Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161229 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"The growth and development of predatory beetle Chilocorus politus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) feeding on scale insect Coccus viridis Green (Homoptera: Coccidae) was studied in the Biological Control Laboratory, Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University, from August 2004 until March 2005. Eggs of C. politus were collected from the predator generation that formerly feeding on coconut-palm scale-insect (Aspidiotus destructor Signoret (Homoptera: Diaspididae)). Upon hatching, the newly first instars of the predator were then cultured on alive C. viridis that were collected from shoots and leaves of coffee. The larvae were allowed to grow and develop into adults"
580 AGR 19 (1-4) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"The study was aimed to determine a proper time of measuring soybean nitrate reductase activities, and to what extend direct and indirect effect of those traits to the soybean yield and its component.
The experiment was arranged in Randomized Completely Block Design with three blocks as replications. Six soybean varieties: Burangrang, Wilis, Tanggamus, Cikuray, Mallika, and Gamallika were used. In-vivo nitrate reductase activities were measured at seedling stage (14 dap), when root nodule start to be active (25 dap), maximum growth stage (34 dap), flowering stage (42 dap), and grain filling period (63 dap). Correlation and path analysis was applied to the data collected to determine direct and indirect effect of nitrate reductase activity, growth and yield components to the soybean yield.
The results showed that the proper time of measuring nitrate reductase activity was at 42 dap (flowering stage). Large direct effect to grain yield per plant was indicated by seed number per plant, total dry weight, 3-seeded pods per plant and nitrate reductase activity total leaf fresh weight at 42 dap; meanwhile, number of filled pods per plant, number of branch per plant, and number of productive node per plant had a negative direct effect but the indirect effect was larger through seed number. It indicated that the seed number per plant, total dry weight, 3-seeded pods per plant and nitrate reductase activity total leaf fresh weight at 42 dap may be used for soybean yield selection."
Lengkap +
580 AGR 19 (1-4) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Kedelai merupakan komoditi tanaman pangan nomor tiga setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan salah satu tanaman penting karena merupakan sumber protein nabati utama yang berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia, ternak dan juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri. Sebagai tanaman nomor tiga setelah padi dan jagung, biji kedelai kandungan protein yang relatif tinggi yaitu sekitar 34,9%. Oleh karena itu kedelai cukup potensial untuk dikembangkan sebagai sumber makanan tambahan."
600 SATEK 3:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati
"Gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi umumnya merupakan hasil dari rendahnya kualitas kehamilan ibu, termasuk dari asupan gizi, baik dari makanan maupun dari suplemen. Untuk itu, penelitian ini dilakukan guna mengetahui hubungan antara konsumsi suplemen zat gizi mikro ibu selama hamil dan menyusui serta faktor lainnya terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangan bayi (3-6 Bulan), terutama di wilayah Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Data konsumsi suplemen serta karakteristik ibu lainnya seperti pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan, ibu, pengetahuan gizi, jumlah kelahiran, dan kondisi BBLR diperoleh melalui wawancara. Di sisi lain, data asupan makanan ibu serta asupan makanan bayi (ASI eksklusif) saat ini diambil dengan metode food recall, sedangkan status gizi ibu sejak hamil serta pertumbuhan bayi diperoleh dengan pengukuran antropometri. Kriteria perkembangan bayi diperoleh melalui aspekaspek perkembangan penyesuaian dari kartu menuju sehat (KMS) dan buku kesehatan ibu dan anak (KIA). Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi suplemen zat gizi mikro selama hamil berhubungan secara signifikan terhadap tumbuh kembang bayi (nilai p=0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak memperhatikan asupan makanannya, termasuk konsumsi suplemennya sejak hamil, memiliki risiko yang lebih besar mendapatkan bayi dengan pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal.

Baby's growth and development retardation is one of the outcomes of less quality pregnancy, included due to less nutritional intake both from food and supplement. According to the concept, this research was conducted to find the association between the micronutrient supplement consumption during pregnancy and breastfeeding as well as other relating factors with baby's growth and development, specifically in Sub-district of Tanjung Priok, North Jakarta. Data for mother's supplement consumption and other characteristics such as education, occupation, wages, knowledge about nutrition, number of parity, low-birth weight case were collected through interview by questionnaire. On the other hand, data for recent mother's nutritional intake and exclusive breastfeeding were collected through food recall, while data for mother's nutritional status and baby's growth were measured through anthropometry measurement. The criteria of baby's development was scored through the milestones set by KMS (Kartu Menuju Sehat) and book of KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) widely used by community health centers in Jakarta. The results showed that maternal micronutrient supplement consumption was associated significantly to baby's growth and development (p value=0,05). In other words, this finding showed that if one mother didn't concern for her food, especially micronutrient supplement during pregnancy, she would have higher risk to give birth to baby with delayed physical growth and development.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T41730
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pritta Ameilia Iffanolida
"ABSTRAK
Latar Belakang: Metode seleksi embrio terbaik banyak dikembangkan untuk memperoleh transfer embrio tunggal dalam siklus fertilisasi in vitro (FIV). Blastokista merupakan tahap embrio terbaik yang didapat dari embrio dengan morfologi normal atau 2 pro-nukleus (2PN) maupun morfologi abnormal atau 3 pro-nukleus (3PN). Transfer blastokista masih memberikan tingkat keberhasilan implantasi dan kehamilan yang rendah karena penilaian morfologi yang baik tidak selalu mempunyai status kromosom yang baik. Aneuploidi dan mosaik diketahui masih ditemukan dalam populasi blastokista, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan kelainan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara morfologi dan perkembangan blastokista dengan kejadian aneuploidi dan mosaik, serta faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Embrio diperoleh dari siklus FIV dan dikultur sampai tahap blastokista, penilaian morfologi blastokista dilakukan menggunakan skoring Gardner dengan 3 parameter yaitu grade ekspansi blastokista, inner cell mass, dan tropektoderm. pre-implantation genetic testing for aneuploidi (PGT-A) dilakukan dengan cara biopsi blastokista pada hari ke 5 atau 6 dan analisis kromosom dilakukan menggunakan metode Next Generation Sequencing (NGS). Hubungan antara morfologi blastokista dan status kromosom serta faktor yang mempengaruhinya kemudian dianalisis.
Hasil: Didapatkan 70 embrio dari 25 pasien, dengan pembagian 45 embrio 2PN dan 25 embrio 3PN. Frekuensi aneuploidi pada sampel 2PN dan 3PN berturut turut 42% dan 4%, sedangkan mosaik 2PN 16% dan 3PN 8%, pada embrio 3PN juga didapati kromosom triploid sebesar 52%. Didapatkan hubungan bermakna antara grade tropektoderm embrio 2PN dengan status kromosom (p<0,05), sedangkan embrio 3PN tidak didapati hubungan antara parameter morfologi dengan kromosom. Blastokista dengan grade ³3AA memiliki persentase euploidi sebesar 46%. Usia maternal, usia paternal, jumlah oosit, laju fertilisasi, volume dan motilitas sperma berhubungan dengan status kromosom (p<0,05).
Kesimpulan: Grading blastokista berhubungan dengan status kromosom, dan usia maternal merupakan faktor yang paling berhubungan dengan kejadian aneuploidi dan mosaik.

ABSTRACT
Background: Several method of assessing embryo viability have been employed over these year to obtain single embryo transfer in IVF cycle. Blastocyst, known as the best morphological embryo derived from both normal or 2 pronucleus (2PN) and 3 pronucleus (3PN) still not give the best implantation and pregnancy rate. However, morphology assesment only did not properly evaluate chromosomal status of the embryos. A good morphology blastocyst still can harbour aneuploidy and mosaic, and it is needed to find factor that effect aneuploidy and mosaic. Therefore, the aim of this study was to investigate the correlation between blastocyst morphology with aneuploidy, mosaicism and other related factor.
Methods: A cross-sectional study to compare blastocyst morphology with chromosomal status. Embryo collected from IVF-ICSI cyles then cultured until blastocyst stage, Blastocyst scoring was done by Gardner scoring system with 3 parameter including blastocyst expansion, inner cell mass and tropectoderm. Preimplantation genetic testing for aneuploidi (PGT-A) was done by tropectoderm biopsy on day 5 or 6 which were the screened for chromosomal status by Next Generation Sequencing (NGS) method. The relationship between blastocyst morphology and chromosomal status and other related factor were evaluated.
Results: A total 70 blastocyst were collected, 45 derived from 2PN zygot and the other 25 from 3PN zygot. The frequency of aneuploid in 2PN and 3PN continuosly 42% and 4%, meanwhile mosaic frequency were 15% and 8%. Triploidy chromosome were found 52% in 3PN embryo. Tropectoderm grading and chromosomal status was found significally different (p<0.05), while in 3PN embryo there in no correlation between blastocyst morphology and chromosomal status. >3AA blasctocyst grading had higher euploidy percentage compare to <3AA grading. Maternal age, oocyte number, fertilization rate, sperm volume and sperm motility have correlation with chromosomal status (p<0.05).
Conclusions: Blastocyst grading had correlation with chromosomal status, and maternal age is the key factor that affect aneuploidy and mosaicism."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnesia Tiara Pungki
"Latar Belakang: Interaksi antagonisme maupun sinergisme antara bakteri komensal dan patogen tercipta dalam keseimbangan mikrobiota oral. Porphyromonas gingivalis (P. gingivalis) sebagai periodontoaptogen dapat mengganggu homeostasis host-mikroba. Streptococcus sanguinis (S. sanguinis) sebagai bakteri komensal, juga mampu mempertahankan homeostasis rongga mulut yang sehat dengan menghambat pertumbuhan P. gingivalis. Di sisi lain, periodontopatogen Aggregatibacter actinomycetemcomitans (A. actinomycetemcomitans) terbukti mampu bertahan ketika berinteraksi dengan Streptococcus spp. melalui protein yang disekresikannya. Namun belum ada penelitian yang membuktikan apakah konsentrasi protein A. actinomycetemcomitans juga dapat membantu P. gingivalis untuk bertahan ketika berinteraksi dengan S. sanguinis. Dapat digunakan cell free-spent medium yang merupakan medium sisa hasil kultur bakteri yang telah dilakukan filtrasi sehingga hanya tersisa produk ekskresi A. actinomycetemcomitans sebagai intervensi untuk melihat pengaruh konsentrasi protein A. actinomycetemcomitans terhadap dual-spesies S. sanguinis - P. gingivalis. Tujuan: Mengetahui dampak pemberian cell-free spent medium Aggregatibacter actinomycetemcomitans terhadap pertumbuhan biofilm kombinasi Streptococcus sanguinis dan Porphyromonas gingivalis. Metode: Digunakan uji Bradford untuk menetapkan total konsentrasi protein, uji Crystal Violet untuk menetapkan pembentukan massa biofilm, dan uji Total Plate Count untuk menetapkan viabilitas spesies. Masing-masing perlakuan dibedakan berdasarkan konsentrasi protein spent medium 1%, 10%, dan 100%, serta waktu inkubasi 3 jam, 24 jam, dan 48 jam. Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakana massa biofilm berdasarkan konsentrasi protein. Terdapat perbedaan bermakana massa biofilm berdasarkan waktu inkubasi yaitu pada konsentrasi protein 1% dan 10%. Tidak terdapat perbedaan bermakna viabilitas S. sanguinis dan P. gingivalis berdasarkan konsentrasi protein dan waktu inkubasi. Kesimpulan: Keberadaan protein yang diekskresikan oleh A. actinomycetemcomitans tidak mempengaruhi antagonisme S. sanguinis dan P. gingivalis ketika tumbuh sebagai biofilm in vitro. Waktu inkubasi hanya berpengaruh pada massa biofilm dual spesies S. sanguinis- P. gingivalis.

Background: Balance of the oral microbiota creates both synergistic and antagonistic relations between commensal and pathogenic bacteria. Porphyromonas gingivalis (P. gingivalis) can disrupt microbial-host homeostasis. Streptococcus sanguinis (S. sanguinis) is also able to maintain a healthy oral homeostasis by inhibiting the growth of P. gingivalis. Aggregatibacter actinomycetemcomitans (A. actinomycetemcomitans) has been shown to survive interactions with Streptococcus spp. through the proteins they secrete. There is no research that proves whether the protein concentration of A. actinomycetemcomitans can also help P. gingivalis in interactions with S. sanguinis. Cell free-spent medium can be used, residual medium from bacterial culture that has been filtered so that only the excretion product of A. actinomycetemcomitans remains. Purpose: To determine the effect cell-free spent medium Aggregatibacter actinomycetemcomitans on the growth of Streptococcus sanguinis and Porphyromonas gingivalis dual-species biofilm. Methods: Bradford Assay determines the total protein concentration, Crystal Violet Assay determines the formation of biofilm mass, and Total Plate Count to determines the viability of each species. Each treatment was differentiated based on protein concentration inside the spent medium, of 1%, 10%, and 100%, and an incubation period of 3 hours, 24 hours, and 48 hours. Results: There was no significant difference in biofilm mass based on protein concentration. However, there was a significant difference in the mass of the biofilm based on the incubation period between 1% and 10% protein concentrations. There was no significant difference in the viability of S. sanguinis and P. gingivalis. Conclusion: The presence of protein excreted by A. actinomycetemcomitans did not affect the antagonism between S. sanguinis and P. gingivalis when grown as in vitro biofilms. Incubation time only affects the biofilm mass of the dual species S. sanguinis-P. gingivalis."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
S19377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Arsjad Anwar, 1936-
"Disertasi yang berjudul "Pertumbuhan Pertanian Dilihat Dari Pertumbuhan Produk Domestik/bruto Di Indonesia, 1960-1980" akan akan gas masalah yang erat kaitannya dengan perubahan struktur produksi, atau kanposisi Produk Danestik Bruto (disingkat P.D.H.) menurut sektor dan lapangan usaha, yang biasa menyertai proses pertumbuhan ekonani atau peningkatan pendapatan per-kapita. Selain dari perubahan dalam struktur produksi, pertumbuhan ekonomi juga biasanya disertai dengan berubahnya struktur kesempatan kerja menurut sektor dan lapangan usaha.
Paham yang sistematis tentang perubahan struktur produksi dan struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekoncmi dimul.ai dengan diperkenalkannya konsep tentang produksi, atau yang kemudian lebih dikenal sebagai sektor, primer, sekunder, dan tarsier oleh Fisher tahun 1935- . Tanpa dukungan bukti kuantitatip, Fisher mengemukakan pendapatnya bahwa pertumbuhan ekonorni biasanya disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor primer, ke sektor sekunder, dan akhirnya ke sektor tersier. Pada gilirannya hat itu akan mengakihatkan terjadinya perubahan dalam struktur produksi yang sesuai dengan pergeseran dalam permintaannya, yaitu melalui pergeseran dalam kesempatan kerja dan alokasi dana dari sektor primer, ke sektor sekunder, dan akhirnya ke sektor tersier . Dengan perkataan lain teori tentang perubahan struktur produksi dan kesempatan kerja selama pertumbuhan ekonomi dari Fisher didasarkan pada adanya pergeseran permintaan.
Bukti kuantitatip yang mendukung pendapat Fisher tersebut diberikan oleh Clark {1940, 1951, 1957). Dengan menggunakan data cross section dari beberapa negara, Clark menyusun struktur praduksi dan kesempatan kerja, menurut sektor dan tingkat pendapatan per-kapita. Dari hasil perhitungan tersebut Clark dan Ferlihatkan tentang hubungan antara perubahan struktur produksi dengan struktur kesempatan kerja menurut sektor. Sehubungan dengan pergeseran struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi, Clark mengemukakan pendapatnya yang agak berbeda dari Fisher. Menurut Clark pergeseran dalam struktur kesempatan kerja tersebut dicapai dengan: pertama, terjadinya peningkatan produktivitas per-pekerja di setiap sektor, dan kedua, bergesernya pekerja dari sektor yang lebih rendah produktivitasnya ke sektor yang lebih tinggi produkti vitasnya.
Dari beberapa literatur tentang ekonomi diketahui bahwa perincian lapangan usaha dari tiap sektor adalah sebagai berikut. Sektor primer meliputi pertanian dan seringkali juga mencakup pertambangan dan penggalian. Sektor sekunder terdiri dari industri pengolahan, hangman, dan adakalanya juga meliputi pertambangan dan penggalian. Sementara itu sektor tarsier mencakup listrik, gas, dan air mineral; pengangkutan dan komunokasi; perdagangan, rumah makan dan penginapan; lembaga keuangan, perdagangan benda tak bergerak, dan jasa perusahaan; sewa rumah; pemerintahan , pertahanan; dan jasa lainnya."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1983
D1159
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Arifin
"Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara GDF-9 dan BMP-15 Serum dan cairan folikel, untuk memprediksi kualitas oosit pada wanita yang menjalani siklus fertilisasi in vitro (FIV). Metode : Studi  Potong Lintang dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 30 darah sérum dan 30 sampel cairan folikel yang diambil saat petik telur (OPU), dilakukan pemeriksaan GDF-9 dan BMP-15 menggunakan kit ELISA. Dilakukan analisa dengan uji korelasi Pearson dan Spearman  untuk melakukan analisa hubungan antara GDF-9 dan BMP-15 serum dan cairan folikel dengan parameter-parameter kualitas oosit seperti laju maturasi dan laju fertilisasi. Hasil : rerata usia subyek penelitiann adalah 35,0(26,0-39,0) tahun. Kadar GDF-9 cairan folikel adalah 163,0 pg/ml (48,0-537) dan kadar GDF-9 serum 260,33 pg.ml ± 121,82) sedangkan kadar rerata BMP-15 cairan folikel adalah 58,30 pg/ml ± 31,54 dan kadar BMP-15 serum 74,20 pg/ml (1,0-610). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar GDF-9 serum dan GDF-9 cairan folikel (p =0,245) sedangkan antara BMP 15 serum dan BMP-15 cairan folikel  terdapat hubungan bermakna (p =0,001). Simpulan : Terdapat sebaran yang tidak normal kadar GDF-9 serum dan cairan folikel, keduanya tidak berkorelasi. Terdapat korelasi positif kadar BMP-15 serum dan BMP-15 cairan folikel. Terdapat  korelasi yang kuat. antara BMP-15 serum dengan laju maturasi. Tidak terdapat korelasi antara kadar GDF-9 serum, GDF-9 cairan folikel dan BMP-15 cairan folikel dengan laju maturasi dan laju fertilisasi. GDF-9 serum-cairan folikel dan BMP-15 serum-cairan folikel tidak dapat memprediksi kualitas oosit.

Aim : To determine the relationship between GDF-9 and BMP-15 serum within follicular fluid in order to predict the quality of oocytes in women undergoing In Vitro Fertilisation (IVF). Method : We collected 30 samples of blood serum and 30 samples of follicular fluid on the day of ovum pickup (OPU), and we examined GDF-9 and BMP-15 using ELISA kits. Analysis by Pearson and a partial-correlation was conducted to analyse the correlation between the concentration of GDF-9 and BMP-15 in serum and follicular fluid with general physiological parameters, such as maturation rates and fertilisation rates.Results : The mean age of the subjects was 35,0 (26,0-39,0) years. The level of GDF-9 in the follicular fluid was 163,0 pg/ml (48,0-537), and the level in the serum was 260.33 pg/ml±121,82. The level of BMP-15 in the follicular fluid was 58,30 pg/ml ± 31,54, and the level in the serum was 74,20 pg/ml (1,0-610). There was no correlation between GDF-9 serum and follicular fluid (P = 0.245) but any correlation  between BMP-15 and follicular fluid (p = 0.001). Conclusion : There was an abnormal distribution of GDF-9 serum and follicular fluid levels, both of them not correlate. There was a positive correlation between BMP-15 serum and BMP-15 follicular fluid. There was strong correlation between BMP-15 serum and maturation rates. No correlation between levels of GDF-9 serum-follicular fluid, and BMP-9 follicular fluid with maturation and fertilization rates. GDF-9 serum-follicular fluid, BMP-15 serum-follicular fluid are not able to predict the quality of oocytes."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Safitri
"Gagal tumbuh selama ini menggunakan pengukuran antropometri menurut indeks konvensional yang diukur terpisah, sementara kekurangan gizi tidak dapat berdiri sendiri. Pengukuran gagal tumbuh menggunakan CIAF diperlukan untuk melengkapi kegagalan antropometri yang lebih komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gagal tumbuh dengan perkembangan anak usia 24-59 bulan di desa lokus stunting wilayah kerja Puskesmas Sungai Limau. Menggunakan desain studi cross sectional dengan teknik simple random sampling, analisis chisquare dan regresi logistik model faktor risiko dengan sampel 105 anak usia 24-59 bulan. Anak mengalami perkembangan meragukan sebanyak 31,4%, perkembangan sesuai 68,6%, gagal tumbuh sebanyak 29,5% dan normal 70,5%. Hasil bivariat menunjukkan terdapat hubungan antara gagal tumbuh dengan perkembangan anak(p=0,028), gagal tumbuh berhubungan dengan perkembangan motorik kasar (p=0,002) dan kemampuan bicara bahasa (p=0,050).Variabel lain yang berhubungan dengan perkembangan anak yaitu pendidikan ibu (p=0,002), pekerjaan ibu (p=0,003), pendapatan(p=0,003), ASI ekslusif (p=0,0034), dan stimulasi (p=0,0005). Analisis multivariat menunjukkan gagal tumbuh tetap konsisten berhubungan dengan perkembangan anak (p=0,002). Gagal tumbuh berhubungan dengan perkembangan meragukan setelah dikontrol beberapa variabel kovariat. Pelaksanaan program deteksi dini tumbuh kembang anak memerlukan kerjasama dan komitmen lintas sektor kesehatan dan pendidikan yaitu mengintegrasikan kegiatan posyandu dan Pendidikan Anak Usia Dini.

Failure to thrive so far using anthropometric measurements according to conventional indices measured separately, while malnutrition cannot stand alone. Measurement of failure to thrive using CIAF is needed to complement more comprehensive anthropometric failures. This study aims to determine the relationship between failure to thrive and the development of children aged 24-59 months in the stunting locus village of the Sungai Limau Health Center work area. Using a cross-sectional study design with simple random sampling techniques, chisquare analysis and logistic regression risk factor models with a sample of 105 children aged 24-59 months. Children experienced dubious development as much as 31.4%, corresponding development 68.6%, failure to grow as much as 29.5% and normal 70.5%. Bivariate results showed an association between failure to thrive with child development (p = 0.028), failure to thrive was associated with gross motor development (p = 0.002) and speech skills (p = 0.050). Other variables related to child development were maternal education (p = 0.002), maternal employment (p = 0.003), income (p = 0.003), exclusive breastfeeding (p = 0.0034), and stimulation (p = 0.0005). Multivariate analysis showed failure to thrive remained consistently associated with child development (p = 0.002). Failure to thrive was associated with dubious development after controlling for several covariate variables. The implementation of early detection programs for child growth and development requires cooperation and commitment across the health and education sectors, namely integrating posyandu and Early Childhood Education activities.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>