Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177935 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Indonesia's diverse geography, politics, economic, religion, culture and language contribute to wide diversity in the enjoyment of human rights. The dignity of individual cannot and should not be divided into two spheres-that of civil and political rights and that of economic, social and cultural rights."
300 JHAM 4 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia has just ratified the two most important international human rights covenants, namely, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR)."
300 JHAM 4 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"After incorporation of International Covenant on Economic, Social and Culture Rights by law No.11/2005, Indonesia are legally binding to implement all state parties obligation as contained in the covenant."
300 JHAM 4 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ratification of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) is considered as an important achievement of the human right struggle in Indonesia. Despite of this progressive episode in the history of human rights developments in Indonesia."
300 JHAM 4 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"The ratification of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) has brought new obligations for the government of the Republic of Indonesia. These obligations consists of general obligation and specific obligation"
300 JHAM 4 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Kartika Riama
"Kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Hal ini telah diakui dalam instrumen hukum internasional, regional dan nasional. Sebagai hak asasi, hak tersebut harus dipenuhi berdasarkan prinsip non-diskriminasi, kesetaraan, dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) 1966 merupakan kovenan hukum yang paling signifikan dalam mengatur hak atas kesehatan secara umum. Hak atas kesehatan atau right to health sendiri diartikan sebagai hak setiap orang untuk mendapatkan fasilitas, produk, dan layanan kesehatan, (atau dengan kata lain, bukan sebagai hak dalam pengertian ?right to be healthy?). Ruang lingkup hak atas kesehatan sangatlah luas, yang juga mencakup faktor-faktor penentu kesehatan (determinants of health) dengan komponen-komponen penting, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, akseptabilitas, dan kualitas. Kewajiban yang timbul bagi negara untuk memenuhi hak tersebut tidaklah cukup melalui langkah legislatif melainkan langkah-langkah lain yang perlu dengan memanfaatkan sumber daya secara maksimal.
Indonesia telah meratifikasi kovenan ini melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 dan dengan demikian terikat pada ketentuan-ketentuan dalam ICESCR, salah satunya ketentuan mengenai hak atas kesehatan yang diatur dalam Pasal 12 ICESCR. Dalam hukum nasional, hak atas kesehatan telah diatur diantaranya dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 40 Tahun 2009 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan dalam Strategi Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Namun, walaupun secara legislatif hak atas kesehatan telah cukup baik diatur dalam hukum nasional, tetapi Indonesia belum menerapkan hak tersebut kepada rakyat Indonesia belum maksimal. Hal ini terlihat dari ketersediaan dan persebaran fasilitas dan tenaga kesehatan di setiap wilayah di Indonesia yang belum merata, sistem jaminan kesehatan yang tidak tepat sasaran dan kurang sosialisasi, dan kurang tersedianya obat-obatan esensial di sejumlah fasilitas kesehatan di Indonesia sehingga masyarakat tidak dapat mengakses obat-obatan esensial sebagaimana harusnya.

Health is a human right. It has been recognized in various international, regional, and national law instruments. As human rights, it has to be fulfilled based on the principles of non-discrimination and equity. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) 1966 is the most significant law covenant which rules out the right to health universally. Right to health is defined as a right of every person to health facilities, goods, and services (or in another words, it is not a right to be healthy). The scope of right to health is very broad, since it includes the right to determinants of health as well, along with important components, namely availability, accessibility, acceptability, and quality. Obligation arising out for the States to meet the right of health are not quiet through the legislative measures but also other steps necessary utilizing the maximum of its available resources to achieve the full realization of the rights.
Indonesia has ratified the Covenant through the Law No. 11/2005 and consequently it is bound to the provisions in ICESCR, which one of them is the right to health under Article 12 of ICESCR. Domestically, the right to health has been regulated in the Constitution of 1945, Law No. 39/1999 on Human Rights, Law No. 36/2009 on Health, Law No. 40/2009 on National Social Security System, and the Acceleration Strategy for the Achievement of Millennium Development Goals (MDGs). However, although the right to health is regulated well enough under its legislations, its implementation is not yet optimal. It is seen from the disparity of health facility and health workers availability and distribution in every region in Indonesia, the mistargeting in health security system and its lack of socialization, also the lack of essential medicines in a number of health facilities that should have been easily accessed by those who need it."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S57870
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2004-2009 sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari RAN HAM sebelumnya yang dicanangkan oleh Presiden Habibie melalui keppres nomor 129 tahun 1998 dan berlaku untuk masa lima tahun (1998-2003). Salah satu aspek penting yang menjiwai seluruh rancangan RAN HAM baru itu adalah pendidikan. Dari perspektif ini, RAN HAM dapat dijadikan payung untuk melakukan penataan kembali mekanisme pengelolaan dan pembenahan pendidikan nasional secara menyeluruh. Inti pertautan persoalan HAM dengan pendidikan meliputi empat hal yakni pertama, ketersediaan pendidikan (availability) yang bermakna dua hal, yakni kewajiban negara untuk memenuhi hak anak memperoleh pendidikan sebagai hak sipil dan politik. kedua, kesempatan (accessibility) yang berarti pendidikan harus terbuka seluas-luasnya di semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan bagi semua warga negara sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang hayat. Ketiga aseptabilitas yang berarti ada aseptabilitas tinggi terhadap pengelolaan pendidikan di semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan. "
JHHP 2 (1-2) 2004
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saul, Ben
Oxford: Oxford University Press, 2014
341.48 SAU i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Daryani
"Hak-hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP sejalan dengan pengakuan hak asasi manusia (HAM). Berdasarkan demikian seorang tersangka dan terdakwa tidak dapat dianggap bersalah sebelum dinyatakan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti. Perlindungan tersangka dan terdakwa dari kesewenangan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus dapat dilaksanakan dalam peradilan pidana. Namun kesenjangan hak tersangka dan terdakwa dapat terjadi baik secara normative maupun empiris, hal ini dapat disebabkan rumusan undang-undang yang tidak jelas, atau persepsi penegak hukum dan pencari keadilan yang berbeda terhadap hak* tersebut. Penelitian normative dan empiris dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak-hak tersangka dan terdakwa dan para penegak hukum serta pencari keadilan dalam proses peradilan pidana diwilayah pengadilan. Rendahnya pelaksanaan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana sebagian besar terjadi pada tahap praadjudikasi, yaitu pada proses penyidikan yang dilaksanakan oleh polisi, kemudian menyusul pada tahap pemeriksaan penuntutan oleh jaksa penuntut umum. Pada tahap adjudikasi yaitu pada tahap pemeriksaan di pengadilan kesenjangan hak tersebut agak rendah. Adapun banyaknya atau tingginya tersangka dan terdakwa tidak menggunakan hak-haknya pada tahap praadjudikasi, karena penegak hukumlah yang menetukan sekali apakah hak tersebut dapat digunakan atau tidak. Pada umumnya penegak hukum karena orientasi terhadap tugas dalam proses peradilan pidana, maka kurang memberikan kesempatan kepada tersangka dan terdakwa. Penegak hukum lebih menekankan pada hasil dari pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka, dengan anggapan walaupun hak-hak tersangka dan terdakwa kurang mendapat tempat pada saat pemeriksaan yang dilakukan oleh mereka, tetapi hak tersebut barulah menjadi penting dan dapat digunakan pada saat yang tepat, yaitu sidang pengadilan di mana tahap ini adalah tahap penentuan di dalam rangkaian proses peradilan pidana. Disamping itu kesenjangan hak tersangka dan terdakwa dalam bentuk inkonkrito disebabkan oleh kurangnya partisipasi pencari keadilan dalam usahanya untuk menggunakan haknya tersebut. Hal ini disebabkan pendidikan (kurangnya pengetahuan dan pemahaman hak-hnk normative) , factor ini ekonomi dan sekaligus sebagai indikasi rendahnya kesadaran hukum pencari keadilan menyebabkan rendahnya pelaksanaan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana di Jakarta pada tahap praadjudikasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36940
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002
323 DIS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>