Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97439 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stevy Liura
"Verifikasi kemampuan algoritma kalkulasi dosis pada Treatment Planning System TPS baru dapat dilakukan dengan membandingkan passing rate hasil analisis indeks gamma dari algoritma yang diuji dengan algoritma yang telah diimplementasikan secara klinis. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh passing rate indeks gamma yang dapat digunakan sebagai data referensi dalam verifikasi kemampuan algoritma TPS tiga dimensi. Algoritma yang digunakan dalam penelitian ini ialah Pencil Beam Convolution PBC versi 11.0.31 dan Anisotropic Analytical Algorithm AAA versi 11.0.31 pada TPS Eclipse v.11, serta Fast Convolution FC , Adaptive Convolution AC , dan Collapsed-Cone Convolution CCC pada TPS Pinnacle3 v.7.6c. Konfigurasi berkas sinar-X diatur pada energi 6 MV untuk variasi kedalaman titik pengukuran, luas lapangan, source-to-surface distance, dan sudut wedge. Pengukuran dosis dilakukan dengan menggunakan detektor MatriXX Evolution dan PTW 2D-array seven29. Analisis indeks gamma dilakukan dengan menggunakan OmniPro ImRT dan Verisoft 3.1 untuk kriteria 3 /3mm, 2 /3mm, 3 /2mm, dan 2 /2mm. Secara keseluruhan, passing rate dari AAA cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan PBC dan ketiga algoritma konvolusi. Untuk kriteria 2 /2mm, passing rate dari AAA sebesar 93,18 7,21 , passing rate dari PBC sebesar 89,76 7,21 , dan passing rate algoritma konvolusi sebesar 76,84 11,10.

The verification of dose calculation algorithm in a new Treatment Planning System TPS can be evaluated by comparing the passing rate of gamma index analysis result of the evaluated algorithm and the clinically implemented algorithms. In the present investigation, the author investigated the gamma index passing rates as the reference data in the verification of new three dimensions TPS. The algorithms used in this study are Pencil Beam Convolution PBC version 11.0.31 and Anisotropic Analytical Algorithm AAA version 11.0.31 in Eclipse v.11 TPS, and Fast Convolution FC , Adaptive Convolution AC, and Collapsed Cone Convolution CCC in Pinnacle3 v.7.6c TPS. The 6 MV X ray beam configurations were varied in depths of measurement point, field sizes, source to surface distances, and wedge angles. The dose was measured using MatriXX Evolution and PTW 2D array seven29. The gamma index analysis was performed for many gamma criteria 3 3mm, 2 3mm, 3 2mm, and 2 2mm using OmniPro ImRT and Verisoft 3.1. Overall, passing rate of AAA tends to be higher than PBC and three other convolution algorithms. For gamma criteria of 2 2mm, passing rate of AAA was 93,18 7,21 , passing rate of PBC was 89,76 7,21, and passing rate of convolution algorithms was 76,84 11,10.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S66502
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiyantari
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2005
T39802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaifulloh
"Pengukuran dalam radioterapi untuk perhitungan dosis seperti percentage depth dose (PDD) dilakukan dalam fantom air yang memiliki densitas homogen, dengan densitas hampir sama densitas otot (1 g/cm3). Pada perlakuan radioterapi seperti pada kanker paru, berkas radiasi melewati material yang tidak homogen yaitu otot, tulang dan paru itu sendiri yang berakibat pada perubahan PDD, sehingga perlu pengukuran pada medium inhomogen seperti pada fantom rando.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur distribusi dosis pada paru dengan simulasi perlakuan radioterapi pasien kanker paru dengan fantom rando kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan TPS. Pengukuran distribusi dosis menggunakan TLD dan film Gafchromic. Untuk memperoleh distribusi dosis pada paru TLD diletakkan pada titik - titik yang berada pada bidang utama berkas dalam fantom rando. Pengukuran distribusi dosis dengan film dilakukan dengan meletakkan film Gafchromic diantara 2 irisan fantom rando. Pengukuran dilakukan untuk 3 lapangan, 5 x 5 cm2, 10 x 10 cm2, dan 15 x 15 cm2. Hasil pengukuran dengan film dan TLD kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan TPS.
Hasil penelitian menunjukkan persentase dosis pada berbagai kedalaman antara hasil pengukuran film Gafchromic dengan perhitungan TPS berbeda secara signifikan, dan semakin besar lapangan semakin besar deviasi. Hasil pengukuran dengan film gafchromic mendapatkan nilai deviasi persen dosis hingga 6 % untuk lapangan 5 x 5 cm2, 16 % untuk lapangan 10 x 10 cm2, dan 17% untuk lapangan 15 x 15 cm2. Untuk pengukuran dengan TLD deviasi persen dosis hingga 8% untuk lapangan 5 x 5 cm2, 11% untuk lapangan 10 x 10 cm2, 12% untuk lapangan 15 x 15 cm2 masing ? masing pada kedalaman 15 cm.

Measurements in radiotherapy for dose calculation as percentage depth dose (PDD) are done in a water phantom with homogeneous density (1 g/cm3). In the radiotherapy treatment such as lung cancer, the radiation beam passes through inhomogeneous materials i.e. muscle, bone and lung itself, which resulted change in PDD, so necessary measurements on inhomogeneous medium like the rando phantom.
The purpose of this study was to measure dose distribution in the lung with simulated radiotherapy treatment of lung cancer patients with a rando phantom and compared with the TPS calculation. Measurement of dose distributions is using TLD and gafchromic films. To obtain the dose distribution in the lung, TLD placed at the points located on the main field of the beam in the rando phantom. Field measurements were made for 3 field sizes, 5 x 5 cm2, 10 x 10 cm2, and 15 x 15 cm2. The results were then compared with the TPS calculation.
The results show the percentage dose at various depths between the measurement and TPS calculation differ significantly, and the larger the field the greater the deviation. Measurement using gafchromic film resulting in deviation in dose percentage reaching up to 6 % for 5 x 5 cm2 field size, 16 % for 10 x 10 cm2, and 17 % for the 15 x 15 cm2. For TLD measurement, deviation is up to 8% for 5 x 5 cm2 field size, 11% for 10 x 10 cm2, and 12% for 15 x 15 cm2 at 15 cm depth respectively.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35528
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Ferdiansyah
"Pengukuran tanggapan film gafchromic EBT 2 dan TLD dengan variasi sudut datang berkas sinar gamma Cobalt-60 telah dilakukan pada kedalaman 1.5 cm, 2.5 cm, 5cm, 7.5 cm, dan 10 cm dengan sudut gantry 0o, 10o, 20o, dan 30o. Penelitian dilaksanakan di Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, menggunakan pesawat teleterapi Cobalt-60. Teknik penyinaran dengan kondisi SSD 80 cm dan luas lapangan 10x10 cm2. Penelitian dengan variasi sudut gantry dari 0o sampai dengan 30o mengakibatkan dosis pada kedalaman tertentu mengalami penurunan, dimana pada kedalaman 1.5 cm, 2.5 cm,5 cm, 7.5 cm, dan 10 cm mengalami penurunan dosis terhadap dosis yang diberikan masing-masing sebesar 1.1%, 1.91%, 7.14%, 10.4%, dan 26.8% pada tanggapan film gafchromic EBT 2, 1.07%, 1.65%, 6.75%, 10.47%, dan 24.28% pada tanggapan TLD chip, dan 0.08%, 1.30%, 6.07%, 9.20%, dan 24.47% pada tanggapan TLD rod. Pada perlakuan klinis, nilai yang masih diterima sekitar 3%.
Hasil pengukuran menunjukkan dosis kedalaman pada fantom cenderung menurun terhadap kenaikan sudut gantry. Di sisi lain, hasil profil berkas pada tanggapan film gafchromic EBT 2 berdasarkan panjang flattened region (FR) menunjukkan bahwa pada kedalaman 0 cm dan 1.5 cm masih diperbolehkan sampai sudut gantry 30o. Pada kedalaman 2.5 cm hanya diperbolehkan sampai sudut 20o. Sedangkan, pada kedalaman 5 cm, 7.5 cm, dan 10 cm hanya diperbolehkan pada sudut 0o, karena jika dilakukan penyinaran pada sudut miring (atau lebih dari 0o) akan terjadi perubahan panjang flattened region lebih dari 2 mm.

Measurement of the response of film gafhcromic EBT 2 and TLD with variation incidence angle of Cobalt-60 gamma ray beam have been done in depth 1.5 cm, 2.5 cm, 5 cm, 7.5 cm, and 10 cm with gantry angle 0o, 10o, 20o, and 30o. Experiments were done at Radiotherapy Instalation of Persahabatan Jakarta Hospital using Cobalt-60 unit. Irradiating technique with condition SSD 80 cm and wide of field radiation 10x10 cm2. Experiment with variation of gantry angle from 0o up to 30o resulting the dose in certain depth decrement, where in the depth 1.5 cm, 2.5 cm, 5 cm,7.5 cm, and 10 cm have the dose decreased of a given dose, respectively by 1.1%, 1.91%, 7.14%, 10.4%, dan 26.8% from the response of gafchromic EBT 2 film, 1.07%, 1.65%, 6.75%, 10.47%, dan 24.28% from the sesponse of TLD chip, and 0.08%, 1.30%, 6.07%, 9.20%, dan 24.47% from the response of TLD rod. In clnical, the value approved until3%.
The result of measurement show that phantom depth dose have decreased against gantry angle increment. In the other hand, the beam profile result from the response of gafchromic EBT 2 film by long flattened region (FR) indicates that at a depth of 0 cm and 1.5 cm are still allowed to gantry angle 30o. At a depth of 2.5 cm is only allowed up to 20o angle. Meanwhile, at a depth of 5 cm, 7.5 cm, and 10 cm are permitted only on the angle 0o, because if the irradiation at an oblique angle (or more than 0o) will occur long flattened region changes more than 2 mm.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Seno Kuncoro S
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
T40299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratama Kurnia Wisnubrata
"Dalam pemanfaatan radiasi pengion khususnya di bidang medis, sinar - x sangat berperan sekali dalam proses penegakan diagnosa. namun dalam penggunaanya harus dilandasi dengan prinsip ALARA (as low as reasonably achievable), yakni bahwa suatu nilai paparan dosis radiasi yang diterima didalam pemanfaatan sinar-x adalah harus sekecil mungkin dan dapat dipertanggung jawabkan. Sesuai dengan ketentuan BAPETEN Pemeriksaan radiologi seharusnya pada ruang tertutup dan telah di lengkapi oleh sistem proteksi radiasi. Pada hasil observasi di Rumah Sakit X bahwa terdapat pemeriksaan radiografi di unit Intensive Care Unit dan tidak terdapat sistem proteksi radiasi hal ini tidak sesuai dengan ketentuan BAPETEN. Maka Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jarak aman terhadap dosis radiasi hambur yang ditimbulkan dari pemeriksaan radiografi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa pada radius jarak 100, 200, 300, 400, centi meter jika melakukan pemeriksaan radiografi Thorax AP di Unit ICU Tanpa Proteksi radiasi dinyatakan tidak aman karena melebihi Nilai Ambang Batas ( NBD) BAPETEN yaitu 0.001 mSv/h. Selain petugas radiographer dilarang berada di ruangan pada saat pemeriksaan. Pemeriksaan radiografi Thorax AP di ICU sebaiknya menggunakan kaidah proteksi radiasi yaitu Jarak, Perisai , dan Waktu.

In particular the use of ionizing radiation in the medical field, x - ray was instrumental in the process of establishing the diagnosis at all. But its use should be based on the principle of ALARA (as low as reasonably achievable), namely, that the value of exposure to the radiation dose received in the use of x-rays is to be as small as possible, and reliable. In accordance with the provisions BAPETEN radiological examination should be in a confined space and have been completed by the radiation protection system. In the observation at Hospital X that there radiographs in the Intensive Care Unit of the unit and there is no system of radiation protection it is not in accordance with the provisions BAPETEN. So the purpose of this study was to determine the safe distance of the scattered radiation dose resulting from radiographic examinations such. This study used quantitative methods with cross sectional approach. The results of this study show that the radius distance of 100 cm, 200 cm, 300 cm, 400 cm, at the time of Thorax AP radiographs in the ICU Unit without Radiation protection declared unsafe because it exceeds the Threshold Limit Value (TLV) BAPETEN the 0.001 mSv / h. Besides radiographer officers banned from the room at the time of inspection. Thorax AP radiographs in the ICU should use the principles of radiation protection are distance, shielding, and time."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S44227
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathia Budi Asmara
"Latar Belakang: Kasus keganasan pada regio abdominopelvis memerlukan tatalaksana radiasi. Alat imobilisasi membantu untuk meminimalisasi pergeseran lapangan radiasi yang terdiri dari systematic error dan random error. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan alat imobilisasi penyangga lutut dan masker pelvis termoplastik. Tujuan: Mengetahui adakah perbedaan tingkat akurasi radiasi kedua imobilisasi yang akan menentukan margin PTV terbaik. Metode: Penelitian prospective randomized control trial pada pasien dengan keganasan regio abdominopelvis yang menjalani radiasi April­–Juli 2024. Systematic dan random error didapatkan dari data Treatment Planning System (TPS). Margin PTV dihitung menggunakan rumus van herk. Hasil: Didapatkan 31 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dan eksklusi terdiri dari 15 sampel dengan imobilisasi termoplastik dan 16 sampel dengan penyangga lutut. Margin PTV yang direkomendasikan untuk masker pelvis termoplastik 6.24 mm pada sumbu x (LL), 14,31 mm pada y(CC), dan 3,28 mm pada z(AP). Sedangkan pada penyangga lutut 7.72 mm sumbu x, 11.76 mm sumbu y, dan 5.16 mm sumbu z. Kesimpulan: Pergeseran AP termoplastik lebih baik dibandingkan penyangga lutut sesuai dengan rekomendasi internasional toleransi £ 3mm. Sedangkan untuk CC dan LL tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik.

Background: The immobilization tool helps to minimize radiation field shifts which consist of systematic errors and random errors. In this study, a comparison of knee wedge immobilization devices and thermoplastic pelvic masks was carried out on the level of accuracy of radiation delivery. Objective: To determine whether there is a difference in the level of radiation accuracy for both immobilizations which will determine the best PTV margin. Methods: Prospective randomized control trial study in patients with malignancies in the abdominopelvic region who underwent radiation April–July 2024. Systematic and random errors were obtained from Treatment Planning System (TPS) data. PTV margin is calculated using the Van Herk formula. Results: There were 31 patients who met the inclusion and exclusion criteria consisting of 15 samples with thermoplastic and 16 samples with knee wedge. The recommended PTV margins for thermoplastic pelvic masks are 6.24 mm in the x-axis (LL), 14.31 mm in y(CC), and 3.28 mm in z(AP). Meanwhile, the knee wedge is 7.72 mm x-axis, 11.76 mm y-axis, and 5.16 mm z-axis. Conclusion: Thermoplastic AP displacement is better than the knee wedge according to international standard tolerance of £ 3mm. Meanwhile, for CC and LL, no statistically significant differences were found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Suryantini
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian penentuan dosis internal berbagai organ pada pemeriksaan bone scan dengan radiofarmaka 99Tcm-MDP yang bertujuan untuk menentukan dosis internal yang diterima oleh permukaan tulang rangka, sumsum tulang, dinding jantung, ginjal, dinding kandung kemih dan total tubuh, dan untuk mengetahui waktu tinggal (residence time) 99Tcm di dalam organ. Penelitian
dilakukan terhadap 20 pasien dengan usia 20-70 tahun dengan melakukanm beberapa sesi pengambilan data melalui scanning planar AP dan PA pada organ yang menjadi objek dalam penelitian ini. Selanjutnya dari setiap citra planar scanning organ dibuat region of interest (ROI) untuk menentukan aktivitas 99Tcm yang terendap dalam organ sehingga dapat dibuat sebuah kurva aktivitas kumulatif pada setiap organ, kemudian diolah dengan program Maple untuk mendapatkan suatu nilai aktivitas kumulatif yang digunakan dalam penentuan dosis internal sesuai dengan metode MIRD. Berdasarkan data pengamatan selama 3 - 4 jam setelah penyuntikan diperoleh dosis serap paling tinggi terjadi pada dinding kandung kemih 5,8 ± 1,6 μGy/MBq, yang diikuti berturut-turut pada ginjal 4,7 ± 1,0 μGy/MBq, pada dinding jantung 4,0 ± 0,8 μGy/MBq, pada permukaan tulang 2,1 ± 0,2 μGy/MBq, pada sumsum tulang 1,7 ± 0,2 μGy/MBq, dan pada total tubuh 0,8 ± 0,1 μGy/MBq. Khusus untuk sumsum tulang, nilai
masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai batas dosis yang direkomendasikan oleh ICRP dalam publikasi ICRP nomor 103. Sedangkan waktu tinggal 99Tcm dalam permukaan tulang mendekati sama dengan pada total tubuh sekitar 1,9 jam, kemudian diikuti kandung kemih sekitar 1,4 jam, dan dalam jantung dan ginjal masing-masing sekitar 0,2 jam. Disamping perhitungan dosis internal juga
diakukan pengukuran dosis permukaan pada tiga titik pengukuran yang beradam pada daerah sternum (a), daerah ginjal kanan (b) dan kandung kemih (c). Pengukuran dilakukan sampai dengan dua jam setelah penyuntikan, diperoleh hasil sekitar 4,3 μGy/jam per 1 MBq pada titik pengukuran a, dan sekitar 3,9 μGy/jam per 1 MBq masing-masing pada titik pengukuran b dan c.

Abstract
The Study of estimation of the internal dose for various organs in bone
scan using 99Tcm-MDP have been conducted, the aim of this study are to determine the internal dose for bone surfaces, bone marrow, heart wall, kidneys, bladder wall and total body, and to found the residence time of 99Tcm in the organ. The study conducted on 20 patients with age 20-70 years by doing several session of data collection through scanned AP and PA planar the organ which is the object in this study. The Region of Interest (ROI) from the planar images of the organ were made to determine the activity of 99Tcm deposited in the organ than
can be made a cumulated activity curve for each organ. Then the data were processed with the Maple Program to obtain cumulated activity values that are used in estimation of the internal dose according to the MIRD method. With observational data for 3 - 4 hours obtained the highest internal dose in the bladder wall is 5.8 ± 1.6 μGy/MBq and then followed the kidney is 4.7 ± 1.0 μGy/MBq, the heart wall is 4.0 ± 0.8 μGy/MBq, the bone surfaces is 2.1 ± 0.2 μGy/MBq, bone marrow is 1.7 ± 0.2 μGy/MBq, and the total body is 0.8 ± 0.6 μGy/MBq. Special to the bone marrow, the value is still lower than the value of the threshold in the ICRP publication number 103. The residence time 99Tcm in the
bone surfaces equal to the total body about 1.9 hours, followed the bladder about 1.4 hours, and the heart and the kidney each about 0.2 hours. In this study also measured the surface dose at three points in the region on the sternum (a), on the right kidney (b) and on the bladder (c). Measurements were made up to two hours after injection, the result obtained about 4.3 μGy/h per 1 MBq at the point a and
about 3.9 μGy/h per 1 MBq each at the point b and c."
2011
T29894
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rory Agustria
"Latar belakang: Petugas radiasi yang bekerja di RS memiliki risiko terpapar radiasi dosis rendah. Hal ini juga diketahui dapat menginduksi peningkatan jumlah limfosit yang bersirkulasi dan kerusakan DNA. Namun sampai dengan saat ini belum diketahui pengaruh dari paparan radiasi dosis rendah terhadap tingkat respon adaptif dari sel dengan menganalisis biomarker caspase 3 pada jalur apoptosis.
Metode: Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi protein caspase 3 pada limfosit pekerja radiasi medis dan pekerja non-radiasi setelah dilakukan iradiasi. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vitro yang dilakukan di RS Dharmais dan Laboratorium Radiobiologi Molekuler, Pusat Teknologi Keselamatan dan Meteorologi Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTKMR BATAN) selama bulan Agustus sampai November 2020. Penelitian ini melibatkan 24 sampel darah yang terdiri dari 12 pekerja radiasi dan 12 pekerja non radiasi sebagai kontrol. Kedua kelompok sampel tersebut diberikan perlakukan iradiasi dengan dosis 2 Gy dan dilakukan isolasi PBMC yang bertujuan untuk menganalisis kerusakan DNA yang terjadi menggunakan biomarker γ-H2AX. Sampel kemudian menjalani kultur selama 24 jam untuk melihat tingkat respon adaptif dari sel dengan biomarker caspase 3 pada jalur apoptosis.
Hasil: Penelitian ini menemukan bahwa setelah dilakukan iradiasi pada kedua sampel terjadi peningkatan jumlah foci γ-H2AX. Hasil statistik memperlihatkan bahwa terdapat korelasi antara jumlah foci γ-H2AX pasca iradiasi dengan jumlah foci γ-H2AX sebelum iradiasi pada kedua sampel dengan p = 0.000 < 0.05, serta terdapat korelasi antara dosis iradiasi dengan jumlah foci γ-H2AX pada kedua sampel dengan p = 0.041 < 0.05. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada ekspresi caspase 3 kedua sampel setelah dilakukan kultur dengan p = 0,404 > 0,05. Akan tetapi, ditemukan sampel pekerja radiasi medis memiliki rasio ekspresi caspase 3 sebelum dan sesudah kultur yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan sampel pekerja non-radiasi.
Kesimpulan: kedua sampel pekerja radiasi dan bukan pekerja radiasi memiliki tingkat resiko kerusakan yang sama dan tingkat respon kedua sampel terhadap kerusakan yang terjadi pada jalur apoptosis relatif tidak jauh berbeda. Hasil ini menunjukkan bahwa paparan radiasi dosis rendah tidak meningkatkan risiko kerusakan DNA seperti yang dinilai menggunakan ekspresi foci γ-H2AX.

Background Radiation workers who work in hospitals are at risk of being exposed to low doses of radiation. Radiation exposure is known to induce an increase in the number of circulating lymphocytes and DNA damage. However, until now, the effect of low-dose radiation exposure on the level of adaptive response of cells indicated by caspase 3 biomarkers in the apoptotic pathway is unknown. This study aims to assess the expression of caspase 3 protein in lymphocytes of medical radiation workers and non-radiation workers after irradiation.
Methods: This was an experimental in vitro study conducted at Dharmais Hospital and dan Laboratorium Radiobiologi Molekuler, Pusat Teknologi Keselamatan dan Meteorologi Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTKMR BATAN) from August to November 2020. This study involved 24 blood samples consisting of 12 radiation workers and 12 non-radiation workers as controls. Both groups of samples were treated with irradiation and PBMC isolation which aimed to analyze the DNA damage that occurs using the -H2AX biomarker. Samples were then cultured for 24 hours to see the level of adaptive response of cells with the biomarker caspase 3 in the apoptotic pathway.
Results: After irradiation on both samples there was an increase in the number of γ-H2AX foci. Statistical results showed that there was a correlation between the number of post-irradiation γ-H2AX foci and the number of γ-H2AX foci before irradiation in both samples with p = 0.000 < 0.05. There was also a correlation between irradiation dose and the number of γ -H2AX foci in both samples with p = 0.041 < 0.05. This study did not find a significant difference in the expression of caspase 3 of the two samples after culture with p = 0.404 > 0.05. However, the ratio of caspase 3 expression before and after culture in the radiation workers’ samples was significantly higher compared to the samples of non-radiation workers.
Conclusion: both samples of radiation workers and non-radiation workers had the same level of risk of damage and the level of response of both samples to damage that occurred in the the apoptotic pathways are relatively indifferent. This study shows that low dose radiation exposure to radiation workers did not increase risk of DNA damage as measured by expression of γ -H2AX foci.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdina Gita Pratiwi
"Pada tindakan kardiologi intervensional, dosis yang diterima pasien relatif lebih tinggi, sedangkan pekerja radiasi akan menerima dosis hambur yang kualitasnya relatif lebih rendah. Namun, pekerja menerima dosis kumulatif dari seluruh tindakan kardiovaskuler yang dilakukannya selama bertahun-tahun. Oleh karenanya, tujuan penulisan ini akan difokuskan untuk mengestimasi distribusi radiasi hambur pada pekerja radiasi tanpa perisai pelindung di Cath Lab. Laju dosis hambur diukur menggunakan detektor survey unfors Xi. Detektor diletakkan pada 6 posisi berbeda di sekitar fantom. Setiap posisi memiliki sebelas titik pengukuran dari 25 sampai 175 cm di atas lantai dengan interval 15 cm, sebagai ilustrasi ketinggian parsial organ pekerja.
Secara eksperimen, fantom rando diradiasi dengan fluoroskopi pada kondisi 88-93 kV dan 5.7-9.4 mA berdasarkan variasi kemiringan gantry dan ukuran lapangan. Phillips C-arm divariasikan pada Kemiringan gantri 0o PA projection, 20o dan 30o Caudal, 20o dan 30o Cranial, dan 40o dan 50o Left Anterior Oblique dan Flat Panel Detector (FPD) pada 20x20 dan 25x25 cm2. Secara umum, laju dosis tertinggi terdapat pada daerah pinggang pekerja (100 cm) dan terendah pada daerah kepala pekerja (175 cm) yaitu berturut-turut sebesar 2.49 mGv/jam dan 0.02 mGy/jam. Data pengamatan menunjukan bahwa fraksi hambur berada pada rentang 0.001–0.060% dari dosis primer di isocenter. Laju dosis hambur cenderung meningkat pada setiap peningkatan sudut kemiringan gantri di semua posisi. Semakin besar luas FPD maka akan menurunkan nilai fraksi dosis hambur yang juga akan meminimalkan laju dosis hamburnya.

In Interventional Cardiology, dose received by the patient is relatively higher, while the occupational would receive scattered radiation dose whose quality is relatively lower. However, the occupational received accumulative doses of all cardiovascular procedures were done over the years. Therefore, the purpose of this paper will focus to estimate the distribution of scattered dose to occupational without any protective shielding in the Cath Lab. The scattered dose rate was measured by using survey detector of Unfors Xi. The detector was placed at 6 different positions around the phantom. Each measurement position has eleven points from 25 to 175 cm above the floor with increment of 15 cm as the illustration of partial height of occupational organ.
Experimentally a Rando phantom was irradiated by automatic pulsed fluoroscopy with condition varies in the range of 88-93 kV and 5.7-9.4 mA depend on gantry tilt and field size. The Phillips C-arm gantry tilt was varied at 0o PA projection, 20o and 30o Caudal, 20o and 30o Cranial, and 40o and 50o Left Anterior Oblique, and also Flat Panel Detector (FPD) was varied at 20x20 and 25x25 cm2. Generally, the greatest dose rate was known at level corresponding to Waist (100 cm) of occupational and the lowest at Head areas (175 cm) of occupational which is 2.49 mGv/h and 0.02 mGy/h, respectively. The given data showed that the scattered fractions are in the range of 0.001-0.060% from its primary dose at isocenter. The scattered doses tend to increase with gantry tilt for all positions. Increasing field size of FPD will decreased the scattered fraction from its dose at isocenter, and also it affects the scattered dose rate.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S53512
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>