Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127819 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arief Budiman
"ABSTRAK
Salah satu tuiuan utama pembentukan pemerintah negara adalah untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu menurunnya daya beli rakyat yang diakibatkan resesi ekonomi yang terjadi di Indonesia, mendorong pemerintah melakukan kebijakan pemberian subsidi pada komoditas bahan pangan strategis seperti beras, kedelai, gandum, dan gula agar komoditas tersebut tejangkau. Namun demikian pada pelaksanaannya pemerintah mengalami kesulitan untuk melaksanakannya disebabkan: masalah keterbatasan anggaran dan mekanisme pemberian subsidi tersebut ternyata tidak efektif karena kerapkali tidak tepat sasaran. Oieh karena itulah pada tanggal 2 September 1998 pemerintah mencabut subsidi bahan pokok (kecuali beras) tersebut di atas.
Tujuan karya akhir ini adalah menjadi masukan, berupa anaiisa kuantitatif, dalam memutuskan dilepas atau tidaknya subsidi beras tersebut. Dalam karya akhir ini Penulis melakukan perbandingan biaya dan manfaat bila kebijakan subsidi beras dilanjutkan dan bila harga beras dilepaskan ke harga pasar internasional (diliberalisasi).
Perbandingan tersebut dilakukan dengan cara menghirung biaya untuk memberikan subsidi beras dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memberikan bantuan kepada kelompok terntenfu untuk dapat membeli beras jika harga dilepaskan ke harga internasional dengan mempertimbangkan efek peningkatan produksi beras, efek multiplier konsumsi petani, keterkaitan dengan sektor-sektor lain yang terkait dengan padi dan tenaga kerja yang terserap.
Berdasarkan kecederungan impor beras lima tahun terakhir (1992-1998) diproyeksikan besarnya subsidi beras akan terus meningkat secara signifikan, dan untuk tahun 1998 diperkirakan akan membutuhkan Rp. 6,12 Trilyun. Biaya subsidi tersebut dapat dihilangkan jika harga beras dilepaskari ke harga internasional (liberalisasi).
Melepaskan harga beras ke harga internasional akan mengakibatkan meningkatnya harga beras di dalam negeri yang berarti akan makin memberatkan masyarakat yang sudah menurun daya belinya. Untuk itu kebijakan liberalisasi harga beras perlu disertal kebijakan bantuan kepada kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Diperkirakan dana yang diperlukan untuk memberikan bantuan tersebut sebesar sekitar Rp. 10 Trilyun, yang berarti lebih besar dari dana subsidi. Namun demikian dana tersebut akan memberikan efek multiplier karena peningkatan konsumsi produsen beras sebesar sekitar Rp. 8,7 Trilyim. Manfaat kebijakan liberalisasi Iainnya adalah disektor produksi yaitu adanya peningkatan produksi beras yang diperkirakan akan mencapai 7,68 juta ton atau senilai Rp. 22 Trilyun (dengan asumsi harga Rp. 2880 di tingkat petani). Peningkatan produksi tersebut akan:
  1. Menggairahkan sektor-sektor input dan sektor-sektor output padi karena adanya tambahan kebutuhan input dan meningkatkan input bagi sektor-sektor yang membutuhkan padi sebagai input.
  2. Tambahan tenaga kerja yang dapat diserap sektor padi diperkirakan mencapai 2.6 juta orang.
  3. Menghemat devisa yang diperlukan untuk mengimpor beras, dan memberikan potensi untuk mengekspor beras.
Jadi untuk jangka pendek biaya yang diperlukan untuk melakukan subsidi beras lebih sedikit dan biaya yang diperlukan untuk memberikan bantuan untuk meningkatkan daya beli. Namun untuk jangka menen gah dan panjang manfaat liberalisasi harga karena adanya: penambahan produksi. efek multiplier konsumsi petani, insentif bagi sektor sektor yang terkait dengan padi, dan tenaga kerja yang diserap: akan jauh melebihi dana yang dibutuhkan untuk memberi bantuan terarah untuk mendongkrak daya beli masyarakat yang tidak mampu.
Kebijakan meliberalisasi harga beras harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan lain yang mendukung yaitu: kebijakan distribusi bantuan yang efektif dan efisien dengan memanfaat kan infrastruktur yang sudah ada di masyarakat, kebijakan untuk melindungi petani dan gejolak harga heras dunia dan gejolak kurs dengan cara membuat pasar komoditas berjangka beras, dan kebijakan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani marginal dan buruh tani dengan cara transmigrasi dan perubahan pembayaran kas menjadi pola bagi hasil dalam bentuk natura (beras)."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1979
330.992 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kholid Ali Akbar
"Kebijakan dalam pasar beras ditujukan untuk menstabilkan harga serta melindungi petani dan konsumen. Diantara kebijakan tersebut adalah monopoli impor beras dan ditetapkannya harga dasar gabah oleh pemerintah. Namun, monopoli impor telah dicabut pada September 1998 dan harga dasar telah diganti dengan harga pembelian pemerintah (HPP) pada Februari 2005. Tesis ini bertujuan untuk menganalis pengaruh pencabutan monopoli impor dan perubahan kebijakan penetapan harga dasar menjadi HPP terhadap disparitas harga gabah dan beras (marketing margin).
Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan analisis kointegrasi dan Error Correction Model (ECM) dengan pendekatan Autoregressive Distributed Lag (ARDL) dan bound test yang dikembangkan oleh Pesaran et al. (2001). Beberapa variabel yang relevan mempengaruhi marketing margin dimasukkan ke dalam model sebagai variabel kontrol, diantaranya curah hujan, kurs, volatilitas kurs, upah industri bahan makanan, volume impor dan ekspor beras, harga beras dunia, dan indeks harga transportasi. Penelitian ini juga disertai dengan studi lapangan sederhana untuk memperoleh informasi mengenai struktur pasar gabah.
Dari persamaan ECM yang didapatkan disimpulkan bahwa pencabutan monopoli impor beras dapat memperkecil marketing margin, sedangkan perubahan kebijakan dari harga dasar menjadi HPP justru dapat memperlebar marketing margin. Hal ini didukung oleh fakta yang ditemukan dari studi lapangan, bahwa terdapat kekuatan pedagang gabah yang bisa menekan harga gabah petani. Oleh karenanya, intervensi pemerintah melalui penetapan harga dasar masih sangat diperlukan untuk melindungi harga gabah petani.

Rice market policies intended to stabilize the prices and protect farmers and consumers. Among these policies are a monopoly on rice imports and the enactment of the floor price of grain by the government. However, the import monopoly was abolished in September 1998 and the floor price has been replaced with the government purchasing price (HPP) in February 2005. This thesis aims to analyze the influence of the revocation of the import monopoly and grain pricing policies changes on grain and rice price disparity (marketing margin).
To achieve these objectives, cointegration analysis and error correction model (ECM) with Autoregressive Distributed Lag (ARDL) approach and bound test developed by Pesaran et al. (2001) was used. Some relevant variables affect the marketing margin incorporated into the model as control variables, including rainfall, exchange rate, exchange rate volatility, wage of grocery industry, the volume of rice import and export, world rice prices, and the transportation price index. This study was also accompanied by a simple field study to obtain information on the structure of the grain market.
ECM showed that revocation monopoly on rice imports reduce marketing margins, while the change of a price policy from the floor price to the HPP can actually widen the marketing margin. This is supported by the facts found from field studies, that there is a force of grain traders that could push prices of grain. Therefore, government intervention through floor pricing is still needed to protect the farm price."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ditto A. Wahid
"PT DOK dan Perkapalan Kodja Bahari (DKB) merupahan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang usaha pembangunan kapal baru dan perbaikan kapal. Pernsahaan ini adalah perusahaan perkapalan terbesar di Indonesia dan merupahan hasil meljer dari 4 (empat) perusahaan perkapalan, yaitu P.T. Dok dan Perkapalan Tanjung Priok, P.T. Kodja. P.T. Pelita Bahari, dan P.T. Dok dan Galaogao Nusantara. Meijer ini merupahan salah satu usaha pemerintah pada saat itu untuk meningk:atkan pendapatan dari sektor non Minyak dan Gas. Dengan meJjer tersebut, produktivitas perusahaan perl
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T25603
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Susilih
"The Implementation of Rice Subsidy PolicyThe economic crisis, which has debilitated Indonesia in 1997 that was followed by rice crisis has brought the impact of more descend of public purchasing power in fulfilling the basic food need. This problem threatened the food security of the people or caused the food insecurity.
In relation with this Act Number 7/1996 about Food in article 1 clause 17, mentioned that food security is the condition of food fulfillment for household that is reflected by availability of food that is sufficient both in quantity and in quality, secure, spread evenly and affordably by the people.
Next in the Rice Policy that was regulated in the President Instruction Number 9/2002, in article 5 is mandated that government had to guaranty the supply, implementation of the distribution of rice for the poor and food vulnerability. Based on that regulation then Bulog as food authority which has wide experience on supply and rice distribution, is given assignment to increase food security for all inhabitants in Republic of Indonesia region. For this purpose, the policy of subsidized rice which manifest by OPK/Raskin program was released, so rice as the basic need food can be reached by poor families.
Although, there are some deviances in the implementation of OPK/Raskin (Special Market Operation/Rice for the Poor), especially in the targeting. There are also some cases of moral hazard in the implementation of the policy. But, it has been acknowledged that the implementation of the program supposed to be the most successful programs within any Social Safety Net Programs.
From this success, this study revealed the true description of the OPK/Raskin that had been going on since 1998. The analysis of the content and the context of the policy was done to the implementation of the program. The content of the policy was the factor that influenced the outcomes of the policy when it was implemented. The context of the policy was also the factor that influenced certain social, political, and economic environment, so the implementation of the policy needed to consider the context of policy; that is the environment where the policy was to be implemented. Outcome was the final result of the policy expected to achieve. The analysis of the outcomes of the policy was done simply by comparing the output realized with the goals to be achieved from the policy.
Based on the content of the policy, the rice subsidy policy was quite easy to implement But in the context of policy, the program did not yield impact that were expected in the objective of the program. The problem come from the authority of Bulog in the determining the allocation ceiling of rice nationally which was based on the data of four families from BKKBN (National Family Planning Board).
Then, the study recommended that Bulog had to try optimally in exacerbating the targeted household, so the beneficiaries would be the true targeted individuals or groups that need the cheap rice. Moreover, the upgrading of purchasing power of the poor society would be more prioritized through some working and opportunity enhancement programs; so that in the long run, the charity-based subsidy would be less significant.
Bibliography: 31 books (1983-2003); 34 newspapers/magazines/journals (1998-2004); 4 working papers/module (1988-200X); 5 research reports (1999-2004); 3 website articles ; 5 documentations (2001-2004) ; 2 guidelines (2003&2004); 2 regulations (1996&2002)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13788
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Sari Wahyuni
"Globalisasi dan perkembangan dunia bisnis yang kian pesat menuntut adanya sistem manajemen modern dan sistem informasi biaya produksi yang lebih relevan dan akurat bagi proses pengambilan keputusan. Activity Based Costing (ABC) system merupakan sistem informasi biaya baru yang menghilangkan distorsi pada sistem biaya tradisional dengan cara menganalisa dan menelusuri aktivitas-aktivitas yang menimbulkan biaya. Sistem ABC ini perlu diperkenalkan dan dipelajari oleh perusahaan-perusahaan yang ingin mempertahankan dan memajukan perusahaannya dalam menghadapi pasar bebas di era globalisasi ini. Metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan dan menyusun data dalam penyusunan skripsi ini adalah studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data yang sifatnya teoritis mengenai sistem informasi biaya yang baru yaitu Activity Based Costing (ABC) system. Sedangkan studi lapangan dilakukan untuk mempelajari catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang mendukung penelitian serta mengadakan wawancara dengan pejabat dan karyawannya. Penelitian dilakukan terhadap penetapan harga pokok di PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari unit galangan kapal II, Tanjung Priok, dengan pokok bahasan perbaikan kapal "MT. Pertoka (P1) milik PT Bumi Perkasa Bah dan kapal "MT. Wasaka-r (P2) milik PT. Wasaka Sudarma Putra. Reparasi terhadap kapalkapal tersebut membutuhkan waktu yang berbeda-beda dan aktivitas yang beragam. Dan hasil penelitian penetapan harga pokok kedua kapal tersebut menunjukkan sistem biaya tradisional memberikan hasil perhitungan yang terdistorsi. Distorsi ini terjadi akibat adanya subsidi silang dari kapal P2 yang mempunyai waktu reparasi panjang terhadap kapal 131 yang mempunyai waktu reparasi pendek. Hal ini mengakibatkan penetapan harga kapal P2 menjadi overcosted, sedangkan kapal P1 menjadi undercosted. Sebagai kesimpulan, untuk menghadapi era globalisasi, perusahaan yang ingin tetap hidup dan menang dalam persaingan hams terus memperbaiki sistem manajemennya sejalan dengan perkembangan dan kemajuan lingkungan bisnis. Sistem informasi biaya merupakan salah satu bagian penting yang mendukung suksesnya perusahaan dalam persaingan. Activity Based Costing (ABC) system sebagai salah satu alat bantu dalam penetapan harga pokok perlu diperkenalkan dan dipopulerkan di kalangan bisnis modern. Sistem ABC harus didukung oleh sistem manajemen yang modern dan pengimplementasiannya membutuhkan fase waktu yang bertahap. Bagi PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari yang telah merintis penerapan sistem ABC ini, disarankan terus memperbaiki sistem manajemenya guna mendukung pengimplementasian sistem ABC di perusahaan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
S19078
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nike Handayani
"Di dalam ilmu manajemen, marketing mix yang terdiri dari price, product, place dan promosi merupakan salah satu ilmu manajemen yang penting di dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang tepat mengenai keempat unsur ini akan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan pada masa kini maupun di masa yang akan datang. Skripsi ini secara lebih khusus membahas mengenai proses penetapan harga pada industri plastik. Industri plastik adalah industri yang mempunyai prospek cukup cerah di masa depan. Sehingga tidaklah mengherankan banyak bermunculan perusahaan-perusahaan bank di industri ini. Sebagai konsekuensinya, persaingan di dalam industri ini sangatlah ketat. Harga dapat dijadikan sebagai salah satu strategi perusahaan untuk memenangkan persaingan ,apalagi konsumen industri plastik ini sangat sensitif terhadap harga. Oleh sebab itu perlu di analisa metode penetapan harga yang tepat dan sesuai dengan kondisi internal dan eksternal perusahaan. Metode penetapan harga yang paling umum digunakan oleh perusahaan-perusahaan plastik adalah full costing dimana semua biaya fix dan variabel diperhitungkan di dalam komponen harga pokok. Harga ditetapkan berdasarkan formula biaya manufaktur di tambah sejumlah margin tertentu. Walaupun harga ditetapkan berdasarkan full costing namun harga yang ditawarkan kepada konsumen tetap harus memperhatikan harga pasar. Hal khusus dari penetapan harga pada industri plastik ini adalah harga bahan baku biji plastik merupakan indikator utama dari harga yang akan ditawarkan kepada konsumen. Hal ini dapat dipahami karena komponen biaya bahan baku mempunyai porsi yang sangat besar didalam komponen harga pokok penjualan yaitu sekitar 80 %. Harga bahan baku yang dipertimbangkan dalam komponen harga pokok penjualan bukanlah biaya historis melainkan biaya masa kini (current cost). Biaya masa kini mencerminkan harga pasar pada saat penawaran harga akan dilakukan. Di lain sisi biaya buruh dan biaya overhead dihitung berdasarkan biaya historis yaitu harga perolehannya. Praktek ini dilakukan karena harga pasar dari bahan baku biji plastik sangatlah berfluktuasi sehingga produsen tidak dapat menghitung biaya bahan baku berdasarkan harga historisnya. Fluktuasi harga bahan baku biji plastik ini sangat dipengaruhi oleh harga minyak mentah. Ketidakstabilan harga ini jugs ditunjang dengan sedikitnya produsen biji plastik di Indonesia serta belum stabilnya produksi mereka sehingga kebutuhan akan biji plastik ini banyak di penuhi dari impor. Dengan formula yang sederhana, metode full costing menawarkan kestabilan harga namun tidak dapat memberikan harga yang cukup kompetitif di dalam jangka pendek. Walaupun demikian untuk penetapan harga jangka panjang semua biaya harus diperhitungkan supaya perusahaan dapat mencapai tingkat pengembalian tertentu. Oleh sebab itu penulis menawarkan suatu alternatif di dalam penetapan harga yaitu metode Incremental Cost Pricing. Metode ini berdasarkan analisa biaya relevan yaitu "different cost for different purposes". Setiap keputusan akan menghasilkan harga yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi biaya yang ada. Biaya relevan adalah biaya yang bersifat "incremental" dan " avoidable " yang artinya biaya yang timbul akibat keputusan tertentu. Apabila keputusan itu tidak ada maka biaya tersebut tidak akan muncul. Dengan demikian harga yang ditetapkan berdasarkan metode ini akan dapat lebih mencerminkan biaya yang sesungguhnya terjadi. Sunk Cost tidak termasuk di dalam biaya relevan karena timbulnya biaya ini tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya suatu keputusan. Sunk cost bersifat lebih pasti dan merupakan biaya yang sudah terjadi. Metode full costing tetap memperhitungkan sunk cost ini dalam komponen harga pokok penjualan tetapi metode incremental cost pricing menganggap biaya ini tidak relevan di dalam penetapan harga. Keunggulan dad metode incremental cost pricing ini adalah harga yang ditawarkan akan lebih kompetitif dibandingkan metode full costing untuk jangka pendek. Sedangkan untuk keputusan-keputusaan harga jangka panjang, metode incremental cost pricing berfungsi sama dengan metode full costing karena di dalam jangka panjang semua biaya fix dan variabel menjadi relevan. Metode Incremental cost pricing dapat diterapkan apabila perusahaan masih mempunyai kapasitas yang mengganggur ( idle Capacity ) serta cocok untuk keputusan-keputusan jangka pendek. Dengan adanya kapasitas yang mengganggur maka biaya fix menjadi tidak relevan untuk penetapan harga. Selain itu penggunaan metode incremental ini membutuhkan analisa yang menyeluruh untuk menentukan biaya-biaya mana saja yang relevan dengan keputusan tertentu. Oleh sebab itu kelemahan metode ini adalah kompleksitasnya serta membutuhkan waktu yang lebih lama di dalam penetapan harga. Untuk menentukan metode yang tepat bagi suatu perusahaan diperlukan analisa cost - benefit sehingga apapun metode yang dipilih nanti haruslah mendatangkan keuntungan yang terbesar bagi perusahaan di masa kini maupun di masa yang akan datang."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
S19202
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, Sudung Sarosa
"Desain dan konstruksi bangunan di suatu daerah dipengaruhi, selain oleh faktor-faktor lainnya, terutama oleh iklim dan lingkungan fisik daerah tersebut.
Dalam sejarah umat manusia, upaya-upaya untuk membangun dengan tepat meliputi faktor-faktor teknologi lokal, material, iklim, dan kondisi sosial. Terutama di negara berkembang, perancang dihadapkan juga pada batasan-batasan ekonomi, teknologi, dan faktor-faktor sosial lainnya yang mengikat perancangan menjadi suatu paket masalah yang harus dipecahkan.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan banyak batasan diatas, memiliki banyak kekayaan alam yang layak dieksplorasi untuk manfaat rakyat kebanyakan.
Tulisan ini memfokuskan Pohon Kelapa sebagai pohon yang mudah ditemukan dan pohon yang sangat berpotensi. Dengan melihat karakter yang terdapat di dalamnya dan mempelajari teknik penerapannya pada contoh-contoh yang sudah ada, penulisan ini mengekspos pohon Kelapa sebagai bahan bangunan yang mudah ditemukan, ekonomis, nyaman dan sekaligus estesis."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
S48468
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Lestarianingsih
"Tahun 2007 pemerintah Indonesia melaksanakan program konversi minyak tanah menjadi LPG dengan meluncurkan LPG 3 Kg untuk rumah tangga tidak mampu dan usaha mikro. Pada pelaksanaannya, kemungkinan rumah tangga nonsasaran juga menggunakan LPG subsidi. Untuk menghindari penggunaan LPG subsidi oleh rumah tangga nonsasaran yang berimplikasi terhadap beban fiskal pemerintah, perlu pemahaman tentang perilaku rumah tangga dalam memilih LPG nonsubsidi. Pendapatan rumah tangga, harga dan ketersediaan bahan bakar menentukan pilihan jenis bahan bakar memasak rumah tangga. Namun, belum melihat hubungan tersebut dalam pemilihan antara LPG subsidi dan nonsubsidi sebagai bakar bakar memasak rumah tangga. Dengan menggunakan data Susenas Maret 2018 dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang berjumlah 194.062 rumah tangga Indonesia, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan pendapatan, Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG subsidi dan kuota LPG subsidi sebagai representasi ketersediaan bahan bakar terhadap pilihan penggunaan LPG nonsubsidi di rumah tangga Indonesia tahun 2018. Menggunakan model estimasi Multinomial Logit, studi ini menemukan bahwa kenaikan pendapatan, kenaikan HET LPG subsidi, dan pengurangan kuota LPG subsidi berkorelasi dengan peningkatan peluang pemilihan LPG nonsubsidi sebagai bahan bakar memasak rumah tangga Indonesia tahun 2018. Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa mayoritas pengguna LPG susbidi adalah rumah tangga nonmiskin.

In 2007, the Indonesia government launched a 3 kg LPG cylinder for poor households and micro-enterprises to reduce fuels subsidies burden. In implementation, the subsidized LPG may also used by non-target households which implicated to the goverment fiscal burden. In order to avoid this, its necessary to understand households behavior on non-subsidized LPG choices. Household income, fuel price and availability determine the choice of household cooking fuel types. However, existing studies have not seen the relationship between subsidized and non-subsidized LPG as household cooking fuel. Using March 2018 National Socio-Economic Survey (Susenas) and the Ministry of Energy and Mineral Resources (KESDM) information, this study examine the relationship between income, highest subsidized LPG retail price (HRP) and subsidized LPG quota as a representative of fuel availability in Indonesian households with subsidized and non-subsidized LPG choices as cooking fuel in 2018. Multinomial Logit model estimation result found that an increase in income, an increase in subsidized LPG HRP and a decrease in subsidized LPG quotas are correlated with an increase in chances of choosing non-subsidized LPG as Indonesian cooking fuel in 2018. Furthermore, this study revealed that the largest subsidized LPG users are non-poor households."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T54757
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Husein Sawit
"Rice should be treated as quasi-public good, hence the government should subsidize rice farmers directly such as setting floor price. Floor price of is still an important instrument for protecting paddy farmers from low price in peak harvesting season. Levels of subsidy depend on level of floor price set and market clearing price of GKP (dry paddy) during the seasons. The seasons are divided into three semesters according to harvesting period not three semesters used by CBS (Central Bureau of Statistics). The forecasting market clearing price and level of floor price set, is used to calculate government subsidy. When the floor price set is too high, it will be difficult to be implemented for a year round and costly. It is suggested that Dolog/sub-Dolog and KUD (cooperatives) have to be involved directly to buy paddy (GKP) from the farmers. In the short run, they have to improve local personals to handle paddy rather than rice. Local cooperatives and sub-Dologs should have dryers to improve rice quality and reduce lost. This policy has to be hand in hand for an effective implementation of import tariff of rice."
2000
EFIN-XLVIII-4-Des2000-333
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>