Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176197 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Gusti Agung Ngurah Sugitha Adnyana
"Latar Belakang: Bayi berat lahir rendah(<2500 gram) atau prematur merupakan salah satu kondisi bayi risiko tinggi. Keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif merupakan salah satu gangguan yang sering dijumpai pada anak dengan riwayat berat lahir rendah/prematur. Bayi berat lahir rendah lebih sering disertai dengan kondisi medis yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan.
Tujuan: Mendapatkan prevalens dan faktor risiko keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak usia 12-18 bulan dengan riwayat berat lahir rendah.
Metode: Rancangan penelitian adalah potong lintang untuk menilai perkembangan bahasa dan kognitif dengan menggunakan alat skrining Capute scales pada anak usia 12-18 bulan yang mempunyai riwayat berat lahir rendah. Sampel diambil secara konsekutif di poliklinik anak RSUP Sanglah Denpasar, Agustus 2015-April 2016.
Hasil Penelitian: Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini sebanyak 160 orang. Usia rerata subyek adalah 15,69 (SB 2,19) bulan. Prevalens keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak dengan riwayat berat lahir rendah sebesar 28,1%. Analisis multivariat didapatkan berat lahir <1500 gram merupakan faktor risiko terjadinya keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif (visio-motor) sebesar 10,2 kali lebih banyak dibandingkan berat lahir 1500-<2500 gram (RP 10,260; IK95% 2,265-46,478; P 0,003).
Simpulan: Prevalens keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak usia 12-18 bulan dengan riwayat berat lahir rendah sebesar 28,1%. Bayi berat lahir <1500 gram sebagai faktor risiko keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif.

Background: Low birth weight (LBW) (<2500 g) or premature baby is one of thehigh-risk conditions. Language and cognitive developmental delay is one of the disorders are often found in children with low birth weight/preterm. Infant with low birth weight more frequently accompanied by a medical condition that affects growth and development.
Objective: To find the prevalence and risk factors of language and cognitive developmental delay in children aged 12-18 months with low birth weight.
Methods: A cross-sectional study design was to assess language and cognitive development by using Capute scales screening tool in children aged 12-18 months who have low birth weight. Samples are taken consecutively in a child outpatient clinic Sanglah Hospital Denpasar, August 2015-April 2016.
Results: Subjects who meet the inclusion and exclusion criteria in the study of 160 people. The average age of the subjects was 15.69 (SD 2.19) months. Prevalence of language and cognitive developmental delay in children with low birth weight was 28.1%. On multivariate analysis, obtained birth weight <1500 g is a risk factor for language and cognitive (visio-motor) developmental delay of 10.2 times more often than the birth weight 1500 to <2500 g (PR 10.260; 95%CI from 2.265 to 46.478; P 0.003).
Conclusions: The prevalence of language and cognitive developmental delay in children aged 12-18 months with low birth weight is 28.1%. Birth weight <1500 g is risk factor of language and cognitive developmental delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
RR Mindo Poetri Permata
"Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) merupakan kelompok gangguan yang ditandai dengan abnormalitas dalam interaksi sosial, pola komunikasi, kecenderungan minat, gerakan yang terbatas, stereotipik, dan berulang. Prevalensi GPP dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berbagai faktor diduga berkaitan dengan GPP termasuk faktor perkembangan anak usia 0-12 bulan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara gangguan perkembangan anak usia 0-12 bulan dengan gangguan perkembangan pervasif. Penelitian ini menggunakan metode kasus-kontrol dengan jumlah kasus sebanyak 52 anak (44 laki-laki dan 8 orang perempuan) dan kelompok kontrol berjumlah 156 anak (132 laki-laki dan 24 orang perempuan). Kedua kelompok memiliki usia rerata 7,3 tahun. Data diperoleh dari wawancara dengan ibu kandung masing-masing anak.
Hasil penelitian menunjukkan gangguan perkembangan berdasarkan skor KPSP berhubungan dengan gangguan perkembangan pervasif. Sebanyak 16 anak (30,8%) pada kelompok kasus mengalami gangguan perkembangan pada usia 3 bulan dengan nilai p=0,001 dan OR=25,818. Hasil penelitian juga menunjukkan hasil yang bermakna pada KPSP 6 bulan (p=0,001 OR=30,477), 9 bulan (p=0,001 OR=18,442), dan 12 bulan (p=0,001 OR=245,333). Disimpulkan bahwa gangguan perkembangan anak usia 0-12 bulan merupakan faktor resiko penting Gangguan Perkembangan Pervasif.

Pervasive development disorders (PDD) is a group of developmental disorder that is characterized by abnormalities in social interaction, communication, tendency of interest, limited movement, stereotyped and repetitive. Prevalence of PDD is increasing every year. Many factors are suspected to have correlation with PDD including children development aged 0-12 months factors.
This study aimed to analyze the relationship between developmental disorders of children aged 0-12 months with pervasive developmental disorder. This case-control study includes 52 children diagnosed with PDD (44 males, 8 females, mean age of 7.3 years) and 156 normal developing children as control group (132 males, 24 females, mean age of 7.3 years). Historical data was obtained from their mothers. The results showed developmental disorders based on the scores KPSP associated with pervasive developmental disorder. A total of 16 children (30.8%) in the case group experienced a developmental disorder at the age of 3 months with a value of p = 0.001 and OR = 25.818.
The results also show significant results on KPSP 6 months (p = 0.001 OR = 30.477), 9 months (p = 0.001 OR = 18.442), and 12 months (p = 0.001 OR = 245.333). In coclusion, developmental disorders of children aged 0-12 months has an important role as risk factors of Pervasive Developmental Disorder (PDD).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Dhani Yustika
"Anak dengan kondisi stunting mengalami pertumbuhan yang tidak optimal, daya tahan tubuh rendah dan rentan terhadap penyakit, dan kemampuan kognitif yang rendah, meningkatkan risiko kegemukan dan penyakit degeneratif sehingga mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan hubungan asupan zat gizi, riwayat ASI eksklusif, riwayat infeksi penyakit, berat lahir, panjang lahir, pendidikan ayah dan pendidikan ibu dengan kejadian stunting. Penelitian cross-sectional ini menggunakan data sekunder Gizi dan Kesehatan Balita di Kecamatan Babakan Madang Tahun 2018 dengan jumlah sampel 134 responden yang didapatkan dengan teknik purposive sampling. Hasil analisis bivariat dengan uji chisquare menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan pendidikan ibu terhadap kejadian stunting (p= 0,040; OR= 2,986; 95%, CI: 1,128-7,903). Diperlukan peran aktif Dinas Kesehatan untuk mensosialisasikan pentingnya asupan gizi seimbang bagi anak serta puskesmas dan posyandu untuk melakukan pengukuran tinggi badan minimal 6 bulan sekali.

Stunting causing non-optimal growth, low endurance, susceptibility to disease and low cognitive abilities and increase the risk of obesity and degenerative diseases which affected human resources quality. This study aims to determine the relationship between nutrient intake, history of exclusive breastfeeding, history of disease infection, birth weight, length of birth, paternal education and maternal education with stunting. This cross-sectional study using secondary data in Babakan Madang District, Bogor in 2018 with a sample of total 134 children obtained by purposive sampling technique. Bivariate analysis with the chi-squared test showed that there was significant relationship between maternal education and the incidence of stunting (p = 0.04; OR = 2.986; 95%, CI: 1,128-7,903). This study gives us empirical evidence for Ministry of Health to increasing campaign and promotion regarding the importance of balanced nutrition for children under five and Puskesmas and Posyandu should be used to measure height for age at least once in six months.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iis Fatimah
"Stunting atau perawakan pendek pada anak merupakan suatu ?tragedi yang tersembunyi? dan dampaknya menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang irreversibel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor dominan kejadian stunting pada balita usia 24 ? 59 bulan di Kelurahan Harapan Mulya Kota Bekasi tahun 2013. Disain penelitian adalah cross sectional dan melibatkan 143 sampel yang diambil dengan sampel acak sederhana. Status stunting dinilai berdasarkan Z-score TB/U menurut klasifikasi WHO. Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoice, berat badan menggunakan timbangan digital, asupan makanan (energi, protein, vitamin A, zink) menggunakan FFQ semikuantitatif. ASI, berat lahir, penyakit infeksi, pendidikan ayah dan ibu, status ekonomi didapatkan melalui wawancara.
Hasil analisis menunjukkan sebanyak 32,9% balita usia 24-59 bulan tergolong stunting. Uji chi-square menunjukkan berat lahir, asupan energi dan protein, asupan zink, pendidikan ayah dan status ekonomi berhubungan signifikan dengan kejadian stunting. Analisis regresi logistik menghasilkan berat lahir sebagai faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting setelah dikontrol pendidikan ayah dan asupan energi (p=0,003;OR=6,663;CI=1,87? 23,5). Untuk mencegah kejadian stunting pada balita, disarankan pemeriksaan kehamilan yang teratur, memberikan makanan bergizi seimbang untuk balita sesuai AKG yang dianjurkan, mempersiapkan status kesehatan dan gizi yang baik untuk remaja perempuan sebelum kehamilan.

Stunting or short stature is a ?hidden tragedy? and its impact causes disorder to a irreversible child?s development. The aim of this study were to determine the dominant factor of stunting among children aged 24-59 months at Harapan Mulya sub-district in Bekasi city 2013. Design was a cross sectional study on 143 children whom chosen by simple random sampling. Status of stunting were expressed by height for age z-score (HAZ) according to the WHO classification. Children?s height were measured using microtoise, body weight was measured with digital scales, nutrients intake (energy, protein, vitamin A and zink) were collected throught semiquantitative FFQ. Breastfeeding, birthweight, infection disease, education of father and mother and economic status were collected through interview.
The analysis result showed 32,9% children aged 24-59 months were stunting. Chi-square test showed birthweight , energy and protein intake, zinc intake, father education and economic status were significant correlate with stunting. Logistic regression analysis showed birthweight variable as a dominant factor which related to stunting after being controlled by father education and energy input (p=0,003;OR=6,663;CI=1,8723,5). Suggestion for deterrence of stunting is the regular pregnancy inspection, giving nutritious wellbalanced under five years food input as according to AKG suggested, preparing good nutrient and health status for woman adolescent before pregnancy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35912
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasha Farhana Dahlan
"Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) adalah gangguan perkembangan neuron atau saraf dengan tanda-tanda gangguan pada interaksi sosial, komunikasi, dan melakukan kegiatan dan ketertarikan dengan streotipe tertentu yang berulang-ulang. Prevalensi GPP yang semakin meningkat menjadi penyebab dilakukannya penelitian pada berbagai faktor yang diduga berhubungan dengan GPP.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor karakter sosiodemografi orangtua dan riwayat keluarga dengan GPP. Faktor karakter sosiodemografi orangtua meliputi usia Ayah saat kelahiran anak, usia Ibu saat kelahiran anak, dan sosial ekonomi keluarga. Faktor riwayat kesehatan keluarga meliputi diabetes, epilepsi, gangguan perkembangan pervasif, dan gangguan mental lainnya.
Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol dengan melibatkan 52 anak dengan GPP (44 laki-laki, 8 perempuan, umur rata-rata 7,3 tahun) dan 156 anak tanpa GPP sebagai kontrol (132 laki-laki, 24 perempuan, umur rata-rata 7,3 tahun) untuk menganalisis sembilan faktor kelahiran bayi yang diduga berperan pada kejadian GPP. Data diperoleh melalui wawancara ibu kandung dan catatan rekam medik.
Hasil penelitian mengemukakan usia Ayah saat kelahiran anak berhubungan secara bermakna dengan GPP (OR = 0,47; 95% CI 0.240-0.912; p = 0,024). Usia Ibu saat kelahiran anak, sosial ekonomi keluarga, riwayat kesehatan keluarga seperti diabetes, epilepsi, gangguan perkembangan pervasif, dan gangguan mental lainnya tidak terbukti berhubungan secara bermakna dengan gangguan perkembangan pervasif pada penelitian ini.
Disimpulkan bahwa usia Ayah saat kelahiran anak adalah faktor risiko Gangguan Perkembangan Pervasif.

Pervasive Developmental Disorder (PDD) is a neuronal development disorder manifested as impairment of social interaction and communication,with certain repetitive and stereotyped behaviors. Studies to discover potential factors of PDD have been made as the consequence of increasing Prevalence of PDD.
The purpose of this study is to discover the correlation between parental demographic factors and family history with PDD. The parental demographic includes that paternal age at birth, maternal age at birth, and socioeconomic of family. The family history includes diabetes, epilepsy, PDD, and other mental disorder.
This case-control study involves the parents of 52 children diagnosed with PDD (44 males, 8 females, mean age 7.3 years) and the parents of 156 normal developing children as control group (132 males, 24 females, mean age 7.3 years) to analyze the correlation between parental demographic factors and family history with PDD. The data was obtained from biological mothers and medical records.
The results show that paternal age at birth was significantly correlate with PDD (OR = 0.47; 95% CI 0.240-0.912; p = 0.024). Meanwhile maternal age at birth, socioeconomic of family, family history of diabetes, epilepsy, PDD, and other mental disorder were not significantly correlate with PDD.
In conclusion, paternal age at birth is the risk factors of Pervasive Developmental Disorder (PDD).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Gautami
"Bayi prematur memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gagal tumbuh. Penelitian prospektif ini melibatkan subyek bayi dengan usia koreksi 0−24 bulan dengan riwayat prematur dan berat lahir rendah di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Dilakukan identifikasi status gizi dan identifikasi perlambatan pertumbuhan dan faktor risikonya, kemudian dinilai luaran pertumbuhan pada satu bulan pasca intervensi nutrisi satu bulan. Total subyek yaitu 146 bayi usia koreksi 0−24 bulan dengan riwayat prematur dan BBLR, didapatkan status gizi berupa 84,9% gizi baik, 4,1% gizi kurang, 0,7% gizi buruk, 9,2% gizi lebih, dan 0,7% obesitas; 83,6% BB normal, 11,0% BB kurang, 4,8% BB sangat kurang, dan 0,7% BB lebih; dan 69,9% perawakan normal, 21,9% perawakan pendek, dan 8,2% perawakan sangat pendek. Perlambatan pertumbuhan dijumpai pada 23,3% dengan menggunakan kriteria peningkatan berat badan (BB) di bawah persentil 15 dari peningkatan BB yang diharapkan berdasarkan WHO 2006, dengan median usia koreksi 4,2 bulan, dan pada populasi late premature. Perlambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi yaitu sebesar 41,1%, dan sisanya ditemukan penyebab yang mendasarinya. Faktor risiko yang terkait dengan perlambatan pertumbuhan pada bayi prematur yaitu kurangnya asupan nutrisi sesuai dengan angka kecukupan gizi, usia koreksi 3−6 bulan, dan usia gestasi yang tergolong late premature. Dibandingkan dengan kelompok yang nonadherent, kelompok yang adherent terhadap intervensi nutrisi menunjukkan perbaikan yang bermakna pada seluruh indeks antropometri, baik BB/U, BB/PB, PB/U, maupun LK/U. Sebagai simpulan, dijumpai angka perlambatan pertumbuhan yang tinggi pada populasi bayi prematur khususnya pada usia koreksi 3−6 bulan dan late premature, dengan salah satu faktor risiko yang penting diperhatikan yaitu kurangnya asupan harian. Kepatuhan yang baik terhadap intervensi nutrisi dapat memperbaiki status gizi dan pertumbuhan.

Preterm and low birth weight (LBW) infants have a higher risk of growth failure. This prospective study involved infants with a corrected age of 0−24 months with a history of prematurity and LBW at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Identification of nutritional status and growth faltering and identification of risk factors were conducted at initial visit, then growth outcomes data was obtained at follow up visit after nutritional interventions. The nutritional status of 146 preterm and LBW infants with corrected age of 0−24 months were 84.9% well nourished, 4.1% undernourished, 0.7% severely undernourished, 9.6% overweight and 0.7% obese; 83,6% normal weight, 11,0% underweight, and 4,8% severely underweight; 69.9% normal stature, 21.9% short stature and 8,2% very short stature. Growth faltering was found in 23.3% infants using the criteria for weight increment below the 15th percentile based on WHO 2006, with median of corrected age of 4.2 months, and mostly happened in late preterm infants. Pure nutritional growth faltering was found in 41.1%, while the rest have underlying causes. Risk factors associated with growth faltering in premature infants are insufficiency of nutritional intake in accordance with recommended dietary allowance, corrected age of 3−6 months and late preterm. Compared with the nonadherent group, children who were adherent with standard behavioral and nutritional interventions showed a higher positive change in z scores for weight-for-age, weight-for-length, length-for-age, and head circumference-for-age. In conclusion, there is a high incidence of growth faltering in preterm and LBW infants, especially at the corrected age of 3−6 months and late preterm population, with an important risk factor is insufficiency of daily nutritional intake. Adherence to standardized nutritional interventions leads to improved nutritional status and growth."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisya Dwi Rianthi
"Latar belakang: Identifikasi dan deteksi dini keterlambatan perkembangan anak sampai usia 3 tahun membutuhkan alat uji penapisan yang sahih dan andal serta mudah diaplikasikan orangtua. Kesahihan dan keandalan ASQ-3 belum teruji di Indonesia sehingga ASQ-3 belum digunakan secara luas sebagai alat uji penapisan perkembangan anak.
Tujuan: Mengetahui kesahihan dan keandalan ASQ-3 bahasa Indonesia sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak usia 24-36 bulan.
Metode: Penelitian potong lintang ini dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama yaitu adaptasi transkultural, modifikasi dan tranlasi kuesioner ASQ-3 versi orginal ke bahasa Indonesia. Tahap kedua, kuesioner bahasa Indonesia yang sudah final, diuji ke 30 subyek dari 5 kelompok umur (24,27,30,33,36 bulan). Uji kesahihan dengan menggunakan koefisien korelasi, uji keandalan dengan konsistensi internal dan keandalan inter-rater.
Hasil: Uji kesahihan dengan koefisien korelasi kuat di domain komunikasi usia 24 bulan (0,908), domain motor kasar usia 24 bulan (0,860), domain motor kasar usia 36 bulan (0,865). Uji keandalan dengan Alpha Cronbach ialah baik (0,673-0,825) dengan keandalan inter-rater yang sangat baik (0,916).
Kesimpulan: ASQ-3 bahasa Indonesia sahih dan andal sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak usia 24-36 bulan.

Background: Identification of children with developmental disabilities is critical step in providing early intervention services. Ages and Stages Questionnaires third edition (ASQ-3), a parent-report questionnaires has been proven to be a valid and reliable screening test and good psychometric properties. This test has not been validated and standardized before in Indonesia.
Aim: To provide the validated and reliability form of the Indonesian version of the Ages and Stages Questionnaires as an appropriate developmental screening tool for evaluation of 24-36 months Indonesian children's development.
Method: Cross sectional study divided into two parts. First part included the adaptation, transcultural, and translation ASQ-3 original version to Indonesian version. Second part, final form of Indonesian ASQ-3 was performed for 30 children from 5 age groups (24,27,30,33,36 months). In order to determine validity of the questionnaires using correlation coefficient, and reliability was measured using internal consistency and intraclass correlation coefficient.
Results: The validity determined by correlation coefficient was very good in communication area at 24 months age (0.908), gross motor at 24 months age (0.860), and gross motor at 36 months age (0.865). The reliability, determined by cronbach's alpha ranged from 0.673-0.825 and the inter-rater reliability was 0.916.
Conclusion: The Indonesian version of the ASQ has appropriate validity and reliability for screening developmental disorders in 24 -36 months children in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T55526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelvin Halim
"Prevalensi stunting pada balita di Indonesia, khususnya Kabupaten Bogor masih tergolong tinggi. Keragaman konsumsi pangan, salah satu penilaian pada praktik pemberian makan bayi dan anak, merupakan salah satu determinan utama dalam kejadian stunting. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan keragaman konsumsi pangan dan faktor lainnya dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan jumlah sampel 149 anak usia 6-35 bulan di Kecamatan Babakan Madang selama bulan April-Juni 2019. Skor keragaman konsumsi pangan diambil dari 1x24hr food recall berdasarkan 7 kelompok pangan dan dikategorikan berdasarkan beragam (<4 kelompok pangan) dan tidak beragam (≥4 kelompok). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stunting pada anak sebesar 32.2%. 31.5% anak mengonsumsi pangan tidak beragam. Hasil uji chi-square menunjukkan adanya hubungan bermakna antara keragaman konsumsi pangan (p=0.033), minimum acceptable diet (p=0.013), dan konsumsi sayur dan buah sumber vitamin A (p=0.015). Maka dari itu, upaya intervensi perlu dilakukan dengan meningkatkan keragaman pangan dan kualitas makan bayi dan anak dalam menurunkan risiko kejadian stunting di tingkat keluarga dan masyarakat.

Prevalence of stunting among under children in Indonesia, particularly in Bogor, East Java, is still considered high. Dietary diversity, one of the important assessments in infant and child feeding practice, is one of important determinants of stunting. This study is aimed to examine associations between dietary diversity with other factors with prevalence of stunting among children. A cross-sectional design study involving 149 children aged 6-35 months in Babakan Madang District from April-June 2019 was performed in this study. Dietary diversity scores were collected from 1x24hr food recall based on 7 food groups and categorized as low (<4 food groups) and high (≥4 food groups). Results showed the prevalence of stunting in this study is 32.2%. 31.5% of the children had low dietary diversity. Using chi-square analysis, there was significant associations in prevalence of stunting in children in dietary diversity (p=0.033), minimum acceptable diet (p=0.013), and consumption of vitamin A-rich fruits and vegetables (p=0.015). Interventions should be taken by improving dietary diversity to reduce the burden and prevalence of stunting in both household and community level."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marissa Anggraeni
"Latar belakang: Perkembangan seorang anak harus dinilai secara berkala dan rutin dikerjakan, sehingga dapat dilakukan intervensi sedini mungkin bila terjadi keterlambatan perkembangan. Pada tahun 2021, di Indonesia telah dibuat instrumen baru kuesioner penapisan perkembangan ilmu kesehatan anak (PPIKA) usia 12 bulan, tetapi hingga saat ini belum dilakukan penelitian yang menilai kesetaraan kuesioner penapisan tersebut dibandingkan dengan instrumen lain.
Tujuan: Menilai kesetaraan antara PPIKA dengan ASQ-3 dalam mendeteksi kecurigaan keterlambatan perkembangan anak usia 12 bulan.
Metode: Penelitian ini merupakan rancangan potong lintang di dilakukan pada anak berusia 11 bulan 0 hari hingga 12 bulan 30 hari dari Posyandu di wilayah Puskesmas Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, Indonesia pada bulan September 2023. Kuesioner PPIKA dan ASQ-3 diiisi oleh orangtua dengan panduan petugas. Hasil kedua pemeriksaan dilakukan analisis kesetaraan dengan menghitung koefisien Cohen Kappa.
Hasil: Seratus delapan puluh subjek penelitian diperiksa dan didapatkan prevalens kecurigaan keterlambatan perkembangan menurut PPIKA dan ASQ-3 masing masing sebesar 13,33% dan 25%. Nilai koefisien Cohen Kappa antara PPIKA dan ASQ-3 sebesar 0,456.
Kesimpulan: Kuesioner PPIKA memiliki kesetaraan yang cukup baik dibandingkan dengan kuesioner ASQ-3 dalam penapisan perkembangan anak usia 12 bulan

Background: Child development must be assessed periodically and routinely, in order to prevent delayed intervention and subsequent developmental delays. In 2021, a new instrument development screening for the 12-month-old child called Penapisan Perkembangan Ilmu Kesehatan Anak (PPIKA) was created in Indonesia, however until now no research has been conducted to assess the agreement of this screening questionnaire compared to other instruments.
Aim: To evaluate agreement between PPIKA and ASQ-3 in detecting suspected developmental delays in children aged 12 months.
Methods: This research was a cross-sectional design conducted on children aged 11 months 0 days to 12 months 30 days from Posyandu in the Jatinegara District Health Center area, East Jakarta, Indonesia in September 2023. The PPIKA and ASQ-3 questionnaires were filled in by parents with guidance from health workers. The results of the two questionnaires were subjected to agreement analyzed by calculating the Cohen Kappa coefficient.
Results: One hundred and eighty research subjects were examined. We found that the prevalence of suspected developmental delay according to PPIKA and ASQ- 3 was 13.33% and 25% respectively. The Cohen Kappa coefficient between PPIKA and ASQ-3 is 0.456.
Conclusion: The PPIKA questionnaire has moderate agreement equivalence compared to the ASQ-3 questionnaire in developmental screening of children aged 12 months.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silva Audya Perdana
"Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Sekitar 5-8 anak usia prasekolah di Indonesia mengalami keterlambatan bicara. Anak pada usia yang sangat muda butuh stimulasi yang cukup agar dapat berkembang dengan optimal. Oleh sebab itu, jika anak dibiarkan lama menonton TV, kesempatan untuk mendapatkan stimulasi yang baik menjadi terhambat. Kurangnya stimulasi yang disebabkan oleh anak yang terlalu lama menonton TV, dapat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan lama menonton TV dan perkembangan bahasa anak pada anak usia 18 bulan sampai 3 tahun.
Metode: Studi potong lintang digunakan pada studi ini dengan menggunakan data primer yang didapat melalui kuesoner. Adanya gangguan perkembangan bahasa anak ditentukan dengan menggunakan KPSP dan ELM Scale 2 Test.
Hasil: Durasi lama menonton TV pada anak dengan perkembangan bahasa normal dan keterlambatan perkembangan bahasa dibandingkan dan didapat p value senilai 0,002 dan OR = 4,4 95 CI . Bahasa yang digunakan pada tayangan TV Indonesia atau Indonesia dan Inggris berpengaruh secara signifikan p = 0,004 . Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada umur pertama anak menonton TV, pemakaian gadget, dan kepemilikan TV di dalam kamar.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lama menonton TV dan perkembangan bahasa. Anak yang menonton TV lebih dari 4 jam sehari memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami keterlambatan bicara.

Background: There are many factors that contribute to child language development. About 5 8 children in Indonesia experience delayed language. Children at young age are still learning to develop and need stimulation so that they can process it and learn from it. When children watch TV for a long time they get less stimulation. Less stimulation in this case may contribute to child language development.
Aim: To know if there is an association of intensity of watching TV and child language development.
Methods: This was a cross sectional study using primary data collected from questionnaires. The child language development was tested using KPSP and ELM Scale 2 Test.
Results: Duration of watching TV from both children with normal and delayed language development was measured. Result showed in p value of 0.002 and OR 4.4 95 CI . The language used in TV program Indonesian or both Indonesian and English also showed a significant data p 0.004 . Other variables such as gender, first age exposed to TV, the use of gadget and TV in bedroom had no significant association with child language development.
Conclusion: This study demonstrates that there is an association between intensity of watching TV and child language development. Children who watch TV exceeding 4 hours a day had four times higher risk to develop language delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>