Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181102 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ajeng Gracia Patricia
"ABSTRAK
Tujuan
Mengetahui efek jangka pendek pemberian anti-VEGF intravitreal bevacizumab (IVB) sebagai terapi ajuvan pada perubahan regresi neovaskularisasi iris dan perubahan tekanan intra okular (TIO) serta menilai hubungan antara kadar VEGF cairan akuos dengan perubahan TIO pada glaukoma neovaskular (NVG).
Desain
Peneitian ini merupakan uji klinis tunggal
Metode
Sebanyak 20 mata pada 18 subyek NVG dengan TIO tidak terkontrol dan neovaskularisasi iris dilakukan injeksi intravitreal bevacizumab 0.05mL(1.25mg) setelah dilakukan parasentesis sebelumnya
Hasil
Injeksi intravitreal bevacizumab secara klinis menyebabkan regresi neovaskularisasi iris pada seluruh pasien dengan NVG dan terjadi penurunan tekanan intra okular yang bermakna pada 1 minggu pasca injeksi (P=0.003). Kadar VEGF pre-injeksi yang tinggi berbanding lurus dengan TIO namun tidak bermakna secara statistik (r = 0.191, p=0.420)
Kesimpulan
Injeksi intravitreal bevacizumab terbukti efektif dalam regresi neovaskularisasi iris dan menurunkan TIO pada pasien glaukoma neovaskular

ABSTRACT
Purpose
To determine short term efficacy of intravitreal bevacizumab (IVB) against neovascularization regression and intraocular pressure (IOP) changes and its
correlation with vascular endothelial growth factor.
Design
Single arm study clinical trial
Method
Twenty eyes from 18 subjects of NVG patients with iris neovascularization and uncontrolled IOP received 0.05mL/1.25mg of IVB. Aqueous humor samples were
obtained through paracentesis just before IVB
Results
Intravitreal bevacizumab injection can remarkably reduce iris neovascularization in NVG patients. There is significant IOP reduction a week after injection
(p=0,003). High VEGF level before injection related linearly with IOP, but no statistically significance is found (r=0,191, p=0,420)
Conclusion
Intravitreal bevacizumab injection is proven effective to regress iris neovascularization and reduce IOP in NVG patients"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sahar Salim Saleh Alatas
"Pasca operasi glaukoma dapat ditemukan TIO pasien yang belum terkontrol. Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) merupakan salah satu jenis laser trabeculoplasty terbaru yang memiliki efikasi hampir serupa dengan laser trabeculoplasty terdahulu, dengan efek samping minimal, dan dapat menjadi terapi alternatif lini pertama pengganti obat anti glaukoma dalam menurunkan TIO. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penurunan jumlah obat anti glaukoma dan TIO pasca MLT pada pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Penelitian prepost tanpa pembanding (Pre-post study design without control) dilakukan pada 30 mata pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Pengukuran TIO dan jumlah obat anti glaukoma dilakukan pada pra MLT, satu jam, satu hari, 2 minggu, 4 minggu, dan 6 minggu pasca MLT. Peningkatan TIO lebih dari sama dengan 5 mmHg pada 1 jam pasca MLT dibandingkan pra MLT hanya didapatkan pada 1 subjek penelitian. Tidak terdapat peningkatan rerata TIO yang bermakna pasca MLT. Jumlah obat anti glaukoma yang digunakan mengalami penurunan pada minggu kedua (p=0,008), minggu keempat (p=0,008), dan minggu keenam (p=0,099) pasca MLT dibandingkan pra MLT. Sebanyak 43,3% subjek mengalami penurunan satu jenis obat anti glaukoma pada 6 minggu pasca MLT dibandingkan pra MLT, dan sebanyak 20% subjek sisanya memiliki jumlah obat anti glaukoma tetap namun TIO berkurang dibandingkan pra MLT.

After glaucoma surgery, patients may still experience uncontrolled Intraocular Pressure (IOP). Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) is an advanced laser trabeculoplasty technique with efficacy comparable to its predecessors, minimal side effects, and can be used as a primary alternative therapy, replacing anti-glaucoma drugs, for IOP reduction. This study aims to evaluate the decrease in both anti-glaucoma drug usage and IOP after MLT in patients with a history of glaucoma surgery. Conducted as a pre-post study without a control group, the research involved 30 eyes of patients with a glaucoma surgery history. IOP and the number of anti-glaucoma drugs were assessed pre-MLT, one hour, one day, two weeks, four weeks, and six weeks post-MLT. An IOP increase of 5 mmHg or more at 1 hour post-MLT compared to pre-MLT was observed in only one subject. On average, there was no significant IOP increase after MLT. The use of anti-glaucoma drugs decreased in the second week (p=0.008), fourth week (p=0.008), and sixth week (p=0.099) post-MLT compared to pre-MLT. At 6 weeks post-MLT, 43.3% of subjects experienced a reduction in one type of anti-glaucoma drug compared to pre-MLT, while the remaining 20% had a constant number of anti-glaucoma drugs but reduced IOP compared to pre-MLT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewinta Retno Kurniawardhani
"Perkembangan terapi adjuvan pada glaukoma untuk memperlambat progresi glaukoma saat ini terus dieksplorasi. Penelitian ini mengevaluasi efek Mirtogenol, pada perubahan perfusi okular (perfusi kapiler dan flux index), ketebalan lapisan serabut saraf retina (LSSR), dan tekanan intraokular (TIO) pada pasien glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) yang menerima terapi timolol maleat 0,5% tetes mata. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Terdapat 36 subjek (37 mata) dengan GPSTa dan TIO < 21 mmHg yang diacak untuk mendapatkan Mirtogenol atau plasebo selama 8 minggu. Kedua grup dibandingkan, pada kelompok Mirtogenol, rata-rata peningkatan perfusi kapiler dan flux index lebih baik, dan pada kuadran superior terdapat hasil yang signifikan secara statistik setelah 4 minggu (p=0.018). Rerata perbedaan ketebalan LSSR di seluruh kuadran terdapat penurunan dengan nilai yang lebih sedikit pada kelompok Mirtogenol (p>0.05). Penurunan TIO yang konsisten pada kelompok Mirtogenol setelah 8 minggu (p>0.05). Ditemukan efek samping pada 1 subjek yaitu gangguan lambung. Suplementasi Mirtogenol, sebagai terapi adjuvan pada pengobatan glaukoma dapat meningkatkan perfusi okular, mempertahankan ketebalan LSSR, dan menurunkan TIO.

The development of adjuvant therapies in glaucoma to slow its progression is currently being explored. This study evaluates the effects of Mirtogenol on changes in ocular perfusion (capillary perfusion and flux index), retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness, and intraocular pressure (IOP) in primary open-angle glaucoma (POAG) patients receiving 0.5% timolol maleate eye drops. This study is a double-blind, randomized controlled clinical trial. There were 36 subjects (37 eyes) with POAG and IOP < 21 mmHg randomized to receive Mirtogenol or placebo for 8 weeks. Compared between the two groups, the Mirtogenol group showed a better average improvement in capillary perfusion and flux index, with statistically significant results in the superior quadrant after 4 weeks (p=0.018). The mean difference in RNFL thickness across all quadrants showed a smaller reduction in the Mirtogenol group (p>0.05). There was a consistent decrease in IOP in the Mirtogenol group after 8 weeks (p>0.05). One subject experienced side effects, specifically stomach disturbances. Mirtogenol supplementation, as an adjuvant therapy in glaucoma treatment, can improve ocular perfusion, maintain RNFL thickness, and reduce IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winanda Amorosso
"Kebakaran lahan gambut terjadi secara berulang di Indonesia. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan metode pemadaman kebakaran membara gambut yang paling efisien. Penelitian ini berfokus pada supresi gambut yang mengalami kebakaran membara dengan metode injeksi busa dalam skala laboratorium. Eksperimen dilakukan untuk mengetahui efektivitas supresi dengan metode injeksi busa pada hotspot gambut dengan variasi sampel yang berbeda, antara lain sampel dari daerah Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada koordinat 2°17'21.9"S 114°01'57.3"E dan Kabupaten Tanjung Timur, Jambi pada koordinat 01°14'11.227"S 103°35'4.851"E. Sementara busa yang digunakan adalah busa dengan konsentrasi larutan 1 %. Pada proses eksperimen, sampel gambut akan dituangkan ke dalam reaktor dengan ukuran 200 mm x 200 mm x 100 mm yang dindingnya dilapisi isolator calcium silicate board dan dilengkapi coil heater yang dipanaskan selama 60 menit dengan daya 100 W. Temperatur kedalaman, massa, dan temperatur permukaan sampel masing-masing diukur dengan termokopel, load cell, dan kamera termal. Proses injeksi busa dilakukan saat termokopel pada kedalaman terbawah mengalami mencapai temperatur minimal 215°C atau mengalami kebakaran membara. Busa diinjeksi menggunakan jarum injeksi yang ditancapkan di tengah reaktor dengan kedalaman 100 mm dari permukaan reaktor. Jarum terhubung dengan alat injeksi terintegrasi dengan kecepatan aliran busa 100 ml/min. Hasil penelitian menunjukkan busa secara efektif dapat mensupresi gambut pada variasi sampel yang berbeda.

Peatland fires occur repeatedly in Indonesia. Various studies have been conducted to find the most efficient method of extinguishing peat smoldering fires. This research focuses on extinguishing peat smoldering fires by foam injection method on a laboratory scale. Experiments were conducted to determine the effectiveness of suppression by the foam injection method on peat hotspots with different sample variations, including samples from the Palangkaraya area, Central Kalimantan, at coordinates 2°17'21.9"S 114°01'57.3"E and Tanjung Timur Regency, Jambi at coordinates 01°14'11.227"S 103°35'4.851"E. While the foam used was foam with a solution concentration of 1%. In the experimental process, peat samples will be poured into a reactor with a size of 200 mm x 200 mm x 100 mm whose walls are covered with a calcium silicate board insulator and equipped with a coil heater heated for 60 minutes with a power of 100 W. Depth temperature, mass, and surface temperature of the sample are each measured by a thermocouple, load cell, and thermal camera. The foam injection process is carried out when the thermocouple at the bottom depth reaches a temperature of at least 215 °C or undergoes smouldering. The foam is injected using an injection needle stuck in the center of the reactor with a depth of 100 mm from the surface of the reactor. The needle is connected with an integrated injection device with a foam flow speed of 100 ml / min. The results showed that foam can effectively suppress peat at different sample variations.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Yoneva
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang bertujuan
membandingkan TIO antara terapi timolol hydrogel 0,1% (®Cendo Timol hydrogel*)
satu kali sehari dengan timolol tetes 0,5% (®Cendo Timol ED*) dua kali sehari pada
pada glaukoma primer kronis terkontrol. Sebanyak 45 pasien dibagi secara acak
menjadi 2 kelompok. Dilakukan pemeriksaan TIO diurnal menggunakan applanasi
Goldmann pada minggu keempat (pk.07.00±2 jam) dan minggu kedelapan
(pk.12.00±2 jam dan pk.17.00±2 jam). Hasil penelitian ini mendapatkan timolol
hydrogel 0,1% satu kali sehari mempunyai kemampuan mempertahankan TIO setara
dengan timolol tetes 0,5% dua kali sehari.

ABSTRACT
This was a prospective, single blind randomized clinical trial. The purpose of this
study was to compare IOP between the use of timolol hydrogel 0,1% (®Cendo Timol
hydrogel*) once daily and timolol solution 0,5% (®Cendo Timol ED*) two times
daily on controlled chronic primary glaucoma. Forty five patients divided randomly
into two groups. Diurnal IOP measurement was followed using Goldmann
applanation at the fourth week (07.00 AM ± 2 hours) and the eighth week (12.00
noon ± 2 hours and 05.00 PM ± 2 hours). The result of this study was timolol
hydrogel 0,1% once daily have the ability to maintain IOP equal to timolol eyedrop
0,5% twice daily."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Ucok
"Tujuan: Mengevaluasi kualitas sistem optik pengiihatan lensa intraokular (IOL) asferik Teenis TN ZA9003, Aeryso~ SN60WF and Akreos TM MI60.
Metode: Penelitian prospektif, uji klinis, aeak dan tersamar tunggal. Sebanyak 30 pasien katarak yang menjalani fakoemulsifikasi dialokasi seeara aeak menjadi 3 kelompok: TeenisTM ZA9003 (10 mata), Aeryso~ SN60WF (10 mata) dan Akreos™ MI60 (10 mata). Parameter utama yang dinilai adalah Strehl ratio (SR) dan modulation transfer function (MTF). Aberasi sferis internal dan sensitivitas kontras setiap kelompok juga dinilai dan dianalisa sebagai parameter tambahan. Pemeriksaan pada seluruh subyek penelitian dilakukan 1 minggu setelah operasi.
Hasil: Rerata SR dan MTF antara kelompok tidak berbeda bermakna baik pada diameter pupil 3,4 dan 5 nun (p>0.05). Aberasi sferis internal menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok Teenis dan Akreos pada diameter pupil 3,4 dan 5 nun (p<0.05) juga antara kelompok Aerysof dan Akreos pada diameter pupil 4 dan 5 nun (p<0.05). Namun perbedaan ini tidak dijumpai antara kelompok Teenis dan Aerysof pada semua diameter pupil (p>0.05). Rerata sensitivitas kontras tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga kelompok (p>0.05).
Kesimpulan: Ketiga IOL asferik tersebut menunjukkan kualitas optik yang setara dinilai dari SF dan MTF. Akreos™ MI60 memberikan aberasi sferis internal yang lebih positif pada pupil mesopik. Hasil penelitian ini memerlukan penelitian lebih lanjut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T59059
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI Publishing, 2024
617.752 4 MAN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ervan Zuhri
"Latar Belakang: ECP mampu menurunkan frekuensi angina, meningkatkan kualitas hidup, serta memperbaiki exercise–induced ischemia time. Manfaat tersebut dapat bertahan beberapa tahun setelah ECP. Mekanisme manfaat jangka panjang ECP tersebut telah dibuktikan akibat adanya angiogenesis yang diduga diperankan VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a.
Tujuan: Mengetahui efek ECP terhadap VEGF-A dan VEGFR-2, serta hubungannya dengan miR-92a pada pasien angina refrakter.
Metode: Studi ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang melibatkan 50 subjek dengan angina refrakter. Subjek dirandomisasi (1:1) ke dalam kelompok terapi ECP atau sham, yang masing-masing dilakukan selama 1 jam, hingga 35 kali. Kadar VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a plasma diukur sebelum dan sesudah terapi menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk VEGF-A dan VEGFR-2, serta quantitative reverse transcription-polymerase chain reaction (qRT-PCR) untuk miR-92a. Keluaran klinis sekunder seperti derajat angina, kualitas hidup, 6-minutes walk test (6MWT), dan ejection fraction (EF) juga dinilai.
Hasil: Kadar VEGF-A dan VEGFR-2 dipertahankan pada kelompok ECP, sedangkan kadar VEGF-A dan VEGFR-2 mengalami penurunan yang signifikan pada kelompok sham [ΔVEGF-A ECP vs sham: 1 (-139 to160) vs -136 (-237 to 67) pg/ml, p = 0.026; ΔVEGFR-2 ECP vs sham: -171(-844 to +1166) vs -517(-1549 to +1407) pg/ml, p = 0.021, respectively]. Kadar miR-92a meningkat secara signifikan pada kelompok ECP [5.1 (4.2 – 6.4) to 5.9 (4.8 – 6.4), p<0.001] and sham [5.2 (4.1 – 9.4) to 5.6 (4.8 – 6.3), p=0.008]. Tidak terdapat korelasi antara perubahan kadar VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a [VEGF-A vs VEGFR-2 (r = 0.243, p = 0.09; uji Spearman), VEGF-A vs miR92-a (r = 0.229, p = 0.11; uji Spearman), dan VEGR-2 vs miR92-a (r = 0.08, p = 0.581; uji Spearman)].
Kesimpulan: ECP mampu mempertahankan angiogenesis dengan cara mempertahankan kadar VEGF-A dan VEGFR-2. Pada kondisi iskemia, baik high shear stress (ECP) maupun low shear stress (sham) dapat menginduksi pelepasan miR-92a. ECP mempengaruhi VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a secara independen.

Background: ECP is able to reduce angina frequency, improve quality of life, and improve exercise time-induced ischemia time. These benefits can last several years after the ECP. The mechanism for the long-term benefit of ECP has been proven by the presence of angiogenesis, which is thought to be mediated by VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a.
Objective: To determine the effect of ECP on VEGF-A and VEGFR-2, and its relationship with miR-92a in patients with refractory angina.
Methods: This study was a double-blind randomized clinical trial involving 50 subjects with refractory angina. Subjects were randomized (1:1) into either ECP or sham therapy groups, each administered for 1 hour, up to 35 times. Plasma VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a levels were measured before and after therapy using the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method for VEGF-A and VEGFR-2, as well as quantitative reverse transcription-polymerase chain reaction (qRT-PCR). ) for miR-92a. Secondary clinical outcomes such as degree of angina, quality of life, 6-minute walk test (6MWT), and ejection fraction (EF) were also assessed.
Results: VEGF-A and VEGFR-2 levels are maintained in the ECP group, while VEGF-A and VEGFR-2 levels decrease in the sham group [ΔVEGF-A ECP vs sham: 1 (-139 to160) vs -136 (-237 to 67) pg/ml, p = 0.026; VEGFR-2 ECP vs sham: -171(-844 to +1166) vs -517(-1549 to +1407) pg/ml, p = 0.021, respectively]. MiR-92a levels increase significantly in the ECP group [5.1 (4.2 – 6.4) to 5.9 (4.8 – 6.4), p<0.001] and sham [5.2 (4.1 – 9.4) to 5.6 (4.8 – 6.3), p=0.008]. There is no correlation between changes in VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a levels [VEGF-A vs VEGFR-2 (r = 0.243, p = 0.09; Spearman's test), VEGF-A vs miR92-a (r = 0.229 , p = 0.11; Spearman's test), and VEGR-2 vs. miR92-a (r = 0.08, p = 0.581; Spearman's test)].
Conclusion: ECP therapy is able to maintain angiogenesis by maintaining VEGF-A and VEGFR-2 levels. In ischemic conditions, both high shear stress (ECP) and low shear stress (sham) can induce the release of miR-92a. ECP affects VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a independently.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Stephanus
"Glaukoma primer merupakan glaukoma yang paling sering muncul, dan trabekulektomi merupakan tatalaksana operatif lini pertamanya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan bagaimana trabekulektomi menurunkan tekanan intraokular pada kedua bentuk glaukoma primer dalam jangka waktu antara 1-6 bulan. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang, yaitu dengan mengambil data sekunder dari rekam medik pasien berupa data pra-intervensi dan pasca intervensi dalam waktu yang sama. Intervensi adalah trabekulektomi. Waktu antara pasca trabekulektomi dengan trabekulektomi dilaksanakan minimal 1 bulan dan maksimal 6 bulan. Peneliti mengambil 90 pasien sebagai sampel, 38 di antaranya adalah pasien POAG dan 52 lainnya pasien PACG. Melalui trabekulektomi, penurunan tekanan intraokular pada PACG lebih besar dibandingkan pada POAG. Namun penurunan tekanan intraokular hasil trabekulektomi pada pasien POAG dibandingkan dengan pasien PACG tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Penelitian selanjutnya membutuhkan tekanan intraokular pra-operasi yang cenderung sama untuk mengetahui hasil yang lebih objektif.

Primary glaucoma is the most common form of glaucoma, and trabeculectomy is the first line for operative management for it. This research is intended to find out the comparison between how trabeculectomy lower intraocular pressure in both kinds of primary glaucoma patients within a short period 1 6 months . This research uses cross sectional design by taking secondary data from glaucoma patients rsquo medical record and seeing the intraocular pressure before and after trabeculectomy at the same time. The time between the post operation data and the operation is a month at minimum and six months at most. Researcher took 90 patients as samples, 38 are POAG patients and the other 52 are PACG patients. The result shows that the intraocular pressure lowering effect trabeculectomy in PACG patients is bigger than in POAG patients. The difference of intraocular pressure lowering effect by trabeculectomy among PACG patients is not significant compared to POAG patients. The upcoming research will need the same pra operation intraocular pressure patients to objectify the results more.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Permatasari
"Latar belakang: Ulkus kornea dapat menyebabkan kebutaan karena sikatriks kornea. Transplantasi kornea sebagai tatalaksana sikatriks kornea berisiko tinggi mengalami kegagalan dengan adanya neovaskular pada kornea resipien. VEGF-A diduga sebagai faktor angiogenik utama dalam terbentuknya neovaskular kornea. Berdasarkan pengamatan klinis, neovaskular kornea pada pasien ulkus kornea bakteri lebih luas dibandingkan ulkus kornea jamur, namun belum pernah dibandingkan secara ilmiah. Tujuan: Studi ini membandingkan VEGF-A air mata dan neovaskularisasi kornea antara ulkus kornea bakteri dan jamur. Korelasi antara VEGF-A dengan luas neovaskular juga dihitung. Metode: Penelitian dilakukan terhadap pasien ulkus kornea bakteri dan jamur dengan sampel foto kornea dan air mata. Pengambilan sampel dilakukan pada hari pertama kedatangan dan diulang pada minggu keempat. Analisis foto kornea menggunakan peranti lunak ImageJ® untuk menilai luas neovaskular kornea dan luas defek kornea. Analisis VEGF-A air mata menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Perbedaan dianggap signifikan jika p<0,05. Hasil: Didapatkan 12 subjek ulkus kornea bakteri dan 10 subjek ulkus kornea jamur dengan rerata usia 37 tahun. Bakteri terbanyak Pseudomonas aeruginosa. dan jamur terbanyak Fusarium sp. Defek kornea setara pada awal (bakteri 25,6% (1,8-81,5) vs jamur 22,7% (3,0-45,0), p = 0,644) dan membaik pada minggu keempat (bakteri 0,04% (0-30,5) vs jamur 2,5% (0-15,1), p=0,368). Luas neovaskular kornea pada hari pertama setara (bakteri 10,3% (2,3-37,5) vs jamur 8,0% (3,7-22,8), p = 0,262) namun pada minggu keempat lebih luas pada kelompok bakteri (bakteri 21,6% (2,3-58,0) vs jamur 11,0% (5,4-22,5), p=0,033). VEGF-A air mata setara pada hari pertama (bakteri 215,6 pg/ml (58,0-1111,6) vs jamur 339,3 pg/ml (22,7-1313,0), p=0,391) dan minggu keempat (bakteri 399,7 pg/ml (181,9-1496,3) vs jamur 743,8 pg/ml (78,7-1416,5), p=0,792). Tidak didapatkan korelasi VEGF-A terhadap luas area neovaskular kornea (hari pertama r -0,28, p=0,212, minggu keempat r -0,04 p=0,855). Kesimpulan: Perbedaan luas neovaskular pada minggu keempat diduga karena faktor proangiogenik pada bakteri yang jarasnya melalui VEGF-A serta faktor antiangiogenik pada jamur yang mengalahkan pengaruh VEGF-A. Diperlukan penelitian mendasar yang mencari faktor antiangiogenik tersebut pada jamur.

Background: Corneal ulcer can cause blindness due to corneal cicatrix. Corneal transplantation as the treatment of corneal cicatrix had higher risk for rejection or failure if the recipient’s cornea possessed neovascularization. VEGF-A was thought to be the major angiogenic factor in corneal neovascularization. Based on clinical observation, corneal neovascularization in bacterial corneal ulcers had more area than in fungal corneal ulcers, however it was never proved scientifically. Objective: This study aimed to compare tear fluid VEGF-A and corneal neovascularization between bacterial and fungal corneal ulcers. The correlation between VEGF-A and neovascular area was also measured. Methods: Corneal photograph and tear fluid samples of bacterial and fungal in corneal ulcer patients were studied. Sample was taken at the first visit and at the fourth week follow up. Corneal photograph was analyzed using ImageJ® software to measure neovascular area and defect area. Tear fluid VEGF-A was examined using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Difference was considered significant if p<0,05. Results: There were 12 bacterial corneal ulcer patients and 10 fungal corneal ulcer patients with mean age 37 years old. Most common bacteria was Pseudomonas aeruginosa and most common fungi was Fusarium sp. Corneal defect area between the groups was similar at the first visit (bacterial 25,6% (1,8-81,5) vs fungal 22,7% (3,0-45,0), p = 0,644) and improved at the fourth week (bacterial 0,04% (0-30,5) vs fungal 2,5% (0-15,1), p=0,368). Neovascular area was similar among the groups at the first visit (bacterial 10,3% (2,3-37,5) vs fungal 8,0% (3,7-22,8), p = 0,262), however bacterial group showed larger area at the fourth week (bacterial 21,6% (2,3-58,0) vs fungal 11,0% (5,4-22,5), p=0,033). Tear fluid VEGF-A was similar at the first visit (bacterial 215,6 pg/ml (58,0-1111,6) vs fungal 339,3 pg/ml (22,7-1313,0), p=0,391) and the fourth week (bacterial 399,7 pg/ml (181,9-1496,3) vs fungal 743,8 pg/ml (78,7-1416,5), p=0,792). No correlation obtained between VEGF-A and corneal neovascular area (first visit r -0,28, p=0,212, fourth week r -0,04 p=0,855). Conclusion: The difference of neovascular area at the fourth week could be due to proangiogenic factor of bacteria through its effect on VEGF-A and antiangiogenic factor in fungi that may overcome VEGF-A effect. Further study is needed to confirm the antiangiogenic factor that fungi possess."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>