 3, highlighted that non-diabetic status, younger age, preoperative employment status, and perioperative myocardial damage were significant predictors of returning to work post-CABG (Likelihood Ratio [LR]: no DM=1.08; Type 1 DM=0.50; Type 2 DM=0.31). In conclusion, DM is associated with an increased risk of delayed return-to- work within one year post-CABG. However, consistent and strong evidence directly linking DM with delayed return-to-work is lacking across the three critically appraised studies. Other factors such as age, male gender, income level, education level, comorbidities (e.g., heart failure, stroke, atrial fibrillation), and perioperative complications also influence return-to-work outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Prasetya
"Tindakan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (CAD) dengan berbagai variasi letak sumbatan di pembuluh darah koroner sesuai kondisi klinis pasien. Sebagian besar studi menunjukan prevalensi masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG berkisar antara 67,5% hingga 84,2%. Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 13% hingga 30% pasien yang menjalani CABG. Kondisi DM tersebut bersama faktor-faktor lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pasien untuk kembali bekerja yang menjalani tindakan CABG. Pasien DM dapat mengalami masa pemulihan yang berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas 12 bulan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Evidence-Based Case Report (EBCR) ini bertujuan mendapatkan bukti ilmiah dalam memperkirakan masa kembali bekerja pasien DM pasca tindakan CABG dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode EBCR yang diterapkan berupa pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, dan Embase menggunakan kata kunci sesuai pertanyaan klinis terkait DM, CABG, dan kembali bekerja. Selanjutnya dilakukan skrining berdasarkan judul dan abstrak, kriteria inklusi dan eksklusi. Studi yang terjaring selanjutnya dilakukan telaah kritis menggunakan pedoman Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (Oxford CEBM) untuk menilai validitas, relevansi, dan aplikabilitasnya dalam menjawab pertanyaan klinis pada kasus yang disajikan. Studi Davoodi dkk dengan level of evidence (LOE) tingkat 4 menunjukkan pengaruh signifikan DM terhadap kembali bekerja (p=0,034 dan hazard ratio 2,041 (Confidence Interval/CI 1,056-3,946) dimana pasien DM memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk tidak kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM namun memiliki presisi studi yang kurang baik. Pada studi Butt dkk, dengan LOE tingkat 3 menunjukkan pasien DM memiliki kemungkinan 16% lebih rendah untuk kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM (OR=0,84 (CI 0,70-1,01). Sedangkan pada studi Hallberg dkk dengan LOE tingkat 3, menunjukan kondisi tanpa DM bersama usia muda, status masih bekerja pra-operasi dan kerusakan miokardium peri-operatif menjadi prediktor penting yang mempengaruhi kembali bekerja setelah CABG (likelihood ratio/LR pasien tanpa DM sebesar 1,08, T1DM sebesar 0,50, dan T2DM sebesar 0,31). Kesimpulannya pengaruh DM dapat dikaitkan dengan meningkatkan risiko penundaan masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG. Namun demikian, tidak ditemukan bukti kuat yang konsisten dalam menunjukan pengaruh langsung DM dalam 3 studi yang dilakukan telaah kritis. Masa kembali bekerja pasca tindakan CABG turut dipengaruhi faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin pria, penghasilan, tingkat pendidikan, kondisi komorbid lain seperti gagal jantung, strok, atrial fibrilasi, dll, maupun adanya komplikasi perioperatif.

Coronary artery bypass grafting (CABG) is performed on patients with coronary artery disease (CAD) with varying degrees and locations of coronary artery blockages, depending on the patient’s clinical condition. Most studies report that the prevalence of returning to work within one year post-CABG ranges from 67.5% to 84.2%. Diabetes mellitus (DM) is found in 13% to 30% of patients undergoing CABG. DM, along with other factors, negatively impacts the ability of patients to return to work post-CABG. Diabetic patients may experience prolonged recovery periods, preventing them from resuming work within 12 months, which could lead to job termination. This Evidence- Based Case Report (EBCR) aims to provide scientific evidence for estimating the return- to-work period for diabetic patients post-CABG and identifying influencing factors. The EBCR methodology involved a systematic literature search through PubMed, Scopus, and Embase using keywords related to DM, CABG, and return-to-work outcomes. Articles were screened based on titles, abstracts, inclusion and exclusion criteria, followed by critical appraisal using the Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (OCEBM) guidelines to assess validity, relevance, and applicability. The study by Davoodi et al. with Level of Evidence (LOE) 4 demonstrated a significant impact of DM on delayed return-to-work (p=0.034; Hazard Ratio [HR]=2.041; Confidence Interval [CI] 1.056–3.946), indicating that diabetic patients have twice the risk of not returning to work compared to non-diabetic patients, though precision was limited due to a wide CI. Butt et al.'s study with LOE 3 showed that diabetic patients were 16% less likely to return to work compared to non-diabetic patients (Odds Ratio [OR]=0.84; CI 0.70–1.01), but this result was not statistically significant as the CI included 1. Hallberg et al.'s study with LOE 3, highlighted that non-diabetic status, younger age, preoperative employment status, and perioperative myocardial damage were significant predictors of returning to work post-CABG (Likelihood Ratio [LR]: no DM=1.08; Type 1 DM=0.50; Type 2 DM=0.31). In conclusion, DM is associated with an increased risk of delayed return-to- work within one year post-CABG. However, consistent and strong evidence directly linking DM with delayed return-to-work is lacking across the three critically appraised studies. Other factors such as age, male gender, income level, education level, comorbidities (e.g., heart failure, stroke, atrial fibrillation), and perioperative complications also influence return-to-work outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Trisetyo Nugroho
"

Latar belakang : Konduit vena lebih rentan mengalami trombosis dini dalam satu tahun pertama pasca bedah pintas arteri koroner sehingga meningkatkan risiko morbiditas maupun mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti ada tidaknya perbedaan kejadian trombosis dini konduit vena pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) dengan teknik on-pump dan off-pump pada pasien non-resisten aspirin.

Metode : Dilakukan suatu studi kohort prospektif pada pasien yang menjalani operasi BPAK elektif di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari bulan September 2019 hingga September 2020. Penelitan ini membandingkan kejadian trombosis pada satu bulan pascabedah pada kelompok on-pump dan off-pump dengan menggunakan pemeriksaan MSCT, serta membandingkan nilai MGF dan PI pada kedua kelompok tersebut.

Hasil : Sebanyak 60 konduit vena dari 28 pasien yang menjalani BPAK dilibatkan dalam penelitian ini. Sebanyak masing-masing 30 konduit pada kelompok off-pump dan on-pump.  Hasil penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna pada kejadian trombosis dini antara kedua kelompok. Kejadian trombosis dini pada BPAK on-pump sebanyak 13,3% dan pada BPAK off-pump 13,3% (p=1). Evaluasi nilai MGF dan PI juga menunjukan hasil tidak berbeda bermakna antara kedua teknik operasi maupun pada kelompok konduit yang paten atau oklusi.

Simpulan : Tidak ada perbedaan bermakna pada kejadian trombosis dini antara BPAK baik secara on pump maupun off pump.


Introduction : Early thrombosis is more common in vein grafts and may occur within the first year after coronary artery bypass graft surgery and can increase morbidity and mortality rate. This study aims to establish whether there is a difference of the incidence of early thrombosis after on-pump and off-pump CABG in non-aspirin resistant patient population.

Method : Patients who undergone elective CABG surgery from September 2019 to September 2020 in single center was included in this prospective cohort study. This study compares the incidence of vein graft thrombosis at one month postoperative in both groups on pump and off pump using MSCT, and compares MGF and PI value of in on pump and off pump group also in patent and occluded vein grafts.

Results : A total of 60 vein grafts (30 on-pump and 30 off-pump) from 28 patients were analyzed in this study. There was no significant difference on the incidence of early vein graft thrombosis between two groups (13,3% in on pump vs 13,3% in off pump, p:1). MGF and PI value showed no difference in both techniques also no difference in patent group and occluded group

Conclusion : There is no significant difference in early vein graft thrombosis after on-pump or off-pump CABG.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Ginanjar
"Sindrom koroner akut berkontribusi pada tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait kasus penyakit kardiovaskular, dengan salah satu penyebab mortalitas tertinggi yaitu STEMI(ST Elevation Myocardial Infarction). Keterlambatan penanganan pasien STEMI menjadi penyebab tingginya mortalitas dan kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Event), serta berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan.Program CODE STEMI diciptakan dengan harapan dapat menyelesaikan keterlambatan ini serta meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan program CODE STEMI terhadap kualitas pelayanan pasien dengan STEMI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.Metode yang digunakan adalah metode operasional secara kuantitatif dan kualitatif dengan desain kohort retrospektif. Data kuantitatif didapatkan dari telaah dokumen dengan jumlah sampel 207 pasien (135 kelompok CODE STEMI, 72 kelompok Non CODE STEMI), sedangkan data kualitatif didapatkan dari wawancara mendalam dengan sepuluh informan penelitian. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan uji Mann whitney (Door to balloon time, total biaya RS, lama rawat) dan chi square (kejadian Mortalitas dan MACE). Hasil penelitian menunjukan terdapat perbaikan yang bermakna untuk door to balloon time, total biaya dan lama rawat pasien STEMI pada pasien yang ditangani dengan CODE STEMI. Selain itu terdapat kecenderungan penurunan angka kejadian MACE dan mortalitas setelah diterapkan program CODE STEMI. Baik pihak rumah sakit maupun pasien mengaku puas dengan program CODE STEMI tersebut. Program ini terbukti memiliki efikasi, efektivitas, optimalitas, akseptibilitas, legitimasi, dan ekuitas yang baik serta memenuhi prinsip-prinsip manajemen yang baik untuk sebuah program pelayanan. Kesimpulan penelitian ini adalah program CODE STEMI berpengaruh baik terhadap kualitas pelayanan pasien dengan STEMI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Acute coronary syndrome contributes to high rates of morbidity and mortality associated with cardiovascular disease, with one of the highest causes of mortality is STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction). Delay in the management of STEMI patients is a cause of high mortality and the incidence of MACE (Major Adverse Cardiac Event), as well as affecting healthcare quality. This delay may be solved by the CODE STEMI program. This study aims to determine the effect of the implementation of the CODE STEMI program on the quality of healthcare services with patients with STEMI at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The method used was an observational method using quantitative and qualitative approach with a cross sectional design. Quantitative data were obtained from a medical records with a sample of 207 patients (135 CODE STEMI groups, 72 Non-CODE STEMI groups), while qualitative data were obtained from in-depth interviews with ten research informants. Data analysis was performed quantitatively by Mann Whitney test (Door to balloon time, total hospital costs, length of stay) and chi square test (Mortality and MACE events). The results of the study shows a significant reduction in terms of door to balloon time, total cost, and length of stay of STEMI patients treated with CODE STEMI. In addition, there is a decreasing tendency of the incidence of MACE and mortality after the application of the CODE STEMI program. Both the hospital and the patient said they were satisfied with the CODE STEMI program. This program is proven to have a good efficacy, effectivity, optimality, acceptability, legitimation, and equity. It also met the required principles of good management for healthcare program. The conclusion of this study is that the CODE STEMI program has a good impact on the healthcare quality of patients with STEMI in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Hamonangan
"Latar Belakang: Angka harapan hidup yang meningkat menyebabkan peningkatan populasi usia lanjut termasuk populasi usia lanjut dengan penyakit jantung koroner. Frailty sering ditemukan pada pasien usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular dan keberadaan frailty sangat mempengaruhi prognosis penyakit jantung koroner pada pasien usia lanjut termasuk luaran terhadap intervensi revaskularisasi. Percutaneous Coronary Intervention (PCI) adalah salah satu metode revaskularisasi dan belum banyak penelitian yang dilakukan terkait pengaruh frailty terhadap luaran pasien usia lanjut yang menjalani PCI elektif.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan proporsi frailty, insidensi Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) 30 hari dan mengkaji peran frailty terhadap prognosis pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif.
Metode: Secara prospektif dilakukan penilaian terhadap kondisi frailty pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif di RS Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan kriteria Frailty Phenotipe. Pasien kemudian di follow-up selama 30 hari setelah tindakan PCI elektif untuk melihat apakah MACE terjadi atau tidak.
Hasil: Terdapat 100 pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif dari bulan September 2014 - Juni 2015. Usia rata-rata pasien adalah 66.95 tahun (SD = 4.875) dengan pasien terbanyak adalah laki-laki (69%). Sebanyak 61% pasien termasuk ke dalam kelompok frail. MACE terjadi pada 8.19% pasien pada kelompok frail dan 5.12% pada kelompok non-frail. Hubungan frailty terhadap MACE dapat dilihat dari hasil crude Hazard Ratio (HR) 1.6 (IK 95% 0.31-8.24). Pada penelitian ini, kesintasan 30 hari 95% pada kelompok frail, sementara pada kelompok non-frail kesintasan 30 hari adalah sebesar 98%.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan risiko 1.6 kali untuk terjadinya MACE 30 hari pada subyek usia lanjut frail yang menjalani PCI elektif namun belum bermakna secara statistik.

Background: The increase in life expectancy caused the increase in elderly population including the population of elderly with Coronary Artery Disease. Frailty is commonly found in elderly patients with cardiovascular disease and frailty had a major influence in determining the prognosis of cardiovascular disease in elderly including the outcome of revascularization intervention. PCI (Percutaneous Coronary Intervention) is one method of revascularization. However, frailty research on the effect on the outcome of elderly patients with coronary artery disease undergoing PCI is still limited.
Aim: To get the proportion of frailty and 30 days Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) incidence, and to review impact of frailty in elderly patients with coronary heart disease who underwent elective PCI.
Method: The frailty condition of the elderly patients with coronary artery disease that underwent elective PCI in Cipto Mangunkusumo Hospital was assessed with the Frailty Phenotype criteria. After the patients underwent the elective PCI, they were followed for 30 days to see whether MACE occurred or not.
Result: There are 100 elderly patients with coronary artery disease that underwent elective PCI from September, 2014 until June, 2015. The mean age of patients is 66.95 ± 4.875 years and 69% of the patients were males. Frail was present in 61% of the patients. MACE were occurred in 8.19% of frail patients and 5.12% were occurred in non-frail patients. The correlation between frailty and MACE could be seen in the result of crude HR 1.6 (CI 95% 0.31-8.24). In this research, the 30 days survival rate is 95% in frail patients and 98% in non-frail patients.
Conclusion: There is a 1.6 fold increased risk of 30 days MACE in elderly frail patients that underwent elective PCI but it is not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyanti Roberto Muliantino
"Fatigue dan durasi tidur pendek termasuk dalam salah satu keluhan utama pasien penyakit jantung koroner pada masa recovery setelah serangan dan menjalani rehabilitasi fase 2. Relaksasi Benson merupakan teknik relaksasi sebagai terapi modalitas untuk menurunkan fatigue, namum belum banyak penelitian terkait intervensi ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh relaksasi Benson terhadap fatigue dan durasi tidur pasien penyakit jantung koroner yang menjalani rehabilitasi fase 2. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen dengan pendekatan control group pretest posttest design pada 29 responden di RSUP. Dr.M.Djamil Padang yang dibagi dalam dua kelompok kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan fatigue yang signifikan antara sebelum dan setelah dilakukan intervensi relaksasi Benson pada kelompok intervensi p value < 0,001. Ada perbedaan durasi tidur yang signifikan antara sebelum dan setelah dilakukan dilakukan intervensi relaksasi Benson pada kelompok intervensi p value < 0,001. Hasil penelitian juga menunjukan ada perbedaan selisih fatigue sebelum dan setelah yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol p value < 0,001. Sedangkan tidak ada perbedaan selisih durasi tidur sebelum dan setelah yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol p value = 0,116. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu terapi modalitas bagi perawat untuk mengatasi masalah fatigue dan durasi tidur pendek pada pasien penyakit jantung koroner.

Fatigue and short sleep duration were among four major symptoms in coronary artery disease patient, in recovery period after cardiac events and during phase II cardiac rehabilitation. Benson's relaxation was one of relaxation technique as modalities therapy of fatigue that recognized in Nursing Intervention Classifications. This study was perfermed to measured the effectiveness of Benson's relaxation in fatigue and sleep duration of coronary artery disease patient during phase II cardiac rehabilitation. A control group pretest posttest desaign was used. A total 29 coronary artery disease patient in Dr.M.Djamil Hospital were assigned to either the intervention and control group.
The result indicated significant differences fatigue between pre and post test in intervention groups p value 0,000. There were significant differences sleep duration between pre and post test in intervention groups p value 0,000. The results of this study could be one of modalities therapy in providing intervention of fatigue and short sleep duration in coronary artery disease patient.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>