Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97059 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"HSV is known as a type of virus capable of causing infection in human being. The secondary herpes infection does not produce hazardous outcome in immunocompetent hosts because it usually heals spontaneusly within 1-2 weeks. However HSV reactivation in immunocompromised patients is a potential danger, leading to significant, morbidity, secondary bacterial and fungal infection, and occasionally disseminated viral infection, thus influencing the survival rate. The purpose of this paper was to describe the measures that could be performed to prevent HSV reactivation in immunocompromised patients. We concluded that anti-HSV titer screening, early detection of HSV shedding, lymphocyte and monocyte counts, and antiviral prophylaxis were essential in anticipating HSV reactivation in immunocompromised hosts."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Masyithah Darlan
"Infeksi Strongyloides stercoralis adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda usus pada manusia. Pada individu dengan imunokompromais, S.stercoralis menyebabkan morbiditas yang berat hingga kematian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh infeksi S.stercoralis pada individu dengan imunokompromais. Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus kontrol dan dilaksanakan pada Maret - Juni 2013. Subyek merupakan pasien dengan kondisi imunokompromais dan imunokompeten berasal dari rumah sakit dan laboratorium di Jakarta. Bahan klinis (feses) yang berasal dari subyek dikirim ke laboratorium Departemen Parasitologi FKUI. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling. Seluruh bahan klinis (feses) diperiksa dengan pemeriksaan langsung sediaan basah dan dilanjutkan dengan kultur Harada Mori. Kondisi imun pasien tersebut diketahui dengan menggunakan rekam medik/ surat pengantar yang ada. Total feses yang berhasil dikumpulkan sebanyak 170 feses; Laki-laki sebanyak 108 dan perempuan 62 orang. Kisaran umur pasien yaitu 2-80 tahun dengan rata-rata 33,41 ± 22,65. Pasien dengan imunokompromais sebanyak 31 (18,2%, 31/170) dan imunokompeten 139 (81,8%, 139/170). Sebanyak 18 (10,6%, 18/170) feses positif larva S.stercoralis; 11 (10,2%, 11/108) laki-laki dan 7 (11,3%, 7/62) perempuan. Dari subyek yang positif infeksi S.stercoralis diperoleh 6 (19,4%, 6/31) yang mempunyai status imunokompromais sedangkan pada imunokompeten 12 (8,6%, 12/139). Pada studi ini diperoleh OR 2,54 dengan P-value 0,082 (95% CI: 0,871 - 7.043). Hal ini menunjukkan bahwa status imunokompromais mempunyai hubungan yang positif terhadap infeksi S.stercoralis walaupun secara statistik tidak ada perbedaan signifikan. Dari hasil studi ini dapat menjadi masukan bagi klinisi untuk dasar pengambilan kebijakan untuk meningkatkan penatalaksanaan infeksi dengan keluhan diare terutama pada penderita imunokompromais.

Strongyloides stercoralis infection is an infection caused by the human intestinal nematode worms. In immunocompromised individuals, S.stercoralis cause severe morbidity and fatality. The purpose of this study was to determine the effect of S.stercoralis infection among individual with immunocompromised state. A case control study was conducted between March-June 2013. Subjects were patients with immunocompromised and immunocompetent condition came from hospitals and laboratories in Jakarta . Who submitted their fecal specimen to parasitology FKUI. Sampling method was done by consecutive sampling technique. Direct examination with wet preparation was performed on the whole specimens followed by filter paper tube Harada Mori culture technique. The patient's immune status was identified from the medical record. There were 170 samples obtained from patients aged 2-80 years old (mean 33,1 ± 22,7); consisted of 108 men and 62 women; immunocompromised patients with as many as 31 (18.2 %, 31/170) and 139 immunocompetent (81.8 %, 139/170). A total of 18 (10.6 %, 18/170) faecal specimens was positive larval S.stercoralis which was proportionately similar between male and female patients. It was found that 6 (19,4%, 6/31) with immunocompromised and 12 immunocompetent (8,6%, 12/139). The odd ratio (OR) was 2,54 with P-value of 0,082 (95% CI: 0,871 to 7,043). Suggesting that immunocompromised state has a positive association to infection S.stercoralis although no statistically significant difference. this study recommends the clinician to increase awarness on S. stercoralis infection and management of infection with symptoms of diarrhea, especially in immunocompromised patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Nur Riza Ananda
"Kasus chronic pulmonary aspergillosis (CPA) di Indonesia memiliki prevalensi ±83.000 penderita dengan penambahan kasus baru sebanyak 17.561 pasien dengan riwayat tuberkulosis paru-paru setiap tahunnya, disebabkan oleh kapang Aspergillus spp. Gen calmodulin (CaM) merupakan markah genetik Aspergillus yang memiliki spesifikasi sekuens tinggi untuk membedakan tiap spesies Aspergillus, namun studi mengenai profil sekuensnya pada isolat penderita CPA pasca tuberkulosis di Indonesia belum ditemukan laporannya. Penelitian ini menggunakan gen CaM untuk dianalisis sekuens DNA-nya sekaligus mengidentifikasi dan memantau spesies Aspergillus dari 31 isolat spesimen klinis pasien CPA beriwayat tuberkulosis paru-paru dari 6 rumah sakit umum di Jakarta. Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan metode PCI lalu gen CaM diamplifikasi dengan primer Cmd5 dan Cmd6, selanjutnya dilakukan sekuensing DNA. Hasil menunjukkan sekuens gen CaM Aspergillus spp. memiliki wilayah lestari dan polimorfik khas antar spesies intraseksi maupun interseksi (Nigri, Fumigati, dan Flavi). Hasil identifikasi molekuler menunjukkan spesies terdiri dari A. niger (n = 3), A. fumigatus (n = 17), A. flavus (n = 4), A. tubingensis (n = 2), A. welwitschiae (n = 2), A. tamarii (n = 2), dan A. brunneoviolaceus (n = 1). Spesies A. welwitschiae dan A. tamarii dikonfirmasi menjadi salah satu spesies kriptik penyebab CPA pada pasien beriwayat tuberkulosis paru-paru di Jakarta, Indonesia.

The number of chronic pulmonary aspergillosis (CPA) cases in Indonesia reached a prevalence number ±83.000 patients with increasing rate of 17.561 patients with lung tuberculosis medical history each year, caused by Aspergillus fungi. Calmodulin (CaM) gene is a biomarker for Aspergillus which has high sequence specifity to distinguish among species within the group, however a report to characterize its sequence profile on post-tuberculosis CPA isolates in Indonesia has not yet been found. The aims of this research are to conduct sequence analysis on Aspergillus CaM genes, also to identify and monitor the species from 31 isolates of post-tuberculosis CPA patient’s clinical specimens obtained from 6 public hospital in Jakarta. The results showed that CaM gene from Aspergillus spp. have unique conserved and polymorphic regions both intra/intersectionally (among Nigri, Fumigati, and Flavi) within the genus. The molecular identification results revealed a species consisiting A. niger (n = 3), A. fumigatus (n = 17), A. flavus (n = 4), A. tubingensis (n = 2), A. welwitschiae (n = 2), A. tamarii (n = 2), and A. brunneoviolaceus (n = 1). A. welwitschiae and A. tamarii are confirmed to be one of cryptic species responsible for causing human post-tuberculosis CPA in Jakarta, Indonesia.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Saraswati
"Penyakit tuberkulosis (TB) paru sering mendasari aspergilosis paru kronis (APK). Diagnosis APK masih menjadi tantangan karena gejala klinis dan hasil pemeriksaan yang tidak khas serta data penelitian yang terbatas. Pemeriksaan immunochromatography test (ICT) Aspergillus dilaporkan bermanfaat dalam diagnosis cepat APK. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kaitan hasil ICT Aspergillus dengan karakteristik klinis pasien TB paru. Penelitian dengan desain potong lintang ini merupakan bagian penelitian sebelumnya tentang diagnosis APK di Indonesia dan berlangsung pada Februari–November 2021. Pemeriksaan ICT Aspergillus dilakukan di laboratorium Departemen Parasitologi FKUI sesuai protokol (LD Bio Diagnostics, Lyon, France).
Dari 89 pasien TB paru yang memenuhi kriteria inklusi, terdapat 50 pasien (56,2%) laki-laki. Sebanyak 42,6% pasien dalam rentang usia 45-64 tahun, 56,2% berpendidikan akhir SMP/SMA, dan 53,9% merupakan pekerja. Karakteristik klinis pasien TB paru dalam penelitian ini menunjukkan indeks massa tubuh (IMT) normal pada 36 pasien (40,4%). Penyakit asma didapatkan pada 3,4% pasien, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) 4,5%, diabetes mellitus (DM) 16,9%, hipertensi 6,7%, dan kanker paru 1,1%. Hasil pemeriksaan ICT Aspergillusmenunjukkan hasil positif pada 11 pasien (12,4%). Pada penelitian ini, didapatkan hubungan bermakna antara hasil pemeriksaan ICT Aspergillus dengan penyakit penyerta pada pasien TB paru, yaitu asma (p = 0,039).

Pulmonary tuberculosis (TB) is the most common underlying disease of chronic pulmonary aspergillosis (CPA). Diagnosing CPA is still a challenge because of no typical pathognomonic clinical symptoms and examination result. Aspergillus Immunochromatography Test (ICT) is reported to be useful for rapid diagnosis of CPA. This study was used to determine relation between the results of Aspergillus ICT and the clinical characteristics of pulmonary TB patients. This cross-sectional study was part of the previous research on CPA diagnosis in Indonesia. Aspergillus ICT examination was carried out in FKUI Department of Parasitology laboratory according to the protocol (LD Bio Diagnostics, Lyon, France).
From the 89 pulmonary TB patients who met the inclusion criteria, there were 56,2% male patients, 42,6% of patients are within 45-64 years old age range, 56,2% have a final education of middle/high school, and 53,9% are workers, and normal body mass index (BMI) in 36 patients (40,4%). Asthma was found in 3,4% of patients, 4.5% of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), 16.9% of diabetes mellitus (DM), 6.7% of hypertension, and 1.1% of lung cancer. Aspergillus ICT showed positive results in 11 patients (12,4%) and were related to the asthma variable (p = 0,039) in statistical analysis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Suyanto
"Pendahuluan: Kadar obat yang rendah dalam darah pasien TB paru diduga berhubungan dengan respon pengobatan yang buruk seperti kegagalan konversi sputum mikroskopis, yang merupakan risiko terjadinya kegagalan pengobatan. Namun berbagai penelitian menunjukan hasil kontroversial, sebagian menunjukan terdapat hubungan antara kadar obat dengan konversi sputum akhir intensif, sebagian lagi menunjukan respon terapi yang sama baiknya untuk kadar normal maupun kadar rendah. Faktor yang diduga menyebabkan perbedaan hasil ini adalah perbedaan MIC rifampisin dan isoniazid terhadap Mycobacterium tuberculosis (MTB) pada pasien-pasien TB di setiap wilayah.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar rifampisin dan isoniazid darah dengan konversi, serta hubungan rasio kadar puncak rifampisin dan isoniazid darah terhadap MIC (Cmax/MIC) dengan konversi sputum pasien TB paru di akhir fase intensif.
Metode: Desain penelitian adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang, yang terbagi dalam kelompok kasus (tidak konversi, n=20) dan kelompok kontrol (konversi, n=20). Kadar rifampisin dan isoniazid darah diukur pada dua jam setelah minum obat yang merupakan perkiraan kadar puncak rifampisin dan isoniazid, menggunakan metode LC/MS-MS. Data MIC diambil dari 20 isolat kultur MTB sputum pasien TB paru kasus baru di RSP dr. H.A Rotinsulu Bandung menggunakan metode MGIT.
Hasil: Dari 40 pasien didapatkan rerata kadar rifampisin 5,58±2,41 mg/L dengan 36 pasien (90%) diantaranya memiliki kadar puncak di bawah normal. Untuk isoniazid didapatkan median kadar 1,46 (0,40-6,10) mg/L dengan 32 pasien (80%) diantaranya memiliki kadar puncak isoniazid di bawah normal. Pada penelitian ini didapatkan MIC rifampisin 0,25 mg/L dan MIC isoniazid 0,05 mg/L, lebih rendah dibanding kadar kritis masing-masing obat.

Introduction: Low plasma drug concentration in pulmonary TB patients are thought to be associated with poor treatment outcomes such as microscopic sputum conversion failure, which is a risk of treatment failure. However, various studies showed controversial results, some showed that there was an association between drug concentration with sputum conversion at the end of intensive phase, while others showed the same good outcome for normal and low concentrations. Factors thought to cause these controversial in results are the differences in the MIC of rifampicin and isoniazid against Mycobacterium tuberculosis in TB patients in each region. This study aims to determine the association between blood rifampicin and isoniazid concentratiom with sputum conversion, as well as the association between the ratio of peak blood concentration of rifampicin and isoniazid to MIC (Cmax/MIC) with sputum conversion of pulmonary TB patients at the end of the intensive phase.
Methods: The study design was a case-control study with a sample size of 40 subjects, which were divided into a case group (non-conversion, n=20) and a control group (conversion, n=20). The blood concentration of rifampicin and isoniazid were measured two hours after taking the drug which is an estimate of the peak concentrations of rifampicin and isoniazid, using the LC/MS-MS method. MIC data were taken from 20 MTB sputum culture isolates from new cases of pulmonary TB patients at RSP dr. H.A Rotinsulu Bandung using the MGIT method.
Results: Of the 40 patients, the mean concentration of rifampicin was 5.58 ± 2.41 mg/L with 36 patients (90%) of whom had peak concentrations below normal. For isoniazid, the median concentration was 1.46 (0.40-6.10) mg/L with 32 patients (80%) of whom had peak concentration of isoniazid below normal. In this study, the MIC of rifampicin 0.25 mg/L and MIC of isoniazid 0.05 mg/L were lower than the critical concentration of each drug. There was no association between blood rifampicin concentration (OR: 11.18; 95% CI: 0.20-223.00, p= 0.106), blood isoniazid concentration (OR: 3.86; 95% CI: 0.67-22 .22, p= 0.235), and the Cmax/MIC ratio of rifampicin (OR: 0.474; 95% CI: 0.039-5.688, p=1.00) with intensive final sputum conversion. However, there was an association between low concentration of both drugs simultaneously (OR: 6.00; 95% CI: 1.08-33.27, p = 0.028), and the Cmax/MIC ratio of isoniazid (OR: 4.333; 95% CI: 1.150). -16,323, p= 0.027) with sputum conversion at the end of the intensive phase.
Conclusion: There was no association between blood rifampicin concentration, blood isoniazid concentration, and the Cmax/MIC ratio of rifampicin with microscopic sputum conversion at the end of the intensive phase. However, there was an association between low concentration of both drugs and the Cmax/MIC ratio of isoniazid and sputum conversion at the end of the intensive phase.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiona Natania Kurniadi
"Acute Kidney Injury (AKI) merupakan komplikasi serius yang umum terjadi pada pasien rawat inap. Berdasarkan penelitian tahun 2005, terjadi peningkatan insiden dan keparahan AKI hingga 50% akibat penggunaan obat selama rawat inap. Salah satu tugas apoteker di RS adalah melakukan pemantauan terapi obat, terdapat beberapa obat di RSUI yang dinilai mampu menginduksi terjadinya AKI. Oleh karena itu, dilakukan pembuatan daftar obat yang dapat menginduksi terjadinya AKI serta studi kasus terjadinya AKI pada pasien rawat inap akibat penggunaan obat di RSUI pada bulan Maret 2023. Daftar obat penginduksi AKI dibuat berdasarkan studi literatur dari pustaka tahun 2005 – 2023 kemudian obat dikategorikan berdasarkan kelas terapi obat. Sedangkan, studi kasus dilaksanakan secara retrospektif menggunakan data sekunder pasien rawat inap RSUI pada bulan Maret 2023 yaitu rekam medis salah satu pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terdapat 26 obat yang mampu menginduksi AKI di RSUI. Berdasarkan studi kasus, terapi ramipril diduga mampu meningkatkan risiko terjadinya AKI pada salah satu pasien RSUI yang dinilai berdasarkan peningkatan nilai serum kreatinin dan penurunan nilai GFR. Ramipril diduga menjadi penyebab peningkatan risiko terjadinya AKI berdasarkan angka prevalensinya sebesar 28%, adanya riwayat perbaikan fungsi ginjal saat penghentian obat, serta fungsi ginjal yang kembali memburuk ketika terapi ramipril kembali dilanjutkan. Penilaian kondisi pasien menggunakan instrumen naranjo dibutuhkan untuk mengonfirmasi insiden terjadinya AKI akibat ramipril.

Acute Kidney Injury (AKI) was a serious complication that commonly occurs in inpatients. Based on a study in 2005, there was an increase in the incidence and severity of AKI up to 50% due to drug induce during hospitalization. One of the responsibilities of the pharmacist in the hospital was to perform drug therapy monitor and several drugs in RSUI were considered likely to induce AKI. Therefore, a list of drugs induced AKI was created, and a case study of drug-induced AKI in hospitalized patients at RSUI in March 2023 was performed. The list of drugs induced AKI was made based on a literature study from 2005 – 2023, then the drugs were categorized based on the drug therapy class. Meanwhile, the case study was carried out retrospectively using secondary data from hospitalized patients at RSUI in March 2023, which was the medical records from one of the patients who met the inclusion and exclusion criteria. There are 26 drugs-induced AKI in RSUI. Based on the case study, ramipril therapy was thought to be likely to increase the risk of developing AKI in one of the RSUI patients as assessed by the increase of creatinine serum and the decrease GFR values. Ramipril is thought to be the cause of the increased risk of AKI based on its prevalence rate which was 28%, history of improvement in kidney function when stopping the drug, and worsened kidney function when ramipril therapy is resumed. Assessment of the patient's condition using the Naranjo instrument is needed to confirm the incidence of AKI due to ramipril."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prijander L.B Funay
"Latar Belakang:Keterlambatan penanganan pasien STElevation Myocardial Infarction(STEMI)menjadi penyebab tingginya mortalitas dan kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Events). Di Indonesia, pasien pasien STEMI sering mengalami keterlambatan penanganan. Upaya yang dapat dilakukan di fasilitas kesehatan dengan kemampuan Primary Percutaneous Coronary Intervention(PCI) adalah mencapai reperfusi tepat waktu pasien STEMI. Berbagai strategi dilakukan untuk mencapai reperfusi tepat waktu diantaranya dengan menerapkan program CODE STEMI. Program CODE STEMI merupakan notifikasi STEMI melalui sistem panggilan tunggal yang dapat mempercepat waktu reperfusi pasien STEMI di rumah sakit.
Tujuan:Mengetahui pengaruh penerapan program CODE STEMI terhadap Door to Balloon Time (D2BT) dan MACE pasien STEMI yang menjalani PrimaryPCI di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode:Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada 255 rekam medis pasien STEMI yang menjalani PrimaryPCI di RSUPN Cipto Mangunkusumo sebelum penerapan program CODE STEMI (2015-2016) dan sesudah penerapan program CODE STEMI (2017-2018). Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan uji Mann whitney untuk D2BT dan chi square untuk MACE.
Hasil:Terdapat 111 pasien pada kelompok Non CODE STEMI dan 144 pasien pada kelompok CODE STEMI. D2BT berkurang bermakna 110 menit dari 275 (99-2356) menit pada kelompok Non CODE STEMI menjadi 165 (67-1165) menit pada kelompok CODE STEMI (p <0.001). Kejadian MACE (48,4% vs 51,6%; p = 0,120), gagal jantung (46,6% vs 42 %; p = 0,288), syok kardiogenik (27% vs 19,4%; p = 0,152), aritmia (12,6% vs 6,2%; p = 0,079), stroke (4,5% vs 5,6%; p = 0,705) dan angka mortalitas (7,2% vs 3,5%; p = 0,179) sama antara kedua kelompok.Kejadian infark berulang dan PCI ulang berkurang bermakna pada kelompok CODE STEMI (4,5% vs 0,7%; p = 0.047, 2,7% vs 0,0%; p = 0.047).
Simpulan:Program CODE STEMI memperbaiki D2BT. Program CODE STEMI tidak menurunkan kejadian MACE.

Background: Delay in the management of ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)patients is a cause of high mortality and the incidence of Major Adverse Cardiac Events (MACE).In Indonesia, STEMI patients often experience delays in treatment. Efforts that can be made in health facilities with Primary PercutaneousCoronary Intervention(PCI)capability are achieving timely reperfusion of STEMI patients. Various strategies were carried out to achieve timely reperfusion including implementationthe CODE STEMI program. The CODE STEMI program is a STEMI notification through a single call system that can speed up the reperfusion time of STEMI patients in the hospital.
Objective:To determine the effect of the implementation of the CODE STEMI program on Door to Balloon Time (D2BT) and MACE of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital Jakarta.
Methods: This was a retrospectivecohort study on 255 medical records of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital before the application of the CODE STEMI program (2015-2016) and after the application of the CODE STEMI program (2017-2018). Data analysis was performed quantitatively by Mann Whitney test for D2BT and chi square for MACE
Results:There were 111 patients in the Non CODE STEMI group and 144 patients in the CODE STEMI group. D2BT decreased significantly 110 minutes from 275 (99-2356) minutes in the Non CODE STEMI group to 165 (67-1165) minutes in the CODE STEMI group (p <0.001). MACE events (48.4% vs 51.6%; p= 0.120), heart failure (46.6% vs 42%; p = 0.288), cardiogenic shock (27% vs 19.4%; p = 0.152), arrhythmia (12.6% vs 6.2%; p = 0.079), stroke (4.5% vs 5.6%; p = 0.705) and mortality rate (7.2% vs 3.5%; p = 0.179 ) were similar between the two groups. The incidence of reinfarction and repeated PCI was significantly reduced in the CODE STEMI group (4.5% vs 0.7%; p = 0.047, 2.7% vs 0.0%; p = 0.047).C
onclusions:The CODE STEMI program reduces D2BT. The CODE STEMI program did not reduce the overall MACE incidence but reduced the incidence of reinfarction and repeated PCI of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahadi Rihatmadja
"Sepengetahuan penulis, belum ada data koinfeksi VHS-2 dan T. pailidum pada individu yang terinfeksi HIV di Indonesia. Mengingat tingginya transmisi HIV melalui rute heteroseksual di Indonesia maka kiranya perlu dilakukan penelitian mengenai prevalensi kedua 1MS tersebut. Data yang diperoleh diharapkan dapat berguna bagi program pencegahan transmisi HIV di Indonesia. Diagnosis infeksi kedua IMS pada penelitian ini akan dinyatakan dengan kepositivan pemeriksaan serologik antibodi terhadap VHS-2 serta RPR dan TPHA.
Penelitian ini akan dilakukan di Poliklinik Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kelompok ini dibentuk sejak ,kasus AIDS ditemukan pertama kali di Indonesia tahun 1986. Pokdisus AIDS mengerjakan berbagai aktivitas yang terkait dengan pengendalian HIVIAIDS, termasuk pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan, Iayanan telepon hotline khusus AIDS, konseling dan pemeriksaan laboratorium, akses ke fasilitas diagnostik dan pengobatan, dan juga berfungsi sebagai pusat rujukan. Dalam kegiatannya tersebut Pokdisus AIDS telah membantu Iebih dari 1000 orang penderita infeksi HIVIAIDS memperoleh ()bat antivirus sejak tahun 1999. Dalam dua tahun terakhir, Pokdisus AIDS menangani kira-kira 700-800 kasus infeksi HIV baru. Selain kegiatan medis, Pokdisus AIDS juga melakukan berbagai penelitian pada populasi penderita HIVIAIDS khususnya di Jakarta. Dari penelitian yang pemah dilakukan, dapat dikemukakan di sini bahwa herpes simpleks merupakan salah satu infeksi oportunistik yang sering dijumpai, dan infeksi HIV di kalangan IDU amat tinggi, hingga mencapai 80%.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
5
1. Berapakah proporsi kepositivan pemeriksaan antibodi (IgG) terhadap VHS-2 pada pasien HIV/AIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
2. Berapakah proporsi kepositivan pemeriksaan serologik terhadap Treponema pallidum (RPR dan TPHA) pada pasien HIVIAIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
3. Faktor sosiodemografi dan perilaku seksual apakah yang berhubungan dengan kepositivan pemeriksaan IgG VHS-2, RPR dan TPHA pada pasien HIVIAIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21451
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
616.522 INF
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Erawita Endy Moegni
"Infeksi menular seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar, balk di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Di beberapa negara berkembang IMS pada usia dewasa muda bahkan menempati kelompok lima besar kunjungan ke fasilitas kesehatan.
Dalam konteks kesehatan reproduksi, IMS berkaitan dengan infeksi saluran reproduksi (ISR). Kesehatan reproduksi adalah keadaan proses reproduksi dalam kondisi sehat mental, fisik, maupun sosial terpenuhi dan tidak hanya babas dari penyakit atau kelainan pada proses reproduksi tersebut. Secara gender, wanita memiliki risiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan dengan kehamilan dan persalnan, jugs terhadap penyakit kronik dan infeksi. Berbagai jenis IMS pada wanita dapat menyebabkan ISR yang dapat menimbulkan bukan hanya keluhan fisik, ,gangguan psikologis, maupun gangguan keharmonisan perkawinan, namun dapat dapat disertai komplikasi yang lebih lanjut. Hal tersebut terjadi terutama karena keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak tepat, terutama untuk jenis IMS dan ISR pada wanita yang tidak menimbulkan gejala khas. Komplikasi IMS atau ISR pada wanita dapat berupa penyakit radang panggul (PRP), kehamilan di luar kandungan, kanker serviks, infertilitas, serta kelainan pada bayi dalam kandungan, misalnya beret badan lahir rendah (BBLR), prematuritas, infeksi kongenital danlatau perinatal serta bayi lahir mati. Separuh dari wanita dengan IMS di Indonesia mungkin tidak menyadari bahwa mereka menderita IMS karena ketidakmampuan untuk mengenali gejalanya, sehingga sebagian besar dari mereka tidak berobat. Infeksi menular seksual dan ISR merupakan masalah kesehatan masyarakat serius namun tersembunyi, sehingga sering disebut sebagai the hidden epidemic.
Prevalensi IMS yang paling banyak diteliti pada wanita adalah pada kelompok populasi risiko tinggi, misalnya pada wanita penjaja seks (WPS). Sedangkan pada kelompok populasi risiko rendah, prevalensi IMS pada wanita yang juga pernah diteliti, misalnya ibu hamil atau pengunjung klinik keluarga berencana (KB).
Tiga di antara IMS yang sering tidak menimbulkan gejala atau asimtomatis adalah sifilis, infeksi virus herpes simpleks (VHS), dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Sejauh ini pemeriksaan serologik ke-3 penyakit tersebut hanya dilakukan bila terdapat kecurigaan klinis maupun riwayat perilaku yang berisiko tinggi pada pasien. Setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda-beda terhadap pemeriksaan ke-3 penyakit di atas pada wanita hamil, termasuk di Indonesia sendiri belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut.
Pola distribusi IMS bergantung pada berbagai penyebab, antara lain faktor lingkungan, budaya, biologis, dan perilaku seksual yang salah atau berisiko tinggi. Faktor lingkungan dan budaya, dalam hal ini perubahan nilai, misalnya kebebasan individu dalam masyarakat dan mundurnya usia pernikahan berperan besar dalam peningkatan insidens IMS secara umum. Faktor biologis, misalnya perbaikan gizi secara umum akan menyebabkan makin mudanya usia menarche pada remaja putri.' Hal ini menyebabkan kesenjangan antara kematangan biologis dengan usia menikah, sehingga sering terjadi kehamilan remaja. Sedangkan perilaku seksual berisiko, misalnya berganti-ganti pasangan seksual dan hubungan seks pranikah.1 Faktor risiko yang dihubungkan dengan sifilis, infeksi VHS tipe-2 dan infeksi HIV antara lain: status sosio-ekonomi rendah, lamanya melakukan aktivitas seksual, jumlah pasangan seksual multipel, promiskuitas, penggunaan narkotika, serta riwayat IMS lain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>