Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188422 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Michelle Audrey Darmadi
"Latar Belakang: Retinoblastoma adalah keganasan intraokular paling sering dan juga salah satu tumor padat tersering pada anak-anak. Di negara berkembang dimana terdapat perawatan dan deteksi dini yang baik, prognosis umumnya baik dengan tingkat kesintasan tinggi. Sayangnya, di negara berkembang termasuk Indonesia diagnosis umumnya tertunda dan kesintasan masih rendah. Hitung darah lengkap merupakan uji yang secara relative mudah dan murah serta dikatakan dapat memberikan informasi prognostik yang bernilai dan membantu menilai kesintasan pada berbagai jenis kanker. Namun, studi mengenai hal tersebut masih sangat sedikit pada kasus retinoblastoma.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara profil darah tepi pada presentasi awal dan kesintasan pada retinoblastoma.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang retrospektif dengan cara mengumpulkan rekam medis pasien retinoblastoma yang didiagnosis sejak Januari 2011 sampai Desember 2013 di Rumah Sakit Ibu dan Anak Cipto Mangunkusumo 'Kiara'. Demografi dan profil klinis pasien dikumpulkan dan keluaran dikategorikan menjadi event mati dan censored tidak mati . Analisis kesintasan dilakukan menggunakan metode Kaplan Meier dengan SPSS.
Hasil: Analsis survival dengan metode Kaplan-Meier dan log-rank test menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antar kesintasan pasien, baik berdasarkan status hemoglobin p=0,219 , status leukosit p=0,903 , dan status trombosit p=0,649 sebelum menerima terapi sistemik. Namun demikian, terlihat ada trend kesintasan.

Background: Retinoblastoma is the most common intraocular malignancy and is also one of the most common solid tumors in children. In developed countries where treatment is good and early detection is available, the prognosis and survival is good. Unfortunately, in developing countries including Indonesia diagnosis is still often delayed and survival is still low. Complete blood count as a relatively accessible and affordable test has been studied to provide valuable prognostic information and help in assessing the survival in various types of cancers. However, such studies is still very limited in retinoblastoma cases.
Objectives: This study aims to identify the relation between peripheral blood profile on first presentation and survival in retinoblastoma.
Methods: This study uses retrospective cross sectional study design by collecting medical records of retinoblastoma patients diagnosed from January 2011 to December 2013 in Cipto Mangunkusumo Children and Maternal Hospital 'Kiara'. The demography and clinical profile of patients is collected and outcome is categorized into event dead and censored not dead. Survival analysis is done using Kaplan Meier with SPSS.
Results: Survival analysis using Kaplan Meier method and log rank test shows no significant difference in survival between patients, either according to hemoglobin status p 0,219 , leukocyte status p 0,903 , and thrombocyte status p 0,649 before receiving systemic therapy. Nevertheless, there seem to be a trend of lower mean survival in group with abnormal Hb and leukocyte, although such relation is not seen in thrombocyte.Conclusion Although there is no significant relation, there seem to be a trend in which patients with worse peripheral blood profile has worse survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Academic Press , 1983
612.118 BLO (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Ratnaningsih
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara hasil pemeriksaan hematologi rutin dan morfologi darah tepi eritrosit pada sampel darah dengan berbagai konsentrasi antikoagulan Na2EDTA yang berbeda. Penditian ini merupakan penelitian potong lintang. Bahan penelitian berupa 33 sampel darah vena mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta. Dua ml darah dibagi ke datum 4 tabling Na2EDTA yang masing-masing berisi antikoagulan dengan konsentrasi yang berbeda. Tabung pertama berisi Na2EDTA konsentrasi standar, 2 mg/dl, tabung yang lain secara berurutan berisi Na2EDTA dengan konsentrasi 4 mg/dl, 6 mg/dl, and 8 mg/dl. Sebelumnya dibuat sediaan hapus langsung dari setetes darah tanpa antikoagulan (sebagai kontrol) untuk pemeriksaan morfologi darah tepi (MDT). Darah dalam keempat tabung tersebut segera dilakukan pembuatan sediaan hapus dan diperiksa profit hematologi eritrositnya menggunakan SYSMEX SE-9500 automatic analyzer. Terdapat penurunan yang bermakna dari hitung eritrosit, hemoglobin, hematokrit, dan MCHC serta peningkatan yang bermakna dari nilai MCV dan RDW antara konsentrasi Na2EDTA yang berlebihan, sedangkan nilai MCH tidak ada perbedaan. Pemeriksaan MDT menunjukkan perubahan yang bermakna pada bentuk echinocytes serta ditemukan gambaran ghost cells pada sampel darah dengan Na2EDTA yang berlebihan. Disimpulkan bahwa antikoagulan Na2EDTA yang berlebihan akan berpengaruh terhadap morfologi dan beberapa parameter hematologi eritrosit. (Med J Indones 2006; 15:157-64)

The purpose of this study is to know whether there are differences between hematology profile and morphology of erythrocyles of blood specimens which are prepared with excessive Na2EDTA anticoagulant in different concentration. This study was conducted in Faculty of Medicine Gadjah Mada University. The criteria of subject were male, age from 18 until 22 years old and healthy, ascertained from history taking and vital sign examination. Blood samples from 33 subjects were taken using vein puncture. Two millimeters blood was divided into 4 Na2EDTA-containing tube's. Before that, one drop of blood without Na2EDTA anticoagulant was used for making control blood film right after vein puncture. Each tubes contained different concentration of anticoagulant. The first tube contained Na2EDTA in standard concentration 2 mg/dl; the remaining tubes contained consecutively, 4 mg/dl, 6 mg/dl, and 8 mg/dl. Those samples were immediately examined using SYSMEX SE-9500 automatic analyzer for measuring erythrocytes hematological profile and were stained with Wright staining far morphological examination. These procedures were done before 20 minutes of vein puncture. There were significant decrease ofRBC count, HGB, HCT, and MCHC and also significant increase of MCV and RDW between different concentrations of excessive Na2EDTA anticoagulant. MCH did not have significant result. Morphological examination showed significant morphological changes in the form of echinocytes and appearance of ghost cells in the sample treated with excessive Na2EDTA anticoagulant concentration. In conclusion, there are differences in hematological profile and morphology of erythrocytes among blood specimen which are prepared with excessive Na2EDTA anticoagulant in different concentration, except for MCH. Excessive Na2EDTA anticoagulant concentration will affect the blood specimen for peripheral blood examination of erythrocytes by interfering morphology and some of hematological parameters. (Med J Indones 2006; J 5:157-64)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-157
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Azma Rosida
"Defisiensi besi merupakan keadaan dimana jumlah total besi tubuh berkurang yang bila berlanjut menyebabkan anemia defisiensi besi. Saat ini tersedia parameter immature reticulocyte fraction (IRF) yang menunjukkan fraksi retikulosit muda di sirkulasi yang bermanfaat menilai aktivitas eritropoiesis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui korelasi IRF dengan kadar besi dan feritin serum, dan saturasi transferin, serta korelasi feritin dan hepsidin serum. Penelitian dengan desain penelitian potong lintang ini melibatkan 77 subyek remaja putri sekolah yang telah haid dan mendapat suplementasi besi oral 2 kali seminggu selama 12 minggu. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, hitung retikulosit absolut, IRF, kadar besi, feritin, dan hepsidin serum serta saturasi transferin. Didapatkan korelasi bermakna dengan kekuatan sedang antara IRF dan kadar besi dan feritin serum, serta saturasi transferin (berturut-turut p<0,0001, r = -0,443; p = <0,0001, r = -0,439, dan p<0,0001, r = -0,423), dan antara kadar feritin dan hepsidin serum (p<0,001, r = 0,371). Dapat disimpulkan bahwa IRF memiliki hubungan bermakna dengan status besi tubuh.

Decreased total body iron will cause iron deficiency, which could end up to iron deficiency anemia. Currently, immature reticulocyte fraction (IRF) was introduced as a parameter to show young reticulocyte fraction in the circulation, as a useful tool to evaluate erythropoiesis activity. The aim of this study was to investigate the correlation between IRF with serum iron and ferritin concentrations, and with transferin saturation, and between serum ferritin with hepcidin concentration. A cross sectional study was conducted in Pramuka island involving 77 post-menarchal adolescent school girls, who had received twice weekly iron supplementation for 12 weeks. Serum concentrations of iron, ferritin, and hepsidin, haemoglobin concentration, transferin saturation, absolute reticulocyte count, and IRF were determined. There were significance correlations between IRF with serum iron and ferritin, concentrations, and with transferin saturation (p<0.0001, r = - 0.443; p<0.0001, r = -0.439 ; and p = <0.0001, r = -0.423, respectively), and between serum hepsidin and ferritin concentrations (p<0.001, r = 0.371). It can be concluded that IRF had significant correlation with iron status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrianus Jonathan Sugiharta
"Perubahan iklim telah menjadi isu global dan diyakini disebabkan oleh aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi gas rumah kaca (greenhouse gases), salah satunya adalah karbon dioksida. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida memberikan efek tidak hanya pada lingkungan sekitar, tetapi juga sistem tubuh. Kejadian ini dihubungkan dengan kemunculan berbagai penyakit akibat kondisi hiperkapnia yang menimbulkan efek merusak pada sel dan jaringan tubuh, termasuk sistem imun. PBMC merupakan salah satu komponen penting sistem imun yang berperan sebagai lini pertama tubuh dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan, termasuk peningkatan karbon dioksida. Tingkat karbon dioksida tinggi dapat menimbulkan perubahan pada ekspresi berbagai gen yang berperan dalam meregulasi respon seluler terhadap perubahan yang ada. Salah satu gen yang dimaksud adalah HIF-1α. HIF-1α merupakan salah satu protein faktor transkripsi utama dalam tubuh yang berfungsi untuk mengatur berbagai macam mekanisme seluler terhadap keadaan hipoksia. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mempelajari lebih lanjut mengenai efek peningkatan karbon dioksida terhadap ekspresi HIF-1α pada PBMC. PBMC dipisahkan teknik sentrifugasi, kemudian dikultur dan disimpan dalam empat keadaan yang berbeda (5% CO2 24 jam, 15% CO2 24 jam, 5% CO2 48 jam, dan 15% CO2 48 jam). Kemudian, RNA diisolasi dan dicek dengan teknik reverse transcriptase real-time PCR. Hasil dari kelompok sampel 24 jam menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal tingkat ekspresinya. Sedangkan pada kelompok sampel 48 jam, hasil menunjukkan perbedaan ekspresi yang tidak signifikan. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa adanya penurunan ekspresi HIF-1α ketika peningkatan karbon dioksida terjadi. Akan tetapi, ekspresi HIF-1α menunjukkan sedikit peningkatan setelah perlakuan selama 48 jam.

Climate change has become a major global issue since the past few years, and it is caused by human activities related to the emissions of greenhouse gases, one of which is carbon dioxide. Elevated level of carbon dioxide has been found to affect not only our environment, but also our body system. It is linked to many adverse clinical outcomes due to the hypercapnic condition towards many cells and tissues, including our immune system. PBMCs, a major components of immune system, are the first-line defence against various environmental changes, including increased carbon dioxide level. High carbon dioxide are thought to cause alterations of numerous genes expression, including HIF-1α, resulting in defective cellular response. HIF-1α is one of the most important transcription factor proteins for numerous cellular mechanisms related to hypoxia. Therefore, this research is aimed to study about the effects of increased carbon dioxide towards HIF-1α expression in PBMCs. PBMCs are separated from the blood by centrifugation, cultured, and treated under four different conditions (5% CO2 24 hours, 15% CO2 24 hours, 5% CO2 48 hours, and 15% CO2 48 hours. The RNA are then isolated and tested by reverse transcriptase real-time PCR. The result of 24-hour group showed a significant difference in the mRNA expression, unlike the difference in expression showed by the result of 48-hour group. In conclusion, the result showed that the expression of HIF-1α was decreased upon treated with increased carbon dioxide level. The expression, however, slightly increase after 48-hour period."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Aulia
"Pemeriksaan hematologi banyak dilakukan dengan menggunakan alat hitung sel darah otomatis yang mencakup parameter pemeriksaan seperti jumlah leukosit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, volume eritrosit rata-rata (VER), hemoglobin eritrosit rata-rata (HER), konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER), red distribution width (RDW), jumlah trombosit, mean platelet volume (MPV) dan platelet distribution width (PDW). Untuk pemeriksaan tersebut perlu diperhatikan beberapa hal, seperti persiapan penderita, cara pengambilan bahan dan pengiriman bahan bila bahan tersebut dirujuk serta antikoagulan yang dipakai. Kesalahan yang terjadi pada hal-hal tersebut di atas dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
Untuk pemeriksaan hematologi tersebut, biasanya dipakai darah vena yang dicampur dengan antikoagulan, agar bahan darah tersebut tidak menggumpal. Antikoagulan yang sering dipakai antara lain garam EDTA seperti tripotassium EDTA (K3EDTA). Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa penggunaan garam EDTA yang berbeda dan atau konsentrasinya yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan kuantitas maupun kualitas hasil pemeriksaan. Lamanya penundaan pemeriksaan juga dapat memberikan hasil yang berbeda untuk parameter tertentu.
Saat ini banyak penelitian yang memerlukan pemeriksaan hematologi dilakukan di lapangan sehingga ada kecenderungan untuk melakukan penundaan pemeriksaan hematologi yang dibutuhkan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ingin diketahui batas waktu lamanya penyimpanan darah dengan antikoagulan K3EDTA dalam tabung vacuette pada suhu kamar dan lemari es sebelum terjadinya perubahan kuantitas maupun kualitas yang minimal pada beberapa pemeriksaan hematologi serta pengaruh perbedaan suhu penyimpanan bahan tersebut.
BAHAN, ALAT DAN REAGENSIA
Behan penelitian : Behan penelitian berasal dari 27 orang yang memerlukan pemeriksaan hematologi di laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM) antara tanggal 1 Maret 1998 sampai dengan tanggal 10 April. 1998. Diharapkan bahan penelititan mewakili kadar hemoglobin tinggi, normal dan rendah masing-masing 3 orang, jumlah leukosit tinggi, normal dan rendah masing-masing 3 orang, jumlah trombosit tinggi, normal clan rendah masing-masing 3 orang. Bahan penelitian tersebut berupa darah vena sebanyak 6 mL, yang diambil dengan menggunakan semprit 10 mL, dimasukkan ke dalam dua tabung vacuette 3 mL dengan antikoagulan K3EDTA (selanjutnya disebut darah K3EDTA) dan dibuat sediaan hapus langsung tanpa antikoagulan. Preparat sediaan hapus langsung dikeringkan pada suhu kamar (21 - 30 ° C), setelah kering {kira - kira 30 menit) difiksasi dengan metanol kemudian diberi pulasan Wright. Darah dalam tabung vacuette pertama (3mL) segera diperiksa parameter hematologinya menggunakan alat hitung sel darah otomatis Sysmex K-1000, sisa darah disimpan pada suhu kamar . Darah dalam tabung vacuette yang kedua (3mL) segera dimasukkan ke dalam lemari es pada suhu 40 C. Selanjutnya darah dalam tabung vacuette yang disimpan pada suhu kamar dan lemari es tersebut diperiksa parameter hematologinya secara serial pada menit ke dua puluh, jam pertama, jam ke dua, jam ke empat, jam ke enam, jam ke duabelas dan jam ke dua puluh empat.
Kriteria masukan untuk bahan penelitian ini adalah bahan pemeriksaan darah yang mempunyai jumlah leukosit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah trombosit masih dalam batas linearitas alat hitung sel darah otomatis Sysmex K ? 1000."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Engkun Maskun
"Latar belakang dan tujuan
Bahan berbahaya dalam kebakaran dapat mempengaruhi kesehatan petugas pemadam. Bahan kimia yang terkandung dalam asap kebakaran akan terserap kedalam tubuh dan mempengaruhi fungsi organ-organ tubuh, di antaranya adalah peningkatan kadar hemoglobin darah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruli pajanan asap kebakaran terhadap peningkatan kadar hemoglobin darah pada tim pemadam kebakaran.
Metode
Penelitian ini menggunakan disain studi kasus-kontrol terhadap 120 subjek terdiri dari 40 kasus kadar Hb tinggi dan 80 kontrol dengan memadankan umur. Subjek penelitian adalah anggota pasukan, sopir mobil pemadam, kepala regu dan kepala peleton pemadam kebakaran. Tingkat pajanan dihitung secara skoring terhadap faktor-faktor yang terkait pajanan.
Hasil dan kesimpulan
Faktor-faktor pajanan yang diteliti yaitu umur, masa dinar, jabatan, lama pemadaman, frekuensi pemadaman, pemakaian masker dan kebiasaan merokok, secs statistik tidak ada hubungan yang bermakna dengan kadar Hb (p> 0,05). Hipotesis tingkat pajanan asap yang tinggi mempunyai risiko kadar Hb tinggi lebih besar dibanding tingkat pajanan rendah, ditolak. Tingkat pajanan tidak berhubungan bermakna secara statistik dengan kadar Hb (p >0,05).

Background and objective
The exposure of fire smokes contained hazardous substances ;potentially effect firefighter's health. The cumulative effect of these substances can abnormally increase the haemoglobine level. This study is aimed at finding the associations of fire smokes exposure to high haemoglobine level and its risk factors.
Methods. This study design was a case-control study involving sample of 120 subjects consisted of 40 cases of high I-lb level and 80 controls. The exposure levels offire smokes were scored for exposure related factors.
Results and conclusions. The exposure factors included age , periode of job, job position, length of service, frekuency of service, masker usage, and smoking habit were no statistical significant association to high Hb level (p>0,05). The hypotesis stated the high exposure level offire smokes have higher risks :3f Hb level than low exposure level alit was rejected . The level of exposure was no statistically significant association with Hb level (p>0, 05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Konda Kinanti Muroso
"Berdasarkan bentuk dari sel darah merah, mikrositik hipokromik anemia adalah tipe anemia yang paling sering dijumpai. Tipe ini bisa disebabkan oleh anemia dengan defisiensi besi atau beta thallasemia. Akan tetapi, tidak banyak literatur dan jurnal yang membahas tentang epidemiologi dari mikrositik hipokromik anemia. Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi proporsi dari mikrositik hipokromik anemia dan asosiasinya dengan umur dan jenis kelamin pada pasien rawat inap di RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo.
Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dan data seperti umur, jenis kelamin, hasil hemoglobin, MCV dan MCH, dari pasien diambil pada bulan Maret 2011. 3197 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini, 1674 perempuan (52.4%), 1523 lelaki (47.6%). Pasien dengan mikrositik hipokromik anemia berjumlah 674 (21.1%). Umur median dari pasien dengan mikrositik hipokromik anemia adalah 46.50 tahun, sedangkan pasien tanpa mikrositik hipokromik anemia adalah 46 tahun (p = 0.791).
Ditemukan 387 perempuan dengan mikrositik hipokromik anemia (23.1%) dan 287 lelaki dengan mikrositik hipokromik anemia (18.8%) (p = 0.03). Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada asosiasi antara umur dengan pasien yang mempunyai mikrositik hipokromik anemia. Akan tetapi, ditemukan asosiasi antara jenis kelamin dan mikrositik hipokromik anemia; jumlah wanita yang mempunyai mikrositik hipokromik anemia lebih banyak dibandingkan lelaki.

Worldwide, iron deficiency is one of the most frequent and significant causes of anemia. The commonest form of anemia is microcytic hypochromic anemia which may be caused by iron deficiency. This study aims to evaluate the proportion of microcytic hypochromic anemia and analyze its correlation with age and gender in the in-patient ward of RSUPN DR. Cipto Mangunkusomo.
A cross-sectional study design was applied and the data on the patient?s age, gender, hemoglobin level, MCV and MCH level was taken on March 2011. 3197 subjects were included in this study, 1674 female (52.4%), 1523 male (47.6%). 674 subjects (21.1%) diagnosed with microcytic hypochromic anemia. The median age of patients with microcytic hypochromic anemia was 46.50 years old, while patients without microcytic hypochromic anemia was 46 years old (p = 0.791).
There were 387 women (23.1%) found with microcytic hypochromic anemia, whereas, 287 men (18.8%) with microcytic hypochromic anemia (p = 0.03). Overall, the occurrence of microcytic hypochromic anemia is not associated with age, but an increased occurrence of microcytic hypochromic anemia was found in female patients as compared to male patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bain, Barbara J.
"This book contain : * Enables both the haematologist and laboratory scientist to identify blood cell features, from the most common to the more obscure * Provides essential information on methods of collection, blood film preparation and staining, together with the principles of manual and automated blood counts * Completely revised and updated, incorporating much newly published information: now includes advice on further tests when a specific diagnosis is suspected *400 high quality photographs to aid with blood cell identification * Highlights the purpose and clinical relevance of haematology laboratory tests throughout."
Chichester: Wiley Blackwell, 2015
616.15 BAI b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Alfa Fauziah
"Gangguan rasa nyaman adalah perasaan kurang senang, lega dan sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosial. Perawat perlu menggunakan beberapa metode dalam mengurangi ketidaknyamanan anak saat di rumah sakit agar tidak memberikan dampak negatif dan trauma dimasa yang akan datang. Tujuan karya tulis ilmiah ini adalah untuk menganalisis penerapan Teori Comfort Kolcaba dalam proses asuhan keperawatan pada anak dengan masalah gangguan rasa nayaman. Metode karya ilmiah ini adalah studi kasus. Terdapat lima kasus anak di ruang IGD anak zona kuning yang diberikan asuhan keperawatan dengan pendekatan Teori Comfort Kolcaba. Aplikasi Comfort Kolcaba membagi tingkat kenyamanan dalam empat konteks yaitu kenyamanan fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosiokultural. Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah berdasarkan pendekatan berbasis bukti seperti distraksi, modifikasi lingkungan dan keterlibatan keluarga untuk meningkatkan kenyamanan anak. Penggunaan skerem bermotif kartun terbukti kurang efektif dalam menurunkan kecemasan anak saat dilakukan prosedur penusukan vena.

Comfort disorders is feeling less happy, relieved, and perfect in physical, psychospiritual, environmental, and social dimensions. Nurses need to use several ways to reduce the child's discomfort while in hospital so that it does not have a negative impact and trauma in the future. The purpose of scientific writing is to analyze the application of Kolcaba's Comfort Theory in the nursing care process for children with comfort problems. The method of this scientific work is a case study. There are five cases of children in the yellow zone children's ER who were given nursing care with the Kolcaba Comfort Theory approach. The Comfort Kolcaba application divides the comfort level into four contexts: physical comfort, psychospiritual, environmental, and socio-cultural. Nursing interventions that are carried out are based on evidence-based approaches such as distraction, environmental modification, and family involvement to increase child comfort. The use of cartoon-patterned series proved to be less effective in reducing children's anxiety during the venipuncture procedure."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>