Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103504 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nobi Asshofa Zen
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kiprah Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme dalam memperjuangkan hak masyarakat terkait kesetaraan sebagai penduduk sekitar pertambangan PT Freeport Indonesia khususnya suku Amungme di wilayah Mimika sepanjang tahun 1994-2001. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber yang digunakan adalah arsip dan koran sezaman, serta buku, artikel, jurnal, tesis dan disertasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan terutama studi sejarah sosial di Indonesia bagian timur. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan di wilayah Mimika, terkait persoalan-persoalan mengenai keberadaan pertambangan Freeport.

ABSTRACT
This thesis discusses the movement of Amungme Indigenous Consultative Organization in the fight for equality rights of the peoples as residents around Freeport Indonesia Company, particularly Amungme in Mimika region throughout the year of 1994 2001. This research conducted using the historical method, which are heuristic, criticism, interpretation and historiography. Sources used are archival and contemporary newspapers, as well as books, articles, journals, theses and dissertations. This research is expected to contribute to knowledge, especially the study of social history in eastern Indonesia. This research is also expected to be used in public policy making for Mimika region, related to issues concerning the existence of the Freeport mining."
2017
S66811
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muridan Satrio Widjojo
"Di bawah tekanan kondisi obyektif keberadaan PT Freeport Indonesia, program pembangunan pemerintah, dan juga operasi militer TM di wilayah Amungme sejak 1967 dan 1970-an, Amungme berjuang untuk mempertahankan keberadaan dan memperoleh pengakuan dari internal Amungme maupun dari pihak luar. Sebelum Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) berdiri pada 1994 perjuangan Amungme bersifat spontan individual. Kalau pun dalam kelompok sifatnya tidak terorganisasi. Strategi-strategi yang diterapkan secara dominan didasarkan pada habitus tradisional Amungme dan hasilnya justru lebih banyak merugikan Amungme.
Sejak akhir 1980-an lapisan terdidik Amungme yang berdomisili di Timika dan Jayapura berinisiatif membuat lembaga adat, yaitu LEMASA yang berdiri pada 1994. Dalam perjuangannya memperoleh modal simbolis yakni pengakuan dan legitimasi baik secara internal maupun eksternal, Amungme memperbaharui dan memanfaatkan "adat" untuk membangun lembaga berbasis suku bangsa yang terbukti mampu mempersatukan dan memperjuangkan kepentingan Amungme. Solidaritas Amungme dapat dibangun kembali dan konflik berplatform separatis digeser menjadi masalah hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Dalam hubungannya dengan pihak luar Amungme membuka diri dan bekerjasama dengan pihak luar. Kemampuan Amungme untuk selalu mengembangkan strategi barunya diuntungkan oleh sejumlah unsur di dalam habitus habitus tradisional Amungme yang menempatkan pengetahuan dan kearifan sebagai nilai tertinggi serta terbuka pada kerjasama dengan pihak lain."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Poltak
"Tesis ini mcrupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat sub suku Nawaxipi di Nayaro, Kabupaten Mimika, Papua tahun |998-2001. Pada penelitian ini dipelajati tcntang proses pemberdayaan yang meliputi tahapan, strategi dan peran petugas lapangan dalam pemberdayaan melalui rekognisi; manfaat rckognisi bagi sub suku Nawaripi dan apakah tujuan pcmberdayaan meialui rekognisi berhasil atau tidak ? Sebagai sebuah program pemberdayaan, rekognisi belum begitu banyak dikenal dan dilaksanakan. Rekognisi bagi sub suku Nawaripi diberikan sebagai kompensasi alas alH1 fungsi hutan, sungai, dusun sagu ulayat sub suku Nawaripi akzbat aktiitas tambang PT Freeport Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif untuk menghasilkan infonnasi-informasi tentang proses pemberdayaan yang meliputi tahapan, strategi dan peran petugas lapangan; dan manfaat rckognisi bagi sub suku Nawaripi_ Pengumpulan data dilakukan dua tahap. Pada tahap penama, informasi diperoleh dengan secondary data collection mclalui jurnal harian fasilitator dan parzicqoam observation. Pada tahap, kedua informasi dikumpulkan melalui in-deph interview.
Hasil penelitian menunjukkan rckognisi adalah salah sam bemuk pemberdayaan masyarakat scbagai suaiu program. Strategi rekognisi yang mcmbangun sumber ekonomi pengganti yang hilaug, pcmbangunan berbagai fasilitas umum dan pcmukiman dan sebagainya mempakan sebuah strategi pemberdayaan yang berdasarkan aspirasi sub suku Nawaripi. Olch karena itu, strategi ini berpotensi meningkatkan daya masyarakat. Strategi rekognisi tersebut jika dikaitkan dengan srrategi pemberdayaan yang dikemukakan beberapa ahli maka diketahui bahwa strategi pemberdayaan melalui rekognisi merupakan kombinasi stratcgi pemberdayaan melalui kebiiakan dan pcrencanaan pembangunan oleh Pemda Kabupaten Mimika dan PTFI dan strategi pemberdayaan mclalui pendidikan dan pcnyadaran sub suku Nawaripi. .Iuga digunakan kombinasi antara smafl scaie self re/ian! local development atau community development, sustainable sysrem developmem dan people 's movemem. Peran petugas lapangan yang dijaksauakan dalam benluk pendampingan masyarakat dan pendampingan P3R, merupkan perwujudan dari peran sebagai pemercepat perubahan, mediator, pcndidik, tenaga ah1i.
Rekognisi bemuanfaat dalam merubah pcrilaku sub suku Nawaripi misalnya daiam memenuhi kebutuhan hidup dimana dulu dengan meramu dan sekarag secara pcrlahan mu!ai memaufaatkan lahan pekarangan dan kebun (budidaya tanaman), sanitasi rumah yang sebelum rekognisi kurang diperhatikan sekarang mulai diperhatikan dalam bemuk memlnuka jendela pada siang hari, membersillkan WC setelah selesai dipakai, membersihkan rumah dan pekarangau, kepemimpinan dimana sebcium rekognisi tokoh-tokoh sub suku Nawaxipi kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh Pemda Mimika dan PTFI tetapi setelah rekognisi tokoh-tokoh sub suku Nawaripi mulai dilibatkan tau dimintai pendapamya dan mulai diundang dalam penemuan-pertemuan di tingkat Iokal ataupun regional. Rekognisi _iuga bennanfaat dalam mcnambah pcndapatan, kesempatan, pengetahuan, kererampilan untuk meningkatkan kapasitas mereka guna menentukan masa depan mereka, dan menyediakan berbagai fasilitas umum seperti kesehatan, pendidikau, pemerintahan desa, air bersih, jalan dan sebagainya. Semuanya itu secara kcseluruhan mcmbanru meningkatkan daya sub suku Nawaripi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Auri, Nikanor
"Kemerosotan lingkungan hidup Etnik Amungme dan Kamoro dalam tiga dimensi lingkungan hidup manusia, yaitu kemerosotan Lingkungan AIam/Fisik, Kemerosotan Lingkungan Budaya, dan Kemerorosotan Lingkungan Sosial, mengindikasikan adanya distorsi pembangunan di Kabupaten Mimika Provinsi Papua.
Kemerosotan lingkungan alam/fisik suku Amungme dan Kamoro, berupa : Pertama, terlenyapkannya puncak-puncak gunung (ErtsAerg, dan Grasberg), perubahan bentangan alam, adanya terowongan di dalam beberapa puncak gunung. Kedua, terjadinya longsoran, pecahnya danau Wanagong dan tercemarnya air danau Wanagong oleh air asam tambang, serta tercemamya air permukaan maupun air tanah. Ketiga, tercemarnya air sungai Wanagong, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan kali Kopi oleh tailing penambangan bijih dari pabrik pengolahan dan dibuang Iangsung ke sungai-sungai tersebut. Dan Keempat, penyempitan lahan sebagai ruang hidup serta penyangga kehidupan warga suku Amungme dan Kamara masa kini, maupun generasi mereka masa depan.
Kemerosotan lingkungan budaya etnik Amungme dan Kamoro, terwujud dalam tiga hal, Pertama, goncangan Kosmologi suku Amungme dan Kamoro, Kedua, Kekaburan Penghayatan diri Amungme dan Kamorowe dengan Lingkungan Hidup, dan Ketiga, Kearifan Lokal (Local Wisdom) : Modal Pembangunan Altematif yang Terkacau-balaukan. Kawasan puncak-puncak gunung (ninggok), dijadikan kawasan proteksi dengan menjadikannya sebagai daerah keramat. Kawasan yang ramah untuk ditinggali dan dihuni serta kaya dengan sumber daya alam untuk kehidupan mereka (Menomarin) dijadikan kawasan ekonomi. Kawasan dataran rendah (Onisa), dimana mereka tidak terbiasa hidup dan menemukan banyak kesulitan dijadikan daerah penyangga antara kehidupan mereka dengan pihak luar. Local wisdom ini sangat sesuai dengan konsep pengelolaan lingkungan hidup modem yang kits pelajari saat ini, namun telah dikacaubalaukan, berkenaan dengan kehadiran PT. FIC. Penggambaran struktur, lingkungan dan tatanan sosial suku Amungme maupun Kamoro sebelum kehadiran PT. FIC dan setelah kehadirannya, memperlihatkan suatu fenomena perubahan sosial, yakni perubahan pada struktur sosial maupun fungsinya yang menata pola-pola interaksi antar individu dalam lingkungan sosial keluarga, individu dengan sesama anggota dan, dan individu dengan sesama anggota phratry, maupun individu dengan sesama anggota moiety. Perubahan dimaksud adalah perubahan yang tidak terarah, alias perubahan sosial dan budaya yang kacau-balau dan membawa petaka berkepanjangan dalam kehidupan mereka. Berhubung hasil-hasil penelitian dan diagnosis teoribsnya mengukuhkan asumsi yang mendasari penelitian ini, yakni "adanya distorsi pembangunan dan kemerosotan lingkungan hidup Etnik Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika-Papua", maka saran-saran yang dikemukakan penulis dalam rangka mewujudkan pembangunan yang tidak menyimpang adalah sebagai berikut :
1. Transformasi Paradigma Pembangunan
Menyadari kelemahan paradigma Growth Centre , yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas nilai manusia dan lingkungan, maka transformasi paradigma Growth Centre ke People Centre Development tidak dapat ditawar lagi.Transformasi paradigma pembangunan clan sberpugit pertumbuhan ke berpusat manusia menaruh perhatian penting pada model pembangunan yang mensinkronisasikan pembangunan yang memfokuskan perhatian kepada peningkatan kualitas hidup manusia, keberlanjutan ekologi, dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dalam pembangunan yang terfokus pada manusia, didalamnya juga terkandung unsur partisipasi rakyat, lntegrasi sosial, otonomi personal serta komunitas, demokratisasi dan Ham, pemberdayaan dan multikultur.
2.Transformasi Arti "Pembangunan" Redefrnisi Pembangunan,
Menyadari adanya pendangkalan makna "pembangunan" yang sesungguhnya (meaningful!) sebagaimana yang berkembang dalam paradigma pertumbuhan ekonomi, maka definisi pembangunan yang lebih berorientasi kerakyatan, mengartikan pembangunan sebagai proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber-sumber daya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dalam kualitas hidup yang sesual dengan aspirasi mereka, periu dianut dan diterapkan.
Berarti, perlu transformasi konsep pembangunan yang semata-mata memaknai "pembangunan" sebagai pertumbuhan ekonomi, atau lndustrialisasi, termasuk modernisasi bahkan westernisasi, menjadi suatu proses perubahan yang lebih berorientasi pada peningkatan Kapasitas perorangan dan institusional, atau yang lebih dikenal dengan konsep "people centre development?. Kapasitas perorangan yang dimaksud disini ialah kapasitas/kemampuan manusia, sedangkan institusional bukan organisasi atau lembaga, tetapi adanya pranata-pranata, nilai-nilai dan norma-norma budaya yang tahan lama dan menata sikap, perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam suatu masyarakat atau komunitas.
3. Transformasi Indikator Keberhasilan Pembangunan
Upaya terfokus pada pembangunan manusia memunculkan paradigma baru pembangunan manusia yang diukur dengan menggunakan Human Development Index (HDI). Munculnya index pembangunan manusia ini bukan berarti mengesampingkan peran indikator makro ekonomi seperti GNP/PDRB, tetapi justru sebagai upaya menterjemahkan peningkatan GNP/PDRB tersebut kedalam pembangunan manusia.
Pergeseran kebljaksanaan pembangunan provinsi Papua yang menempatkan pembangunan manusia Papua sebagai prioritas utama, sebagaimana tertera didalam tisi pembangunan provinsi Papua : "Mewujudkan Orang Papua Menjadi Tuhan di Negerinya , sangat membutuhkan alat ukur baru. HDI atau Index Pembangunan Manusia (IPM) merupakan jawaban untuk keperluan itu dengan konsep pembangunan manusianya. Apalagi telah muncul reaksi penolakan terhadap indikator keberhaslian pembangunan yang semata-mata didasarkan pada GNP/PDRB suatu wilayah karena indikator dimaksud sesungguhnya belum menggambarkan keadaan kualitas manusia yang telah dicapai melalui suatu proses pembangunan.
HDI/IPM mencakup tiga dimensi pembangunan manusia yang dianggap memiliki nilai strategis. Ketiga dimensi itu adalah (1) longevity/usia hidup, (2) knowledge (pengetahuan), dan (3) decent living (standard hidup layak). Tidak cukup disini, HDI/IPM terns menerus mengalami pergeseran seiring dengan tuntutan keadaan masyarakat yang disponsori oleh IJNDP, yaitu dengan adanya penambahan tiga dlmensi baru menurut model UNDP dalam Humman Development Report, 1993 (Britha Mikkelsen 2001), yakni (4) Human Freedom Index (Index Kebebasan Manusia) yang diukur dengan Political Freedom Index (Index kebebasan Politik) termasuk Kepekaan Gender, (5) Dimensi Nilai-Nilai Budaya, dan (6) Dimensi Kesinambungan Lingkungan.
Jelas bagi kita bahwa usaha terus-menerus untuk memperbaiki HDI agar iebih jelas menggambarkan situasi kehidupan yang nyata, yakni dipertimbangkannya kebebasan politik, faktorfaktor budaya dan kepekaan terhadap lingkungan merupakan upaya terfokus yang lebih peka dalam menggambarkan situasi pembangunan manusia yang lebih obyektif dan relevan dengan visi maupun prioritas program pembangunan di provinsi Papua."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardjuno Pramundito
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5704
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chastina Yolana
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
S26360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusdam Arrang Bua
"[ABSTRAK
Ketertarikan penulis untuk membahas CSR PTFI bermula dari ditemukannya
fakta yang mencatat bahwa, (1) alokasi dana CSR PTFI untuk program CD adalah
lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan alokasi dana CSR oleh perusahaan
(ekstraktif) lainnya di Indonesia; dan (2) dalam realisasi distribusi dana CSR
untuk CD, pengelolaan lebih besar dana CSR untuk CD (dana kemitraan) dikelola
oleh LPMAK. Oleh sebab itu, tesis ini adalah suatu kajian akademis yang
membahas mengenai pemaknaan pelaksanaan CD LPMAK sebagai wujud
representasi CSR PTFI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran LPMAK dalam pengelolaan
program CD, secara khusus kepada masyarakat suku Kamoro di wilayah
Kokonao, Distrik Mimika Barat. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
menggunakan dua jenis data yaitu data primer (observasi dan wawancara/in-depth
interview) dan data sekunder dari kajian literatur akademis berupa buku, jurnal
dan berbagai dokumen dari PTFI dan LPMAK. Dengan berpijak pada analisis
Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton dan lima modal CD, hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelaksanaan CD LPMAK di Kokonao telah
diimplementasikan dengan cukup baik, namun pelaksanaannya masih belum
maksimal. Tidak maksimalnya pelaksanaan CD bersumber dari faktor-faktor
penghambat peran aktor/unit dalam sistem pengolahan CD.
Secara keseluruhan, hasil penelitian telah berkontribusi secara teoritis,
menambah wawasan pemahaman terhadap Analisis Fungsional Merton dari sisi
konsep ‗fungsi‘ dalam kategori intended consequences dan konsep ‗disfungsi‘
dalam kategori unintended consequences. Pertama, pada kategori intended
consequences, penulis menemukan bahwa konsep ‗fungsi manifes‘ secara
aplikatif dalam konteks CD memiliki dua sifat yang disebut penulis dengan istilah
consistency dan inconsistency. Kedua, pada kategori unintended consequences,
penulis juga menemukan bahwa konsep ‗disfungsi‘ Merton tidak serta merta dapat
digunakan untuk membaca kekurangan dari fungsional CD. Pemaknaan kekurangan tersebut diakomodir dalam suatu konsep yang disebut penulis sebagai
less function. Konsep less function ditujukan untuk mempertegas derajat disfungsi
yang tidak disebutkan Merton dalam penjelasannya mengenai konsep ‗disfungsi‘.
Lebih jauh, less function adalah derajat kecil (derajat lebih rendah dari
disfungsi—disfungsi berderajat) dalam menginterpretasikan konsep ‗disfungsi‘
Merton di dalam kategori unintended consequences.

ABSTRACT
The anxiety of author towards PTFI‘s CSR started from the fact that (1)
PTFI's CSR funding allocation for CD program is greater in number than any
other extractive companies in Indonesia; and (2) the allocation of PTFI's CSR
funding for CD (Partnership Fund), in a greater number is managed by LPMAK.
So, this thesis is an academic study discussing about the implementation of CD by
LPMAK, as a representation of PTFI‘s CSR.
The thesis aims to assess the LPMAK‘s role in conducting community
development programs, especially to the Kamoro tribe in Kokonao Village,
Mimika Barat District. This research applied a qualitative approach, by using two
types of data, which are the primary data sources collected through observation as
well as in-depth interview and the secondary data collected from academic books,
journals, and documents from PTFI and the LPMAK. Using Robert K. Merton‘s
Structural Functionalism analysis and five capitals of CD, the result of the study
showed that LPMAK‘s CD implementation was good enough; still it had not been
implemented maximally, due to some factors which reduced the role of the unit in
CD‘s processing system.
Overall, the result of the study has given a theoretical contribution in
broadening the understanding of Merton‘s Functional Analysis at the side of
function and dysfunction concepts. First, in the intended consequences category,
the author found that manifest function concept in the CD context has two
characteristics, called consistency and inconsistency. Second, from the unintended
consequences, the author also found that Merton‘s dysfunction concept cannot be
applied easily to read the functional deficiencies of CD. The understanding of its
deficiencies was accommodated in a concept called here as less function. Less function concept is used to emphasize the degree of Merton‘s dysfunction concept
which is not explained well before. Furthermore, less function is defined as a
small degree (a lower degree than dysfunction—dysfunction with degree) in the
interpretation of Merton‘s dysfunction concept within unintended consequences
category, The anxiety of author towards PTFI‘s CSR started from the fact that (1)
PTFI's CSR funding allocation for CD program is greater in number than any
other extractive companies in Indonesia; and (2) the allocation of PTFI's CSR
funding for CD (Partnership Fund), in a greater number is managed by LPMAK.
So, this thesis is an academic study discussing about the implementation of CD by
LPMAK, as a representation of PTFI‘s CSR.
The thesis aims to assess the LPMAK‘s role in conducting community
development programs, especially to the Kamoro tribe in Kokonao Village,
Mimika Barat District. This research applied a qualitative approach, by using two
types of data, which are the primary data sources collected through observation as
well as in-depth interview and the secondary data collected from academic books,
journals, and documents from PTFI and the LPMAK. Using Robert K. Merton‘s
Structural Functionalism analysis and five capitals of CD, the result of the study
showed that LPMAK‘s CD implementation was good enough; still it had not been
implemented maximally, due to some factors which reduced the role of the unit in
CD‘s processing system.
Overall, the result of the study has given a theoretical contribution in
broadening the understanding of Merton‘s Functional Analysis at the side of
function and dysfunction concepts. First, in the intended consequences category,
the author found that manifest function concept in the CD context has two
characteristics, called consistency and inconsistency. Second, from the unintended
consequences, the author also found that Merton‘s dysfunction concept cannot be
applied easily to read the functional deficiencies of CD. The understanding of its
deficiencies was accommodated in a concept called here as less function. Less function concept is used to emphasize the degree of Merton‘s dysfunction concept
which is not explained well before. Furthermore, less function is defined as a
small degree (a lower degree than dysfunction—dysfunction with degree) in the
interpretation of Merton‘s dysfunction concept within unintended consequences
category]"
2015
T44711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reynold R. Ubra
"Tantangan pengobatan ARV adalah kepatuhan. Kepatuhan pengobatan ARV di Kabupaten Mimika menurun dari 84.3% pada tahun 2009 menjadi 62% pada tahun 2011. Berdasarkan fakta ini dilakukan penelitian cross sectional agar diketahui faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kepatuhan ≥ 80% : 44.59% dan kepatuhan < 80% : 55.41%. Hasil uji regresi logistik menunjukan bahwa pasien berpendidikan tinggi lebih patuh dari berpendidikan rendah, pasien tidak bekerja lebih patuh dari pasien yang bekerja, Pasien bukan suku Papua lebih patuh dari pasien suku Papua dan pasien yang mendapat dukungan keluarga lebih patuh dari pasien yang tidak mendapat dukungan keluarga.

ARV treatment is compliance challenges. ARV treatment adherence in Mimika District decreased from 84.3% in 2009 to 62% in 2011. This fact-based cross sectional study carried out in order to know the factors related to medication adherence.
The results showed that compliance ≥ 80%: 44.59% and adherence <80%: 55.41%. The results of logistic regression test showed that highly educated patients had better adherence than less educated, not working more adherent patients than patients who work, not the tribe of Papua patients more adherent than patients Papuan tribal and family support for patients who received more adherent than patients who did not receive family support.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31089
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lambertus Tebay
"Salah satu masalah lingkungan Sosial yang dihadapi oleh PTFI ialah bagaimana memindahkan masyarakat Amungme dari Kampung Waa yang letaknya hanya 8 Km dari Kota Tambang Tembagapura ke Desa Harapan Kwamki Lama dan Masyarakat Kamoro Subsuku Nawaripi dari Kampung Kali Kopi ke Desa Nayaro, Kecamatan Mimika Baru, untuk menghindari kemungkinan terjadinya dampak negatif akibat pengelolaan PTFI.
Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua bekerjasama dengan PTFI untuk memindahkan masyarakat Amungme dan Kamoro dari lokasi lama ke lokasi pemukiman yang baru dengan tujuan, di samping menghindari kemungkinan terjadinya bahaya, agar mereka dekat dengan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi sehingga dapat melepaskan kebiasaan ladang berpindah, berburu, meramu, dan bergantung pada kemurahan alam dan berpenghasilan menetap. Dengan demikian ada perbaikan mutu kehidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan. Namun sayangnya harapan itu tidak terwujud pada masyarakat Amungme, karena Bapak Kepala Suku Tuarek Natkime beserta para pengikutnya sejak awal tidak ikut pindah ke lokasi yang baru. Hal ini disebabkan karena menurut kepercayaan orang Amungme daerah kawasan tengah sampai kawasan pantai adalah kawasan yang terlarang, daerah pamali, tidak boleh dilihat oleh anak-anaknya karena di kawasan inilah terdapat alat kelamin vital Ibu Amungme, yang selalu menyusui dan memberi mereka kehidupan. Daerah ini enak untuk dilihat karena panoramanya yang indah tetapi tidak untuk dihuni, hanyalah tempat untuk cari makan. Bila melanggar maka resikonya adalah mara bahaya, sakit malaria, dan berbagai macam penyakit panu, kurap, kadas, sipilis, aids, dan lainnya. Yang pindahpun bertahan selama bantuan Pemerintah dan PTFI masih mengalir. Setelah terhenti, sebagian lagi kena penyakit malaria dan mati, sebagian lagi karena takut kena konfrontasi antara TNI dan Gerakan OPM pada tahun 1977, mereka semua melarikan diri ke lokasi lama. Kemudian hanya sebagian kecil kurang lebih 12 KK yang kembali ke pemukiman baru pada tahun 1980.
Memang disadari bahwa pemindahan masyarakat dari kawasan pegunungan ke kawasan tengah atau pesisir pantai membutuhkan daya adaptasi di lingkungan yang baru, apalagi secara budaya daerah ini dianggap sebagai daerah terlarang (pamali). Perbedaan iklim, jenis lahan pertanian, lingkungan alam dan sosial menjadi hambatan.
Melalui penelitian ini ingin diketahui:
1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap penduduk masyarakat Amungme dan Kamoro yang berkaitan dengan upaya pemukiman kembali.
2. Pola adaptasi di lokasi yang baru.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola adaptasi tersebut.
Sasaran penelitian adalah masyarakat Amungme dan Kamoro yang berada di lokasi lama maupun yang baru.
Dalam penelitian ini diajukan dua hipotesis yaitu:
1. Keterikatan kepada leluhur, tingkat pendidikan, usia, dan penghasilan tidak berpengaruh terhadap pola adaptasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Amungme dan Kamoro dalam menghadapi perubahan lingkungannya.
2. Kegiatan PTFI tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan kelima fungsi sosial lingkungan hidupnya dan penyesuaian diri masyarakat Amungme dan Kamoro.
Yang menjadi responden penelitian ini adalah para Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM baik yang ada di lokasi lama maupun lokasi yang baru sebanyak 84 orang.
Data diperoleh melalui wawancara berstruktur, menggunakan kuesioner, wawancara mendalam melalui tokoh-tokoh: Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM yang ada di lokasi lama dan lokasi yang baru serta pengamatan di lapangan. Data sekunder di peroleh dari DSRID PTFI, dan berbagai lembaga Pemerintah di Kabupaten Mimika, Propinsi Papua.
Sikap dan pola adaptasi masyarakat Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali dianalisis dengan membandingkan keteguhan melaksanakan upacara adat, pendidikan, usia (tua/muda), dan tingkat penghasilan di pemukiman lama dan baru.
Pola adaptasi masyarakat juga dianalisis ada-tidaknya kegiatan PTFI yang telah menimbulkan dampak lingkungan yang pada gilirannya mendorong masyarakat Amungme dan Kamoro untuk menyesuaikan diri kembali terhadap perubahan ke lima fungsi sosial lingkungan hidupnya.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan jawaban para responden terhadap dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Hasil yang diperoleh penelitian ini adalah:
1. Yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap warga Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali di Desa Harapan Kwamki Lama dan Desa Nayaro, ialah:
a, keterikatan yang cukup kuat terhadap leluhur yang ditunjukkan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Para kepala keluarga yang kembali terbukti secara signifikan lebih terikat kepada leluhur.
b. pendidikan formal kepala keluarga terbukti ikut mempengaruhi sikap mereka terhadap pemukiman kembali; Artinya kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal (walau hanya sampai kelas III SD) cenderung menerima upaya pemukiman kembali dan menetap di lokasi baru.
2. Adaptasi warga Amungme dan Kamoro di Kwamki Lama dan Desa Nayaro lebih cepat terjadi pada aspek sosial ekonomi dari pada budaya kebersihan lingkungan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh:
a. perubahan pola pertanian dari pola subsistem ke tingkat produksi untuk pasar, perubahan pola pemanfaatan waktu luang dengan mencari penghasilan tambahan. Dengan demikian pendapatan rata-rata perkapita warga Amungme dan Kamoro di Desa Kwamki Lama dan di Desa Nayaro mengalami peningkatan hampir 75% di bandingkan dengan warga Amungme di lokasi lama.
b. perubahan makanan pokok sudah terjadi pada warga masyarakat Amungme dan Kamoro dengan menganggap nasi adalah makanan pokok ideal. Walau pun dalam kenyataan sebagian besar masih memakan umbi-umbian, karena keterbatasan keadaan ekonomi.
c. perubahan bentuk rumah, dapat dilihat dari rumah yang direnovasi menjadi rumah permanen, artinya mereka sudah meninggalkan bentuk rumah bulat dan panggung (inokep) dari lokasi lama.
d. budaya kebersihan lingkungan di lokasi baru belum di terima. Hal ini ditunjukkan oleh kebiasaan yang masih membudaya pada masyarakat Amungme dan Kamoro di lokasi baru yaitu membuang hajat tidak di MCK.
3. Pelaksanaan upacara-upacara ritual oleh warga Amungme dan Kamoro dapat di kelompokkan atas dua kategori yaitu:
a. upacara yang masih sering dilakukan yaitu upacara "Perang", "Perdamaian", "Pembayaran Kerugian Perang", "meminta kesuburan ", "kesejahteraan , "Kekayaan ", "Ibodewin ", dan "Hai". Kemudian "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Ti: Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Sikap terhadap pelaksanaan upacara tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia dan penghasilan.
Mereka yang berusia lanjut dan berpenghasilan lebih baik, memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan tradisi upacara. Dalam hal ini terlihat bahwa upacara-upacara tersebut mempunyai fungsi sosial di samping fungsi sarana "penghubung" dengan leluhur, selain sebagai media pertemuan antar kerabat, baik yang ada di Waa maupun Kwamki Lama dan Nayaro.
b. upacara yang sudah mulai ditinggalkan yaitu upacara perang, pembayaran kerugian perang, ibodewin dan Hai pada masyarakat Amungme dan upacara kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro.
Upacara-upacara perang, perdamaian, pembayaran kerugian perang, ibode win dan hal pada masyarakat Amungme sudah mulai ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan pada masyarakat Kamoro lainnya seperti rumah bujang dilarang oleh Belanda dan sudah hilang secara total, dan Heni Tarapao, Qfo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao mulai hilang karena tambelo yang biasanya dipergunakan dalam upacara adat ini mulai punah akibat pencemaran air limbah oleh PTFI.
Di sisi lain upacara ini sudah mulai ditinggalkan karena sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan sosial ekonomi, pendidikan formal, faktor usia, dan penghasilan warga Amungme dan Kamoro di lokasi yang baru. Artinya para kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal, berusia muda, dan penghasilan lebih baik mempunyai kecenderungan meninggalkan tradisi tersebut.
Sebagai pengakuan hak ulayatnya jumlah dana rekognisi yang di alokasikan adalah dana 1% untuk 7 suku dan dana perwalian sebesar 500 ribu dollar Amerika setiap tahun selama 25 tahun diberikan kepada suku Amungme (masyarakat di kawasan pegunungan). Sedangkan Suku Kamoro atas alih fungsi lahan 5000 hektar dusun sagu, tempat berburu, sungai sebagai tempat cari ikan, (kehilangan sungai, sampan, dan sagu) diberikan dana Rekognisi sebesar 25 Juta dollar Amerika selama 5 tahun yaitu mulai tahun 1998 - 2003 nanti. Walau pun mendapat pengakuan hak ulayat masyarakat adat namun masih dipermainkan oleh pihak ketiga. Sedangkan kerugian yang diderita tak ada bandingannya dengan nilai uang sebesar itu sehingga tak dapat menutupi segala kerugian yang dideritanya akibat pengelolaan PTFI. Kalau ada bandingan jika disediakan Dana Abadi bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung untuk sekian generasi yang akan datang.
Implikasi Penelitian
1. Di lokasi yang baru (Di Desa Harapan Kwamki Lama maupun di Desa Nayaro) warga Amungme dan Kamoro merasa diri "tidak aman" akibat pelayanan di segala sendi kehidupan yang mereka peroleh terutama perlakuan dari aparat keamanan di PTFI maupun operasi DOM dari TNI dan POLRI, dan Pemerintah. Untuk itu perlu ada usaha untuk menghilangkan kesan ini demi suksesnya upaya pemukiman kembali oleh PTFI, Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua.
2. Membiarkan warga Amungme tetap di lokasi lama, mengingat mereka lebih memiliki falsafah kearifan lingkungan, dengan menganggap alam bagaikan seorang Ibu yang memberi makan, dan menyusui mereka setiap saat tanpa kenal lelah.
3. Untuk menghindari perusakan lingkungan, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang kebiasaan bertani secara menetap, berladang dengan Cara terrasering, memakai pupuk alam, bibit unggul, dan penghijauan kembali lahan-lahan yang pemah diolah.
4. PTFI telah memberikan program REKOGNISI untuk menjamin keberhasilan penduduk setempat memelihara, meningkatkan kesejahteraan, dan kemampuan penduduk untuk mengembangkan pola-pola adaptasi (Strategic Behavior). Perubahan pada fungsi lingkungan yang drastis menuntut pengembangan strategic behavior maupun adaptive behavior secara perorangan maupun kolektif dengan mengembangkan ketrampilan dan keahlian kerja di luar sektor tradisional.

Environmental Changes Within The PT. Freeport Indonesia Mining Area (Studi of Adaptation Amungme community resettlement to Harapan Kwamki Lama regency and Kamoro community resettlement to Nayaro regency, District Mimika, Papua Province)The expansion of wasteland environmental sosial issues changes and disturbance of the PTFI is how to Amungme community resettlement at Kwamki Lama villages and Kamoro community resettlement at Nayaro villages in the middleland probably antisipation changes impact from PTFI operation area. This is an important issue in environmental problem management.
Depsos, Depnakertrans, and Governor Papua Province joint with PTFI for Amungme and Kamoro community resettlement a new location in middleland Kwamki Lama and Nayaro. Purpose is antisipation to probably pra accident near the central economic development, and the lost of semi nomads community from the highlands to the middleland which changes their way of living as nomade communities into permanent settlers. It is hoped, that as middleland settlers they would changes their method of slash and burn of into modern agriculture, and central economic development. In reality, Mr. Tuarek Natkime, Kepala Suku Amungme and several community people to choose to the still live in Waa village, because their believed one place (Danau Wanagon) is holy place and middle place until lowland place is bad place, many of them went back to their, former settlement during the first phase of the government's resettlement program, because they could not adapt their way of life to the new environmental conditions at the New location. Differences in climate, conditions of farmsland and social environment make it hard for them to adapt their way in the new settlement.
Their considerat resettlement community from highland to middleland, theirs need adaptation in the new environment, because culture community people this place is bad condition area.
This research was held with several objectives:
1. Factors that influence the attitude of the resettled community to wards the settlements project.
2. The adaptation patterns in their new location 3, Factors that influence the adaptation patterns
Respondents were chosen numbering of 80 family heads, from the Amungme 40 family heads and 40 family heads from Kamoro. Primary data for this research were obtained by questionaires, next to depth interviews with the community leaders as Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Government, and LSM in both locations. Secondary data were obtained from the OSTRID, PTFI, LEMASA, LEMASKO, District Mimika, and Papua Provincial Government Publications.
Research hypothesis that were tested in this research, were:
1. The bond between the resettled population and their ancestors, the level of formal education, age, and income factor not influence on the adaptation pattern, social, economic, and culture to the Amungme and Kamoro community in to face in the changes environment.
2. The activity PTFI operations have not grown environmental impact to motivate community some time to adapt to the changes social environment function.
The member's attittude of both Amungme and Kamoro communities to wards the resettlement program were analyzed by comparing the upper Amungme and Kamoro community with the middle Amungme and Kamoro community in consistency of performing their traditional rites, level of educations and age. Analysis were made by The Sign Tests Statistics, with two independent samples.
Research findings
1. Positive influence as factor in attittude formation for decision to resettle at Kwamki Lama and Nayaro:
a) Strong bond between respondents and their ancestors was the primar influencing factor for the community member to return to their old settlement.
b) Family Head's formal education has a strong correlation with decision to resettle. There were tendencies, that the family's head who went to the primary school could receive the resettlement program and therefor moved to Kwamki Lama and Nayaro
2. Adaptation of the middle Amungme dan Kamoro community was faster in socio-economic aspects than in cultural aspects especially at the environmental hygiene.
These findings were concluded from:
a) The average per capita incomes were higher 75% for the middle Amungme and Kamoro community much than the average incomes for the upper Amungme and Kamoro community 50%. Income was raised by changing agricultural technology from subsistence practices to the market production approach. Their spare time was also used more effectively used by doing labour jobs at the local market outside the Waa and Kali Kopi villages.
b) Change also happened at their staple food composition. The middle Amungme and Kamoro community had chosen rice as their main staple food, instead of sweetpotatoes, cassava and taro. Only lack of money, forced members of the Amungme and Kamoro community to choose non-rice as their main staple food.
c) Changes also took place at their house's construction form. The middle Amungme and Kamoro community has expanded their rowhouses, rather than restored into their traditional houses.
d) The habit to make cleanliness as part of their way of life was still not accepted. The middle Amungme and Kamoro community still did not use the latrines.
3. Performance of traditional rites can be categorized into two classes:
a) Traditional rites are still performed as usual, such as: "war", "peace", "paying to loss war", "to request to propose richness", "successful", "riches", "Ibodewin", "Hai", from Amungme community and "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao from Kamoro community. Age and Income of family heads had stronger correlation with attitude in performing those rites than level of education.
b). Old age and better income in the Amungme and Kamoro Community were strong reasons for following those rites. These rites have social and spiritual meaning for them apart from fuel filling social functions of social; gathering meeting the upper Community relations.
c) Abandoned traditional rites, such as "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" from Amungme community and "kware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" from Kamoro community., because these rites were not compatible with the new way of life as a result of the resettlement program, and not relevant with the present. The missing mollusca Tambelo to begin exterminated the impact from PTFI operation.
Level of education, age and income have strong association with attittude in performing the "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" and "kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" rites. Young family's heads have stronger tendencies in abandoning the "ceremonys" rite.
Research Implications
1. The middleland Amungme and Kamoro Community at Kwamki Lama and Nayaro, felt that they belong into the category of "underprivileged", because of the less attention given to them, compared to other ethnic group of the same village. Thus, the village officials need to change their attittude in this respect, to ensure success of the resettlement program.
2. The allocated land to the original group, was not calculating the high birt rate after resettlement. In this case, a solution must be formed to solve the land problem to ensure economic progress of the resettlement program. It is also hoped, that the Upper Amungme community would become attracted to be resettled at Waa village.
3. Another option is to let care the Upper Amungme and Kamoro community live at Kwamki Lama and Nayaro into new function such as managers of the forest ecosystem. To ensure that the environment won't be harmed, the Government can educate them with proper knowledge in agricultural methods.
4. Recognitive have to supported from the Freeport Indonesia company but cannot be abble to succesfully community in increase their living such as calculate from Government, FTFI Company, NGO's, without develop strategic behavior from community. Because drastis changes to environmental function to demand individual although collective developing strategic behavior and adaptive behavior with developing skill, and training programme the another traditional sector.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dumatubun, Agapitus Ezebio
"ABSTRAK
Latar belakang masalah adalah, bahwa setiap program pembangunan yang direalisir pada orang Amungme masih banyak menunjukkan kurangnya peranserta aktif mereka. Timbul pertanyaan: Mengapa orang Amungme kurang berperanserta aktif dalam pembangunan ? Tulisan ini berusaha mengungkapkan pertanyaan tersebut dengan menunjukkan adanya perbedaan antara pola pembangunan yang ada dengan pola tradisional orang Amungme. Menurut peneliti perbedaan ini terletak pada perbedaan persepsi peranserta dan jenis peranserta orang Amungme dengan persepsi pelaksana pembangunan. Lebih lanjut peneliti mengungkapkan bahwa perbedaan itu terwujud dalam hubungan antara pola program pembangunan dengan aspek kekuasaan dalam keluarga, kepemimpinan dan pengambilan keputusan.
Studi ini berupaya mendeskripsikan, mencari, menjelaskan sistem peranserta, kepemimpinan, kekuasaan dan pengambilan keputusan orang Amungme. Analisa dilakukan secara kualitatif. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui teknik observasi langsung dan partisipasi serta wawancara. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci, dan wawancara terbuka dilakukan juga terhadap berbagai orang dan pada berbagai kesempatan. Selain pengumpulan data di lapangan, dilakukan juga di perpustakaan dan lembaga-lembaga terkait di Irian Jaya dan Jakarta.
Berdasarkan hasil analisis data lapangan, peneliti menemukan bahwa persepsi peranserta dalam pembangunan menunjukkan perbedaan. Persepsi peranserta orang Amungme dalam pembangunan lebih mengarah pada wujud gotong royong tolong menolong dalam berbagai aktivitas hidup yang dinyatakan dengan suatu perhitungan secara tajam dan spontanitas berdasarkan kategorisasi kegiatan. Sedangkan persepsi peranserta pelaksana pembangunan lebih mengarah pada upaya keterlibatan aktif penduduk dalam pengambilan keputusan, pengalokasian kebijaksanaan, dan distribusi serta implementasi perencanaan. Di sini dituntut bahwa orang Amungme harus terlibat dan memelira serta mengembangkan program pembangunan sebagai bagian untuk mereka. Dalam pelaksanaan, pelaksana pembangunan lebih banyak menerapkan bentuk kekuasaan paksaan atau coercive power.
Dikaitkan dengan kekuasaan secara tradisional pada orang Amungme yang masih menerapkan bentuk kekuasaan konsensus atau consensual power, menujukkan adanya perbedaan. Selain itu peranan Me-ki sebagai pemimpin tradisional dalam pengambilan keputusan, kurang memainkan peranan penting. Kepala desa serta istrinya lebih banyak memainkan peranan dalam pengambilan keputusan. Akibat perbedaan tersebut di atas, maka orang Amungme kurang berperanserta aktif dalam segala program pembangunan yang direalisir."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>