Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210727 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dody Prayogo
"Relasi antara korporasi dengan komunitas lokal pada industri tambang, minyak, dan gas mengalami banyak perubahan sejak reformasi politik (1998) dan digulirkannya Undang-Undang Otonomi Daerah (1999 dan 2004). Gejala utama yang mengemuka dalam perubahan ini adalah maraknya peristiwa konflik, diperkirakan hampir seluruh korporasi besar tambang dan migas menghadapi masalah dengan komunitas lokalnya. Berdasarkan sejumlah penelitian lapangan sebelumnya, anatomi konflik secara analitik dapat dipetakan dalam tiga dimensi, yakni dimensi sebab, dinamika, dan resolusi konflik. Dimensi sebab mencakup variabel perubahan politik, ketimpangan, eksploitasi, dominasi, pemberdayaan dan tekanan demografi, serta ekonomi; dimensi dinamika meliputi fluktuasi, eskalasi dan bentuk konflik, itensitas, peran aktor dan lembaga, serta karakter budaya komunitas; dan dimensi resolusi mencakup kontrak sosial lama dan kontrak sosial baru. Dengan model ini secara empirik dikaji kasus konflik antara korporasi dengan komunitas lokal di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hasil studi menunjukkan adanya pola berkenaan dengan signifikan-tidaknya sebab konflik, tinggi-rendahnya dinamika konflik, signifikan-tidaknya resolusi konflik, dan secara keseluruhan menunjukkan tiga dimensi konflik ini saling berhubungan dalam proses konflik.

Relationship between corporation and local community in mining and oil industry in Indonesia has changed significantly since political reform (1998) and the enactment of regional autonomy (1999 and 2004). Social conflicts arouse as main symptom of such changes, that almost all corporations had common problems in their relationship with local communities. Based on previous studies, the anatomy of conflicts can be elaborated into three dimensions: causes, dynamics and resolution of conflict. Cause of conflict includes variables of political reform, inequality, exploitation, domination, empowerment, demographic and economic pressure; dimension of dynamics includes variables of fluctuation, escalation and type of conflict, role of actor and institution, and local cultural characteristics; and dimension of resolution consist of variables of old and new social contracts. With this framework this study analyses empirically the conflict between corporation and local community in Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, West Java. The results indicate that there is a pattern of significance of causes, dynamics and resolution of conflicts, which is in general reveals a relation among dimensions of conflict.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Relasi antara korporasi dengan komunitas lokal pada industri tambang, minyak, dan gas mengalami banyak perubahan
sejak reformasi politik (1998) dan digulirkannya Undang-Undang Otonomi Daerah (1999 dan 2004). Gejala utama yang
mengemuka dalam perubahan ini adalah maraknya peristiwa konflik, diperkirakan hampir seluruh korporasi besar
tambang dan migas menghadapi masalah dengan komunitas lokalnya. Berdasarkan sejumlah penelitian lapangan
sebelumnya, anatomi konflik secara analitik dapat dipetakan dalam tiga dimensi, yakni dimensi sebab, dinamika, dan
resolusi konflik. Dimensi sebab mencakup variabel perubahan politik, ketimpangan, eksploitasi, dominasi,
pemberdayaan dan tekanan demografi, serta ekonomi; dimensi dinamika meliputi fluktuasi, eskalasi dan bentuk konflik,
itensitas, peran aktor dan lembaga, serta karakter budaya komunitas; dan dimensi resolusi mencakup kontrak sosial
lama dan kontrak sosial baru. Dengan model ini secara empirik dikaji kasus konflik antara korporasi dengan komunitas
lokal di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hasil studi menunjukkan adanya pola berkenaan
dengan signifikan-tidaknya sebab konflik, tinggi-rendahnya dinamika konflik, signifikan-tidaknya resolusi konflik, dan
secara keseluruhan menunjukkan tiga dimensi konflik ini saling berhubungan dalam proses konflik.

Abstract
Relationship between corporation and local community in mining and oil industry in Indonesia has changed
significantly since political reform (1998) and the enactment of regional autonomy (1999 and 2004). Social conflicts
arouse as main symptom of such changes, that almost all corporations had common problems in their relationship with
local communities. Based on previous studies, the anatomy of conflicts can be elaborated into three dimensions: causes,
dynamics and resolution of conflict. Cause of conflict includes variables of political reform, inequality, exploitation,
domination, empowerment, demographic and economic pressure; dimension of dynamics includes variables of
fluctuation, escalation and type of conflict, role of actor and institution, and local cultural characteristics; and dimension
of resolution consist of variables of old and new social contracts. With this framework this study analyses empirically
the conflict between corporation and local community in Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, West Java. The
results indicate that there is a pattern of significance of causes, dynamics and resolution of conflicts, which is in general
reveals a relation among dimensions of conflict."
[Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia], 2010
UI-MASOSHUM 14:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007
327.16 DIS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
Jakarta: Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2004
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Dirk Wabiser
"Konflik tanah merupakan gejala universal yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembanguan di Indonesia.
Kasus konflik tanah di Irian Jaya pada umumnya, dan di Sentani khususnya menarik untuk dikaji karena tidak hanya bersifat horizontal, tetapi juga vertikal. Asumsi dasar dari konflik tanah ini adalah bahwa konflik tanah terjadi karena dua pihak atau lebih mempunyai klaim yang sama atas sebidang tanah. Klaim yang sama mencerminkan adanya interpretasi yang berbeda-beda tentang hak kepemilikan tanah, misalnya kasus konflik tanah Kampung Harapan yang melibatkan masyarakat adat sendiri (Ohee-Ongge dan Walli) dan Pemerintah Daerah Irian Jaya. Ketiga pihak yang berkonflik mempunyai klaim yang sama sebagai pemilik tanah yang sah atas tanah Kampung Harapan yang pernah dikuasai oleh pemerintah Belanda, sejak berakhirnya Perang Dunia II (1946).
Manfaat penulisan ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan masyarakat adat untuk mengambil langkah-langkah bijaksana, guna meaekan konflik tanah, serta mengatasi masalah tanah sedemikian rupa, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Untuk membahas kasus konflik tanah Kampung Harapan, digunakan dua teori, yaitu Teori Integrasi Kelompok dan Teori Konflik, untuk mengkaji konflik antara masyarakat adat. Karena konflik ini melibatkan pemerintah, maka digunakan perspektif Lewis A.Cosser. Kedua teori ini dianggap relevan, karena integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat dapat merupakan sebab terjadinya konflik sosial antara kelompok dalam masyarakat. Namun, dapat pula terjadi bahwa konflik yang terjadi dengan kelompok luar/lain dapat meningkatkan integrasi internal kelompok.
Konflik tanah antara Ohee-Ongge, Wally, dan Pemerintah Daerah Irian Jaya, bersumber pada perbedaan interpretasi tentang Staat van UitbetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. dan proses verbal tanggal 27 Februari 1957. Pihak Ohee-Ongge dan Wally berpendapat bahwa perabayaran sebesar f.10.000 (Duizend Gulden) yang dibayar oleh pemerintah Belanda (Nederlands Nieuw Guinea), hanya menyangkut pembayaran tanaman anak negeri, seperti yang tercantum dalam Staat van UitoetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. Jadi, tidak termasuk tanahnya, sebagaimana tercantum dalam proses verbal.
Bersamaan dengan itu, Pemda Irian Jaya berpendapat, bahwa pembayaran f.1O.000 sebagai ganti-rugi terhadap tanaman anak negeri beserta tanahnya. Oleh sebab itu, tanah sengketa menjadi tanah negara.
Untuk menyelesaikan kasus ini, digunakan Cara musyawarah dan peradilan formal. Masyarakat adat (Ohee-Ongge) mengambil inisiatif untuk menyelesaikan kasus ini dengan Pemda Irian Jaya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah melalui peradilan formal. Di Pengadilan Negeri Jayapura dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya, gugatan pihak Ohee-Ongge dinyatakan menang, dan pihak Wally dan Pemda Irian Jaya dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Karena adanya fasilitas, maka kasus ini dilanjutkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya, ke Mahkamah Agung (MA), dan kembali kasus ini dimenangkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya. Pada kenyataan ini, pihak Ohee-Ongge tidak tinggal diam, mereka juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah terakhir dalam menempuh proses peradilan formal ke Mahkamah Agung. Dengan PK ini, pihak Ohee-Ongge kembali dinyatakan menang, dan kepada pihak Pemda Irian Jaya dituntut untuk mengganti/memberikan ganti rugi. Ternyata putusan PK MA tidak digubris sama sekali oleh Pemda Irian Jaya. Sikap Pemda ini diperkuat lagi dengan turunnya Surat Sakti Ketua MA yang membatalkan putusan MA yang memenangkan pihak Ohee-Ongge."
2001
T11421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mochthar Ngabalin
"Mengharapkan hadimya seorang Tokoh yang didengar, dihormati, dan disegani, adalah suatu dambaan tersendiri bagi masyarakat di Maluku saat ini. Betapa tidak, negeri yang terkenal, toleran dan konpromis, dalam nuansa heterogenitas masyarakat yang kental tersebut, kini diporak-porandakan oieh konfiik, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyelesaikannya. Koniiik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini, hampir dapat dikata berhasil meluluh-lantakan semua tatanan sosial Iokal yang selama ini terbangun mapan di masyarakat meialui proses-proses kultural. Dengan kata lain, pemirnpin dan kepemimpinan di Maluku dalam skala kecil (in grup), maupun masyarakat secara luas, saat ini dipertanyakan.
Padahal, berbicara mengenai pemuka pendapat di Maluku, tidak kurang banyaknya orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemuka pendapat. Berbagai pengalaman telah membuktikan bahwa Iewat kepemukaannya, para pemuka pendapat memperiihatkan peranannya yang dominan dan signiiikan, di masyafakat. Kepemukaan mereka telah banyak dibuktikan dalam hai penyelesaian konfiik yang terjadi di masyarakat, dimana tidak periu mengikutsertakan pihak Iuar (termasuk TNI dan Polri).
Dalam sejarah perjalanan masyarakat di Maluku, kemampuan pemuka pendapat dalam mengelola konflik terlihat sedemikian rupa, sehingga konflik dengan dampak yang negatif sekalipun, mampu dikelola menjadi kekuatan yang positif. Hasilnya adalah, terbangunnya relasi-relasi sosial, kohesi sosial bahkan integrasi sosial. Kenyataan ini yang melahirkan hubungan-hubungan seperti, Pela dan Gandong.
Ketika konflik terus berlanjut, orang lalu menanyakan dimana peran pemuka pendapat yang selama ini ada ? siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat, dan bagaimana perannya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong dilakukannya studi ini.
Dari hasil studi di lapangan, ditemukan seiumlah fakta berkaitan dengan permasalahan sebagaimana diajukan di atas. Pertama, konfiik yang terjadi sejak 19 Januari 1999, adalah konflik yang direncanakan, dengan memanfaatkan sejumlah persoalan sosial seperti, masalah mayoritas- minoritas, masalah kebijakan politik pemerintahan Orde Baru, masalah kesenjangan sosial, ekonomi antara pusat dan daerah, masalah imigran dan penduduk asli, serta masalah politisasi agama. Kedua, Konfiik berhasil membangun fanatisme kelompok yang sempit, dimana setiap orang mengidentifikasi dirinya secara subyektif berbeda dengan orang lain di Iuar kelompoknya. Dengan demikian, kepemukaan seseorang sering mengalami gangguan komunikasi dalam berhadapan dengan kelompok di Iuamya (out group). Ketiga, Masuknya kelompok Iuar dalam jumlah besar dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, adalah faktor kendala tersendiri bagi berperannya seorang-pemuka pendapat secara signiikan di Maluku.
Untuk maksud studi ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Dengan metode ini diharapkan akan dapat dituliskan secara sistimatis semua fenimena konflik yang terjadi di masyarakat pada Iatar alamiahnya, dan bagaimana peran pemuka pendapat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnain
Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Riset, 2003
303.6 ISK p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Taliawo, Riedno Graal
"Tesis ini membahas konflik antara kelompok pada pendirian tempat ibadah GKI Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada konflik tersebut terjadi dominasi oleh satu kelompok kepada kelompok lainnya. Keragam otoritas dalam masyarakat, menurut Dafrendorf, yang memungkinkan hal itu terjadi. Mereka yang secara jumlah mayoritas menggunakan potensi tersebut sebagai sumber otoritas untuk mengontrol otoritas negara untuk mengikuti keinginan dan kepentingannya. Konflik yang terjadi melibatkan kelompok-kelompok lain di luar jemaat GKI Taman Yasmin dengan warga sekitar lokasi gereja (Forkami). HTI, FPI, GARIS, KontraS, dan Komnas Perempuan, misalnya, adalah beberapa kelompok kepentingan yang terlibat dalam konflik ini. Pada konflik GKI Taman Yasmin, negara sebagai pemegang otoritas penyelenggara negara (Pemerintah Kota Bogor) juga ”takluk” pada dominasi kelompok tertentu. Kelompok penolak memiliki alasan menolak pendirian gereja, yaitu karena di wilayah berdirinya gereja adalah mayoritas muslim, serta adanya pemalsuan tanda tangan warga pada 15 Januari 2006 yang dilakukan Munir Karta (sebagai Ketua RT) sebagai persetujuan pendirian gereja. Sebaliknya bagi kelompok pendukung, GKI Taman Yasmin dianggap telah memenuhi syarat pendirian gereja, dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA), kebijakan Pemkot Bogor membekukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja pada tahun 18 Februari 2008 adalah salah. Karena itu, kebijakan Pemkot Bogor yang mencabut IMB secara permanen pada 11 Maret 2011 dianggap menyalahi aturan, termasuk menyimpang dari rekomendasi wajib Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, pengaturan konflik kepentingan pada pendirian tempat ibadah melalui Pengadilan sebagai pihak ketiga adalah salah satu cara yang perlu dikembangkan sebagai mekanisme pengelolaan konflik.

This thesis discuss about inter group conflict on establishment of places of worship GKI Taman Yasmin in Bogor, West Java, using a qualitative approach. The results showed that conflict occurred because of domination by one group to another group. This is called Authority Diversity in society, according Dafrendorf. The majority potentially uses such as the source of authority to control the state authorities to follow their wishes and interests. Conflicts has involve other groups outside the GKI Taman Yasmin and societies around the location of the church (Forkami). HTI, FPI, GARIS, KontraS, and Komnas Perempuan, are some of the interest groups involved on that conflict. The State as stakeholder of the authority of state officials (City Government) was also "give in" to the group dominance. Repellent groups have rejected the establishment of the church building grounds. This happen because of the church will be established in the region of majority of Muslim, and because of the fake signature that do Munir Karta (as the head of neighborhood) on January 15, 2006 for the approval of the establishment of the church. The support groups, had considered that GKI Taman Yasmin had eligible to establishment of the church, and according the decision of the Supreme Court (MA), Bogor City Government policies to freeze Building Permit (IMB) of the church on February 18, 2008 is incorrect. Therefore, Bogor City Government policies that permit permanently revoked on March 11, 2011 is considered to violate the rules, including mandatory deviate from the recommendations of the Ombudsman of the Republic of Indonesia. Furthermore, setting a conflict of interest in the establishment of places of worship by the Court as a third party is one way to be developed as a mechanism of conflict management.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T39263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinseng, Rilus A.
"ABSTRACT
The objectives of this study are to investigate class structure, class consciousness,
class formation, and class struggle of fishers in Balilcpapan as well as factors affecting
these phenomena. Basically, this is a qualitative study.
The study found that class stnxcture of the fishers in Balikpapan has not been
simplified to become two great hostile classes, namely bourgeoisie and proletariat. On
the contrary, class structure of iishers in Balikpapan has developed to become more
complex. Now, there are four classes of fishers in Balikpapan, namely the capitalist, the
labour, the small fishers (petty bourgeoisie), and the intermediate/medium fishers. Class
relation between labour and owner of the means of production here is quite unique.
Unlike in industries in general, relation between labour and owner here contains two
dimensions, namely the exploitative dominative and the patron-client. This ?two
dimensions? pattem of class relation is also found between the tishers (especially the
small and the intermediate classes fishers) and the merchants.
Class consciousness and class formation of the labour have not been developed
yet. In other -words, so far, labour class exists only as a class in itself, not class for itself
Factors affecting labour class consciousness and class formation are iiagmentation of
labour, high class permeability, labour?s dependent on the owner, lack of leader, lack of
common problem, and the share-system (not wage). On the other hand, small and
intermediate classes fishers have already developed class consciousness as well as class
formation. The most important factors contribute to this fact are the present of ?big?
common problems over and over again, as well as the present of active and vocal leaders
among them. The capitalist class of Fishers has not developed class consciousness and
class formation.
In line with the lack of class consciousness and class formation of the labour,
class conflict between labour and owner has never occurred. Conflicts between labour
and owner only take place individually, not as a class. Form of individual labour struggle
are grievance, questioning, ?protest", and quit. On the other hand, small and intermediate
class fishers often carry out a class struggle fiom dialog with the opponent as well as
govemment and legislators (DPRD), huge and rather violent demonstration, up to
hijacking big ships and burning down big fishing vessel of their opponent.
In class conflict, whether between small and intermediate classes fishers with
mining firms or with ?big capitalist? fishers class, there is again a peculiar character
which is uncommon or even unknown to the industrial world. In fishery class conflict,
there is a strong alliance between the owner class and the labour class. Furthermore,
when class conflict is taking place between the lower and the higher class fishers such as
between the ?peja1a" (intermediate class) and the purse seine fishers (big capitalist class)
early 2006 in Balikpapan, a strong alliance between owner and labour in each class was still hold. It means, capitalist fishers plus labour agains intermediate fishers plus labour. Something that probably never imagined by Marx!
In the class conflict between the "pejala" (intermediate class) and the purse seine fishers (big capitalist class) in Balik papan, the main issue or the cause of the conlict was not exploitation but domination in the process of "production". In this case, the intermediete class was dominated by the big capitalist class. More over, even though the issue was a "realistic issue", but because it was about source of livelihood, the level of violence of the class conflict was very high. In the case, fishing vessel was burned down and the vice-skipper was hit near his eye. Thus, the violence of a class conflict is not only determined by realistic vs non-realistic issue, but whether it is about main source of livelihood or not.
In conclution, this study plays a remarkable and significant contribution to the theory of fishery class conflict in particular, and even for the theory of class and class conflict in general."
2007
D802
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>