Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138175 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Larasati
"Latar Belakang. Pada pasien katup mitral yang disertai fibrilasi atrium (FA), bedah ablasi dapat dilakukan bersamaan dengan bedah katup mitral. Dalam penelitian ini kami melakukan evaluasi keberhasilan jangka pendek terhadap pasien-pasien katup mitral yang dilakukan bedah ablasi FA di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Kami mempunyai hipotesis bahwa indeks volume atrium kiri pra-bedah dan pasca-bedah berhubungan dengan keberhasilan bedah ablasi FA jangka pendek.
Metodologi. Merupakan studi retrospektif. Semua pasien yang dilakukan bedah ablasi bersamaan dengan koreksi katup mitral dengan kriteria standard pada periode bulan Maret 2012-Januari 2015 dimasukkan dalam penelitian ini. Data pasien diambil dari catatan medik rumahsakit, termasuk data klinis, EKG, laboratorium, echocardiografi sebelum dan sesudah bedah ablasi. Evaluasi keberhasilan jangka pendek dilihat ada tidaknya FA selama masa hospitalisasi sampai 1 bulan pasca-bedah.
Hasil. Selama periode penelitian, sebanyak 46 pasien ikut dalam penelitian ini {laki-laki 19 (41,3%) dan wanita 27 (58,7%)}.Rerata umur 42,7 ± 9,6 tahun. Lima orang meninggal segera setelah bedah ablasi (8,7%). Tiga puluh pasien tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama sesudah tindakan bedah (65,2%). Rerata indeks volume atrium kiri pra-bedah pada pasien yang tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama lebih kecil dibanding dengan yang tetap dalam irama FA, tetapi secara statistik tidak bermakna (156,83 ± 84,3 vs 189,4 ± 92 ml/m2, p=0,256). Rerata indeks volume atrium kiri pasca-bedah pada kelompok pasien yang tetap dalam irama sinus lebih kecil dibanding dengan pasien dalam irama FA pada akhir bulan pertama ( 95,2 ± 55,4 vs 126 ± 43,9 ml/m2, p=0,029) secara statistik berbeda bermakna. . Sembilan belas pasien menggunakan obat penyekat beta (41,3%) ternyata 3 pasien menjadi FA (15,8%) sedang yang tidak menggunakan obat penyekat beta (27 pasien, 58,7%) ternyata 13 pasien (48%) yang secara statistik bermakna (p=0,023). Analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan bahwa indeks volume atrium kiri pasca-bedah adalah berpengaruh terhadap kejadian FA jangka pendek yang secara statistik bermakna (OR 1,02 (IK 95% 1,001-1,04, p=0,043)). Demikian pula penggunaan obat penyekat beta (OR 0,02 (IK 95% 0,001-0,364, p=0,008)).
Kesimpulan. Angka keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA pada pasien katup mitral adalah 65,2 %. Indeks volume atrium kiri pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA. Temuan tambahan lain dalam penelitian ini yaitu penggunaan penyekat beta pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA.

Background. Surgical ablation is commonly done in patients with chronic atrial fibrillation (AF) undergo mitral valve surgery. This study was designed to identify the relationship between pre-operative and post-operative left atrial volume indices (LAVi) and short term success of restoration sinus rhythm after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Methods. Data were collected retrospectively from our hospital medical record . These included electrocardiograms, laboratory, echocardiography before and after surgical ablation in all patients. Each patient was evaluated at the outpatient hospital clinic. The AF recurence was evaluated from the ECG recording within 1 month after surgery. Left atrial volume was calculated using modified Simpson's method. Volume was corrected by surface area.
Results: From March 2012 through January 2015, there were 46 patients who underwent surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery. The mean age was 42.7 ± 9,6 year-old. {males were 19 (41.3%) and females were 27 (58.7%)} Early mortality was found in 5 patients (8.7%). Sinus rhythm (SR) was restored and maintained within first month in 30 patients (65.2%) of the 46 patients. The pre-operative LAVi was smaller in patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in sinus rhythm, but statistically insignificant (156.83 ± 84.3 vs 189.4 ± 92 ml/m2, p=0.256). However, post-operative LAVi was smaller and statistically significant in those patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in SR (95.2 ± 55.4 vs 126 ± 43.9 ml/m2, p=0,029). Multivariate analysis using logistic regression analysis showed post-operative LAVi (OR was 1.02 (CI 95% 1.001-1.04, p=0.043) and beta blocker usage early post hospitalization (OR was 0.02 (CI 95% 0.001-0.364, p=0.008) were independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Conclusions: Short term success rate of the surgical AF ablation in patients with chronic AF and concomitant mitral valve surgery was 65,2%. Post-operative LAVi and post operative beta blocker therapy was independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wirya Ayu Graha
"Latar belakang: Salah satu terapi fibrilasi atrium adalah ablasi bedah yang disebut Cox-maze IV yang dilakukan bersamaan dengan operasi katup mitral (concomitant cox-maze IV). Keberhasilan Cox-maze IV di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah RSJPD Harapan kita cukup tinggi yaitu 88,13%. Penelitian ini untuk menilai faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan concomitant Cox-maze IV pada pasien dengan fibrilasi atrium dan penyakit katup mitral di RSJPD Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Desain penelitian adalah cross sectional. Pasien dengan penyakit katup mitral dan fibrilasi atrium diperiode Januari 2012 sampai Desember 2017 dilakukan operasi katup mitral dan Cox-maze IV kemudian dievaluasi irama jantung 6 bulan pasca operasi. Irama yang dinilai adalah bebas fibrilasi atrium dan dinilai faktor-faktor yang berhubungan.
Hasil: Total subjek adalah 115 pasien dengan prevalensi bebas fibrilasi atrium 6 bulan pascabedah adalah 81.5%. Pascabedah mortalitas sebanyak 7 pasien (6,1%). Diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki odds ratio 2,91 artinya, pasien dengan diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki peluang 2,91 kali irama tetap fibrilasi atrium dibanding dengan pasien dengan diameter atrium kiri kurang dari 60 mm.
Simpulan: Faktor yang berhubungan dengan keberhasilan concomitant Cox-maze IV pada pasien dengan fibrilasi atrium dan penyakit katup mitral adalah diameter atrium. Pasien dengan diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki OR 2,91 tetap FA.

Introduction: One of the therapies for atrial fibrillation is surgical ablation that is known as Cox-maze IV, that is performed together with mitral valve operation (concomitant cox-maze IV). The success rate of Cox-maze IV in RSPJD Harapan Kita is quite high, which is 88.13%. This study is aimed at understanding the factors that attribute to the success of concomitant Cox-maze IV on atrial fibrillation and mitral valve disease patients in RSJPD Harapan Kita, Indonesia.
Method: The study design is cross sectional. Patients with mitral valve disease and atrial fibrillation within the period of January 2012 to December 2017 were given mitral valve operation and Cox-maze IV, then the cardiac rhythm was evaluated for 6-months post-surgery. The examined rhythm is atrial fibrillation free and we evaluated the associating factors.
Results: Total subject was 115 patients with the prevalence of atrial fibrillation free for 6-months post-surgery was 81.5%. Post-surgery mortality rate was 7 patients (6.1%). A larger than 60 mm left atrium diameter had an odds ratio of 2.91, which meant that patients with a left atrium diameter larger than 60 mm had a 2.91 higher risk of having atrial fibrillation rhythm than those with a smaller than 60 mm left atrium diameter.
Conclusion: Factors associated with the success of concomitant Cox-maze IV on atrial fibrillation and mitral valve disease patients is atrium diameter. Patients with a left atrium diameter larger than 60 mm has an OR of 2.91 to have atrial fibrillation. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wega Sukanto
"Latar belakang: Fibrilasi atrium meningkatkan morbiditas pasien dengan penyakit katup mitral. Insidens fibrilasi atrium pada pasien dengan penyakit katup mitral cukup tinggi karena proses pembesaran atrium dan remodelling. Semakin besar atrium, semakin lanjut juga proses remodelling, keberhasilan bedah ablasi-pun semakin kecil. Populasi pasien di Indonesia memiliki dimensi atrium kiri yang sudah besar. Kami mencoba melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dimensi atrium kiri terhadap keberhasilan bedah ablasi di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan mengambil seluruh data 59 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dari 85 pasien yang menjalani bedah ablasi pada Januari 2012 sampai dengan Oktober 2016 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data diambil dari rekam medis pasien yang menjalani operasi koreksi katup mitral dengan atau tanpa koreksi katup trikuspid dengan bedah ablasi set lesi bilateral, alat tunggal radiofrekuensi bipolar. Pengamatan irama jantung dilakukan pada minggu pertama, bulan ketiga, dan bulan keenam pascaoperasi. Analisis data menggunakan Mann-Whitney U test dan logistik regresi.
Hasil: Diameter atrium kiri preoperasi pada kedua kelompok keluaran hasil bedah ablasi bulan ketiga dan bulan keenam berbeda bermakna nilai p 0,05 , bulan ketiga nilai p >0,05 , dan bulan keenam nilai p >0,05 pascaoperasi. Analisis multivariat seluruh variabel perancu pada tiap waktu pengamatan tidak didapatkan hubungan yang secara statistik bermakna. Pada kelompok pasien dengan diameter atrium kiri ge;60mm, angka konversi irama menjadi sinus 69,22.
Kesimpulan: Semakin besar diameter atrium kiri preoperasi, semakin tinggi angka rekurensi AF pada pasien penyakit jantung katup mitral. Bedah ablasi tetap dapat menjadi suatu pertimbangan terapi pada pasien dengan diameter atrium kiri yang besar diameter ge;60mm .

Backgrounds: Atrial fibrillation causing many thromboemboli complications. Incidence of atrial fibrillation is high among patients with mitral valve disease. The proccess of enlargement and remodelling of atria were believed to increase failure in ablation surgery. Patients population in Indonesia had enormous size of atria in the time of surgery. We report the correlation between preoperative left atrial dimension with the outcome of the surgery.
Methods: This is a cohort retrospective study. We collected data from medical records of all 59 patients underwent modified Cox Maze IV with single device radiofrequency bipolar and biatrial lesion with mitral valve with or without tricuspid valve intervention throughout January 2012 to October 2016. We observed the outcome in first week, third month, and sixth month after the surgery. This study based on Mann Whitney U test and logisctic regression.
Results: There is significant difference in the preoperative left atrial diameter between two outcome groups AF and non AF at third month and sixth month p value 0.05. Multivariate analysis reveals no significant correlation among confounding factors at all observation time. The successful sinus rhythm conversion among patients with preoperative left atrium diameter greater than 60mm is 69,22.
Conclusions: Preoperative left atrial diameter affects the outcome of ablation surgery. The bigger the diameter, less success rhythm conversion. But in our population, ablation surgery still can be considered among patients with big left atrial size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wibisono Firmanda
"Latar belakang: Penyakit katup mitral rematik akan menyebabkan remodeling struktural dan remodeling elektris pada atrium kiri, yang mengakibatkan perubahan irama sinus menjadi fibrilasi atrium (FA). Intervensi atrium kiri (IAK) berupa reduksi dinding posterior atrium kiri dan/atau isolasi apendiks atrium kiri pada bedah katup mitral rematik untuk mengurangi faktor substrat dan faktor pencetus FA dipikirkan mempunyai pengaruh terhadap konversi FA kembali ke irama sinus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh jangka pendek prosedur bedah mitral rematik dan IAK terhadap konversi irama sinus pada pasien FA valvular.
Metode: Subjek penelitian adalah pasien FA dengan penyakit katup mitral rematik yang menjalani prosedur bedah mitral dan/atau IAK pada bulan Januari 2012-Maret 2018. Karakteristik dasar, parameter ekokardiografi prabedah dan pascabedah, jenis tindakan operasi, dan irama elektrokardiogram (EKG) pasca operasi dikumpulk melalui data rekam medis pasien. Analisa statistik dilakukan dengan perangkat lunak SPSS.
Hasil: Terdapat 307 subjek yang terjaring dalam penelitian. Sebanyak 127 subjek masuk kedalam grup kontrol (bedah mitral) dan 180 subjek masuk kedalam grup intervensi (bedah mitral dengan IAK). Pada kelompok kontrol, 25 subjek (19,7%) mengalami konversi irama sinus sesaat pascabedah namun tidak terdapat subjek yang mengalami konversi irama sinus pada periode pengamatan selanjutnya. Pada kelompok intervensi terdapat 74 (41,1%), 10 (5,6%), 6 (3,3%), dan 4 (0,02%) subjek yang mengalami konversi irama sinus dalam periode segera pascabedah (p<0,001 dibandingkan grup kontrol), 1 minggu (p<0,01), 2 minggu (p<0,05) dan 4 minggu (p=0,142) pascabedah secara berurutan. Analisa multivariat menunjukkan bahwa IAK merupakan variabel yang secara independen berpengaruh terhadap konversi irama sinus sesaat pascabedah (RR 2,84; IK95% 1,68-4,83; p<0,001), namun tidak mempunyai pengaruh pada periode pengamatan selanjutnya.
Kesimpulan: Pengaruh bedah mitral rematik dan IAK terhadap konversi irama sinus tampak pada periode sesaat pascabedah, namun tidak mempunyai pengaruh dalam periode pengamatan 1 minggu, 2 minggu dan 4 minggu pascabedah.

Background: Rheumatic mitral valve diseases caused structural and electrical remodeling in the left atrium, resulting rhythm change from sinus to atrial fibrillation (AF). Left atrial surgical interventions (LASI) which consist of reduction of LA posterior wall to modify AF substrate and/or left atrial appendage (LAA) exclusion to isolate AF triggers may have beneficial effects on rhythm conversion during rheumatic mitral valve surgery. This study aimed to evaluate the short term effects of combined rheumatic mitral valve surgery and LASI for sinus rhythm conversion in patients with valvular AF.
Methods: The subjects are AF patients with rheumatic mitral valve diseases undergoing mitral valve surgery from the period of January 2012-March 2018. Basic characteristics, preoperative and postoperative echocardiography parameters, surgical types, and ECG post-surgery were collected retrospectively from the patient's medical record. Statistical analysis were done using SPSS software.
Results: There were 307 subjects who met the inclusion and exclusion criteria. They were divided into two groups: treatment group (combined mitral valve surgery plus LASI) consist of 180 patients, while control group (isolated mitral valve surgery) consist of 127 patients. In the control group, 25 (19.7%) subjects experienced sinus rhythm conversion immediately post-surgery, but no subjects maintained sinus rhythm conversion in the subsequent observation period (1-, 2-and 4-weeks post-surgery). While in the treatment group, there were 74 (41.1%), 10 (5.6%), 6 (3.3%), 4 (0.02%) subjects who experienced sinus rhythm conversion in the immediate (p<0.001 vs. control group), 1-week (p<0.01), 2-weeks (p<0.05) and 4-weeks (p=0.142) postoperative period, respectively. Multivariate analysis showed that LASI was an independent predictor of sinus rhythm conversion immediately post-surgery (RR: 2.84 95%CI 1.68-4.83; p<0.001), but not during the subsequent observations.
Conclusions: The effects of combined rheumatic mitral valve surgery with LASI on rhythm conversion of valvular AF was observed during immediate postoperative period, but it had no significant effects during 1-week, 2-weeks and 4-weeks postoperative observations."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fandi Ahmad
"Latar Belakang : Penyakit jantung katup khususnya katup mitral dengan etiologirematik sering berakhir dengan fibrilasi atrium FA. Stenosis mitral SM maupun regurgitasi mitral RM, ditambah dengan fibrosis atrium pada prosesrematik menyebabkan terjadinya remodeling struktural dan remodeling elektrisyang diduga berperan dalam timbulnya FA. Bedah reduksi atrium kiri pada pasienFA yang menjalani operasi katup mitral, merupakan prosedur yang relatifsederhana, tidak memakan waktu operasi yang lama, dan relatif murah yangdiduga memiliki pengaruh terhadap konversi irama.
Tujuan : Menilai pengaruh bedah reduksi atrium kiri terhadap konversi iramajangka pendek dan jangka panjang pada pasien fibrilasi atrium dengan penyakitkatup mitral rematik yang menjalani pembedahan.
Metode : Telah dilakukan studi kohort retrospektif pada pasien fibrilasi atriumdengan penyakit katup mitral rematik yang menjalani operasi katup mitral selamaperiode Mei 2012 sampai dengan Mei 2016 di RS Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita. Tindakan bedah reduksi atrium kiri dalam hal ini menjadi variabelindependen yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap konversi irama padapasien fibrilasi atrium dengan penyakit katup mitral rematik. Variabel dependenpada penelitian ini adalah konversi irama, yang dinilai melalui pengamatan jangkapendek dan jangka panjang.
Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 257 sampel, terdiri dari 131 orang yangmenjalani bedah reduksi dan 126 orang tanpa bedah reduksi. Pada kelompokbedah reduksi, didapatkan 42 subjek 32,1 yang mengalami konversi iramajangka pendek dan 37 subjek 28,2 yang mengalami konversi irama jangkapanjang. Dari hasil analisis multivariat, variabel yang bermakna terhadap konversiirama jangka pendek yaitu bedah reduksi atrium kiri dengan OR 0,56 IK 95 0,31 ndash; 0,98 dan nilai p=0,044 serta penggunaan penyekat beta dengan OR 0,56 IK 95 0,31 ndash; 0,99 dan nilai p=0,047. Sementara variabel yang bermaknaterhadap konversi irama jangka panjang yaitu bedah reduksi atrium kiri denganOR 0,51 IK 95 0,28 ndash; 0,94 dan nilai p=0,031, penggunaan penyekat betadengan OR 0,53 IK 95 0,28 ndash; 0,98 dan nilai p=0,042, dan indeks volumeatrium kiri prabedah le;146 ml/m2 dengan OR 0,47 IK 95 0,26 ndash; 0,87 dan nilaip=0,017.
Kesimpulan : Bedah reduksi atrium kiri memiliki pengaruh terhadap konversiirama jangka pendek maupun jangka panjang pada pasien fibrilasi atrium denganpenyakit katup mitral rematik yang menjalani pembedahan.

Background : Valvular heart disease, especially rheumatic mitral valve diseaseoften coexists with atrial fibrillation AF. Mitral stenosis MS and mitralregurgitation MR with atrial fibrosis because of rheumatic process, resulting instructural remodeling and electrical remodeling of left atrium which contribute foroccurence of AF. Left atrial reduction surgery with mitral valve correction issimple procedure, takes relatively short operation time, and quite inexpensive asan alternative treatment for AF in rheumatic mitral valve disease.
Objective : Assessing the effect of left atrial reduction for short term and longterm rhythm conversion of AF in rheumatic mitral valve disease.
Method : We conducted a retrospective cohort study in atrial fibrillation patientswith rheumatic mitral valve disease who underwent mitral valve surgery duringthe period of May 2012 until May 2016 in the National Cardiovascular Center Harapan Kita. Left atrial reduction surgery became an independent variable whichexpected to have an influence on the rhythm conversion. The dependent variablewas the conversion of rhythm which was assessed through the observation in ashort term and long term.
Result : There were 257 subjects in this study, consisting of 131 subjects in theleft atrial reduction group and 126 subjects in the non left atrial reduction group.In left atrial reduction group, there were 42 subjects 32,1 with sinus rhythm inshort term observation and 37 subjects 28,2 with sinus rhythm during longterm observation. From multivariat analysis, the significant variable for the shortterm rhythm conversion were left atrial reduction with OR 0,56 CI 95 0,31 ndash 0,98 and p 0,044 and also beta blocker therapy with OR 0,56 CI 95 0,31 ndash 0,99 and p 0,047. While the significant variable for rhythm conversion in longterm were left atrial reduction with OR 0,51 CI 95 0,28 ndash 0,94 and p 0,031,beta blocker therapy with OR 0,53 CI 95 0,28 ndash 0,98 and p 0,042, and alsopre operation left atrial volume index le 146 ml m2 with OR 0,47 CI 95 0,26 ndash 0,87 and p 0,017.
Conclusion : Left atrial reduction has an effect for short term and long termrhythm conversion of AF in rheumatic mitral valve disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55635
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bayushi Eka Putra
"Introduksi: Belum banyak studi yang meneliti parameter laboratorium sederhana sebagai prediktor trombus di atrium kiri pada subset stenosis mitral rematik. Selain itu, saat ini masih sangat sedikit studi yang menjelaskan patomekanisme trombus atrium kiri yang berkaitan dengan komponen hemorheologi pada pasien dengan mitral stenosis rematik. Tujuan: menilai hubungan parameter hemorheologi dari laboratorium sederhana Red Cell Distribution Width, Mean Platelet Volume, hematokrit, dan jumlah trombosit dengan kejadian trombus atrium kiri pada stenosis mitral rematik. Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik LAMIA Study dengan pengumpulan data terhadap pasien stenosis rematik yang signifikan dimulai dari tanggal 1 Januari 2018 hingga 31 Juli 2021. Evaluasi trombus ditegakkan dari ekokardiografi transtorasik atau transesofagus. Pemeriksaan lab diperiksa dalam waktu 10 hari sebelum evaluasi ekokardiografi. Subjek dengan regurgitasi mitral yang signifikan akan dieksklusi. Hasil: Dari 318 subjek dengan stenosis mitral rematik signifikan yang diikutsertakan dalam penelitian, didapatkan sebanyak 102 pasien (32%) memiliki trombus di atrium kiri. Dari seluruh pasien, diketahui subjek dengan ritme atrial fibrilasi sebanyak 63.8% dan ritme sinus 36.2%. Hematokrit ≥ 45.15 % (OR 2.98; IK 95% 1.27 - 6.98, p = 0.012), Irama atrial fibrilasi (OR 2.39; IK 95% 1.10-5.20, p = 0.028), fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥ 56.68 % (OR 0.42; IK 95% 0.23 - 0.77, p = 0.005), dan TAPSE ≥ 18.10 mm (OR 0.44; IK 95% 0.230 - 0.83, p = 0.011) berhubungan secara signifikan dengan kejadian trombus atrium kiri dari hasil analisis multivariat. Kesimpulan: Peningkatan hematokrit berhubungan secara signifikan dengan kejadian trombus atrium kiri, sedangkan nilai RDW dan jumlah platelet tidak berhubungan dengan kejadian trombus di atrium kiri pada stenosis mitral rematik. Kata kunci: LAMIA study, hematologi sederhana, trombus atrium kiri, stenosis mitral rematik

Introduction: Only few studies have investigated simple laboratory parameters as predictors of left atrial thrombus in subset of rheumatic mitral stenosis. In addition, there are currently very few studies describing the pathomechanism of left atrial thrombus related to the hemorheological component in patients with rheumatic mitral stenosis. Objective: A study was conducted to assess the causal relationship of hemorheological parameters from a simple laboratory Red Cell Distribution Width (RDW), Mean Platelet Volume (MPV), hematocrit, and platelet count with the incidence of left atrial thrombus in rheumatic mitral stenosis. Methods: A cross-sectional analytical, LAMIA Study, was conducted with data collection on patients with significant rheumatic stenosis starting from 1 January 2018 to 31 July 2021. Thrombus evaluation was established by transthoracic or transesophageal echocardiography. Lab tests were performed within 10 days prior to the echocardiographic evaluation. Subjects with significant mitral regurgitation will be excluded. Results: Of the 318 subjects with significant rheumatic mitral stenosis included in the study, 102 patients (32%) had a thrombus in the left atrium. Of all the patients, it was known that subjects with atrial fibrillation rhythm as much as 63.8% and sinus rhythm 36.2%. Atrial fibrillation rhythm (OR 2.39; 95% CI 1.10-5.20, p = 0.028), left ventricular ejection fraction ≥56.68 % (OR 0.42; 95% CI 0.23 - 0.77, p = 0.005), TAPSE ≥18.10 mm (OR 0.44; 95% CI 0.230 - 0.83, p = 0.011), and hematocrit ≥45.15% (OR 2.98; 95% CI 1.27 - 6.98, p = 0.012). Conclusion: Increased hematocrit was significantly associated with the incidence of left atrial thrombus, whereas RDW and platelet count were not associated with the incidence of left atrial thrombus in rheumatic mitral stenosis. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Kurnia
"Latar Belakang: Kondisi MS akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan atrium kiri secara progresif dan menyebabkan remodelling serta dilatasi atrium kiri. Proses ini akan berakhir dengan penurunan komplians dari atrium kiri dan menyebabkan perubahan secara morfologis dan fungsional. Beberapa studi menunjukkan pengukuran Strain atrium kiri pada pasca tindakan balloon mitral valvuloplasty (BMV) menunjukkan perbaikan yang bermakna. Namun belum ada yang menilai hubungan antara perubahan Strain atrium kiri dengan perbaikan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara perubahan Strain atrium kiri dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah studi dengan one group pre-post design. Penelitian ini menggunakan data pemeriksaan ekokardiografi dan data kapasitas fungsional pasien mitral stenosis yang dilakukan tindakan BMV pada Maret 2019 hingga April 2020. Dilakukan pengukuran strain atrium kiri dengan metode speckle tracking echocardiography. Data sebelum dan sesudah BMV dianalisis untuk mencari hubungan variabel terhadap perubahan kapasitas fungsional.
Hasil: Pasca tindakan BMV, terjadi perbaikan signifikan kapasitas fungsional yang ditandai dengan perbaikan median lama latihan (241 (18 – 1080) ke 606 (80 – 1900) detik, p <0.0001) dan perbaikan median nilai VO2max estimasi (18,8 (10,2 – 51,4) ke 33(12,6-83,2) mlO2/kg/menit, p <0.0001). Strain atrium kiri mengalami perubahan signifikan pasca tindakan BMV dari median 8(2-23)% ke 11(4-27)%. Dari uji korelasi didapatkan bahwa pre-MVG (r 0,23, adjusted R2 = 4,9%) berkorelasi terhadap perubahan kapasitas fungsional. Pada analisis bivariat dan multivariat didapatkan bahwa perubahan strain atrium kiri tidak berhubungan dengan perubahan kapasitas fungsional. Nilai pra MVA >1 cm2 (OR 7,37, IK 95% 1,0-54,35; p = 0,05) pra MVG > 10 mmHg (OR 6,6, IK 95% 1,71-25,5; p = 0,006) dan pra mPAP < 25 mmHg (OR 5,96, IK 95% 1,37-25,9; p = 0,017) berkorelasi terhadap perbaikan lama latihan pasca tindakan BMV.
Kesimpulan: Perubahan strain atrium kiri tidak berhubungan dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.

Background: MS conditions will cause a progressive increase in left atrial pressure, remodelling and left atrial dilatation. This process will end with a decrease of left atrial compliance, causing morphological and functional changes. Several studies have shown that left atrial strain measurements after the BMV procedure showed significant improvement. However, no study has assessed the relationship between changes in left atrial strain and improvements in functional capacity in MS patients after the BMV procedure.
Objectives: This study aimed to evaluate the association between left atrial strain changes and functional capacity changes in MS patients after BMV procedures
Method: This is a one group pre-post design using retrospective data. This study used echocardiographic and functional capacity data of mitral stenosis patients who underwent BMV procedures from March 2019 to April 2020. Left atrial strain was measured using the speckle tracking echocardiography method. Data before and after BMV were analyzed to find the association of variables to changes in functional capacity.
Results: After the BMV procedure, there was a significant improvement in functional capacity as indicated by an improvement in the median length of exercise (241 (18 – 1080) to 606 (80 – 1900) seconds, p <0.0001) and an improvement in the median estimated VO2max value (18.8 (10.2). – 51.4) to 33(12.6-83.2) mlO2/kg/min, p < 0.0001). The left atrial strain underwent a significant change after the BMV procedure from a median of 8(2-23)% to 11(4-27)%. From the correlation test it was found that pre-MVG (r 0.23, adjusted R2 = 4.9%) correlated with changes in functional capacity. In bivariate and multivariate analysis, it was found that changes in left atrial strain were not associated with changes in functional capacity. Pre MVA value >1 cm2 (OR 7.37, CI 95% 1.0-54.35; p = 0.05) pre MVG > 10 mmHg (OR 6.6, CI 95% 1.71-25.5 ; p = 0.006) and pre mPAP < 25 mmHg (OR 5.96, CI 95% 1.37-25.9; p = 0.017) correlated with the improvement in duration of exercise after the BMV action.
Conclusion: Changes in left atrial strain are not associated with changes in functional capacity in MS patients after the BMV procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Edhiningtyas Damaiati
"Latar belakang: Stenosis mitral (SM) berat gradien rendah didefinisikan dengan mitral valve area (MVA) <1.5 cm2 dan gradien transmitral <10 mmHg. Perubahan fungsi atrium kiri merupakan salah satu mekanisme yang mendasari SM berat gradien rendah, dimana dapat dianalisis dengan strain atrium kiri. Komisurotomi Mitral Transkateter Perkutan (KMTP) adalah pilihan utama pasien dengan SM berat tanpa kontraindikasi. Tujuan: Membandingkan perubahan nilai strain atrium kiri dengan Peak Atrial Longitudinal Strain (PALS) antara pasien SM berat gradien rendah dan tinggi pasca KMTP. Metode: Pasien SM berat yang berhasil dilakukan KMTP dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gradien rendah dan gradien tinggi. Dengan menggunakan ekokardiografi speckle tracking, nilai PALS diukur pada 24-48 jam sebelum KMTP dan 7-14 hari setelah KMTP. Kemudian nilai PALS antara kedua kelompok dianalisis menggunakan uji statistik Mann-Whitney. Hasil: Terdapat 32 pasien (46%) pada kelompok gradien rendah dan 39 pasien (54%) pada kelompok gradien tinggi. Subjek dengan SM berat gradien rendah cenderung lebih tua, memiliki irama jantung fibrilasi atrium, memiliki baseline MVA yang lebih besar, dan memiliki nilai net atrioventricular compliance (Cn) yang lebih tinggi. Nilai PALS rendah pada kedua kelompok dan mengalami perbaikan pasca KMTP [8%(2–23) vs. 11%(3–27), p<0.0001]. Tidak terdapat perbedaan antara PALS sebelum KMTP, setelah KMTP, dan perbedaannya (delta) antara kedua kelompok. Analisis subgrup pasien dengan irama jantung sinus menunjukan perbedaan nilai PALS antara kelompok gradien rendah dan tinggi pre KMTP (15±4% vs. 11±5%, p=0.030) dan post KMTP (19±4% vs. 15±4%, p=0.019). Analisis multivariat menemukan bahwa irama jantung merupakan variabel independent terkuat dalam mempengaruhi nilai PALS. Kesimpulan: Fungsi reservoir atrium kiri, yang dinilai dengan PALS mengalami penurunan pada pasien SM berat dan meningkat pasca KMTP, tanpa dipengaruhi oleh baseline MVG.

Background: Low gradient severe mitral stenosis (LGMS) is defined as mitral valve area (MVA) less than ≤ 1.5 cm2 and mitral valve gradient (MVG) < 10 mmHg. Functional changes in the left atrium (LA) are one of the mechanisms that follow LGMS, which can be assessed using strain analysis. Balloon Mitral Valvotomy (BMV) is the treatment of choice for suitable MS patients without contraindications. Objective: This study compared changes in Peak Atrial Longitudinal Strain (PALS) following BMV between low- and high-gradient severe MS patients. Methods: We included MS patients who underwent a successful BMV and divided into LGMS group and high-gradient mitral stenosis (HGMS) group. Using speckle tracking echocardiography, PALS was assessed 24–48 hours before and 7–14 days after BMV procedure. Then, the PALS values were compared between those two groups using Mann- Whitney. Results: There were 32 patients (46%) in the low-gradient MS group and 39 patients (54%) in the high-gradient MS group. Subjects with LGMS were older, had more atrial fibrillation, had a larger baseline MVA, and had higher net atrioventricular compliance (Cn). The PALS values were low in both groups and improved significantly following BMV [8%(2–23) vs. 11%(3– 27), p<0.0001]. There were no differences in PALS values before, after BMV, and its absolute changes between the groups. Subgroup analysis in subjects with sinus rhythm revealed PALS differences between low and high-gradient MS pre (15±4% vs. 11±5%, p=0.030) and post- BMV (19±4% vs. 15±4%, p=0.019). Multivariate analysis identified heart rhythm as the strongest independent variable for PALS values. Conclusion: Left atrial reservoir function, as assessed by PALS, was reduced in patients with severe MS and was increased following BMV, irrespective of their baseline MVG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fridyan Ratnasari
"Latar Belakang: FA merupakan salah satu masalah aritmia yang paling umum terjadi dengan prevalensi yang terus meningkat seiring dengan penuaan populasi dan peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular. Manajemen FA dengan ablasi mampu mengurangi gejala pasien, namun angka rekurensi FA yang masih tinggi (10- 30%) pasca ablasi terus menjadi bahan penelitian dengan mekanisme yang masih belum dipahami. Remodelling atrial memiliki peran penting dalam progresi FA. Ketebalan dinding atrium kiri yang bervariasi menyebabkan adanya perbedaan propagasi dan penetrasi dari tindakan ablasi, sehingga penilaian ketebalan dinding atrium kiri penting dalam proses tindakan ablasi FA.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara ketebalan atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi FA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data pasien ablasi fibrilasi atrium di RSJPD Harapan Kita pada periode Januari 2018- Januari 2023. Evaluasi rekurensi aritmia atrial dilakukan dengan EKG 12 sadapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Penilaian ketebalan dinding atrium kiri dilakukan dengan pemeriksaan CT scan kardiak. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat antara ketebalan dinding atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.
Hasil: Dari 127 pasien pasca ablasi FA, didapatkan rata-rata pasien berusia 55 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 64%. Berdasarkan tipe FA didapatkan 65% merupakan FA paroksismal. Ketebalan dinding atrium kiri (OR 1,56; IK 95% 1,20-2,03; p value < 0,001) dan diameter atrium kiri berdasarkan ekokardiografi (OR 1,07; IK 95% 1,00- 1,14; p value 0,0038) berhubungan secara signifikan dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.

Background: Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia and its prevalence increases with age. Management of catheter ablation is effective in reducing symptom burden but its recurrence rate is still considered high (10-30%) with unclear mechanism. Atrial remodeling plays important role in AF progression. The left atrial wall thickness (LAWT) is heterogenous which cause different propagation and penetration of ablation power. Recurrence of arrhythmia atrial after catheter ablation for atrial fibrillation (AF) has been considered as a common phenomenon but its mechanism and implication in long-term outcome has not been fully understood.
Objective: We aimed to clarify the relation between left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurences after ablation
Metode: A total of 127 patients with history of catheter ablation for AF were consecutively recruited from period of January 2018- January 2023. Recurrences was defined as recurrence of atrial tachyarrhythmia using surface electrocardiogram and Holter monitoring. LAWT was assessed using cardiac CT scan. The statistical analysis was performed to find the relationship between the left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurrences.
Results: From 127 patients post catheter ablation for AF, patients included mean age of 55 years old and 64% patients are male. Based on type of AF, most of patients (65%) are paroxysmal AF. The mean left atrial wall thickness (OR 1,56; IK 95% 1,20- 2,03; p value < 0,001) and diameter of left atrium from echocardiography (OR 1,07; IK 95% 1,00-1,14; p value 0,0038) were significantly associated with arrhythmia atrial post catheter ablation.
Conclusion: Left atrial wall thickness assessed with CT cardiac increased 4.4 times arrhythmia atrial recurrences post catheter ablation of AF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Yuli Prianto
"Latar belakang: Angka morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien fibrilasi atrium (FA) yang mengalami gagal jantung akut. Pada pasien irama sinus, left atrial volume index (LAVI) dan heart rate variability (HRV) merupakan prediktor kuat terjadinya komplikasi kardiovaskular. Penelitian LAVI dan HRV pada pasien FA hingga saat ini belum konklusif.
Tujuan: Mengetahui hubungan LAVI dan HRV dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA
Metode: Studi kohort retrospektif dengan populasi terjangkau pasien dewasa FA di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2021 yang berasal dari registri Optimal INR measures for Indonesians (OPTIMA). Data sekunder LAVI diukur dengan ekokardiografi dan parameter HRV terdiri dari standar deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive differences (RMSSD), rasio low frequency dan high frequency (LF/HF) diukur menggunakan alat HRV portabel. Pasien diikuti hingga 30 Januari 2023, luaran dinilai dengan melihat catatan medik atau melalui telepon.
Hasil: Dilakukan analisis pada 144 sampel. Proporsi kejadian gagal jantung akut sebesar 15,3%. Tidak terdapat hubungan antara SDNN dengan kejadian gagal jantung akut (RR 1,75; IK95% 0,260 – 11,779, p=0,565). Tidak terdapat hubungan antara LF/HF dengan kejadian gagal jantung akut (RR 2,865; IK 95% 0,765 – 10,732, p=0,118). Terdapat hubungan antara LAVI dengan kejadian gagal jantung akut (adjusted RR 2,501; IK 95% 1,003 – 6,236, p=0,049). Diabetes melitus dan hipertensi merupakan faktor perancu pada penelitian ini.
Kesimpulan: Peningkatan LAVI berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA. HRV tidak berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA.

Background Morbidity and mortality rates increase in patients with atrial fibrillation (AF) who experience acute heart failure. In patients with sinus rhythm, left atrial volume index (LAVI) and heart rate variability (HRV) are strong predictors of cardiovascular complications. Research on LAVI and HRV in AF patients has so far not been conclusive.
Objectives: To determine the relationship between LAVI and HRV and the incidence of acute heart failure in AF patients.
Methods: A retrospective cohort study was conducted with an accessible population of adult AF patients at RSCM from January 1, 2020, to December 31, 2021, originating from the Optimal measures INR for Indonesians (OPTIMA) registry. LAVI was measured by echocardiography, and HRV parameters consist of the standard deviation of NN intervals (SDNN), the root mean square of successive differences (RMSSD), and the ratio of low frequency and high frequency (LF/HF) measured using a portable ECG device. Patients were followed until January 30, 2023, and outcomes were assessed by looking at medical records or by telephone.
Result: A total of 144 subjects were analysed. The proportion of acute heart failure is 15.3%. There was no relationship between SDNN and the incidence of acute heart failure (RR 1.75; 95% CI 0.260–11.779, p=0.565). There was no relationship between LF/HF and the incidence of acute heart failure (RR 2.865; 95% CI 0.765–10.732, p=0.118). There is a relationship between LAVI and the incidence of acute heart failure (adjusted RR 2.501; 95% CI 1.003–6.236, p = 0.049). DM and hypertension were confounding factors in this study.
Conclusion: The elevation of LAVI is associated with the incidence of acute heart failure in AF patients. HRV is not associated with the incidence of acute heart failure in AF patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>