Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136680 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Hasan Ansori
Jakarta: Indonesia Social Justice Network, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ngabalin, Ali Mochthar
"Mengharapkan hadimya seorang Tokoh yang didengar, dihormati, dan disegani, adalah suatu dambaan tersendiri bagi masyarakat di Maluku saat ini. Betapa tidak, negeri yang terkenal, toleran dan konpromis, dalam nuansa heterogenitas masyarakat yang kental tersebut, kini diporak-porandakan oieh konfiik, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyelesaikannya. Koniiik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini, hampir dapat dikata berhasil meluluh-lantakan semua tatanan sosial Iokal yang selama ini terbangun mapan di masyarakat meialui proses-proses kultural. Dengan kata lain, pemirnpin dan kepemimpinan di Maluku dalam skala kecil (in grup), maupun masyarakat secara luas, saat ini dipertanyakan.
Padahal, berbicara mengenai pemuka pendapat di Maluku, tidak kurang banyaknya orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemuka pendapat. Berbagai pengalaman telah membuktikan bahwa Iewat kepemukaannya, para pemuka pendapat memperiihatkan peranannya yang dominan dan signiiikan, di masyafakat. Kepemukaan mereka telah banyak dibuktikan dalam hai penyelesaian konfiik yang terjadi di masyarakat, dimana tidak periu mengikutsertakan pihak Iuar (termasuk TNI dan Polri).
Dalam sejarah perjalanan masyarakat di Maluku, kemampuan pemuka pendapat dalam mengelola konflik terlihat sedemikian rupa, sehingga konflik dengan dampak yang negatif sekalipun, mampu dikelola menjadi kekuatan yang positif. Hasilnya adalah, terbangunnya relasi-relasi sosial, kohesi sosial bahkan integrasi sosial. Kenyataan ini yang melahirkan hubungan-hubungan seperti, Pela dan Gandong.
Ketika konflik terus berlanjut, orang lalu menanyakan dimana peran pemuka pendapat yang selama ini ada ? siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat, dan bagaimana perannya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong dilakukannya studi ini.
Dari hasil studi di lapangan, ditemukan seiumlah fakta berkaitan dengan permasalahan sebagaimana diajukan di atas. Pertama, konfiik yang terjadi sejak 19 Januari 1999, adalah konflik yang direncanakan, dengan memanfaatkan sejumlah persoalan sosial seperti, masalah mayoritas- minoritas, masalah kebijakan politik pemerintahan Orde Baru, masalah kesenjangan sosial, ekonomi antara pusat dan daerah, masalah imigran dan penduduk asli, serta masalah politisasi agama. Kedua, Konfiik berhasil membangun fanatisme kelompok yang sempit, dimana setiap orang mengidentifikasi dirinya secara subyektif berbeda dengan orang lain di Iuar kelompoknya. Dengan demikian, kepemukaan seseorang sering mengalami gangguan komunikasi dalam berhadapan dengan kelompok di Iuamya (out group). Ketiga, Masuknya kelompok Iuar dalam jumlah besar dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, adalah faktor kendala tersendiri bagi berperannya seorang-pemuka pendapat secara signiikan di Maluku.
Untuk maksud studi ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Dengan metode ini diharapkan akan dapat dituliskan secara sistimatis semua fenimena konflik yang terjadi di masyarakat pada Iatar alamiahnya, dan bagaimana peran pemuka pendapat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Said
"Fokus penelitian ini adalah analisa kepemimpinan dan peran para kiai dalam penyelesaian konflik di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Penelitian ini dilatarbelakangi karena ketertarikan penulis terhadap fenomena Kiai dalam dunia politik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil informan dari lima belas orang anggota para Kiai dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terjadi perubahan posisi dan peran kiai dalam konflik PKB. Semula keberadaan kiai dan ulama dalam struktur partai maupun di luar partai ditempatkan sebagai sumber rujukan untuk pengambilan kebijakan strategis partai dan menjadi mediator dalam penyelesaian persoalan di internal maupun eksternal partai sekaligus sebagai perekat keutuhan partai.

The focus of this study is to analyze the role of kiai leadership and conflict resolution in the Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ). This research is motivated by their interest Kiai author of the phenomenon in the world of politics . This study used qualitative methods to take the informant of the fifteen members of the Kiai of the Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ). Results of this study concluded that a change in the position and role in the conflict kiai of PKB Originally existence kiai and scholars in the party structure and outside the party placed as a reference source for strategic decision making parties and be a mediator in the settlement of internal and external problems in the party as well as adhesive party unity"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainuddin Mansur
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Lydiawati
"Desakan terhadap Belanda untuk melepaskan Indonesia tidaklah secara serta-merta mengambil bentuknya bersamaan dengan berakhirnya PD II. Meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya sebagai sebuah Republik yang baru pada 17 Agustus 1945, kekuatan internasional terbesar - yang saat itu dipegang oleh Amerika Serikat AS - mulanya masih berpihak kepada Belanda yang berusaha menegakkan kekuasaannya kembali di wilayah bekas koloninya itu. Konteks ideologi, situasi, dan kepentingan melatarbelakangi keberpihakan itu. Dinamika benturan berbagai situasi dan kepentingan pula yang kemudian membuat arah keberpihakan itu berbalik pada akhir 1948.Untuk memahami seluruh proses dari selesainya PD II hingga Belanda betul-betul terdesak dan harus melepaskan Republik Indonesia untuk menjadi negara yang sepenuhnya merdeka, tesis ini mencoba mendekati permasalahan tersebut dengan melihat dari tiga aspek penting berdasarkan pemikiran Frame Poythress, yaitu aspek normatif, aspek situasional, dan aspek eksistensial. Aspek normatif adalah mengenai pemikiran dan ideologi-ideologi yang pada masa itu sedang berkembang di dalam kehidupan internasional. Sorotan terutama diarahkan pada konflik antara ideologi liberalisme dan komunisme, sebab kedua paham inilah yang saling berbenturan di dalam konteks Perang Dingin.Kondisi pasca PD II - terutama bagi negeri Belanda dan Indonesia - serta kontestasi Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet merupakan aspek situasional yang menaungi seluruh proses dekolonisasi Indonesia dari Kerajaan Belanda. Periode 1945 hingga pertengahan 1948 masih menjadi periode yang lebih cerah bagi Belanda, sebab AS masih berada di pihaknya, sekalipun Belanda sudah melancarkan 'aksi polisionil'-nya yang pertama. Namun di akhir 1948, terutama karena pengaruh Peristiwa Madiun dan aksi polisionil kedua, keadaan sama sekali berubah bagi pemerintah Belanda. AS berbalik melakukan berbagai usaha untuk menekan Belanda supaya melepaskan Indonesia menjadi negara yang sepenuhnya merdeka. Sementara itu, kondisi dan pertimbangan-pertimbangan dari pihak Belanda sendiri, sekaligus usaha-usaha gagal terakhir yang masih dilakukan oleh pemerintahnya pada masa-masa terjepit, hingga tidak tersisanya pilihan lain bagi Belanda selain tunduk kepada tekanan AS dan PBB untuk melepaskan Indonesia, digambarkan sebagai aspek eksistensial, yaitu titik di mana Belanda sebagai sebuah negara harus mengambil pilihan tersebut. Namun, tesis ini juga menyatakan, bahwa walaupun Belanda harus kalah secara politik, perhitungan-perhitungan terakhir Belanda masih memungkinkannya untuk tidak mengalami kekalahan ekonomi yang sama telaknya.

The urge towards the Netherlands to release Indonesia did not emerge immediately following the end of WWII. Even though Indonesia had proclaimed its independence as a new Republic on August 17, 1945, the greatest international power - happened to be the United States - still preferred to back the Netherlands government, who was making full effort to reestablish power on its former colony. Various ideologies, situations, and interests formed the contexts for that preference. Later on, the conflicts of interests and situations will also be the cause for the shift of that preference in the second half of 1948.To understand the whole process from the end of WWII to the situation in which the Netherlands was left with no other choice but to acknowledge the independence of Indonesia, this thesis attempts to approach that issue by observing it through three important aspects based on the thought of Frame and Poythress the normative, situational, and existential aspects. The normative aspect puts its concern on the growing international thoughts and ideologies at the time. The attention will be focused on the conflict between liberalism and communism, the two clashing concepts of the Cold War.Post WWII conditions - specifically for the Netherlands and Indonesia - and the Cold War contestation between the USA and the Soviet are seen as the situational aspect of the whole Indonesian decolonization process. The years 1945 to mid 1948 were the brighter period for the Netherlands, for the USA still stood behind her, even after the first police action. But by the end of 1948, most influenced by the Madiun Uprising and the second police action, the situation shifted drastically for the Netherlands government. The USA took many efforts to urge her to release and to acknowledge the full independence of Indonesia.Meanwhile, internal condition and considerations of the Netherlands, and also the government's failing final attempts in its cornered position, to the point of having no other choice but to submit to the pressures of the USA and the UN to release Indonesia, described as the existential aspect. Yet, at the end, even though the Netherlands experienced great political loss, the government's final calculations has enabled the country not to swallow economic loss as great.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T51147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
959.804 KEK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara atau mengukuhkan status quo, dengan mereka yang ingin merubahnya...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zamzami
"ABSTRAK
Dukuh Jeruk dan Mundu adalah dua desa dalam wilayah kecamatan Karangampel yang kondisi penduduknya dari segi profesi lebih kurang menunjukkan adanya ketimpangan. Jumlah buruh tani di desa Dukuh Jeruk adalah empat kali lipat lebih banyak dibanding petani pemilik lahan sawah. Sedangkan di desa Mundu, perbandingannya hampir mencapai 2: 1.

Struktur sosial ekonomi yang cenderung timpang itu beserta akibat-akibat sosial yang mengikutinya pada masa lalu juga telah memberi kontribusi terbentuknya budaya kekerasan (culture ofviolence) di wilayah ini. Akan tetapi, pada masa lalu budaya kekerasan itu -berkat kearifan lokal, terwadahi dalam kesenian rakyat seperti: (a) pertujukan adu jawara (centeng) pasca panen; (b) satron atau tradisi perang antar kelompok tani pasca panen menjelang musim tanam dan (b) sampyong, tradisi adu kekuatan kaki dengan sa ling mencambukkan rotan dalam bentuk duel satu lawan satu sebagai sarana mencari pemuda tangguh, jujur dan gagah berani. Kearifan lokal ini merupakan sistem budaya yang ada di masyarakat untuk mengembalikan konflik pada isu yang sesungguhnya yang bersifat realistik yaitu sumber-sumber ekonomi, seperti terpenuhinya aliran air ke lahan sawah dan kesempatan untuk menggarap sawah milik petani bagi para buruh tani.

Akan tetapi, ketimpangan sosial ekonomi yang tetap terjaga serta semakin berkembangnya kebutuhan ekonomi warga Dukuh Jeruk dan Mundu sejalan dengan arus industrialisasi (terutama paska beroperasinya Pertamina di kedua desa tersebut sejak 1972, mengakibatkan terkikisnya kesenian yang berbasiskearifan lokal tersebut. Karena masalah perebutan sumber-sumber ekonomi (resources) semakin kompleks, maka bakat-bakat "kekerasan" sebagian kelompok masyarakat disalurkan pada bentrok fisik setiap kali terjadi pertentangan di antara mereka. Awalnya perseteruan yang terjadi bersifat individual tetapi kemudianberkembang menjadi konflik antar kelompok.

Masalah pertanian yang cukup kompleks yang dialami oleh warga kedua desa (sebagaimana umumnya masyarakat petani Jawa) ditambah dengan keengganan para pemuda untuk bergelut di bidang pertanian tidak didukung oleh kapasitas mereka untuk beralih ke sektor industri, menyebabkan kelompok ini mengalami dislokasi dan disorientasi. Beroperasinya Pertamina sejak 1972 di kedua desa ini tidak menjadi tidak berarti apa-apa bagi mereka dan malah mendorong minat mereka untuk bermigrasi atau bekerja di sektor-sektor lain semakin tinggi, meskipun hanya menjadi buruh.

Hubungan masyarakat Dukuh Jeruk dan Mundu tidak lepas dari berbagai konflik yang sering melibatkan kekerasan fisik, baik dalam konteks antar individu maupun tarwuran antar kelompok (desa). Pemicunya adalah masalah-masalah sederhana seperti perebutan sumber air di sawah, perebutan simpati kaum perempuan di kalangan para pemuda atau sekedar perasaan tersinggung akibat permintaan tak terkabul melalui pemalakan yang dilakukan oleh sebagian pemuda yang membiasakan diri dengan perilaku menyimpang.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, akumulasi masalah sosial ekonomi dan legitimasi budaya yang berasal dari kesenian adu jawara, sampyong dan satron yang bentuk dan nilai estetiknya sebagai sebuah kesenian telah memudar -sementara masalah-masalah perebutan resources tidak pernah berhenti, merupakan faktor yang melatar belakangi kekerasan. Yang pertama memberi basis realistik pada konflik sedangkan yang kedua memberi basis non realistik. Kolaborasi basis ini melahirkan komunalisasi pada saat pemicu konflik hadir di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang kemudian mendorong kekerasan terjadi dalam konflik.

Tawuran yang terjadi selama 1998-2000 antara warga kedua desa tersebut merupakan peristiwa fundamental di mana terjadi pergeseran dalam faktor-faktor tersebut, sehingga berakhirnya peristiwa tersebut menandai perubahan yangberarti di masyarakat. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kerugian-kerugian konflik serta peluang pengembangan usaha kecil dan menengah, termasuk pertanian yang terbuka pasca krisis 1997 mendasari lahirnya situasi kondusif resolusi konflik. Sehingga, sejak berkhirnya tawuran tiga tahun terse but, konflik-konflik yang terjadi tidak bisa lagi membangkitkan komunalisme buta. Adapun temuan di lapangan menunjukkan, faktor langsung yang berperan dalam meredakan konflik besar itu adalah: (1) strategis dan efektifnya pendekatan keamanan; (2) peran dan aksi simpatik para tokoh masyarakat dan pemerintah setempat; serta (3) rasionalitas dan penguatan sosial ekonomi.

Di atas semua itu, sesungguhnya dinamika konflik antara warga Dukuh Jeruk dan Karangampel merupakan masalah pergeseran masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri modern. Oleh sebab itu, sejauh mana kekuatankekuatan sosial dan kultural masyarakat mampu beradaptasi dengan tuntutan-tuntutan industrialisasi, maka sejauh itu pula kekerasan-kekerasan dalam konflik bisa dieliminasi menjadi kompetisi yang wajar.

"
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky C. Pelupessy
2001
S3038
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>