Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184145 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Engla Merizka
"ABSTRAK
Latar belakang. Pasien yang mendapatkan trasfusi darah berulang berisiko
mempunyai aloantibodi terhadap antigen yang ada pada permukaan sel darah
merah. Aloantibodi tersebut dapat menyebabkan terjadinya reaksi transfusi berupa hemolisis sel darah merah pada transfusi darah berikutnya. Untuk mencegah terjadinya hemolisis sel darah merah maka pasien talasemia sebaiknya mendapatkan darah yang sesuai dengan antigen sel darah merah yang dimilikinya. Namun hal ini belum dimungkinkan karena keterbatasan pemeriksaan rutin pretransfusi yang dilakukan untuk setiap pasien talasemia yang mendapatkan transfusi darah berulang.
Metode penelitian. Delapan puluh delapan sampel pasien talasemia yang
mendapat transfusi darah berulang dilakukan skrining antibodi sel darah merah
dengan metode Indirect Coomb's Test (ICT) dan dilanjutkan dengan identifikasi
antibodi. Sampel yang terdeteksi mempunyai antibodi dikonfirmasi dengan
pemeriksaan fenotyping dan genotyping untuk melihat jenis antigen yang ada di permukaan sel merah.
Hasil. Dari hasil skrining antibodi terdeteksi adanya aloantibodi pada tujuh dari
88 sampel. Dari delapan sampel yang diidentifikasi terdapat tiga sampel
mempunyai anti E (47%), empat (57 %) sampel tidak dapat disimpulkan jenis
antibodi apa yang terdapat dalam sampel.
Simpulan. Pasien talasemia yang memiliki aloantibodi pada sampel darahnya
memiliki genotype RHCE*Ce dan sesuai dengan hasil fenotyping. Dapat
disimpulkan bahwa antibodi pada pasien merupakan aloantibodi. Pada penelitian ini didapatkan persentase aloantibodi pada pasien talasemia sebanyak tujuh (8%) dari total 88 sampel (100 %). Dengan dilakukannya skrining antibodi diharapkan dapat mengurangi risiko terbentuknya aloantibodi dengan memberikan darah donor yang sesuai dengan antibodi yang dimiliki pasien sehingga tidak terjadi hemolisis.

ABSTRACT
Background. Patients who receive repeated blood trasfusi alloantibody risk
having the antigen on the surface of red blood cells. Alloantibody can cause
transfusion reactions in the form of a red blood cell hemolysis on next blood
transfusions. To prevent the occurrence of the red blood cell hemolysis in
thalassemia patients should receive blood that best match the red blood cell
antigen has. But this was not possible due to the limitations of routine pretransfusion examination performed for every patient with thalassemia who receive repeated blood transfusions.
Research methods. Eighty-eight samples thalassemia patients receiving repeated blood transfusions carried red cell antibody screening method Indirect Coomb's Test (ICT) and continued with the identification of antibodies. Samples were detected with antibodies was confirmed by examination fenotyping and genotyping to see what kind of a cell surface antigen that is red.
Results. From the results of antibody screening detected seven out of 88 samples contained alloantibody. Of the eight samples has identified three samples contained anti-E (47%), four (57%) samples can not be inferred what kind of antibodies contained in the sample.
Conclusions. Patients with thalassemia who have alloantibody on blood samples have genotype RHCE * Ce and in accordance with the results of fenotyping. It can be concluded that the antibodies in patients is alloantibody. In this study, the percentage of patients with thalassemia alloantibody seven (8%) of the total 88 samples (100%). The effect of antibody screening is expected to reduce the risk of developing alloantibody by providing appropriate donor blood with antibodies that owned the patient so there is no hemolysis."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Maria Dewajanthi
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian:
Penyakit talasemia merupakan kelainan gen tunggal yang diturunkan secara resesif autosom. Terjadi ketidakseimbangan jumlah antara rantai globin α dan rantai globin β, sehingga ada rantai globin yang tidak berpasangan Presipitasi rantai globin yang tidak berpasangan pada membran dapat mengakibatkan otooksidasi membran sehingga dapat menyebabkan membran sel menjadi rigid. Selain protein skeleton membran, stabilitas sel darah merah juga sangat dipengaruhi oleh protein pita 3, suatu protein integral transmembran sel darah merali Protein pita 3 berfungsi pula sebagai protein penukar anion. Kelainan protein pita 3 dapat mempengaruhi fungsinya baik sebagai penukar anion maupun dalam mempertahankan stabilitas membran sel darah merah. Protein pita 3 yang abnormal dijumpai pada ovalositosis. Ovalositosis merupakan penyakit kelainan darah yang disebabkan oleh hilangnya 9 asam amino protein pita 3 akibat delesi 27 pb, kodon 400-408 pada ekson 11 gen protein pita 3 (AEI). Hilangnya 9 asam amino protein pita 3 pada ovalositosis menyebabkan membran sel darah merah menjadi rigid sehingga menurunkan deformabilitas membran. Adanya rigiditas disertai penurunan kemampuan deformabilitas membran sel darah merah talasemia yang menyerupai membran sel darah merah ovalositosis, menimbulkan pemildran bahwa kerusakan protein membran sel darah merah juga disebabkan oleh adanya kelainan gen penyandi protein pita 3. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya kelainan gen protein pita 3 pada penderita talasemia. DNA genom diperoleh dari darah orang sehat dan pasien talasemia. Kemudian gen yang akan diperiksa diperbanyak dengan teknik PCR dan visualisasinya menggunakan elektroforesis gel agarosa 2%.
Hasil dan Kesimpulan:
Hasil PCR gen protein pita 3 pada orang sehat (normal) berukuran 175 ± 25 pb, sedangkan pada pasien talasemia dijumpai 2 produk PCR yang berukuran 175 ± 25 pb dan 110 ± 15 pb. Adanya produk PCR yang berukuran 110 ± 15 pb menunjukkan adanya kelainan gen protein pita 3 pada pasien talasemia berupa delesi gen sebesar 65 ± 10 pb. Kelainan genetik protein pita 3 pada talasemia tidak sama dengan kelainan genetik pada ovalositosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windhi Kresnawati
"Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan hemoglobinopati yang cukup banyak di Indonesia. Terapi utama thalassemia mayor adalah transfusi seumur hidup. Transfusi berulang memiliki efek samping. Salah satunya adalah terbentuknya aloantibodi sel darah merah. Prevalens dan faktor-faktor yang memengaruhi aloantibodi pada pasien thalassemia masih belum ada di Indonesia. Uji Coombs sebagai standar diagnosis merupakan pemeriksaan yang mahal dan hanya tersedia di pusat tertentu. Metode lain yang lebih mudah diperlukan untuk memprediksi terbentuknya aloantibodi tersebut.
Tujuan: Untuk mengetahui prevalens aloantibodi sel darah merah di populasi Indonesia dan mendapatkan faktor-faktor yang memengaruhinya. Membuat sistem skoring untuk memprediksikan probabilitas terbentuknya aloantibodi sel darah merah berdasarkan faktor-faktor tersebut.
Metode: Analisis terhadap 162 rekam medis subjek yang telah dilakukan uji Coombs di Pusat Thalassemia Jakarta pada tahan 2005-2013.
Hasil: Dari 162 subjek didapatkan 31 (19%) subjek memiliki aloantibodi dan 4 (2,4%) subjek menderita AIHA. Jenis aloantibodi terbanyak yang terdeteksi adalah anti-M (29%). Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya aloantibodi adalah tingginya volume transfusi, jarak antar transfusi, lama transfusi, kadar leukosit dan pajanan PRC biasa. Berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut, sistem skoring didisain untuk memprediksi kemungkinan terbentuknya aloantibodi.
Kesimpulan: Prevalens aloantibodi pada pasien thalassemia di Indonesia cukup tinggi. Pemberian PRC leukodeplesi pelu direkomendasikan pada pasien dengan transfusi berulang. Prediksi terbentuknya aloantibodi dapat dilakukan melalui sistem skoring terutama di tempat yang tidak tersedia uji Coombs.

Background: Thalassemia major is a common genetic disease in Indonesia. The principal treatment of thalassemia major is lifelong blood transfusion, which is frequently complicated by alloantibody. Limited data are available on the frequency of RBC alloantibody and factors influencing in major β-thalassemia patients. Coombs test, as a standard tool to diagnose alloantibody, is only available on particular Red Cross Centre. Therefore, it is necessary to find another tool to predict the probability of alloantibody formation.
Aim: To investigate the prevalence of RBC alloantibody among thalassemia major patients in Thalassemia Centre Jakarta. To describe factors influencing RBC alloantibody production and develop scoring system to predict its probability.
Methods: We analyzed the clinical and transfusion records of 162 thalassemia major patients who have been examined for Coombs test. All of the patients were registered in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo hospital from 2005 until 2013.
Results: Of the 162 subjects, 31 (19%) developed RBC alloantibody and four patients (2,4%) developed autoimmune hemolytic anemia. The most common alloantibody was anti-M (29%).Several factors were found to contribute to high alloantibody rate in this study, including high volume of transfusion, duration of transfusion, white blood count level, transfusion interval, and PRC exposure. From those factors, scoring system has been developed to predict alloantibody formation in thalassemia patients.
Conclusion: We concluded that there is a high rate of RBC alloantibody in major thalassemia patients in our center. We also suggest that leukocyte-poor PRC should be given to all patients with multiple transfusions. In remote area where Coombs test is not available, scoring system can be used to predict the probability of alloantibody formation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Ferry P.
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian :
Talasemia adalah kelainan genetik yang diturunkan secara resesif dari orang tua kepada anaknya. Penyakit ini ditandai antara lain oleh kelainan darah berupa anemia, yang disebabkan oleh umur sel darah merah yang lebih singkat dari normal. Ini terkait dengan penurunan kelenturan membran sel darah merah sehingga mengurangi kemampuan deformabilitas yang diperlukan agar dapat melalui pembuluh darah kapiler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelainan sel darah merah talasemia ditinjau dari aktivitas enzim Ca2+-ATPase yang terdapat pada membran. Aktivitas enzim ini diukur dengan metode Fiske Subarrow, yaitu berdasarkan konsentrasi fosfat yang terbentuk sebagai hasil hidrolisis ATP. Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Penetapan aktivitas enzim Ca2+-ATPase dilakukan pada 21 sampel sel darah merah talasemia dan 21 sampel sel darah merah normal.
Hasil dan Kesimpulan :
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, aktivitas enzim Ca2+-ATPase pada membran sel darah merah talasemia lebih tinggi dari pada membran sel darah normal yaitu 0,195 + 0,052 μmol Pi / mg prat / jam dibandingkan dengan 0,169 + 0,045 imol Pi / mg prot 1 jam Secara statistik menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05).
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulhasri
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian :
Talasemia adalah penyakit kelainan darah herediter yang disebabkan oleh gangguan sintesis rantai globin-β. Penyakit ini diturunkan secara otosom resesif dan dicirikan antara lain oleh adanya anemia hemolitik akibat destruksi dini sel darah merah pada sumsum tulang dan pada peredaran darah perifer. Penyakit talasemia-βsampai saat ini masih menjadi masalah medik dan sosial. Hal ini disebabkan belum ditemukannya pengobatan yang efektif dan masih diperlukannya transfusi darah yang berkelanjutan.
Dari penelitian terdahulu telah diketahui bahwa pada talasemia-β terjadi gangguan susunan dan fungsi membran yang disebabkan oleh adanya radikal bebas dalam jumlah yang lebih besar dari pada biasanya. Asetilkolinesterase (AchE) diketahui merupakan petanda untuk integritas membran. Mengingat bahwa pada membran SDM Talasemia-β terjadi perubahan susunan dan fungsi membran maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauhmana perubahan tersebut mempengaruhi aktivitas AchE.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan aktivitas AchE pada SDM Talasemia-β dan SDM Normal serta untuk melihat kemampuan vitamin E dalam menahan beban oksidatif yang disebabkan oleh penambahan t-BHP pada SDM Normal dan Talasemia-β. Penentuan aktivitas dilakukan pada suspensi SDM 10 % dari 20 sampel SDM Normal dan 20 sampel SDM Talasemia-β yang diberi beban oksidatif dengan atau tanpa pemberian antioksidan. Khusus pada SDM Talasemia-β dilakukan pengukuran aktivitas AchE setelah pemberian antioksidan. Aktivitas enzim ditentukan dengan metode Beutler, yaitu dengan mengukur warna yang terbentuk antara substrat asetiltiokolin dengan asam 5-5 ditiobisnitrobenzoat (DTNB) secara spektrofotometri. Sebelum pengukuran aktivitas AchE dilakukan pengukuran kadar Hb, kadar protein dan jumlah eritrosit.
Hasil dan kesimpulan :
Kadar Hb SDM Talasemia- β(2,23 ±0,38 g/dL) lebih rendah dibandingkan SDM Normal (2,84 ± 0,31 g/dL). Kadar protein SDM Talasemia-β (5,41 ± 1,12 g/dL) lebih rendah (p <0,05) dibandingkan SDM Normal (6,92 ± 0,71 g 1 dL). Jumlah eritrosit Talasemia-β (1,003 ±0,045/mLx106) tidak terlalu berbeda (P> 0,05) daripada SDM Normal (1,004±0,1261mLx106). SDM Normal yang diberi beban oksidatif (SDMN2) mempunyai nilai aktivitas AchE/g Hb, aktivitas spesifik AchE dan aktivitas AchE/jumlah eritrosit yang lebih rendah dibandingkan SDM Normal yang hanya diberi KRP (SDMN1). Pemberian t-BHP pada SDM Normal menurunkan aktivitas AchE, baik yang dinyatakan per g Hb, per g protein maupun per jumlah eritrosit. Pemberian vitamin E pada SDM Talasemia-β dapat memperbaiki aktivitas AchE yang dinyatakan per g Hb, per g protein maupun per jumlah eritrosit. Pemberian vitamin E pada SDM Talasemia-β yang diberi beban oksidatif dapat mengurangi penurunan aktivitas AchE per g Hb, per g protein maupun per jumlah eritrosit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T10344
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarsih Rahayu
"ABSTRAK
Lama transfusi darah pada talasemia mayor menyebabkan hemosiderosis. Penelitian ini untuk mengetahui dampak lama pemberian PRC terhadap hemosiderosis kulit, endokrin, jantung, tulang, hati dan limfa, serta saluran pencernaan pada anak dengan talasemia mayor di Ruang Melati 2 RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Penelitian kuantitatif, metode deskriptif analisis dengan pendekatan cross sectional. Sampel 35 anak, usia 3-17 tahun, dalam 4 kategori transfusi darah 1-5 tahun, >5-9 tahun, >9-13 tahun, dan >13-17 tahun. Penelitian dilakukan selama 2 bulan, Mei sampai Juni 2010, dengan wawancara, pemeriksaan fisik, dan observasi. Analisis data menggunakan uji ANOVA. Ada perbedaan hemosiderosis keseluruhan organ diantara keempat kategori lama transfusi darah (p=0,05). Ada perbedaan hemosiderosis pada kulit (p=0,000), endokrin (p=0,032), tulang (p=0,015), hati dan
limfa (p=0,000). Hemosiderosis dapat terjadi pada beberapa organ maupun seluruh organ tubuh. Rekomendasi untuk perawat yaitu mengantisipasi hemosiderosis dan memberikan perawatan sesuai dengan kondisi hemosiderosis anak talasemia mayor.

Abstract
Duration of blood transfusion resulted hemosiderosis. This study to known duration of PRC transfusion effect for hemosiderosis of skin, endocrine, heart, bone, hepar and lien, and tractus digestivus in children with major thalassemia at Melati 2 ward of Dr.Moewardi Hospital in Surakarta 2010. This study was kuantitative researched, analized descriptived method, cross sectional approached. Sample of 35 children, at the age range of 3 to 17 years in 4 groups were transfusion 1-5 years, >5-9 years, >9-13 years, and >13-17 years. This study did two months, Mei until June 2010 with interviewed, physical examinated, and observated. Data analized with ANOVA test. There was statistical difference between 4 groups transfusion prolonged for hemosiderosis (p=0,05). There were statistical difference were skin (p=0,000), endocrine (p=0,032), bone (p=0,015), hepar and lien (p=0,000). Hemosiderosis could occur at several body organs or all organs. Rekomendation for nurses, nurses should anticipate hemosiderosis and taken care for each organ of hemosiderosis."
2010
T29415
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Saumi Imanta Putri
"Latar Belakang: Transfusi darah masih sering dilakakukan sekarang. Transfusi darah yang aman dan steril seharusnya dilakukan untuk mencegah reaksi yang tidak diinginkan untuk ada. Transfusi sel darah merah mempunyai insiden yang paling rendah. Walaupun dorongan dan praktik untuk memeriksa darah sebelum donor sudah dilakukan, reaksi transfusi tetap menunjukan angka kejadian yang tinggi terutama di negara dengan berpenghasilan rendah. Walaupun sebagian besar reaksi transfusi tidak mengancam, namun reaksi transfusi tetap menambah ketidaknyamanan pasien.
Metode: cross-sectional digunakan dalam riset ini. Data diambil secara primer dengan kuesioner yang diberikan kepada pasien anak berumur 0-18 tahun yang sedang di transfusi dengan sel darah merah. Kuesioner tersebut di isi sendiri oleh orang tua atau wali pasien. Kuesioner mencakupi ada atau tidaknya reaksi transfusi, diagnosis pasien, dan frekuensi transfusi pasien dalam satu bulan. Dibutuhkan 81 subyek untuk riset ini.
Result: Dari 83 pasien, ditemukan prevalensi reaksi transfusi di RSCM Kiara adalah 39.8%. Data yang diperolah sebagian besar adalah perempuan dan umur paling tinggi adalah 5-10 tahun. Hubungan signifikan antara diagnosis pasien dengan kemunculan reaksi transfusi ditemukan. Namun, signifikansi antara frekuensi transfusi dan reaksi transfusi tidak ditemukan di riset ini.
Kesimpulan: reaksi transfusi yang paling sering terjadi adalah gatal, kemerahan, dan nyeri. Dari penelitian, ditemukan bahwa pasien dengan diagnosis keganasan 6 kali lebih mungkin untuk mengidap reaksi transfusi dikarenakan keadaan kesehatan pasien tersebut. Frekuensi transfusi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan reaksi transfusi.

Background: Blood transfusion is a common practice done nowadays. Safe and sterile practice should be done to avoid any unwanted reaction that could happen. Red blood cell transfusion has the lowest incidence of transfusion reaction compared to other blood product. However, transfusion reaction is still happening despite the endorsement and practice of blood screening especially in some low income countries. The most common transfusion reactions are usually benign, however, it still adds to the patient’s discomfort.
Methode: This is a cross-sectional study. Primary data by a questionnaire given to pediatric patient undergoing RBC transfusion between 0-18 years old in RSCM Kiara transfusion ward. The questioner was completed by the parents or guardian of the patient. The questionare include the presence of transfusion recation, patient’s diagnosis, and the frequention of transfusion in one month. 81 subjects are needed for this research.
Results: From 83 patients that was included in this research, it was found that prevalence of transfusion reaction in pediatric patient is 39.8%. Most of the data was taken from female and most were between age 5-10 years old. There is a significant correlation between the recepient underlying diagnosis and the presence of transfusion reaction. However, there is no significant results in transfusion frequency.
Conclusion: The most common transfusion reactions found in this study are urticarial, rash, and pain. From this research, it was proven that patient with malignancy is 6 times more prone to transfusion reaction due to the patient’s condition. The frequency of transfusion does not significantly effect the possibility of developing transfusion reaction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiorini
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Chris Adhiyanto
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Talasemia adalah penyakit kelainan darah yang banyak diderita penduduk sckitar Laut Tengah, Timur Tengali dan Asia. Penyakit ini diakibatkan oleh adanya gangguan pada sintesis salah satu rantai globin. Salah satu penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk menyelidiki ketahanan sel darah merah talasemia terhadap beban oksidatif. Hasil pongamatan yang telah dilaporkan memperlihatkan bahwa pada sel darah merah talasemia terjadi peningkatan pembentukan oksigen reaktif, seperti radikal hidroksil dan superoksida. Oksigen reaktif ini meningkatkan proses otooksidasi dalam sel darah merah talasemia dan merupakan salah satu faktor yang mempercepat kematian sel darah merah talasemia. Penelitian ini tujuan untuk mempelajari kerusakan sel darah merah penderita talasemia bila diberi beban oksidatif dan apakah pemberian reduktor tokoferol dan glutation dapat memberi perlindungan terhadap pembebanan oksidatif. Pemeriksaan kadar malondialdehid dan glutation dilakukan pada 21 sampel sel darah merah normal dan 21 sel darah merah talasemia baik dengan pemberian beban oksidatif maupun tidak.
Hasil dan Kesimpulan : Konsentrasi malondialdehid sel darah merah talasemia lebih tinggi dibandingkan sel darah merah normal dan konsentrasi glutation sel darah merah talasemia lebih rendah dibandingkan sel darah merah normal dengan pemberian beban oksidatif maupun tidak. Tokoferol dan glutation dapat menurunkan konsentrasi malondialdehid sel darah normal dan sel darah merah talasemia. Tokoferol juga dapat mengurangi penurunan konsentrasi glutation sel darah normal dan sel darah merah talasemia yang diberi beban oksidatif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Ayu Pratiwi
"Talasemia merupakan penyakit genetik yang terjadi karena kelainan sintesis hemoglobin dalam tubuh. Penatalaksanaan talasemia salah satunya adalah dengan terapi transfusi darah rutin yang memiliki efek negatif berupa penumpukan zat besi dalam organ tubuh. Untuk mengatasi penumpukan zat besi tersebut, diperlukan terapi kelasi dengan menggunakan Deferoxamine yang harganya relatif mahal dan juga memiliki efek samping. Hal ini membuat biaya pengobatan talasemia semakin mahal, sehingga perlu adanya terapi alternatif untuk kelasi besi seperti konsumsi mangiferin yang merupakan ekstraksi dari batang pohon mangga (Mangifera indica L.) Namun pada studi eksperimental ini, digunakan ekstrak air daun Mangifera foetida L karena kandungan mangiferin di dalamnya terbukti paling tinggi dibandingkan dengan daun mangga lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan bahan alam untuk terapi alternatif kelator besi bagi penderita talasemia. Terdapat tujuh sampel serum penderita talasemia yang diberi empat perlakuan, yaitu (1)serum murni; (2)serum+mangiferin; (3)serum+Deferoxamine; (4)serum+ekstrak 1,125 mg; dan setiap kelompok perlakuan ditambah dengan larutan medium standar dan larutan sitrat. Setelah itu, larutan-larutan tersebut diuji absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 190-400 nm. Nilai absorban pada setiap sampel dianalisis dengan uji One Way Anova karena variabel bebas berskala nominal (agen kelator) dan variabel terikat (nilai absorban) berskala numerik.
Hasil analisis uji One Way Anova menunjukkan ekstrak air daun Mangifera foetida L. dosis 1,125 mg yang diperkirakan memiliki kandungan mangiferin sebesar 28,8 μg, memiliki perbedaan yang bermakna dengan serum (p=0,043). Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak air daun Mangifera foetida L. dosis 1,125 mg memiliki efek kelator terhadap feritin serum penderita talasemia. Berdasarkan uji Post-Hoc, ekstrak air daun Mangifera foetida L. 1,125 mg memiliki efek kelator yang hampir sama dengan mangiferin murni 100 μg (p=0,095).

Thalassemia is inherited disorder of hemoglobin synthesis which can not be cured completely. One of the treatment of thalassemia is blood transfusion which has a negative effect such as accumulation of iron in body visceral. For anticipating that accumulation, the patients have to consume chelating agent, Deferoxamine, which is expensive and has side effects. It makes the cost of thalassemia treatment become more expensive, so there should be an alternative therapy for chelating agent, such as consuming mangiferin which has been extracted from mango stem (Mangifera indica L.). But in this experimental study, the researcher used leaf extract of Mangifera foetida L. because its mangiferin is higher than the others.
The purpose of this research is to use natural resource for alternative therapy of iron chelating for thalassemia patients. There were seven samples of thalassemia patient’s serum and for each serum, there were four treatments: (1)pure serum; (2)serum+mangiferin; (3)serum+Deferoxamine; (4)serum+extract 1,125 mg. All of them had been mixed with standard medium and citrate before they were tested by spectrophotometer in 190-400 nm wavelength for determining the absorbance value. The absorbance value of each sample was analysed by One Way Anova test for proving the chelator effect of leaf extract of Mangifera foetida L. 1,125 mg. This test was used because there were nominal free variable (chelating agent) and numerical dependent variable (absorbance value).
The result of One Way Anova test analysis showed that leaf extract of Mangifera foetida L. dose 1,125 mg which contained 28,8 μg mangiferin, has chelator effect (p=0,043). Based on Post-Hoc test, the chelator effect of Mangifera foetida L. dose 1,125 mg is almost the same as pure mangiferin 100 μg (p=0,095).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>