Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173143 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Niniarty Z. Djamal
"The purpose of this study was to evaluate the effects of ovariectomy, the influences of estrogen replacement therapy and / or suplemen CavitD3 on mandible's calsium contents of animal's models. Forty-five female rats were used in this researched. Five rats were sacrificed for unoperated basal controls and the others were bilaterally ovariectomized. The ovariectomized animals were devided into 8 groups and two of these groups were only ovariectomized, the others were treated by estrogen replacement therapy. CavitD3 and combination of both per oral for 2 and 4 weeks and then were sacrificed. Mandible's calsium contents were analyzed by Ion Selective Electrode methode after demineralized with 10% phosphoric acid for 24 hours. Result : there were significant increased of mandible's calcium content at 2 weeks post-ovariectomy, but the results decreased at 4 weeks post-ovariectomy. Estrogen replacement therapy and treated with CavitD3 for 2 and 4 weeks or combination of both for 2 weeks increased the mandible's calsium contents of ovariectomized rats, but therapy combination with estrogen and CavitD3 for 4 weeks had a protective effect to mandible's calsium contents of ovariectomized rats."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Indonesian Journal of Dentistry 2006; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 329-332.
Some researchers stated that osteoporosis in other bones will also be accompanied by a decrease in mandibular bone density. So that several risk factors for osteoporosis in other bones will also become risk factors for mandibular bone osteoporosis. Calcium intake, body mass index, and estrogen level were risk factors analyzed in this study. Mandibular bone density is important to maintain because of its relation with loss of teeth and success rate of prosthodontic treatment. The study design was unmatched case control. The subjects were taken from 226 postmenopausal women between 50-75 years of age, who fulfill the inclusion. One hundred and nine subjects with normal mandibular bone density categorized as cases and 117 subjects with mandibular bone osteoporosis categorized as controls. Mandibular bone density was analyzed using intra oral periapical radiograph. The result of this study showed that calcium intake was the main protecting factors for mandibular bone osteoporosis (OR=3,789), followed by body mass index (OR=2,184), and estrogen level (OR=1,017). "
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rifanny Adelia Dewinasjah
"Osteoporosis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya penurunan massa tulang yang parah sehingga meningkatkan risiko terjadinya retak atau patah tulang. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian aspirin dosis tinggi (300 mg) terbukti dapat menurunkan kadar Sphingosine-1-Phosphate (S1P) dalam plasma. Kadar rendah S1P dalam darah dapat mengaktifkan S1PR1 yang dapat mengarahkan prekursor osteoklas kembali ke darah sehingga proses osteoklastogenesis dapat terhambat. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian aspirin dengan kombinasi kalsium secara in vivo. Penelitian ini menggunakan tikus putih betina Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 8 kelompok, yaitu sham dan kontrol negatif yang diberikan 1ml CMC Na 0,5%, kontrol positif diberikan tamoksifen sitrat 3,6 mg/200 g BB/hari, kelompok aspirin diberikan aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari, kelompok kalsium diberikan kalsium sitrat 15 mg/200 g BB/hari, serta 3 kelompok variasi dosis aspirin dalam kombinasi dengan kalsium sitrat yaitu D1 aspirin 1,8 mg/200 g BB/hari, D2 aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari, D3 aspirin 16,2 mg/200 g BB/hari dimana ketiga variasi dosis tersebut dikombinasikan dengan dosis kalsium sitrat 15 mg/200 g BB/hari secara peroral. Semua tikus dilakukan ovariektomi, kecuali kelompok sham dilakukan pembedahan tanpa pengambilan ovarium. Tikus dipelihara 4 minggu pasca operasi, lalu diberi perlakuan selama 28 hari. Parameter pertama yang diukur adalah berat tulang tibia dengan rata-rata kelompok sham 321,90 ± 10,39 mg, kontrol negatif 272,300 ± 54,18 mg, kontrol positif 312,50 ± 40,86 mg, aspirin 336,67 mg, kalsium 335, 90 ± 60,66 mg, D1 346,27 ± 83,90 mg, D2 377,00 ± 36,10 mg, dan D3 336,67 ± 4,5 mg. Parameter kedua yang diukur adalah kadar kalsium dengan rata-rata kelompok kelompok sham 111,08 ± 4,74 mg, kontrol negatif 89,30 ± 23,94 mg, kontrol positif 109,69 ± 20,25 mg, aspirin 123,01 ± 17,98 mg, kalsium 124,53 ± 32,11 mg, D1 120,19 ± 3,63 mg, D2 149,22 ± 17,13 mg, dan D3 121,60 ± 5,21 mg. Berdasarkan penelitian, pengaruh pemberian dosis kombinasi aspirin 5,4 mg/200 g BB/hari dan dosis kalsium 15 mg/200 g BB/hari pada tikus dapat meningkatkan berat dan kadar kalsium tulang tibia secara efektif.

Osteoporosis is a disease characterized by a severe decrease in bone mass that increases the risk of fractures. Previous studies have shown that high-dose aspirin (300 mg) has been shown to reduce plasma levels of Sphingosine-1-Phosphate (S1P). Low levels of S1P in the blood can activate S1PR1 which can direct osteoclast precursors back to the blood so that the process of osteoclastogenesis can be inhibited. This study was conducted to evaluate the effect of aspirin and calcium combination in vivo. This study used female Sprague-Dawley rats which were divided into 8 groups, namely sham and negative control which were given 1ml CMC Na 0.5%, positive control was given tamoxifen citrate 3.6 mg/200 g BW/day, aspirin group was given aspirin. 5.4 mg/200 g BW/day, the calcium group was given calcium citrate 15 mg/200 g BW/day, as well as 3 groups with variations in the dose of aspirin in combination with calcium citrate, namely D1 aspirin 1.8 mg/200 g BW/day, D2 aspirin 5.4 mg/200 g BW/day, D3 aspirin 16.2 mg/200 g BW/day where the three variations of the dose were combined with a dose of calcium citrate 15 mg/200 g BW/day. All rats were ovariectomized, except for the sham group which underwent surgery without removing the ovaries. After 4 weeks of ovariectomy, rats were treated for 28 days orally. The first parameter that was measured was the mass of the tibia bone with the average for bone mass in each group are 321.90 ± 10.39 mg for sham group, 272.300 ± 54.18 mg for negative control, 312.50 ± 40.86 mg for positive control, 336.67 mg for aspirin group, 335, 90 ± 60.66 mg for calcium group, 346.27 ± 83.90 mg for D1, 377.00 ± 36.10 mg for D2, and 336.67 ± 4.5 mg for D3. The second parameter measured was calcium levels with the average for calcium levels in each group are 111.08 ± 4.74 mg for sham group, 89.30 ± 23.94 mg for negative control, 109.69 ± 20.25 mg for positive control, 123.01 ± 17.98 mg for aspirin group, 124.53 ± 32.11 mg for calcium group, 120.19 ± 3.63 mg for D1, 149.22 ± 17.13 mg for D2, and 121.60 ± 5.21 mg for D3. Based on the research, the effect of a combination dose of aspirin 5.4 mg/200 g BW/day and calcium dose 15 mg/200 g BW/day in rats can increase the weight and calcium levels of the tibia bone effectively."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mirwan
"Latar belakang. Hubungan antara hormon estrogen pramenopause dan reseptor estrogen masih belum diketahui. Hormon estrogen memiliki faktor risiko penyebab kanker payudara. Sedangkan reseptor estrogen berperan dalam menentukan rencana pengobatan lebih lanjut pada pasien kanker payudara. Pasien dengan reseptor estrogen tinggi memiliki prognosis yang lebih baik. Jika hormon estrogen pramenopause dapat mempengaruhi reseptor estrogen, maka hormon estrogen dapat dimanipulasi untuk mendapatkan prognosis yang lebih baik.
Metode. Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Onkologi Departemen Bedah FK UI - RSCM dari bulan Desember 2021 sampai Mei 2022. Jenis penelitian ini adalah studi potong lintang, dengan sampel sebanyak 32 subjek. Subyek penelitian diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah itu data dikumpulkan dan dilakukan analisis menggunakan SPSS dengan uji korelasi Pearson jika berdistribusi normal dan Spearman jika berdistribusi tidak normal.
Hasil. Estradiol subjek memiliki kisaran 15,3-89,8 pg/mL. Reseptor estrogen memiliki kisaran luas 10-90%. Uji korelasi Spearman antara estradiol dan reseptor estrogen menunjukkan nilai p = 0,864 dan koefisien korelasi negatif 0,032.
Kesimpulan. Hormon estrogen secara statistik tidak berhubungan dengan reseptor estrogen pada pasien kanker payudara pramenopause, sehingga menggambarkan bahwa prognosis pasien kanker payudara tidak berhubungan dengan hormon estrogen yang diproduksi oleh tubuh.

Background. The relationship between the premenopausal estrogen hormone and estrogen receptors is still not known. The hormone estrogen has a risk factor for causing breast cancer. Meanwhile, the estrogen receptor plays a role in determining further treatment plans in breast cancer patients. Patients with high estrogen receptors have a better prognosis. If the premenopausal estrogen hormone can affect the estrogen receptor, then the estrogen hormone can be manipulated to get a better prognosis.
Method. This research was conducted at the Oncology Division of the Department of Surgery, FK UI - RSCM from December 2021 to May 2022. This was cross-sectional study research, with a sample of 32 subjects. Research subjects were taken based on inclusion and exclusion criteria. After that, the data was collected and analysis was done using SPSS with the Pearson correlation test if the distribution was normal and Spearman if the distribution was not normal.
Results. The estradiol of the subjects has a range of 15.3 − 89.8 pg/mL. Estrogen receptors ​​have a wide range of 10-90%. The Spearman correlation test between the estradiol and the estrogen receptor showed a p-value = 0.864 and a negative correlation coefficient of 0.032.
Conclusion. Estrogen hormone is not statistically associated with estrogen receptors in premenopausal breast cancer patients, thus illustrating that the prognosis of breast cancer patients is not related to the estrogen hormone produced by the body.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Data Angkasa
"Pada tahun 2000, harapan hidup wanita Indonesia meningkat menjadi 67,5 tahun dan kelompok usia tua akan mencapai 8,2% dari seluruh populasi Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010, usia harapan hidup wanita Indonesia akan mencapai 70 tahun. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, maka akan terjadi peningkatan penyakit-penyakit tua, khususnya pada wanita kejadian penyakit usia ma ini dihubungkan dengan penurunan kadar hormon estrogen. Penurunan hormon ini telah dimulai sejak usia 40 tahun.
Menopause sebagai akibat dari penurunan kadar hormon estrogen pada wanita akan memberikan gejala-gejala yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ. Gejala-gejala yang mungkin timbul dibagi menjadi efek jangka pendek maupun jangka panjang. Efek jangka pendek adalah gejala vasomotorik (hot flushes, jantung berdebar, sakit kepala), gejala psikologik (gelisah, lekas marah, perubahan perilaku, depresi, gangguan libido), gejala urogenital (vagina kerng, keputihan, gatal pada vagina, iritasi pada vagina, inkontinensia urin), gejala pada kulit (kering, keriput), gejala metabolisme (kolesteroi tinggi, HDL turun, LDL naik). Sedangkan efek jangka panjang meliputi osteoporosis, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, stroke sampai kanker usus besar.
Usia menopause perempuan di negara maju seperti di Amerika Serikat dan Inggcis adalah 51,4, sedangkan di negara-negara Asia Tenggara adalah 51,09 tahum. Usia menopause untuk perempuan Indonesia adalah 50 tahun. Jika usia harapan hidup wanita Indonesia adalah 70 tahun, maka hampir 20 tahun lamanya mereka akan mengalami berbagai masalah kesehatan akibat kekurangan hormon estrogen. Dampaknya adalah kualitas hidup kaum perempuan akan berkurang. Gejala klimakterik disebabkan oleh kekurangan hormon estrogen, maka pengobatannya adalah dengan pemberian hormon estrogen dari luar tubuh, yang dikenal dengan dengan istilah Hormone replacement therapy (HRT) atau istilah dalam bahasa Indonesia Terapi Sulih Hormon (TSH). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa pemberian TSH pada perempuan menopause dapat menghilangkan keluhan klimakterik, bahkan mencegah terjadinya patah tulang, penyakit jantung koroner, kanker usus besar, dementia ripe Alzheimer dan katarak. Dengan kata lain pemberian TSH dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan menopause."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Rizky Prasetyaning
"Osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan rendahnya massa tulang yang menyebabkan peningkatan risiko patah tulang. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aspirin dapat mengurangi kadar S1P (Sphingosine-1-Phosphate) sehingga resorpsi tulang akibat osteoklas dapat menurun. Kombinasi aspirin dan kalsium digunakan dalam penelitian ini untuk melihat pengaruhnya terhadap jumlah sel osteoklas. Penelitian ini dilakukan pada tikus putih betina Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 8 kelompok yaitu kelompok sham dan kontrol negatif yang diberikan CMC Na 0,5%, kelompok kontrol positif yang diberikan tamoksifen 3,6 mg/200 gBB/hari, kelompok aspirin yang diberikan aspirin 5,4 mg/200gBB/hari, kelompok kalsium yang diberikan kalsium 15 mg/200 g BB/hari, serta kelompok kombinasi aspirin dan kalsium dengan masing-masing dosisnya yaitu D1 aspirin 1,8 mg/200 g BB/hari dan kalsium 15 mg/200gBB/hari; D2 aspirin 5,4 mg/200gBB/hari dan kalsium 15 mg/200gBB/hari; dan D3 aspirin 16,2 mg/200gBB/hari dan kalsium 15 mg/200gBB/hari secara peroral. Sebelum pemberian obat, semua tikus dibedah ovariektomi kecuali kelompok sham dan kontrol negatif yang dibedah sham. Setelah pembedahan, tikus dipelihara selama 28 hari kemudian diberikan obat. Parameter yang diukur adalah berat tulang tibia dan jumlah sel osteoklas yang dilihat secara histopatologi dengan pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin). Berat tulang tibia kelompok sham 321,90±10,39mg, kontrol negatif 272,30±54,18mg, kontrol positif 312,50±40,86mg, aspirin 336,67±29,57mg, kalsium 335,90±60,66mg, D1 346,27±83,91mg, D2 377,00±4,51mg, D3 366,67±48,52mg. Jumlah sel osteoklas kelompok sham 7,8±0,4sel/lapang pandang, kontrol negatif 9,13±1,10sel/lapang pandang, kontrol positif 8,13±1,67sel/lapang pandang, aspirin 7,53±1,52sel/lapang pandang, kalsium 7,67±0,64sel/lapang pandang, D1 7,47±0,31sel/lapang pandang, D2 5,33±0,99sel/lapang pandang, D3 7,67±0,31sel/lapang pandang. Hasil ini menunjukkan bahwa aspirin dan kalsium dapat meningkatkan berat tulang dan menurunkan jumlah sel osteoklas.

Osteoporosis is a bone disease characterized by low bone mass which causes an increased risk of fracture. Previous study have shown that aspirin can reduce S1P (Sphingosine-1-Phosphate) levels so that bone resorption due to osteoclasts can decrease. The combination of aspirin and calcium was used in this study to see its effect on the number of osteoclasts. This study was conducted on female white Sprague-Dawley rats which were divided into 8 groups, sham, negative control groups were given 0.5% CMC Na, positive control group was given tamoxifen 3.6 mg/200gBW/day, aspirin group was given 5.4 mg/200gBW/day, calcium group was given calcium 15 mg/200gBW/day, and the aspirin and calcium combination group with each dose of D1 aspirin 1.8 mg/200gBW/day and calcium 15 mg/200gBW/day, D2 aspirin 5.4 mg/200gBW/day and calcium 15 mg/200gBW/day, and D3 aspirin 16.2 mg/200gBW/day and calcium 15 mg/200gBW/day orally. All rats were ovariectomized except for the normal group and the negative control group which underwent sham surgery. The rats were kept for 28 days and then given the drug. The parameters measured were the weight of the tibia bone and the number of osteoclasts seen histopathologically with HE (Hematoxylin-Eosin) staining. Weight of tibia bone are 321.90±10.39mg for sham, 272.30±54.18mg for negative control, 312.50±40.86mg for positive control, 336.67±29.57mg for aspirin, 335.90±60.66mg for calcium, 346.27±83.91mg for D1, 377.00±4.51mg for D2, 366.67±48.52mg for D3. The number of osteoclasts in cells/field of view are 7.8±0.4 for sham, 9.13±1.10 for negative control, 8.13±1.67 for positive control, 7.53±1.52 for aspirin, 7.67±0.64 for calcium, 7.47±0.31 for D1, 5.33±0.99 for D2, 7.67±0.31 for D3. The result is the combination of aspirin and calcium can increase bone weight and decrease the number of osteoclasts.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqa Inasa Syahrila
"Osteoporosis merupakan masalah kesehatan yang dicirikan dengan menurunnya massa dan struktur tulang yang menyebabkan kerapuhan dan patah tulang. Pada penelitian sebelumnya analog L-serin H-Ser(tBu)-OMe.HCl, terbukti dapat mengatasi gejala osteoporosis dengan meningkatkan massa tulang melalui penghambatan Serine Palmitoyltransferase (SPT). Pada penelitian ini, dilakukan eksperimen secara in vivo pada analog serin yang terbukti menghambat SPT yaitu L-sikloserin. Penelitian ini menggunakan tikus putih betina Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu sham dan kontrol negatif yang diberikan 1ml NaCl 0,9%, kontrol positif diberikan natrium alendronat 1mg/kg BB/hari, serta 3 kelompok variasi dosis L-sikloserin dengan D1 0,9mg/kg BB/hari, D2 1,8mg/kg BB/hari, dan D3 3,6mg/kg BB/hari dengan injeksi intraperitoneal. Semua tikus dilakukan ovariektomi, kecuali kelompok sham dilakukan pembedahan tanpa pengambilan ovarium. Tikus dipelihara 4 minggu pasca operasi, lalu diberi perlakuan selama 28 hari. Parameter yang diukur adalah berat tulang dengan rata-rata kelompok sham 255,9±3,12mg, kontrol negatif 212,1±7,90mg, kontrol positif 268,93±11,12mg, D1 284,50±28,59mg, D2 294,73±15,96mg, dan D3 277,43±24,38mg; kadar kalsium tulang dengan sham54,93±7,72mg, kontrol negatif 44,37±4,86mg, kontrol positif 53,26±3,16mg, D1 53,73±1,22mg, D2 58,45±6,29mg, serta D3 53,35±1,62mg; serta jumlah osteoklas dihitung secara histopatologi menggunakan pewarnaan TRAP dengan hasil sham 26,6±2,88sel/lapang pandang, kontrol negatif 61,27±14,64sel/lapang pandang, kontrol positif 21,6±3,5sel/lapang pandang, D1 29,2±1,31sel/lapang pandang, D2 22,53±1,45sel/lapang pandang, dan D3 28,4±11,93sel/lapang pandang. Berdasarkan penelitian, L-sikloserin meningkatkan berat dan kadar kalsium tulang, serta dapat menurunkan jumlah sel osteoklas.

Osteoporosis is characterized by decreasing bone mass and bone structure, causing bone fragility and fracture. L-serine analog H-Ser(tBu)-OMe.HCl, has been known to increase BMD and inhibit Serine Palmitoyltransferase (SPT) thus inhibits osteoclastogenesis. In this study, we evaluated another L-serine analog which is SPT inhibitor, L-cycloserine. This experiment is done by using Sprague-Dawley rats, divided into 6 different groups: sham and negative control were given 1ml of NaCl 0.9%, positive control was given 1mg/kg/day of sodium alendronate and the last 3 groups D1, D2, and D3 were given 0.9mg/kg/day, 1.8mg/kg/day, and 3.6mg/kg/day of L-cycloserine respectively. Ovariectomy was performed on all groups except for sham which underwent surgery without ovarium removal. After 4 weeks of ovariectomy, rats were treated for 28 days by intraperitoneal injection. Bone mass, calcium content, and osteoclast number histopathologically counted using TRAP staining were determined after 28 days of treatment. Mean bone mass in each group are 255.9±3.12mg for sham, 212,1±7.90mg for negative control, 268.93±11.12mg for positive control, 284.50±28.59mg for D1, 294.73±15.96mg for D2, and 277.43±24.38mg for D3. Mean calcium content in each group are 54.93±7.72 mg for sham, 44.37±4.86 mg for negative control, 53.26±3.16 mg for positive control, 53.73±1.22 mg for D1, 58.45±6.29 mg for D2, and 53.35±1.62 mg for D3. Mean of osteoclast numbers in cell/microscopic field of view are 26.6±2.88, 61.27±14.64, 21.6±3.5, 29.2±1.31, 22.53±1.45, 28.4±11.93 for sham, negative control, positive control, D1, D2, and D3 groups respectively. The results showed that L-cycloserine increases bone mass and calcium content, and reduces the number of osteoclasts.
"
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S70509
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Tirsa Verani K.
"Latar belakang: Peran estrogen pada patofisiologi endometriosis sudah dikenal sejak lama. Namun, belum ada studi yang menganalisis rasio estradiol, estron dan estriol antara wanita dengan dan tanpa endometriosis.
Tujuan: Menganalisis kadar estron (E1), estradiol (E2) dan estriol (E3) dalam darah dan rasio E2:E1, E2:E3 dan E1:E3 antara wanita dengan dan tanpa endometriosis.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang analitik, dengan 27 wanita dengan endometriosis dan 27 wanita tanpa endometriosis yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel didapatkan dari RS Cipto Mangunkusumo dan rumah sakit jejaring lainnya periode Oktober 2012 - April 2013. Kadar metabolit estrogen dalam darah diperiksa dengan uji enzyme-linked immunosorbent (ELISA). Perbandingan data antara dua kelompok dianalisis dengan uji Mann-Whitney.
Hasil: Kadar estron ditemukan lebih rendah pada kelompok endometriosis dibandingkan kelompok kontrol (54,66 pg/ml vs 73,52 pg/ml, p 0,229). Demikian pula, kadar estradiol dan estriol lebih rendah pada kelompok endometriosis (29 pg/ml vs 35 pg/ml, p 0,815 dan 1,11 pg/ml vs 1,67 pg/ml, p 0.095, berturut-turut). Rasio E2:E1 lebih tinggi pada kelompok endometriosis (0,51 pg/ml vs 0,38 pg/ml, p 0,164), demikian pula dengan rasio E2: E3 (26,53 pg/ml vs 21,11 pg/ml , p 0,223) dan rasio E1:E3 (58,55 pg/ml vs 50,28 pg/ml, p 0,684). Namun, semua perbedaan itu tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Kadar estron, estradiol, dan estriol pada wanita dengan kelompok endometriosis lebih rendah dibandingkan pada wanita tanpa endometriosis. Rasio E2: E1, E2: E3 dan E1: E3 lebih tinggi pada kelompok endometriosis. Namun, semua perbedaan itu tidak bermakna secara statistik.

Background: The role of estrogen in the pathophysiology of endometriosis has been well known. However, no study has observed the ratio of estradiol, estrone, and estriol between women with endometriosis and without endometriosis.
Objectives: To assess the estrone (E1), estradiol (E2) and estriol (E3) blood level and its ratio (E2:E1, E2:E3 and E1:E3) between women with and without endometriosis.
Methods: An analytical cross sectional study with 27 women with endometriosis and 27 women without endometriosis who met the inclusion criteria. The samples were recruited in Cipto Mangunkusumo hospital and other satellite hospitals from October 2012 to April 2013. The blood level of estrogen metabolites was examined by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The data comparison between two groups was analyzed by using Mann-Whitney test.
Result: The level of Estrone was found to be lower in endometriosis group compared to this in control group (54,66 pg/ml vs 73,52 pg/ml, p 0.229). Similarly, the level of estradiol and estriol were lower in endometriosis group (29 pg/ml vs 35 pg/ml, p 0.815 and 1,11 pg/ml vs 1,67 pg/ml, p 0.095, consecutively). The E2:E1 ratio was higher in endometriosis group (0,51 pg/ml vs 0,38 pg/ml, p 0.164), as well as E2:E3 ratio (26,53 pg/ml vs 21,11 pg/ml, p 0.223) and the E1:E3 ratio (58.55 vs 50.28, p 0.684). However, all those differences were not statistical significant.
Conclusion: The estrone, estradiol and estriol level in women with endometriosis group was lower compared to these in women without endometriosis group. The ratio E2:E1, E2:E3 and E1:E3 was higher in endometriosis group. However, all those differences were statistically insignificant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>