Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73658 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ridho Adriansyah
"Latar Belakang : Neuropati perifer merupakan manifestasi ekstraartikular pada Artritis Reumatoid AR yang sudah lama diketahui dan ditemukan pada sekitar 50-57,4 pasien AR dengan patogenesis yang belum jelas hingga saat ini. Nerve Growth Factor NGF, yang dilaporkan berhubungan dengan kejadian neuropati perifer pada pasien Diabetes Mellitus ditemukan dengan kadar yang lebih tinggi pada pasien AR dibandingkan orang normal. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian yang bertujuan mengetahui hubungan antara kadar NGF dengan kejadian neuropati perifer pada pasien AR.
Tujuan : Untuk mengetahui rata-rata kadar NGF darah dan ada tidaknya hubungan antara kadar NGF dengan kejadian Neuropati Perifer pada pasien AR.
Metode : Penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien AR rawat jalan di poli reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dilakukan dalam kurun waktu Juli 2015-Maret 2016. Pemeriksaan laboratorium dan fisiologi yang dilakukan adalah NGF dan Elektromiografi-Kecepatan Hantar Saraf EMG-KHS. Subjek kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan ada atau tidaknya neuropati perifer. Analisis bivariat kemudian dilakukan untuk melihat hubungan antara NGF dengan neuropati perifer diantara 2 kelompok. Data sekunder berupa usia, jenis kelamin, Laju Endap darah LED, C-Reactive Protein CRP, Disease Activity Score DAS 28 LED dan DAS 28 CRP didapat dari rekam medis sebagai data karakteristik dasar pasien.
Hasil : Sebanyak 132 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini dan didapatkan neuropati perifer sebanyak 45,5 60 orang selama Juli 2015-Maret 2016. Median kadar NGF pada pasien AR adalah 4,11 pg/mL 0,0-24,5 pg/mL. Median NGF pasien AR dengan neuropati perifer adalah 4,11 pg/mL 1,1-20,83 pg/mL, sementara median NGF pada pasien AR tanpa neuropati adalah 3,89 pg/mL 0,0-24,5 pg/mL. Jenis neuropati yang ditemukan pada pasien AR adalah polineuropati 29 subyek/21,97, mononeuropati multipleks 20 subyek/15,15 dan Carpal Tunnel Syndrome 15 subyek/11,36. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara kadar NGF serum dengan kejadian neuropati perifer pada pasien AR p=0,716.
Simpulan : Kadar NGF serum pasien AR didapatkan median sebesar 4 pg/mL dengan median NGF serum pada kelompok neuropati perifer 4,11 pg/mL dan kelompok tanpa neuropati 3,89 pg/mL. Tidak terdapat hubungan antara NGF serum dengan kejadian neuropati perifer pasien AR.

Background : Peripheral neuropathy is an extra articular manifestations in Rheumatoid Arthritis RA, which has been known and is found in approximately 50 to 57.4 of patients with RA with an unclear pathogenesis until now. In DM type 2 patients, Nerve Growth Factor NGF is associated with peripheral neuropathy. NGF level is also reported to be higher among RA patients than that of among healthy subjects. The correlation between NGF level and peripheral neuropathy among RA has not been concluded yet.
Aim : To find out the mean levels of NGF blood serum and the relationship between the NGF serum levels and Peripheral Neuropathy among patients with RA.
Methods : A cross sectional study using consecutive sampling method including patient of rheumatology clinic at Cipto Mangunkusumo hospital was performed between July 2015 to March 2016. The laboratory and physiology measurement incude NGF level and Electromyography Nerve Conduction Velocities EMG NCV were examined to the subjects. Patients were classified into 2 groups based on the diagnosis of Peripheral Neuropathy PN PN positive and PN negative. Bivariate analysis were done to investigate the relationship between NGF and PN among groups. Secondary data such as age, sex, Erythrocyte Sedimentation Rate ESR, CRP, Disease Activity Score DAS 28 ESR and CRP obtained from their medical record as a basic characteristic data of patients.
Results : Among 132 subjects, PN was found in 60 subjects 45,5. The median level of NGF in RA patients was 4.11 pg mL 0.0 to 24.5 pg mL. The median NGF level of RA patients with peripheral neuropathy was 4.11 pg mL 1.1 to 20.83 pg mL, while the median of NGF level in RA patients without neuropathy was 3.89 pg mL 0.0 to 24.5 pg mL. Types of neuropathy among patients with AR were polyneuropathy 29 subjects 21.97, mononeuropathy multiplex 20 subjects 15.15 and Carpal Tunnel Syndrome 15 subjects 11.36. In this study we found no association between NGF serum level and peripheral neuropathy among patients with RA p 0.716.
Conclusion : The median of NGF serum level among RA patients was 4 pg mL. The median of NGF serum level among peripheral neuropathy group was 4.11 pg mL while the median of NGF level in RA patients without neuropathy was 3.89 pg mL. There was no relationship between NGF serum level and peripheral neuropathy among patients with RA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Ariska
"Latar Belakang: Aktivitas penyakit Artritis Reumatoid (AR) merupakan ekspresi dari kaskade inflamasi. Inflamasi jaringan sinovium yang disertai pembentukan pannus memerlukan asupan nutrisi dan oksigen melalui angiogenesis. Peningkatan penanda angiogenik menunjukkan inflamasi sendi yang progresif dan peningkatan aktivitas penyakit. Salah satu faktor pertumbuhan yang memiliki peran pada angiogenesis adalah nerve growth factor (NGF). Beberapa penelitian terdahulu mendapatkan kadar NGF yang meningkat baik pada serum maupun pada cairan sinovium pasien AR. Nerve growth factor (NGF) dapat menginduksi faktor-faktor pro-angiogenik dan faktor pertumbuhan lain yang berperan pada AR. Saat ini belum ada penelitian yang menghubungkan kadar serum NGF terhadap aktivitas penyakit AR.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar NGF dengan aktivitas penyakit (yang dinilai dengan DAS28 LED dan DAS28 CRP) pada pasien AR di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian potong lintang yang mengevaluasi kadar NGF menggunakan two site immunoenzymatic assay (ELISA) pada 50 pasien (47 orang perempuan dan 3 orang laki-laki) AR di poliklinik Reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Oktober sampai Desember 2015. Aktivitas penyakit AR pada penelitian ini dinilai menggunakan skor DAS28 LED dan DAS28 CRP melalui kalkulator yang diakses dari internet pada http://www.das-score.nl/. Analisis statistik bivariat digunakan untuk mendapatkan korelasi antara NGF dengan aktivitas penyakit AR.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian ini adalah 43,44 tahun. Median kadar serum NGF adalah 4,33 pg/mL (2,35-20,83). Hasil analisis memperlihatkan korelasi antara kadar serum NGF dengan skor DAS28 LED (r = +0,427; p = 0,002) dan DAS28 CRP (r =+0.407; p = 0,003).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara kadar serum NGF dengan aktivitas penyakit AR.

Background: Disease activity of Rheumatoid Arthritis (RA) is an expression of the inflammatory cascade. Disease activity of a given joint is correlated with the synovial vascularization. Synovial tissue inflammation accompanied by pannus formation requires intake of nutrients and oxygen through angiogenesis. Angiogenesis plays an integral part of the development of the pannus formation. Increased angiogenic markers shows a progressive increase of joint inflammation and disease activity. One of the contributing factors to angiogenesis is the nerve growth factor (NGF). Several previous studies show increased NGF concentrations in both the serum and synovial fluid of RA. Nerve growth factor can induce pro-angiogenic factors and other growth factors contribute in RA. Currently, there has not been any studies yet that correlates the NGF serum concentration with RA disease activity.
Objective: To determine the correlation between the serum concentration of NGF and disease activity of RA patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital (using DAS28 ESR and DAS28 CRP score).
Methods: A cross-sectional study was used. Recruited were 50 RA patients (47 women and 3 men) of outpatient clinic of Rheumatology at Cipto Mangunkusumo General Hospital from October to December 2015. Concentrations of NGF were evaluated with a two site immunoenzymatic assay (ELISA). Disease activity in this study was assessed using DAS28 ESR and DAS28 CRP score using a calculator accessible from the internet on http://www.das-score.nl/. The correlation between NGF with disease activity was analyzed by bivariate analysis.
Results: The mean age of the study subjects was 43.44 years. Median serum NGF was 4.33 pg / mL (2.35 to 20.83). The results shows correlation between serum NGF with DAS28 ESR (r = +0.427; p = 0.002) and DAS28 CRP (r = + 0407; p = 0.003).
Conclusion: Significant positive correlation between serum concentration of NGF with diesease activity in patient with AR was found.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Faisal
"Latar Belakang: Kehilangan massa tulang pada artritis reumatoid (AR) terjadi akibat ketidakseimbangan proses resorpsi dan formasi tulang. Tumor necrosis factor-α (TNF-a) adalah salah satu sitokin proinflamasi utama yang secara langsung dapat menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, namun peranannya pada proses formasi tulang belum secara jelas diketahui. Aktivitas formasi tulang dapat dihambat oleh Dickkopf-1 (DKK-1) yang meningkat pada pasien AR. Penilaian turnover tulang dapat dilakukan dengan mengukur kadar C-terminal telopeptide (CTX) dan N-terminal propeptide (PINP) yang saat ini menjadi standar untuk penanda turnover tulang.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran aktivitas turnover tulang pada pasien AR dengan melihat korelasi antara TNF-α dengan DKK-1 dan CTX untuk penilaian resorpsi tulang, dan korelasi antaran TNF-α dengan DKK-1 dan P1NP untuk penilaian formasi tulang.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 38 subjek artritis reumatoid perempuan premenopause. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif di poliklinik reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan TNF-α, DKK-1, CTX, dan P1NP dilakukan dengan metode ELISA.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median durasi menderita penyakit adalah 5 tahun. 60,5% pasien berada dalam kondisi remisi atau aktivitas penyakit rendah, 36,8% dalam kondisi aktivitas penyakit sedang, dan 2,6% pasien dalam kondisi aktivitas penyakit tinggi. Didapatkan median kadar TNF-a adalah 10.6 pg/mL, rerata kadar DKK-1 adalah 4027 pg/mL, rerata kadar CTX adalah 2,74 ng/mL, serta median nilai P1NP adalah 34 pg/mL. Kadar DKK-1 dan CTX dijumpai lebih tinggi sedangkan kadar P1NP lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar pasien AR pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menemukan korelasi positif lemah antara TNF-α dengan P1NP, sedangkan variabel lain tidak menunjukkan korelasi yang signifikan.
Simpulan: Pada penelitian ini ditemukan korelasi positif lemah antara TNF-α dengan P1NP. Dijumpai kadar TNF-a yang rendah, DKK-1 yang tinggi, dan CTX yang tinggi dengan kadar P1NP yang rendah yang menunjukkan respon perbaikan tulang pada pasien AR tidak dapat mengimbangi tingginya aktivitas resorpsi tulang.

Background: Bone mass loss in rheumatoid arthritis (RA) is due to the imbalance of bone resorption and formation process.Tumor necrosis factor-α (TNF-a) is one of the main proinflammatory cytokines that can directly increase bone resorption, but its effect on bone formation is still uncertain. Bone formation could be inhibited by Dickkopf-1 (DKK-1) that is increased in RA patients. Bone turnover could be determined by assessing the level of C-terminal telopeptide (CTX) and N-terminal propeptide (PINP), both are standard measurement for bone turnover markers.
Objective: This study aims to examine bone turnover in RA patients by analysing correlation between TNF-α with DKK-1 and CTX for assesment of bone resorption, and correlation between TNF-α with DKK-1 and P1NP for assesment of bone formation.
Methods: This is a cross-sectional study with 38 subjects of RA premenopausal women. The subjects were collected with consecutive sampling technique in rheumatology outpatient clinic in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Measurement of serum TNF-α, DKK-1, CTX, and P1NP levels were done using ELISA technique.
Results: The median duration of RA in this study is 5 years. 60,5% of the patients were in remission or low activity disease, 36,8% were in moderate activity disease, and 2,6% were in high activity disease. The median value of TNF-a was 10.6 pg/mL, mean value of DKK-1 was 4027 pg/mL, mean value of CTX was 2,74 ng/mL, and mean value of P1NP was 34 pg/mL. DKK-1 and CTX levels were increased while P1NP level was lower compared to the RA patients in previous studies. This study found weak positive correlation between TNF-α and P1NP, while the other variables showed no significant correlation.
Conclusions: This study demonstrated weak positive correlation between TNF-α and P1NP. We found low level of TNF-α, high level of DKK-1, and high level of CTX with low level of P1NP that indicate that the bone repair response could not keep up to the high bone resorption activity in RA patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Andi Raga
"Latar Belakang: Pada artritis reumatoid diketahui terjadi kehilangan massa tulang, baik secara lokal maupun sistemik. TNF-a adalah sitokin utama yang berperan pada proses resorpsi tulang, namun perannya pada formasi tulang belum diketahui. Penelitian ini akan menilai korelasi TNF-adengan proses formasi tulang yang dinilai dengan P1NP, terutama berhubungan dengan SFRP-1 yang merupakan inhibitor alami osteoblas. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai hubungan sitokin proinflamasi TNF-a, SFRP1 terhadap kedua penanda turnover tulang(CTX dan P1NP) secara sistemik pada pasien artritis reumatoid.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran aktivitas turnovertulang pada pasien AR dengan melihat korelasi antara TNF-adengan SFRP-1, CTX dan P1NP, dan korelasi SFRP1 dengan P1NP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 38 subjek perempuan premenopause dengan AR. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif di poliklinik reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan TNF-a, SFRP-1, CTX, dan P1NP dilakukan dengan metode ELISA.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median durasi menderita AR 5 tahun. 60,6% pasien berada dalam kondisi remisi dan aktivitas rendah. Kadar TNF-amedian 10,6 pg/mL, rerata kadar SFRP-1 9,29 ng/mL, rerata kadar CTX 2,74 ng/mL, serta kadar P1NP 34 pg/mL. Kadar SFRP-1 dan CTX dijumpai meningkat sedangkan P1NP relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar populasi normal pada penelitian-penelitian terdahulu. Pada penelitian ini dijumpai adanya korelasi positif lemah antara TNF-a dengan P1NP (r=0,363, p=0,026), begitu juga SFRP-1 dengan P1NP (r=0,341; p=0,036), sedangkan variabel lain tidak menunjukkan korelasi yang bermakna.
Simpulan: Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif lemah antara TNF-adengan P1NP, dan korelasi positif lemah antara SFRP-1 dengan P1NP. Namun dijumpai kadar CTX yang tinggidan kadar P1NP yang rendah, menunjukkan respon resorpsi meningkat namun tidak diimbangi dengan formasi pada pasien AR perempuan premenopause.

Background: Rheumatoid arthritis is known to have a loss of bone mass, both locally and systemically. TNF-a is the main inflammatory cytokine that can directly increase bone resorption. However, its role in bone formation is still unknown. This study will assess the correlation of TNF-a with the process of bone formation evaluated with P1NP, mainly related to the SFRP-1 pathway which is a natural inhibitor of osteoblasts. However, there are currently no studies that assess the correlation of inflammatory cytokines TNF-a, SFRP-1, with bone turnover marker (CTX and P1NP) in rheumatoid arthritis patients
Objective: This study aims to examine bone turnover in RA patients by analyzing the correlation between TNF-a with SFRP-1 and CTX and P1NP, and correlation SFRP-1 with P1NP
Methods: This is a cross-sectional study in 38 subjects of premenopausal women with RA. The Subjects were collected with consecutive sampling technique in rheumatology outpatient clinic in Rumah SakitCipto Mangunkusumo, Jakarta. Measurement of serum TNF-a, SFRP-1, CTX, and P1NP levels were done using ELISA technique.
Results: In this study, the median duration of RA is 5 years. 60.6% of the patients were in remission and low activity disease. The median value of TNF-a was 10.6 pg/mL, the mean value of SFRP-1 was 9.29 ng/mL, the mean value of CTX was 2.74 ng/mL, and mean value of P1NP was 34 pg/mL. SFRP-1 and CTX levels were increased while P1NP level was relatively lower compared to the normal population value in previous studies. There was a weak positive correlation between TNF-a and P1NP(r=0.363, p=0.026), also SFRP-1 and P1NP(r=0.341; p=0.036),while the other variables showed no significant correlation.
Conclusions: This study demonstrated weak positive correlation between TNF-a and P1NP, and weak positive correlation between SFRP-1 and P1NP. However high value of CTX and low value of P1NP showed that a high resorption response cannot be balanced with bone formation activity in patients with rheumatoid arthritis in premenopausal woman.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malikul Chair
"Artritis reumatoid (AR) dapat menyebabkan penurunan massa tulang sistemik akibat adanya peningkatan osteoklastogenesis dan penghambatan osteoblastogenesis melalui peningkatan sklerostin yang menyebabkan penghambatan jalur Wingless(Wnt)-bcatenin canonicaldan bone morphogenetic proteins(BMP). Sampai saat ini masih belum ada penelitian tentang korelasi TNF-adan sklerostin terhadap penanda turnovertulang (CTX dan P1NP) pada pasien AR perempuan premenopause.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan patogenesis hilangnya massa tulang pada pasien artritis rheumatoid perempuan premenopause dengan menilai hubungan antara kadar sitokin proinflamasi TNF-α, penghambat Wnt signalingsklerostin, dan penanda resorpsi tulang P1NP dan CTX.Studi potong lintang ini melibatkan 38 perempuan AR premenopause. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Pemeriksaan dilakukan dengan ELISA.
Penelitian ini didapatkan kadar CTX (rerata 2,74 ng/ml) yang lebih tinggi dan P1NP (median 34,04 pg/ml) yang lebih rendahdibandingkan dengan sampel sehat pada penelitian sebelumnya. Terdapat korelasi negatif (r = -0,388) antara kadar TNF-α dengan kadar sklerostin yang bermakna secara statistik (p = 0,016). Terdapat pula korelasi positif (r = 0,362) antara kadar TNF-α dengan kadar P1NP yang bermakna secara statistik (p = 0,026). didapatkan adanya peningkatan CTX dan penurunan P1NP, adanya korelasi negatif bermakna antara kadar TNF-α dan sklerostin serta adanya korelasi positif bermakna antara kadar TNF-α dan P1NP.

Rheumatoid arthritis is associated with systemic bone mass loss due tostimulation of osteoclastogenesis and inhibition of osteoblastogenesis through inhibition of Wingless(Wnt) -bcatenin canonical and bone morphogenetic proteins(BMP) pathway by sclerostin. There are currently no studies that assess the correlation of TNF-α and sclerostin with bone resorption markers CTX and P1NPin premenopause rheumatoid arthritis patients. This study aims to explainthe pathogenesis of bone mass decrease by assessing the correlation between TNF-α, sclerostin, P1NP and CTX. This cross-sectional study involves 38 premenopausal women with AR. Sampling is done consecutively. Examination is done by ELISA.
This study found higher level of serum CTX (mean 2,74ng/mL) and lower level of P1NP (median 34,04 pg/mL) than normal population in previous studies. There was a negative correlation (r = -0,388) between TNF-α levels and sclerostin levels which was significant (p = 0,016). There wasalso a positive correlation (r = 0,362) between TNF-α levels and P1NP levels which was also significant (p = 0,026). This study found an increase in CTX and decrease in P1NP. There was a significant negative correlation between TNF-α and sclerostin levels and also a significant positive correlation between TNF-α and P1NP levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanu Reztaputra
"Latar Belakang COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi sejak tahun 2020. Berbagai terapi telah dikembangkan akan tetapi terdapat laporan kejadian trombosis pasca COVID-19. Diduga salah satu mekanisme yang berperan adalah aktivasi trombosit oleh antibodi.
Hal tersebut dikemukakan akibat adanya temuan manifestasi mirip Heparin-Inducued Thrombocytopenia (HIT) pada COVID-19. HIT terjadi akibat adanya antibodi antiPF4/heparin yang berikatan dengan reseptor FcIIR di trombosit. Terdapat banyak penanda aktivasi trombosit, salah satunya P-selektin.
Tujuan. Mengetahui perbedaan rerata kadar antiPF4, P-selektin serum, serta agregasi trombosit antar derajat COVID-19.
Metode. Penelitian ini menggunakan sampel penelitian sebelumnya Hubungan Kadar 25-Hydroxy Vitamin D dengan Luaran Pasien Terkonfirmasi COVID-19 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Wisma Atlit pada Oktober 2021 sampai Januari 2022. Sampel serum tersebut disimpan di lab RSCM Kencana dan dilakukan simple random sampling. Pemeriksaan kadar P-selektin dan antiPF4 dilakukan dengan metode ELISA di Lab Diagnos, sedangkan agregasi trombosit pasca paparan serum di Lab RSCM.
Hasil. Dilakukan analisis pada 160 sampel. Berdasarkan severitas terdapat 21 orang termasuk COVID-19 berat/kritis dan sisanya ringan/sedang. Komorbiditas, penyakit jantung, ginjal kronik, DM tipe 2, dan serebrovaskular secara bermakna lebih banyak pada kelompok berat kritis. Kadar P-selektin secara bermakna lebih tinggi pada kelompok berat kritis (median 43791,79 vs. 39112,3 pg/ml). Selain itu juga didapatkan agregasi yang lebih tinggi pada kelompok berat-kritis dengan agonis ADP 10 dan 5 uM (median masing-masing 32,8 vs 13,8 dan 28,5 vs 11,1 persen). Tidak terdapat perbedaan bermakna antiPF4 antar derajat COVID-19.
Kesimpulan. Terdapat perbedaan bermakna kadar P-selektin dan agregasi trombosit antar derajat COVID-19.

Background. COVID-19 became pandemic since 2020. While its treatment was being developed there were reports of thromboses event after COVID-19. One mechanism suggested was platelet activation due to antibody because of observation similar manifestation with heparin-induced thrombocytopenia in COVID-19. Main culprit of HIT is antibody to PF4/heparin. Which bind FcIIR receptor in thrombocyte, leading to its activation. There are many markers of thrombocyte activation, one of them is P-selectin.
Objectives. Determine the mean difference of P selectin and antiPF4 levels in serum and thrombocyte aggregation between COVID-19 severity.
Methods. This study uses samples already taken before, in Association of 25-Hydroxy-Vitamin D Levels with Outcome of COVID-19 Patients research from October 2021 to January 2022. Serum was stored in -20 C degrees in RSCM Laboratory. We planned to
do a simple random sampling. P-selectin and antiPF4 measured with ELISA in Diagnos Laboratory. Thrombocyte aggregation was measured by Light Transmission Aggregometry in RSCM.
Results. A total of 160 subjects analyzed 21 of them had severe/critical COVID-19. Comorbidities, heart disease, diabetes type 2, cerebrovascular disease were significantly higher in severe/critical disease. The median of P-selectin is significantly higher in severe covid (43791,79 vs. 39112,3 pg/ml). As aggregometry we find significantly higher
aggregation in severe disease with 10 and 5 uM ADP agonist. There is no difference of antiPF4 levels between groups.
Conclusion. There is a significant difference in P-selectin level and maximal aggregation between severe and non-severe COVID-19.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Yogaswara
"Latar Belakang: Komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh disfungsi endotel menjadi salah satu penyebab mortalitas yang cukup tinggi pada pasien Artritis Reumatoid AR. Faktor Reumatoid RF merupakan autoantibodi yang sering dijumpai pada AR dan diduga dapat meningkatkan respon inflamasi dan disfungsi endotel. Sindroma metabolik dapat pula meningkatkan disfungsi endotel. Belum ada studi yang menilai korelasi RF dengan disfungsi endotel pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Metode: Penelitian desain potong lintang terhadap pasien AR dewasa yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo tanpa sindroma metabolik. Pengumpulan data dilakukan sejak Februari hingga Maret 2018 dari data penelitian sebelumnya yang diambil periode Februari 2016 hingga September 2017. Kadar RF dan VCAM-1 dinilai melalui pemeriksaan serum darah dengan metode ELISA. Analisis korelasi antar kedua variabel dibuat dengan SPSS 20,0.
Hasil: Sebanyak 46 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar 95,7 subjek adalah perempuan dengan rerata usia 44,43 tahun, median lama sakit 36 bulan, dan sebagian besar memiliki derajat aktivitas sedang 52,2. sebagian besar pasien memiliki RF positif 63. Korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 memiliki kekuatan korelasi yang lemah tetapi tidak bermakna secara statistik r = 0,264; p = 0,076 . Subjek dengan RF positif memiliki kadar VCAM-1 yang lebih tinggi 626,89 vs 540,96 ng/mL.
Simpulan: Belum terdapat korelasi antara RF dengan VCAM-1 pada pasien Artritis Reumatoid tanpa sindroma metabolik.

Background: Cardiovascular complications caused by endothelial dysfunction become one of the highest causes of mortality in patients with Rheumatoid Arthritis RA . Rheumatoid Factor RF is an autoantibody that is commonly found in RA and is thought to increase the inflammatory response and endothelial dysfunction. Metabolic syndrome may also increase endothelial dysfunction. There have been no studies assessing correlation between RF and endothelial dysfunction in RA patients without metabolic syndrome.
Aim: To determine the correlation between RF levels with VCAM-1 levels in RA patients without metabolic syndrome.
Method: Cross sectional design study of adult AR patients treated in Rheumatology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital without metabolic syndrome. Data collection was conducted from February to March 2018 from the previous research data taken from February 2016 to September 2017. The levels of RF and VCAM-1 were assessed through blood serum testing using the ELISA method. Correlation analysis between the two variables was made with SPSS 20.0 for windows version.
Results: A total of 46 subjects were included in the study. Most 95.7 subjects were women with an average age of 44.43 years, median duration of 36 months, and most had moderate activity 52.2. Most patients had a positive RF 63. The correlation between RF levels and VCAM-1 levels had a weak correlation strength but was not statistically significant r = 0.264; p = 0.076. Subjects with RF positive had higher VCAM-1 levels 626.89 vs 540.96 ng/mL.
Conclusion: We did not found correlation between RF and VCAM-1 in Rheumatoid Arthritis patients without metabolic syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Feryanto
"Latar Belakang: Preeklamsia, yang menyerang sekitar 5%-7% wanita hamil dengan tekanan darah tinggi, proteinuria, dan risiko kerusakan organ, merupakan bidang medis kompleks yang masih perlu banyak dipelajari. Pada preeklamsia dimana terjadi inflamasi secara sistemik, kemungkinan terjadi perubahan kadar Delta Hemoglobin.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memahami perubahan kadar Delta Hemoglobin sebagai indikator inflamasi pada preeklampsia dan korelasinya dengan Omega-3 serta rasio sFLT-1/PlGF dalam serum pasien.
Metode: Dengan menggunakan metode pengambilan sampel konsekutif, penelitian cross-sectional ini mencakup analisis korelatif dan komparatif pada dua kelompok tidak berpasangan: pasien hamil dengan preeklampsia dan kehamilan normal.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan kadar Delta Hemoglobin pada preeklampsia lebih tinggi dibandingkan kelompok normal, sedangkan kadar total omega-3, EPA, DHA, dan ALA lebih rendah pada preeklamsia tanpa adanya korelasi yang signifikan antara Delta Hemoglobin dan Omega-3. Preeklampsia dikaitkan dengan tingkat sFLT-1, PlGF, dan rasio sFLT-1/PlGF yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok normal. Terdapat juga korelasi positif lemah yang ditemukan antara rasio sFLT-1/PlGF dan delta hemoglobin. Selain itu, terdapat korelasi positif sedang dan korelasi negatif sedang antara EPA dan rasio sFLT-1/PlGF.
Kesimpulan: Terdapat variasi nilai kadar Delta Hemoglobin dan parameter lainnya antara kelompok preeklampsia dan kelompok normal.

Background: Preeclampsia, which affects approximately 5%-7% of pregnant women with high blood pressure, proteinuria, and risk of organ damage, is a complex understudied medical field. In preeclampsia where there is systemic inflammation, there may be changes in Delta Hemoglobin levels.
Objectives: This study aims to understand changes in Delta Hemoglobin levels as an indicator of inflammation in preeclampsia and its correlation with Omega-3 and the sFLT-1/PlGF ratio in patient serum.
Methods: Using the consecutive sampling method, this cross-sectional study includes correlative and comparative analysis in two unpaired groups: pregnant patients with preeclampsia and normal pregnancies.
Results: The results showed that Delta Hemoglobin levels in preeclampsia were higher compared to the normal group, while total omega-3, EPA, DHA, and ALA levels were lower in preeclampsia without a significant correlation between Delta Hemoglobin and Omega-3. Preeclampsia was associated with higher levels of sFLT-1, PlGF, and sFLT-1/PlGF ratio compared to the normal group. There was also a weak positive correlation found between the sFLT-1/PlGF ratio and delta hemoglobin. Furthermore, there was a moderate positive correlation and a moderate negative correlation between EPA and the sFLT-1/PlGF ratio, respectively.
Conclusion: there are variations in the Delta Hemoglobin level values and other parameters between the preeclampsia and normal groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Elvira
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
dengan penyebab multifaktorial. Ketidakseimbangan sitokin Th17 (Interleukin-17; IL-
17) dan T-regulator (Transforming Growth Factor-; TGF- and Interleukin-10; IL-10)
diduga terlibat dalam patogenesis LES yang mempengaruhi aktivitas penyakit.
Tujuan: Penelitian dilakukan untuk menguji perbedaan rerata IL-17, TGF- dan IL-10
dengan aktivitas penyakit LES dan menguji korelasi sitokin Th17/T-regulator.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang melibatkan 68 pasien LES
berdasarkan kriteria inklusi MEX-SLEDAI <2 untuk LES inaktif dan >=2 untuk LES
aktif. Kriteria eksklusi adalah pasien LES dengan riwayat autoimun lain, inflamasi
kronik; infeksi akut secara klinis; serta asma bronkial, dermatitis atopi dan urtikaria
didasarkan pada catatan rekam medis. Serum IL-17, TGF-, IL-10 diperiksa dengan
metode ELISA. Data dianalisis dengan perangkat lunak SPSS 20 menggunakan uji-T
independen untuk data berdistribusi normal dan uji Mann-Whitney untuk data tidak
normal.
Hasil: Rerata IL-17 serum adalah 19,67 (1,299) pg/ml. Median TGF- dan IL-10 adalah
175,02 (132-396) pg/ml dan 2,96 (0-11) pg/ml. Tidak terdapat perbedaan rerata yang
signifikan dari kadar IL-17, TGF- dan IL-10 serum pasien LES aktif dan tidak aktif.
Didapatkan korelasi positif sedang yang signifikan antara IL-17 dan IL-10 (p<0,005;
r=0,529) dan korelasi yang tidak signifikan antara IL-17 dan TGF- (p>0,005; r=-
0,142).
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata yang signifikan sitokin Th17/Treg pasien
LES aktif dan inaktif. Terdapat korelasi positif signifikan sedang antara IL-17 dan IL-
10, sementara tidak terdapat korelasi signifikan antara IL-17 dan TGF-. Penelitian
lanjutan dengan disain kohort prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi peran
sitokin jalur Th17/Treg ini pada pasien LES aktif dan inaktif.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fara Fauzia
"Pendahuluan. Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit autoimun yang bersifat sistemik dan kronik yang manifestasi utamanya melibatkan persendian. Tatalaksana AR membutuhkan terapi medikamentosa dan pendekatan gaya hidup. Salah satu tatalaksana AR adalah medikamentosa dengan metotreksat (MTX). Ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan terapi AR namun di Indonesia belum ditemukan studi yang meneliti obesitas terhadap keberhasilan terapi MTX pada pasien AR di Indonesia. Peneliti ingin mengetahui pengaruh obesitas terhadap ketidakberhasilan terapi MTX monoterapi pada pasien dengan AR.
Metode. Studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis Poli Reumatologi Penyakit Dalam, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada kurun waktu Maret 2017-Desember 2021. Dilakukan analisis deskriptif untuk melihat karakteristik sampel berdasarkan tiap variabel dan analisis regresi Cox yang dimodifikasi untuk melihat hubungan antara obesitas terhadap ketidakberhasilan terapi MTX.
Hasil. Dari 72 subyek, proporsi ketidakberhasilan terapi pada pasien obesitas adalah 57.1% (20/35), sementara pada pasien yang tidak obesitas adalah 37.8% (14/37). Risiko ketidakberhasilan terapi MTX pada pasien dengan obesitas adalah 1,45 kali dibandingkan pasien yang tidak obesitas (RR 1,45; 95% CI 0,76-2,78). Faktor jumlah sendi yang terlibat, faktor RF, faktor C-reactive protein, usia, laju endap darah, jenis kelamin, dan onset awal sakit bukan merupakan faktor perancu pada studi ini.
Kesimpulan. Pada studi ini, pasien AR dengan obesitas meningkatkan risiko untuk mengalami ketidakberhasilan terapi MTX dibandingkan pasien AR tanpa obesitas, namun diperlukan studi lebih lanjut menggunakan sampel yang lebih besar untuk meningkatkan kekuatan statistik.

Introduction. Rheumatoid arthritis (RA)) is a systemic and chronic autoimmune disease which main manifestations involve the joints. AR management requires medical therapy and a lifestyle approach. One of the AR treatments is medication with methotrexate (MTX). There are many factors that influence the success of AR therapy but in Indonesia there has not been found a study that examines obesity on the success of MTX therapy in AR patients in Indonesia. Researchers wanted to know the effect of obesity on the failure of MTX monotherapy in patients with AR
Methods. A retrospective cohort study using medical records from the Rheumatology Internal Medicine Polyclinic, Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) from March 2017 to December 2021. A descriptive analysis was performed to see the sample characteristics based on each variable and a modified Cox regression analysis to see the relationship between obesity and failure of MTX therapy.
Results. Of the 72 subjects, the proportion of treatment failure in obese patients was 57.1% (20/35), while in patients who were not obese it was 37.8% (14/37). The risk of MTX treatment failure in obese subjects was 1.45 times that of non-obese patients (RR 1.45; 95% CI 0.76-2.78). Number of joints involved, RF factor, C-reactive protein factor, age, erythrocyte sedimentation rate, gender, and early onset of illness were not confounding factors in this study.
Conclusion. In this study, RA patients with obesity have an increased risk of MTX treatment failure MTX compared to RA patients without obesity, but further studies using larger samples are needed to increase statistical power.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>